Apa yang dimaksud dengan setting dalam drama

Pengertian Latar dan Macam-macam Latar - Memahami Latar  dan Jenis Latar Dalam pementasan drama akan lebih indah jika latar belakang digunakan karena latar belakang sangat fungsional dalam drama pementasan kita yang tidak berguna untuk membuat suasana lebih nyata dan profesional terkesan dalam pementasan drama, karena di latar  drama sudah sangat dominan. Peran dalam mendukung pementasan drama karna sebenarnya latar belakang menjadi bagian Dalam drama, Background terbagi menjadi beragam masing-masing latar yang memiliki fungsi masing-masing dalam drama pementasan sehingga drama kita lebih baik dan profesional dimana kita menggelar drama yang Sangat mirip dengan latar belakang kenyataan dalam drama. 

Untuk lebih tahu apakah itu latar belakangnya ?? .. Berbagai latar belakang ?? .. mari kita lihat jawabannya dirangkum dengan tema Understanding Background dan Miscellaneous Backgrounds seperti di bawah ini

Pengertian Latar dan Macam-macam Latar

1. Memahami latar  adalah deskripsi tempat, ruang, waktu dan suasana cerita dalam drama ...

2. Macam-macam Latar 

Berbagai Backgrounds sebagai berikut ..

A. Latar  tempat: Misalnya mengembara di dalam adegan skrip drama, di medan perang, di meja makan, dan sebagainya.

B. Kerangka Waktu: waktu kejadian dalam naskah drama, seperti pagi 17 Agustus 1945, dan seterusnya.

C. Suasana / latar  budaya: penggambaran suasana atau budaya yang berada di balik panggung atau acara, misalnya dalam budaya Betawi, Melayu dan sebagainya ...

Demikian Beberapa Artikel tentang, Memahami Latar  dan Berbagai Latar  Semoga bermanfaat

(Sumber: Indonesia Intelligent Volume 3, Pengarang: Engkos Kosasih, Penerbit: Erland, Hal: 136)

Buka Komentar

Tutup Komentar

SETTING DALAM CERITA FILM DRAMA

Setting atau Latar Setting adalah seluruh latar bersama segala propertinya. Property dalam hal ini adalah semua benda tidak bergerak seperti, perabot, pintu, jendela, kursi, lampu, pohon, dan sebagainya. Setting yang digunakan dalam sebuah film umumnya dibuat senyata mungkin dengan konteks ceritanya. Setting yang sempurna pada prinsipnya adalah setting yang otentik. Setting harus mampu meyakinkan penontonnya jika film tersebut tampak sungguh-sungguh terjadi pada lokasi dan waktu sesuai konteks cerita filmnya. Setting ruang makan di sebuah restoran dan rumah tinggal tentu berbeda. Ruang makan pada era kini, masa silam, dan masa depan tentunya juga berbeda. Dalam sebuah produksi film, pekerjaan perencanaan dan perancangan setting adalah tugas seorang penata artistic. Seorang sineas dapat menggunakan setting yang otentik (sama persis) dengan cerita dalam filmnya dan bisa pula tidak. Jika penggunaan lokasi yang sesungguhnya sudah tidak dimungkinkan atau tidak eksis lagi biasanya sineas mencari lokasi yang serupa atau dapat merancang bangun ulang latar yang mendekati aslinya. Seperti dalam Titanic, sang sineas, James Cameron merekonstruksi ulang beberapa ruangan interior serta eksterior kapal dengan menggunakan foto-foto aslinya serta melakukan survey pada bangkai kapal (asli) di dasar laut Atlantik. Namun dalam Terminator 2: The Judgment Day, Cameron mengambil lokasi yang otentik untuk salah satu adegan aksi kejarmengejar di kanal kota Los Angeles, California. Sementara film drama berlatar Jepang, Memoirs of Geisha mengambil lokasi syuting dalam studio di California padahal latar cerita sebenarnya di Kyoto, Jepang. Film-film western biasanya bahkan menggunakan satu latar buatan yang dibangun hingga satu kota penuh. Seperti dalam Mc Cabe and Mrs. Miller, sang sineas, Robert Altman merekonstruksi sebuah kota kecil secara bertahap sejalan dengan perkembangan cerita filmnya.

1

Jika latar cerita adlah fiktif (rekaan) seperti pada film-film bertema masa depan, masa silam, planet asing, alam fantasi, atau mimpi, maka rancangan setting menuntut kreatifitas penata artistiknya. Kunci keberhasilan film-film ber-genre fiksi ilmiah, epic sejarah, dan fantasi sangat tergantung dari rancangan setting-nya. Sejak era bisu, film The Cabinet of Dr. Caligary bahkan telah menggunakan latar ekspresionistik untuk menggambarkan “dunia imajinasi” dari sudut pandang orang sakit jiwa. Dalama film fiksi ilmiah, 2001:Space Odyssey memperlihatkan interior sebuah pesawat angkasa yang super modern. Dalam Alien memperlihatkan interior pesawat yang suram dengan lorong-lorong gelap. Sementara dalam Trilogi The Lord of The Rings menggunakan setting beberapa kota dan benteng yang amat menawan, seperti The Shire, Isengard, Helm’s Deep, Minas Tirith, serta Mordor.

