Arti kata pandu dalam pramuka

Pada zaman kolonial Belanda, di antara berbagai kepanduan nasional sungguh terasa adanya tali persaudaraan dan saling menghormati secara ksatria di tengah-tengah perbedaan pakaian seragam dan lambang-lambang organisasi yang memang cukup mencolok. Di zaman merdeka hubungan antara sesama organisasi kepanduan nasional malah berubah dari serasi menjadi permusuhan, jauh dari asas persaudaraan yang sportif, ksatria dan saling menghormati. Hal ini terjadi karena ulah parpol-parpol yang membuat kepanduan menjadi bagian (onderbouw) dan dibina menurut ideologi dan wawasan politik parpol induk semangnya.

Maka, dengan Keppres No 238 Tanggal 20 Mei 1961 semua organisasi kepanduan dibubarkan dan dilebur menjadi satu organisasi bernama “Pramuka”. Bila secara negatif Pramuka dinyatakan bukan bagian dari parpol atau organisasi yang beraliran politik manapun juga dan tidak menjalankan kegiatan politik, secara positif ia ditugaskan sebagai satu-satunya badan yang menyelenggarakan pendidikan kepanduan.

Pramuka adalah akronim dari nama “Praja Muda Karana”, yang berarti “rakyat muda yang suka berkarya”. Akronim tersebut kebetulan sama dengan kata Sansekerta “Pramuka” yang berarti (yang) terdepan, pemimpin. Dengan kata lain kata “pramuka” sinonim dengan kata “pandu”. Jadi hakikat dari gerakan pramuka atau kepramukaan adalah tetap kepanduan, walaupun sebutan “pandu” tidak dipakai lagi untuk menamakan gerakan kepanduan atau anggota kepanduan Indonesia.
Cara pemecahan masalah seperti ini kiranya sudah menjadi kebiasaan di negeri kita. Yaitu, bila di suatu organisasi, lembaga atau badan terjadi keributan, yang ditindak bukan orang atau unsur yang menimbulkan keonaran itu, tetapi organisasi, lembaga atau badan yang bersangkutan yang dilebur, lalu dibentuk yang baru dengan nama lain.

Sejak pembentukan Pramuka di awal tahun 60-an, ada upaya terus-menerus untuk menyempurnakan kinerjanya dengan bantuan dana dari berbagai pihak, termasuk departemen yang terkait. Setelah berjalan sekitar 10 tahun, misalnya, Anggaran Dasarnya diperbaiki dan disahkan dengan Keppres No.12 tanggal 22 Maret 1971. Kemudian, demi pemantapan perkembangan jiwa kepanduan dan penggalan semangat persatuan serta persaudaraan, sejak tahun 1973 diselenggarakan secara teratur Jambore Nasional (Jamnas).

Rehabilitasi Sebutan Pandu
Sekarang ada maksud pemerintah membuat undang-undang kepramukaan. Demi memantapkan efektivitas gerakan pendidikan non formal dari remaja kita ada baiknya, pertama, merehabilitasi nama “kepanduan” dan sebutan “pandu” bagi para anggotanya, sesuai dengan keadaannya semula tempo doeloe.

Walaupun kata “pramuka” dianggap sinonim dengan kata “pandu”, ia jelas tidak memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan. Sedangkan kata “pandu” punya sejarah tersebut. Ia pernah diikutkan berpartisipasi aktif, terutama secara idiil, dalam merintis kemerdekaan, dalam mengobar-obarkan kesadaran berbangsa dan bernegara, dalam menggembleng semangat perjuangan, dalam menempa jiwa patriotik. Bukan kebetulan kalau kata “pandu” ditampilkan di dalam lagu “Indonesia Raya” oleh penggubahnya, yaitu Wage Rudolf Surpratman. Sungguh ironis bahwa kata “pandu” ini dimatikan begitu saja justru di zaman kemerdekaan yang ia pernah turut aktif merintisnya.

