Apa yang dimaksud dengan prinsip dan proletisi dalam penanggulangan bencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Prinsip-prinsip penanggulangan bencana adalah sebagai berikut.

  1. Cepat dan tepat.
  2. Prioritas.
  3. Koordinasi dan keterpaduan.
  4. Berdaya guna dan berhasil guna.
  5. Transparansi dan akuntabilitas.
  6. Kemitraan.
  7. Pemberdayaan.
  8. Nondiskriminatif.
  9. Nonproletisi (dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana). 

jeskan apa yang dimaksud dengan ruang​

67. 5, 7, 50, 49, 500, 343___ bilangan yang tepat untuk mengisi titik- titik pada deret tersebut di atas adalah

Apa saja faktor yang menyebabkan adanya variasi iklim di benua asia

Jelaskan keadaan suku bangsa di tiap-tiap negara ASEAN

Alat musik yang berguna untuk menentukan tempo lagu

Alat yang digunakan untuk mengamati citra satelit adalah

Alfred russel wallace membagi zona biogeografi dunia menjadi 6 zona .tuliskan dan jelaskan cakupan lokasi zona zona tersebut

Anita ingin menggambar peta di kampungnya pada sebuah jln utama sepanjang 4km akan diubah ke dalam peta bila menggunakan skala 111.000.000 berapa jara … k peta?

Antara nilai produk nilai output dan nilai biaya antara nilai input terdiri atas

Sebutkan penyebab terjadinya degradasi lingkungan di wilayah pesisir dan laut

Apa yang dimaksud dengan prinsip dan proletisi dalam penanggulangan bencana

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_70305" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: http://media.photobucket.com/image/helping hand/chateekat_bucket/helping_hand.jpg"][/caption] Beberapa hari setelah gempa bumi mengguncang Jawa Tengah [27 Mei 2006] beredar SMS di kalangan orang Kristen. Kira-kira bunyinya begini: “Benteng Yeriko telah runtuh. Ini saatnya kita mengabarkan keselamatan di lokasi bencana.” SMS ini bukan rumor, karena setelah itu saya menyaksikan aksi-aksi sekelompok orang Kristen yang menyebalkan dan justru mengganggu pekerjaan kemanusiaan. Bagaimana tidak, mereka diam-diam menyelipkan lembar-lembar traktat pada paket-paket bantuan yang akan disalurkan kepada korban gempa bumi. Kami sempat menemukan lembaran-lembaran seperti ini di lokasi bencana. Tindakan seperti ini ternyata melanggar prinsip “nonproletisi.” Saya yakin banyak orang yang belum memahami kata “nonproletisi”. Saya pun baru mengenal kata ini setelah membaca Undang-undang no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 3, disebutkan bahwa salah satu prinsip dalam penanggulangan bencana adalah ‘nonproletisi’ [butir i]. Apa maksudnya? Menurut bagian penjelasan UU dimaksud yang nonproletisi adalah larangan untuk menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Hal yang sama dirumuskan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi empat. Dalam kamus ini “proletisi” dirumuskan sebagai “pemberian sumbangan dengan menyebarluaskan agama atau keyakinan pemberi sumbangan.” Mengapa prinsip ini dimasukkan ke dalam UU? Saya tidak tahu alasan pastinya. Namun saya menduga ini berkaitan dengan posisi yang tidak setara antara pemberi dan penerima sumbangan. Dalam situasi bencana, penyintas [orang yang selamat dari bencana], berada dalam posisi yang sangat rentan. Daya tawarnya sangat lemah karena sedang membutuhkan uluran tangan. Sedangkan pemberi sumbangan berada pada posisi yang sangat kuat. Dia bisa bebas menentukan kepada siapa akan mengucurkan bantuan dan seberapa banyak akan diberikan. Begitu kuatnya posisi ini sehingga kita seolah-olah dapat berperan sebagai tuhan. Bayangkan, kita dapat menentukan nasib seseorang dengan keputusan kita. Apalagi jika hal itu menyangkut persoalan hidup atau mati. Meski tidak seekstrim paparan di atas, pengalaman ketika menjadi relawan menunjukkan bahwa godaan untuk menjadi superior itu sangat kuat. Kami bisa merasa sangat berkuasa di hadapan penyintas. Situasi seperti ini mudah sekali dimanipulasi untuk kepentingan si pemberi bantuan. Si pemberi bantuan punya posisi kuat untuk menerapkan syarat atau kondisi tertentu yang harus dipenuhi si calon penerima bantuan. “Saya akan member kamu bantuan jika kamu……..” Isilah sendiri titik-titik itu dengan berbagai tuntutan yang harus dipenuhi. Salah satunya, dapat menyangkut keimanan dan keyakinan seseorang. Bukan hal yang mustahil jika bantuan ini dikait-kaitkan dengan upaya untuk penyebaran. Penyebaran agama itu bukan sesuatu yang buruk. Hampir semua agama mengajarkan supaya pemeluknya menyebarkan ajarannya kepada orang lain. Bukankah ini hal yang baik? Jika seseorang menemukan sesuatu yang baik dari suatu ajaran, maka tak ada salahnya jika dia memberitahukannya kepada orang lain. Bahkan semut saja rela mengabarkan berita baik kepada teman-temannya. Ketika dia menemukan sumber makanan, maka dia akan memberitahukan lokasi pangan itu pada rekan-rekan satu koloni yang ditemuinya di sepanjang jalan. Hal yang sama juga berlaku pada penyebaran agama. Yang menjadi masalah adalah jika penyebaran agama itu dilakukan secara manipulatif. Dalam kondisi normal, perpindahan keyakinan sesungguhnya adalah hak setiap orang sepanjang hal itu dilakukan dengan kesadaran dan keralaan orang itu sendiri. Namun dalam situasi darurat, ada kemungkinan orang ‘terpaksa’ meninggalkan keyakinannya yang lama karena iming-iming bantuan. Ini seperti Esau yang menyerahkan hak kesulungannya kepada Yakub demi semangkok sup kacang merah. Kesadaran seperti ini perlu dimiliki oleh setiap orang-orang beriman yang berkecimpung di pelayanan kemanusiaan. Bantuan yang diberikan hendaknya diberikan dengan tulus tanpa ada agenda yang tersembunyi. Seorang Guru di Palestina mengajarkan “hendaklah tanganmu yang kiri tidak tahu apa yang diperbuat oleh tangan kananmu.” Itu artinya, kalau hendak menolong, maka tolonglah dengan sebenar-benarnya. Bukan supaya dilihat bahwa engkau adalah orang yang beriman atau orang yang saleh. Biarlah Dia ada yang ada di tempat tersembunyi mengetahui perbuatan baik yang engkau lakukan.