Set Studio Set studio telah digunakan sejak pertama kali sinema ditemukan. Penemu sinema, Thomas A Edison memproduksi film-filmnya dalam sebuah studio tertutup yang ia beri nama Black Maria. Set studio semakin berkembang oleh sineas asal Perancis, Georges Melies yang menggunakan studio beratap kaca. Baik Edison maupun Melies menyadari bahwa pengambilan di dalam studio akan memudahkan control produksinya terutama dari aspek tata cahaya. Set studio tak lama berkembang luas di seluruh Eropa, terutama Italia, Jerman, Inggris, Perancis, dan Amerika. Di Hollywood sendiri, sejak tahun 1915, teknologi lampu yang lebih canggih ditemukan. Hal ini berakibat semua studio kala itu dapat melakukan produksi film sepanjang hari. Selama era kejayaan Hollywood klasik, sebagian besar produksi film menggunakan set studio, baik indoor maupun outdoor.

Shot on Location Shot on location adalah produksi film dengan menggunakan lokasi actual yang sesungguhnya. Shot on location belum tentu mengambil lokasi yang sama persis dalam cerita namun dapat pula menggunakan lokasi yang mirip atau mendekati lokasi cerita sesungguhnya. Shot on location memiliki beberapa keuntungan ketimbang produksi pada set studio. Pertama jelas biaya produksi yang lebih murah karena tidak perlu membangun set studio. Kedua adalah efek realism yang dicapai jauh lebih meyakinkan

karena 2

  diambil di lokasi sesungguhnya. Namun shot on location juga memiliki beberapa kelemahan karena sineas tidak mampu mengontrol cuaca, lalu lintas, pejalan kaki, regulasi, dan sebagainya. Jika shot on location tidak menggunakan lokasi asli dalam cerita, besar kemungkinan penonton akan mengetahui adanya manipulasi lokasi tersebut terlebih jika lokasi tersebut sudah banyak dikenal orang. Shot on location telah digunakan sejak awal perkembangan sinema melalui filmfilm Lumiere Bersaudara dimana mereka mengambil lokasi di jalan, stasiun kereta api, pabrik, rumah, dan sebagainya. Dalam perkembangannya shot on location lebih sering digunakan untuk produksi film-film documenter. Setelah era pasca perang Dunia Kedua, penggunaan shot on location kembali popular yang dimotori oleh gerakan sinema neoralisme Italia dan new wave Perancis. Para sineas tersebut juga banyak tertolong oleh perkembangan teknologi kamera serta film yang lebih canggih sehingga memungkinkan melakukan syuting di lokasi non studio.

Set Virtual Pada era modern sekarang ini nyaris tidak ada yang tidak mungkin dalam sebuah sinema. Teknologi digital memungkinan para sineas membangun latar apapun sesuai dengan tuntutan cerita filmnya. Sejak era klasik, para sineas telah menggunakan beberapa teknik manipulasi setting untuk memudahkan produksi filmnya, seperti penggunaan layar proyeksi, traveling matte, hingga lukisan. Adegan outdoor seperti berkendaraan di dalam mobil umumnya diambil di studio dengan menggunakan gambar layar proyeksi pada latar belakangnya. Di era modern ini, teknologi CGI (Computer-Generated Imagery) telah menggantikan semua dan tidak hanya terbatas pada latar saja namun bahkan hingga karakternya. Setting untuk film-film jenis fiksi ilmiah, fantasi, epic sejarah, superhero, serta bencana yang kini diproduksi sering kali menggunakan teknologi CGI.

Fungsi Setting Setting adalah salah satu hal utama yang sangat mendukung naratif filmnya. Tanpa setting, cerita film tidak mungkin dapat berjalan. Pada sebuah adegan dalam The Matrix, Morpheus membawa Neo ke sebuah ruangan berwarna putih tanpa latar belakang apapun (lihat ilustasi 6. 5). Latar tanpa dimensi tersebut juga tetap kita anggap sebagai 3

setting. Fungsi utama setting adalah sebagai penunjuk ruang dan waktu untuk memberikan informasi yang kuat dalam mendukung cerita filmnya. Selain berfungsi sebagai latar cerita, setting juga mampu membangun mood sesuai dengan tuntutan cerita. Dalam pembahasan berikut ini beberapa macam fungsi setting akan dibahas lebih rinci.

Penunjuk Ruang dan Wilayah Salah satu fungsi utama setting adalah untuk menentukan ruang. Setting yang sempurna adalah setting yang sesuai dengan konteks ceritanya. Setting yang digunakan harus mampu meyakinkan pentonton bahwa seluruh peristiwa dalam filmnya benar-benar terjadi dalam lokasi cerita yang sesungguhnya. Lokasi cerita di rumah tinggal tentu berbeda dengan apartemen. Restoran berbeda dengan bar atau café. Rumah tinggal, apartemen, kantor, hotel, mall, restoran, rumah sakit, tempat ibadah, bank, dan lainnnya masing-masing memiliki atribut-atribut yang khas. Penggunaan shot on location dapat lebih mudah untuk dikenali lokasinya serta lebih meyakinkan penonton. Teknik editing juga mampu membantu sineas untuk memanipulasi ruang.