Memang patut disayangkan bahwa kini dalam Gerakan Pramuka kata “pandu” tidak ditampilkan secara eksplisit. Akibatnya para pramuka, lebih-lebih yang terlalu muda untuk mampu berpikir abstrak dan bernalar analitis, pada waktu menyanyikan “Indonesia Raya” kurang dapat menyadari kaitan antara kata “pandu” yang dikumandangkan dalam himne nasional ini dengan dirinya sebagai anggota “pramuka”. Tidak segera menyadari bahwa pada tingkat pertama dia sendirilah, sebagai anggota pramuka, yang dimaksudkan sebagai “pandu” yang disebut dalam lagu kebangsaan kita. Tidak cepat menyadari, bahwa pada tingkat pertama dia sendirilah yang dituntut menjadi “Pandu Ibu Pertiwi”, berdasarkan kemauan dan kesadarannya sendiri memasuki gerakan kepramukaan (kepanduan) itu.

Di tahun 50-an, betapa pun lemahnya gerakan kepanduan ketika itu, setiap kali menyanyikan “Indonesia Raya” mata para pandu cenderung berkaca-kaca karena jiwanya langsung tersentuh oleh perkataan “pandu” itu. Sebab untuk penyentuhan itu hampir tidak diperlukan kemampuan berpikir abstrak berhubung kata “pandu” tersebut diucapkan oleh mulutnya sendiri, didengar oleh telinganya sendiri, yaitu mulut dan telinga seseorang yang disebut “pandu”. Memang ada kalanya “kata” atau “perkataan” jauh lebih cepat menyentuh jiwa dan imajinasi ketimbang “kesadaran” yang timbul dari kematangan berpikir, walaupun sentuhan yang disebut terakhir ini akan lebih mengesankan karena direkat oleh kesadaran itu.

Sejauh sebuah “kata” tidak hanya mempunyai suatu “arti” tetapi juga mengandung “pesan” tertentu yang mampu menggugah manusia, yang dapat mengaitkan perhatian atau imajinasi manusia pada suatu ideal – bila tidak demikian untuk apa orang mencari-cari kata yang tepat untuk menamakan sesuatu – kata “pandu” jauh lebih berbobot daripada kata “pramuka”. Di sini kelebihan bobot itu ditentukan oleh masa lalu penggunaannya.

Maka bila kata “pandu” dapat disepakati untuk dihidupkan kembali sebagai pengganti kata “pramuka”, kita berarti telah mengaitkan kembali pendidikan kepanduan dengan masa lalunya yang begitu heroik, suatu masa lalu yang memang pantas dibanggakan dan dilestarikan. Dengan kata lain sejarah gerakan kepanduan nasional menjadi tidak terputus dengan sumber awalnya yang murni, bertaut kembali dengan asal mula jadinya.

Kedua, ada baiknya gerakan kepanduan bangsa Indonesia tetap dipertahankan sebagai satu-satunya badan yang menyelenggarakan pendidikan kepanduan. Dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azas berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, mempunyai makna dan konsekuensi yang agak berbeda – walaupun berkaitan erat satu dengan lainnya – bagi masyarakat dan bagi gerakan kepanduan.

Bagi masyarakat sebagai keseluruhan penerimaan Pancasila yang seperti itu berarti berakhirnya reka-rekaan model politik dan karenanya bermuara pada satu pilihan peradaban; apakah keterbukaan atau ketertutupan atau serba ritual. Bagi gerakan kepanduan hal tersebut berarti berakhirnya ideologi kepartaian dari benaknya dan karena itu bermuara pada patriotisme bersama, sedangkan kebersamaan kita adalah kebangsaan. Patriotisme kebangsaan ini tidak bertentangan dengan universalisme jiwa kepanduan, sebab dari sejak didirikannya pada awal Abad XX universalisme kepanduan justru memungkinkan penemuan kembali adanya kompleksitas, keanekaragaman dan perbedaan. Dewasa ini gerakan kepanduan di dunia mencakup, dalam bentuk yang berlainan, sejumlah tidak kurang daripada 80 juta remaja putera dan puteri dari tidak kurang daripada 160 negara.