Penunjuk Waktu Fungsi utama lainnya adalah setting mampu memberikan informasi waktu, era, atau musim sesuai konteks naratifnya. Unsur waktu keseharian, yakni pagi, siang, petang, dan malam mutlak harus dipenuhi untuk menjelaskan konteks cerita. Setting juga mampu memberi informasi tentang masa atau periode kapan cerita film berlangsung. Film-film bertema masa silam seperti epic sejarah sangat bergantung dari kekuatan setting-nya. Film-film epic sejarah produksi masa kini seperti Gladiator, Kingdom of Heaven, serta Troy memiliki setting yang demikian mengagumkan dan sangat meyakinkan pentontonnya jika cerita tersebut terjadi ratusan tahun silam.

4

Penunjuk Status Sosial Dekor setting (bersama kostum) dapat menentukan status social para pelaku ceritanya. Setting untuk kalangan atas (bangsawan) pasti sangat kontras dengan setting kalangan bawah. Setting kalangan atas lazimnya memiliki wujud megah, luas, terang, mewah, property (perabot) yang lengkap, serta ornament-ornamen yang sangat detil (untuk setting masa lalu). Sedangkan setting untuk kalangan bawah umunya kecil, sempit, gelap, dengan property yang minim dan sederhana.

Pembangun Mood Untuk membangun mood dan suasana, setting sering kali berhubungan erat dengan tata cahaya. Suasana setting terang cenderung bersifat formal, akrab, serta hangat. Sementara setting gelap cenderung bersifat dingin, intim, bernuansa misteri, serta mencekam. Lebih jauh hal ini akan kita bahas pada pembahasan tata cahaya. Elemen natural seperti api, air, angin, salju, kabut, mendung, sering kali digunakan untuk membangun mood sebuah adegan. Cuaca mendung atau hujan terkadang digunakan untuk membangun suasana haru (duka cita). Cahaya kilat sering digunakan untuk membangun suasana atau nuansa mencekam dalam film-film horror. Unsure api sering digunakan untuk mendukung suasana romantic.

Penunjuk Motif Tertentu Setting dapat memiliki motif atau symbol tertentu sesuai tuntutan cerita film. Salah satu contoh terbaik adalah The Cabinet of Dr. Caligary dimana setting bergaya ekspresionis-nya merupakan dunia imajinasi seorang pemuda sakit jiwa. Dalam Pan’s Labyrinth, setting ekspresionis digunakan sebagai wujud fantasi sang gadis cilik. Seorang karakter yang berdiri di tepi pantai dan di atas sebuah bangunan (gedung) sering identik dengan simbol jiwa yang ingin bebas, seperti dalam film fantasi Wings of Desire dan City of Angel. Pada adegan pertempuran klimaks dalam Yojimbo, sineas besar Jepang, Akira Kurosawa menggunakan latar angin yang berhembus kencang sebagai symbol kemampuan fisik sang samurai. Elemen property juga dapat berfungsi sama. Dalam Lost in Translation, ketika kedua tokoh utama berselisih, asap yang mengepul dari masakan di meja makan restoran 5

merupakan symbol amarah keduanya. Dalam adegan pembuka Constantine, shot close-up sebatang rokok yang menyala digunakan sebagai symbol kemampuan supernatural sang jagoan (sang jagoan biasanya mampu menyelesaikan sebuah kasus sebelum punting rokoknya habis). Namun pada shot dengan sudut yang sama berikutnya, batang rokok yang menyala tersebut memiliki motif yang berbeda yakni, kasus yang dihadapinya kini tidak seperti biasanya. Dan terbukti pada saat ia mampu menyelesaikan kasus ini punting rokoknya telah habis. Dalam seri Terminator, sang robot pemburu selalu menggunakan kendaraan yang lebih besar, cepat, dan kuat daripada pihak yang diburu. Kendaraan menjadi symbol dominasi kekuatan fisik yang dimiliki sang musuh.

Pendukung Aktif Adegan Dalam film-film aksi maupun komedi, property juga dapat berfungsi aktif untuk mendukung adegan aksinya. Sejak era klasik, sineas serta aktor Charlie Chaplin dan Buster Keaton selalu menggunakan benda-benda di sekitarnya untuk menunjang aksi-aksi komedi mereka. Dalam Modern Times, pada sebuah adegan Chaplin bermain-bermain dengan sebuah mesin pabrik. Keaton juga sangat dikenal melalui aksi-aksi fisiknya yang berbahaya. Dalam Steamboat Bill jr, Keaton menjatuhkan sebuah set rumah yang menimpa sang aktor dan ia bisa lolos karena sebuah lubang (jendela rumah) kecil dalam set tersebut. Aktor era kini yang paling sering menggunakan property untuk mendukung aksinya adalah Jacky Chan. Dalam semua aksi-aksi perkelahian menghadapi musuhnya, Chan selalu memanfaatkan benda apapun di sekelilingnya, seperti perabotan rumah tangga, meja, kursi, pintu, kulkas, dan sebagainya. Dalam film thriller, Final Destination, semua benda yang ada di sekitar para pelaku seolah berkonspirasi untuk membunuh korbannya.

6

7

PENDEKATAN ARTISITIK DRAMATURGI DALAM FILM MELALUI PERTUNJUKAN PANGGUNG (Sebuah Studi Kasus : Menilik Pertunjukan Drama Teater Musikal “Diana”) Oleh : Widhi Nugroho (Staff Pengajar FSRD ISI Surakarta Prodi. TV dan Film)

Pendahuluan Menurut catatan sebuah surat kabar terbitan Jakarta, Kompas, beberapa sutradara film (sineas) ternama Indonesia secara hampir serempak menggelar karya pertunjukan musikal (opera) secara akbar. Selama tahun 2010, tercatat delapan buah gelaran pertunjukan dipertontonkan kepada publik di Jakarta. Sutradara film (sineas) seperti Garin Nugroho, Riri Riza, Joko Anwar, memulai “debut” mereka sebagai sutradara panggung

dengan

cara

“memindahkan”

unsur-unsur

konvensional

film

yang

“dikawinsilang-kan” dengan unsur-unsur seni peran dan musik ke dalam pentas pertujukannya. Film sebagai medium sekaligus habitus lama yang mereka tekuni selama ini, rupanya telah memberikan satu pengalaman intrinsik yang secara kasatmata menjadi dasar dalam pengalihan medium “baru” pada karya mereka. Secara umum, sebagian pertunjukan yang digelar dalam kemasan yang megah. Pentas memanfaatkan banyak properti, tata panggung yang besar serta membutuhkan gedung pertunjukan yang besar pula. Perpaduan unsur mise-en-scene dalam film yang biasa mereka buat selama ini, dipindahkan pada satu konvensi baru yang bertajuk drama pertunjukan musikal. Sebuah fenomena yang tak lazim di Indonesia, mengingat sebuah pertunjukan musikal yang dahulu populer sebagai bagian dari acara pentas seni di sekolah-sekolah, sekarang menjadi sebuah acara yang penuh dengan hiruk-pikuk kemeriahan dunia pertunjukan di Indonesia. Perubahan medium yang secara drastis dari film menjadi medium pertunjukan panggung seperti yang telah tersebut di atas, memberikan sebuah perubahan yang tidak hanya semata-mata dilihat dari segi visual-fisik saja, akan tetapi jauh pada sisi konteksnya, seperti arti dan pesan apa yang akan disampaikan melalui medium 8

pertunjukan seperti ini. Jelas bahwa film sebagai medium yang sangat populer dikalangan masyarakat yang selama ini tidak mengenal batas serta strata sosial penikmatnya, dengan adanya bentuk medium pertunjukan musikal seperti ini dengan sendirinya akan merubah arti sekaligus pesan yang terkandung di dalamnya. Marshal McLuhan (1964) dalam bukunya Understanding Media : The Extensions of Man mengatakan bahwa ‘the medium is the message’, medium itu sendirilah pesannya, bukan isi medium yang dikandung medium tersebut. Setiap medium baru akan mengubah kita. Dunia seni pertunjukan musikal yang tercipta saat ini, merupakan sebuah seni pertunjukan baru yang diciptakan oleh para sineas ternama Indonesia. Unsur-unsur konvensi yang telah lama digunakan dalam membuat karya film dicoba dipadupadankan secara kreatif dan elegan pada tampilan visual yang nampak pada pertunjukan musikal tersebut. Tampilan visual yang disajikan dengan beberapa unsur yang terdapat pada film dan dunia pertunjukan ini menarik untuk dibahas, dalam hal ini imaji pertunjukan panggung musikal yang menjadi permasalahannya. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang patut dikaji dan ditelaah secara bersama, yakni ; (1) apa sajakah perpaduan unsurunsur film dan dunia pertunjukkan yang dapat menjadi pendukung imaji pada pertunjukan musikal, (2) apakah perpaduan ini merupakan bagian dari perubahan arti sekaligus pesan dari medium pertunjukan musikal dan medium film pada era post-sinema di Indonesia. Secara umum yang dimaksud dengan istilah imajinasi adalah ”daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapat dari sensasi atau penginderaan, (Edwards dalam Tedjoworo, 2001 : 21). Perlu diulang kembali, bahwa imajinasi adalah suatu daya, dan karenanya, imajinasi itu berkaitan langsung dengan manusia yang memiliki daya tersebut. Secara umum pula dapat dipahami bahwa hanya manusialah yang memiliki daya itu, bukan mahluk hidup yang lain seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Imajinasi dalam pemahaman di atas mengandaikan pula adanya imaji (citra) atau gambaran yang merupakan unsur sangat penting di dalamnya. Oleh karena itu proses pengimajinasian merupakan proses membentuk gambaran tertentu, dan ini terjadi secara mental. Artinya, gambaran tersebut tidak berada secara visual (tampak oleh mata) dan tekstural (terasa serta teraba oleh tangan dan kulit). Sebagai contoh adalah lukisan adalah 9