Seorang patriot pasti merupakan pandu bagi bangsanya. Dalam pengertian bahasa Indonesia, pemandu bukan sekadar penunjuk jalan yang benar. Seseorang yang melaksanakan tugas kepanduan pada tingkat pertama dan terakhir adalah sekaligus perintis jalan, pelindung, pembela, penyelamat dan pemimpin dari yang dipanduinya, baik dalam arti harafiah maupun dalam arti kiasan. Bila demikian salah satu wahana kejiwaan, kalaupun bukan spritiual atau metafisis, yang ampuh dan sudah lama ada pada kita bagi pembinaan jiwa patriotisme adalah lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di situ jelas disebut ‘’…Indonesia tanah airku/Tanah tumpah darahku/Di sanalah aku berdiri/Jadi pandu ibuku…..”.

Berdasarkan pengamatan tidak ada satu pun bangsa di dunia yang memiliki sarana kejiwaan yang sama dengan yang dimiliki oleh Indonesia untuk keperluan pembinaan jiwa patriotisme ini. Dengan kata lain, kecuali lagu kebangsaan Indonesia Raya, tidak ada satu pun lagu kebangsaan lainnya yang mengandung ungkapan yang sinonim dengan “pandu” (scout) dalam bahasa nasional masing-masing.
Jadi harus dijaga jangan sampai terulang kembali apa yang terjadi di tahun 50-an di mana tangan-tangan kotor puluhan parpol sempat mencetak tidak kurang daripada 76 organisasi kepanduan.

Ketiga, terkait erat dengan usul kedua di atas, sudah tiba saatnya gerakan kepanduan mengutamakan kualitas ketimbang kuantitas dengan motto “bukan yang banyak baik, tetapi yang baik adalah banyak”. Azas kualitas penting bila natur kepanduan selaku school of life hendak diwujudkan. Salah satu kualitas itu adalah penyadaran harga/kehormatan diri (sense of honour) dalam rangka memprogramkan usaha pembentukan karakter. Melalui contoh profesional dan training yang terarah, kalau perlu diuji, kepada setiap pandu sejak dini diingatkan bahwa you may loose everything but your honour. Perilaku maksiat, munafik, contek, dan korupsi adalah perbuatan dari orang yang tidak punya harga diri, bukan karena tidak beriman atau karena tidak beragama atau tidak bertuhan. (Sumber: Sinar Harapan, 11 Oktober 2010)

Tentang penulis:
Daoed Joesoef, alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon – Sorbonne

Arti kata pandu dalam pramuka

Kenapa Pramuka disebut pandu?

Melihat semakin banyaknya organisasi pramuka milik Indonesia, Belanda melarang organisasi kepramukaan di luar milik Belanda mengguakan istilah Padvinder. Oleh karena itu K.H Agus Salim memperkenalkan istilah “Pandu” atau “Kepanduan” untuk organisasi Kepramukaan milik Indonesia.

Apa perbedaan Pramuka dan Pandu?

Selanjutnya kata "Pramuka" mulai menggantikan istilah "Pandu" dan digunakan sampai sekarang. Tidak hanya kata "Pandu" saja tapi kata "Kepanduan" pun tergantikan menjadi kata "Kepramukaan". Jadi untuk istilah Pramuka dan Pandu apakah berbeda ? Jawabannya adalah tidak, kedua kata tersebut merupakan kata yang sama.

Siapa yang mengubah nama Pandu menjadi nama Pramuka?

Empat anggota panitia ini akhirnya menyusun Anggaran Dasar Gerak Pramuka serta Keputusan Presiden (Kepres) RI No. 238 Tahun 1961, tentang Pramuka. “Dalam anggaran dasar kepanduan yang ditandatangani Djuanda kata 'Pandu' diganti dengan 'Pramuka'," demikian tertulis dalam Sri Sultan, Hari-Hari Hamengku Buwono IX.

Pada forum apa istilah pandu dan kepanduan dikemukakan?

Istilah 'pandu' dan 'kepanduan' diperkenalkan pertama kali saat konggres Sarekat Islam Afdeeling Padvinderij (SIAP) di Banyumas, Jawa Tengah, pada tahun 1928. SIAP sendiri adalah organisasi kepanduan milik Sarekat Islam, Atas usul tersebut SIAP kemudian berubah kepanjangannya menjadi Sarekat Islam Afdeeling Pandoe.