hasil imajinasi dari pelukis. Namun, lukisan yang kita lihat dan (mungkin) kita raba itu tidak sama dengan imaji yang muncul tatkala sang pelukis berimajinasi. Lukisan itu adalah sebuah “produk” dari proses imajinasi yang sudah tertuang melalui goresan dan kombinasi cat pada kanvas. Dengan begitu lebih jelaslah bahwa istilah imajinasi umumnya diterapkan pada suatu proses mental, bukan pada proses visual-jasmaniah yang dilakukan seketika itu oleh manusia. Namun, kelak akan tampak bahwa proses visualjamaniah tertentu dapat diimajinasikan, meskipun imajinasi tidak sama dengannya. Imajinasi tetap merupakan suatu penggambaran atau peng-imaji-an yang dapat dipertangungjawabkan. Lebih lanjut (Cuddon dalam Tedjoworo, 2001 : 24) menjelaskan, dalam bahas Inggris ada beberapa variasi dari kata “imajinasi”, yakni imagery, imaginary dan imagine. Imagery sesungguhnya berarti suatu penggunaan bahasa figuratif untuk menghasilkan gambaran , objek, aksi, perasaan, pemikiran, ide atau pengalaman dalam pikiran pembaca atau pendengar. Dalam hal ini imaji tidak harus berupa suatu lukisan mental (mental picture). Imagery inilah yang paling sering dipergunakan oleh para penyair

dalam

karya-karyanya.

Terjemahanya

dalam

bahasa

Indonesia,

“perumpamaan/tamsil”, sebetulnya memberi arti yang agak berbeda, sebab imagery itu lebih luas dari perumpamaan. Selanjutnya kata imaginary diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “imajener/khayal”. Kemudian kata imagine (kata kerja) berarti “membentuk suatu gambaran (imaji) mental tentang sesuatu, atau memikirkan sesuatu sebagai bisa terjadi atau mungkin. Menggunakan

pendapat

dari

Bambang

Sugiharto

(1996)

dalam

buku

Postmodernisme (Tantangan Bagi Filsafat), istilah postmodernisme sebenarnya mengantarkan kepada kita akan pemahaman kepada pola pikir yang baru, pola pikir yang terbebas dari semua belenggu rasionalitas dan keketatan narasi besar dari sebuah pengertian keilmuan. Dalam dunia seni, postmodernisme tampil dalam kontroversi arti, secara sinis menjadi sebuah bahan pemikiran yang tidak mempunyai arti, kedalaman, remeh-temeh, kosong ataupun hanya sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-perubahan sosial yang sedang berlangsung (Kamus The Modern-Day Dictionary of Received Ideas merumuskan : kata ini tidak punya arti. Gunakan saja sesering mungkin). Istilah ini kemudian menjadi populer manakala digunakan oleh para seniman, penulis dan kritikus macam Rauschenberg dan Cage, Buroughs dan Sontag 10

untuk menunjukkan gerakan yang menolak modernisme yang mandek dalam birokrasi museum dan akademi. Kemudian penggunaan dalam konteks yang lebih luas terjadi pada bidang arsitektur, dengan Charles Jencks sebagai pembicara utamanya. Lalu dalam seni visual, seni pertunjukan dan musik di tahun 1980-an. Beberapa kecenderungan khas yang biasa diasosiasikan dengan postmodernisme dalam bidang seni adalah : hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, tumbangnya batasan antara budaya tinggi dan budaya pop, percampuradukan gaya yang bersifat eklektik, parodi, pastiche, ironi, kebermainan dan merayakan budaya “permukaan” tanpa peduli pada kedalaman, hilangnya orisinalitas dan kejeniusan, dan akhirnya, asumsi bahwa kini seni cuma bisa mengulang-ulang masa lalu belaka. Unsur-unsur film menurut Himawan Pratista (2008) dalam bukunya Memahami Film adalah salah satunya mise-en-scene. Berasal dari bahasa Perancis yang kurang lebih artinya adalah “putting in the scene”. Pengertiannya adalah segala hal yang terletak di depan kamera yang akan di ambil gambarnya dalam sebuah produksi film. Mise-en-scene adalah unsur sinematik yang paling mudah kita kenali karena hampir seluruh gambar yang kita lihat dalam film adalah bagian dari unsur ini. Jika kita ibaratkan layar bioskop adalah sebuah panggung pertunjukan, maka semua elemen yang ada pada panggung tersebut adalah unsur-unsur dari mise-en-scene. Ada empat aspek utama dalam mise-en-scene yang barangkali sama persis dengan elemen-elemen yang terdapat pada dunia panggung pertunjukan, yakni ; setting (latar), kostum dan tata rias wajah (make-up), pencahayaan (lighting) dan para pemain serta pegerakannya (akting). Keempat aspek ini merupakan penghubung ranah kreatif sutradara film, yang oleh penulis dapat dikatakan sebagai “bahan” sajian yang dapat dibahas terlebih dahulu yang secara visual-fisik nampak pada pertunjukan musikal. Menurut Nakagawa (2000 : 6), untuk menjelaskan musik sebagai sebuah identitas yang bersinggungan langsung dengan sebuah budaya, kita harus memahaminya dengan “membaca” antara teks dan konteks yang terkandung pada musik tersebut. Lebih lanjut dalam penjelasannya, kita harus menyadari bahwa musik itu hidup dalam masyarakat, musik dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya. Beberapa pemaparan diatas merupakan landasan teori yang digunakan sebagai acuan dalam “membaca” serta “mengupas” fenomena pertunjukan musikal yang dibuat 11

oleh para sineas kenamaan Indonesia. Pertunjukkan musikal yang diciptakan oleh beberapa sineas yang telah disebutkan di atas, mempunyai peran penting sebagai sebuah ungkapan teks yang disertai konteks yang dimungkinkan dipahami secara komprehensif.

Pembahasan Berdasar data yang dihimpun dari harian Kompas pada tahun 2010, setidaknya ada delapan pertunjukan drama musikal yang dipentaskan di Jakarta. Beberapa judul dapat disebutkan seperti ; Gita Cinta The Musical, Jakarta Love Riot, Dreamgrils, Opera Tan Malaka, Tusuk Konde, Onrop, Musikal Laskar Pelangi dan Diana. Dari kedelapan pertunjukan drama musikal tersebut, kesemuanya ditampilkan secara masif dan megah. Pentas memanfaatkan banyak properti, tata panggung yang besar serta membutuhkan gedung pertunjukan yang besar pula. Pertunjukan melibatkan banyak kru panggung dari berbagai disiplin ilmu. Sutradara film, koreografer dan penari, penyanyi serta aktor berkolaborasi dalam menciptakan tontonan. Mengacu pada dasar-dasar drama, akan tetapi penekanan pada musik, hiburan dan komunikasi pada penonton menjadi hal yang utama. Sebagian lakon merupakan pengembangan atau mengambil inspirasi dari cerita populer, baik dari film maupun lagu. Pada pertunjukan drama musikal Gita Cinta, misalnya, mengacu pada film Gita Cinta dari SMA yang diangkat dari cerita novel yang pernah populer pada tahun 1979. Tusuk Konde dan Musikal Laskar Pelangi adalah turunan dari film Opera Jawa dan Laskar Pelangi. Drama musikal Diana terinspirasi dari lagu-lagu yang dipopulerkan Koes Bersaudara dan Koes Plus pada era 1960 sampai dengan 1970-an. Pada drama musikal berjudul Diana, penulis mencoba mendeskripsikan secara singkat ringkasan ceritanya (sebagai salah satu bahan kajian yang mewakili), adalah sebagai berikut ; Helikopter makin menderu. Suaranya terasa begitu dekat melintas di atas panggung. Tak lama berselang, desing peluru berentetan tiada henti. Orang-orang merunduk dengan cepat, berusaha menghindar dari hujaman hujan peluru itu. Di tengah situasi chaos, lima anak muda tampak panik. Kelima anak muda dari Jakarta yang menenteng koper itu baru saja menginjakkan kaki di Tilore, sebuah wilayah konflik yang tengah bergolak. Kelimanya adalah personel band yang nekat menerima tawaran 12

manggung di daerah tersebut. Kepanikan itu tergelar di panggung drama musikal Diana, yang dipentaskan di Jakarta Convention Centre dalam rangka puncak perayaan 45 tahun harian Kompas.

Gambar 1. Sebuah Penggambaran Adegan pada Musikal Diana pada Perkenalan Anggota The Band (dok. Viva News)

Gambar 2. Sebuah Penggambaran Adegan pada Musikal Diana yang Terinspirasi oleh Lagu Lonceng Kecil karya Koes Plus (dok. Viva News)

13

Diana, yang naskahnya ditulis Bre Redana dan Agus Noor, berkisah tentang sebuah kelompok musik bernama The Band. Kisah percintaan di dalamnya menjadi bumbu di tengah latar belakang wilayah konflik yang dikunjungi band itu. Yoko, sang vokalis yang dimainkan oleh Ariyo Wahab, menjalin cinta dengan seorang pekerja infotainmen bernama Mariska (Sheila Marcia), yang mengikuti band tersebut ke Tilore. Dalam band itu sendiri, Yoko dinilai personel lainnya-Ian (Rezanov Gribs), Ebon (Dana Galistan), dan Jojo (Reuben Elishama Hadju)-sebagai pemimpin yang mau menang sendiri. Keretakan kecil di tubuh band tersebut sudah mulai terjadi semenjak mereka masih di Jakarta. Namun suasana menjadi keruh saat Yoko bertemu dengan Diana, seorang gadis Tilore, dan mulai mencintainya. Band itu pun terancam pecah. Para personel band memilih pulang ke Jakarta bersama Mariska, yang patah hati karena Yoko berpaling kepada Diana. Diana, yang diperankan oleh penyanyi Anindya Yandirest Ayunda atau Nindy, adalah putri kesayangan pemimpin Tilore, Da Silva (Andi /rif). Dan hari itu, semua warga Tilore tengah menantikan kebebasan pemimpin mereka dari pengasingan. Dalam situasi itu, Yoko harus mengambil sikap tetap bersama Diana di Tilore atau pulang ke Jakarta dengan anggota band lainnya. Begitulah seluruh plot cerita Diana kemudian mengalir dalam alur musikal. Bre Redana menjatuhkan pilihan pada lagu-lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara. Karya Koes Plus itu sangat kaya, baik dari tema maupun genrenya, bisa dikatakan bahwa Koes Bersudara dan Koes Plus adalah agen perubahan sosial, budaya, politik bahkan ekonomi pada budaya populer di Indonesia saat itu. Dari segi tema, lagu-lagu band legendaris itu sangat beragam. Temanya yang membentang, dari cinta remaja hingga cinta Tanah Air, telah mereka ciptakan. Lalu, dari segi genre, band asal Tuban, Jawa Timur, itu juga beragam dari pop, rock, keroncong, hingga irama Melayu. Sutradara Garin Nugroho dipilih untuk menggarap drama musikal ini. Pada drama musikal pertunjukan dilakukan secara live, beda dengan film. Semua unsur yang terkandung dalam film diambil secara parsial seperti set, tata rias dan kostum, pencahayan serta akting pemain ditata sedemikian rupa tanpa teknik sinematik dan intervensi editing. Sebuah proses pementasan yang jauh berbeda dengan film, penonton secara langsung dapat menentukan sendiri ukuran gambar serta sudut pandang yang

14

secara bersamaan dapat diedit dalam benak penonton tanpa terpaku oleh subyektifitas sutradara. Musiknya digarap oleh Yockie Suryoprayogo. Dalam drama musikal ini, Yockie mengaransemen ulang duapuluh lagu ciptaan Tony Koeswoyo. Lagu-lagu Koes Plus, memang kaya akan konten. Karena sebetulnya seorang Tony Koeswoyo tak pernah peduli terhadap desain penampilan musiknya, sebagaimana dunia euforia pop yang mengedepankan kedangkalan dan menafikan kedalaman isi ataupun pesannya. Lagu-lagu Koes Plus memakai kulit dangdut ataupun rock, isi pesan menjadi utama, pesan bahwa tiada sekat lagi antara budaya tinggi dan budaya pop yang tercermin dari lirik-lirik lagu mereka. Tiada lagi sekat dimana antara si kaya atau si miskin, si tua atau si muda sebagai pendengar Koes Plus. Musik telah menembus ruang sosial dan menghilangkan stratifikasi yang manusia ciptakan secara tidak sadar. Bertolak dari situ, pada pertunjukan drama musikal ini kemudian menyuguhkan komposisi musik yang tak selalu seperti bentuk aslinya. Ia menggubah lagu, misalnya, yang semula pop menjadi sangat rock. Bahkan lagu yang aslinya dibawakan dengan vokal tunggal, kemudian diurai dan dibawakan oleh paduan suara. Sebuah jawaban dari seorang musikus yang harus mencoba menjadi kekinian, mengikuti arus budaya populer industri musik di Indonesia. Di atas pentas Yockie memainkan piano. Adapun musik pengiringnya dari orkes Saunine. Lagu yang dipilih dalam drama musikal itu tak hanya hit Koes Plus dan Koes Bersaudara, antara lain Diana, Pelangi, Nusantara, atau Dara Manisku, tapi dimunculkan juga lagu-lagu yang kurang populer, seperti Da Silva, Lonceng Kecil, ataupun Bunga dan Remaja. Selain itu, drama Diana ini menggandeng koreografer Eko Supriyanto untuk menggarap tata gerak dan tariannya. Lakon ini melibatkan dua puluh lima penari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah. Para penari itu mengimbangi gerak para pemeran lakon, yang memang tidak secara khusus memiliki kemampuan tari. Hadir juga bintang tamu, seperti Elfonda Mekel atau Once, Aning Katamsi, Eet Syahranie, dan Tohpati. Duet maut gitaris Eet Syahranie dan Tohpati menjadi sajian spesial yang memukau, selain akting Andi /rif yang memerankan tokoh Da Silva. Personel Koes Plus, Yok Koeswoyo, datang menyaksikan pertunjukan itu . Pentas drama musikal Diana

15

ditutup dengan tembang Nusantara. Lagu itu dinyanyikan Yok Koeswoyo bersama para pemeran drama tersebut.

Gambar 3. Sebuah Penggambaran Adegan pada Musikal Diana dengan Perpaduan antara Gerak dan Lagu

Semua ide cerita pada drama musikal seperti Diana, ataupun judul yang lain, dapat diambil dari fenomena keseharian, dari sebuah budaya yang menggejala dan kemudian menjadi sebuah khasanah dunia seni populer. Pertunjukan drama musikal menggambarkan sebuah fenomena. Fenomena dimana terjadi penggabungan, perpaduan dan kawinsilang antar disiplin ilmu, dalam hal ini seni. Tidak adalagi batasan antar disiplin seni, baik itu seni visual seperti dalam penggarapan set dan properti ataupun seni pertunjukan dalam gerak koreografi dan musik itu sendiri sebagai sajian utama. Dalam hal ini, ada sebuah bentuk karya seni baru dalam mempertemukan film, teater dan musik. Fenomena ini juga memunculkan era baru dalam seni pertunjukan. Era ini disebut dengan post-sinema (post-teater, elaborasi dunia sinema dan dunia pertunjukan), karena sebuah semangat yang diwujudkan dalam mempertemukan disiplin seni pertunjukan di luar bentuk konvensionalnya. Sutradara film dapat membuat teater atau musikal demi menjelajah wilayah kreatif lain sebagai medium bermain yang baru. Ruang kreatif yang secara tidak langsung disediakan oleh gaung postmodernisme, dimana postmodernisme memberikan tempat bagi seniman untuk berkarya dengan bebas tanpa mengindahkan 16

kaidah-kaidah yang ada. Satu hal yang harus digaris bawahi adalah dalam seni postmodernisme ini, seni post-sinema mendapat sebuah legitimasi kuat bahwa seni itu akan hidup jika fungsi seni sebagai medium berkomunikasi dengan khalayak sudah tersampaikan.

Gambar 4. Sebuah Penggambaran Adegan pada Musikal Diana dengan Perpaduan antara Seni Visual dan Instalasi pada Latar Panggung (dok. Viva News)

Pertunjukan drama musikal cenderung mengambil cerita yang ringan, menghibur. Hal ini wajar karena dalam perkembangan dunia populer yang sudah terkooptasi dengan khalayak dan pasar, menuntut demikian. Namun perlu menjadi bahan pertimbangan, bahwa drama musikal sepert ini perbah dipentaskan pada era 1980-an di Yogyakarta, berjudul Fiddler on The Roof yang digelar oleh Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada dan West Side Story oleh Unversitas Sanata Dharma. Sebelumnya, pada akhir 1970-an Harry Roesli menggelar Rock Opera Ken Arok dan Remy Sylado mementaskan Jesus Christ Superstar. Momentum musikal era ini kembali hadir karena didukung banyak faktor, seperti keterbukaan pasca reformasi-termasuk pada dunia seni, pertumbuhan industri yang memengaruhi gaya hidup urban-yang melahirkan generasi penonton yang baru. Begitu seterusnya pada dunia populer dan postmodernisme ini, pengulangan dan daur ulang sebuah produk seni menjadi hal yang lazim dan wajar. 17

Kesimpulan Medium film yang selama ini terdiri dari unsur-unsur konvensional dari sebuah dunia pertunjukan panggung seperti set/properti, kostum/tata rias wajah, pencahayaan serta para pemain berikut pergerakkanya, dilebur dalam dunia pertunjukan musikal tanpa batasan-batasan ukuran gambar, proses edit serta teknik sinema yang acap kali mengandung subyektifitas sutradaranya. Sebagaimana layaknya konvensi pada medium film, konvensi-konvensi yang telah lama digunakan dan dikawinsilangkan begitu saja dengan dunia seni peran dan musik tanpa mengenal batasan disiplin seni yang lain, membuat para sutradara (sineas) yang telah tersebut diatas, menemukan dunia baru dalam menjelajah dunia kreatifitas yang lain yang disebut dengan dengan dunia post-sinema, tentunya sebuah imaji “baru” dalam berkarya mengingat mereka “terlahir” dari dunia film (sinema). Ruang yang telah disediakan oleh dunia seni post-sinema adalah ruang yang lebar, dimana dunia film (sinema) dipengaruhi oleh perkembangan ruang seni yang lain. Hal ini dapat dilihat pada metamorfosa dari sang seniman dalam menciptakan pertunjukan musikal tersebut. Pada sisi lain, berkembangnya ruang seni berdampak pada apresiasi penonton yang semakin terbuka, terbuka dalam menerima seni hasil dari penggabungan, padupadan serta kawinsilang dari segala bentuk macam seni. Selama fungsi seni itu sendiri dapat berkomunikasi dengan khalayak, itu tidak menjadi permasalahan, kita semua merayakan dan hidup dalam dunia seni yang serba post-.

18

DAFTAR PUSTAKA Bordwell David, Thompson Kristin, Film Art An Introduction 8th Edition, The McGrawHills Companies, New York United State of America, 2008. Himawan, Pratista. Memahami Film, Homerian Pustaka Yogyakarta, 2008. Letwin David, Stockdale Joe, Stockdale Robin, The Architecture of Drama, The Scaredcrow Press Inc, Lanham Maryland United State of America, 2008. M.Boggs, Joseph. The Art of Watching Film (Cara Menilai Sebuah Film), terjemahan Drs.Asrul Sani, Yayasan Citra Jakarta, 1992. McLuhan, Marshall, Understanding Media : The Extension of Man, Mc Graw-Hill, New York, 1964. Nakagawa, Shin, Musik dan Kosmos-Sebuah Pengantar Etnomusikologi, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000. Palmer, Richard E, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. RMA. Harmawan, Dramaturgi, Bandung : Rosdakarya, 1993. Sarup, Madan, An Introduction Guide to Poststructuralism and Postmodernism, The University of Georgia Press, Athens, 1995. Sugiharto, Bambang, : Postmodernisme (Sebuah Tantangan Bagi Filsafat), Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1996. Soedarsono, R.M, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung, 1999. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001. Sumber Internet : Kompas Video.com Viva News.com

19

Apakah yang dimaksud setting dalam sebuah drama?

Yang dimaksud setting dalam drama adalah salah satu aspek pembangun drama yang menggambarkan tempat, waktu, dan suasana terjadinya persitiwa dalam sebuah drama.

Apa sajakah yang termasuk dalam setting?

Jawaban: latar tempat : latar yang menjelaskan tempat terjadinya peristiwa. latar suasana : suasana terjadinya peristiwa. latar waktu : waktu terjadinya peristiwa.

Apakah yang dimaksud latar atau setting apa fungsinya?

Pembahasan. Adapun dalam konteks karya sastra, yang dimaksud dengan Latar atau Setting adalah keterangan tentang waktu, suasana dan juga ruang atau tempat terjadinya suatu peristiwa atau kejadian dalam karya sastra. Dalam karya CERPEN atau NOVEL, latar/setting menjadi salah satu unsur intrinsic.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan plot dan setting dalam pementasan drama?

Plot adalah rangkaian cerita yang mengandung unsur sebab akibat (kausalitas). Setting/latar adalah tempat, waktu dan suasana yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa dalam cerita.