Page 2

[caption id="attachment_70305" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: http://media.photobucket.com/image/helping hand/chateekat_bucket/helping_hand.jpg"][/caption] Beberapa hari setelah gempa bumi mengguncang Jawa Tengah [27 Mei 2006] beredar SMS di kalangan orang Kristen. Kira-kira bunyinya begini: “Benteng Yeriko telah runtuh. Ini saatnya kita mengabarkan keselamatan di lokasi bencana.” SMS ini bukan rumor, karena setelah itu saya menyaksikan aksi-aksi sekelompok orang Kristen yang menyebalkan dan justru mengganggu pekerjaan kemanusiaan. Bagaimana tidak, mereka diam-diam menyelipkan lembar-lembar traktat pada paket-paket bantuan yang akan disalurkan kepada korban gempa bumi. Kami sempat menemukan lembaran-lembaran seperti ini di lokasi bencana. Tindakan seperti ini ternyata melanggar prinsip “nonproletisi.” Saya yakin banyak orang yang belum memahami kata “nonproletisi”. Saya pun baru mengenal kata ini setelah membaca Undang-undang no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 3, disebutkan bahwa salah satu prinsip dalam penanggulangan bencana adalah ‘nonproletisi’ [butir i]. Apa maksudnya? Menurut bagian penjelasan UU dimaksud yang nonproletisi adalah larangan untuk menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Hal yang sama dirumuskan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi empat. Dalam kamus ini “proletisi” dirumuskan sebagai “pemberian sumbangan dengan menyebarluaskan agama atau keyakinan pemberi sumbangan.” Mengapa prinsip ini dimasukkan ke dalam UU? Saya tidak tahu alasan pastinya. Namun saya menduga ini berkaitan dengan posisi yang tidak setara antara pemberi dan penerima sumbangan. Dalam situasi bencana, penyintas [orang yang selamat dari bencana], berada dalam posisi yang sangat rentan. Daya tawarnya sangat lemah karena sedang membutuhkan uluran tangan. Sedangkan pemberi sumbangan berada pada posisi yang sangat kuat. Dia bisa bebas menentukan kepada siapa akan mengucurkan bantuan dan seberapa banyak akan diberikan. Begitu kuatnya posisi ini sehingga kita seolah-olah dapat berperan sebagai tuhan. Bayangkan, kita dapat menentukan nasib seseorang dengan keputusan kita. Apalagi jika hal itu menyangkut persoalan hidup atau mati. Meski tidak seekstrim paparan di atas, pengalaman ketika menjadi relawan menunjukkan bahwa godaan untuk menjadi superior itu sangat kuat. Kami bisa merasa sangat berkuasa di hadapan penyintas. Situasi seperti ini mudah sekali dimanipulasi untuk kepentingan si pemberi bantuan. Si pemberi bantuan punya posisi kuat untuk menerapkan syarat atau kondisi tertentu yang harus dipenuhi si calon penerima bantuan. “Saya akan member kamu bantuan jika kamu……..” Isilah sendiri titik-titik itu dengan berbagai tuntutan yang harus dipenuhi. Salah satunya, dapat menyangkut keimanan dan keyakinan seseorang. Bukan hal yang mustahil jika bantuan ini dikait-kaitkan dengan upaya untuk penyebaran. Penyebaran agama itu bukan sesuatu yang buruk. Hampir semua agama mengajarkan supaya pemeluknya menyebarkan ajarannya kepada orang lain. Bukankah ini hal yang baik? Jika seseorang menemukan sesuatu yang baik dari suatu ajaran, maka tak ada salahnya jika dia memberitahukannya kepada orang lain. Bahkan semut saja rela mengabarkan berita baik kepada teman-temannya. Ketika dia menemukan sumber makanan, maka dia akan memberitahukan lokasi pangan itu pada rekan-rekan satu koloni yang ditemuinya di sepanjang jalan. Hal yang sama juga berlaku pada penyebaran agama. Yang menjadi masalah adalah jika penyebaran agama itu dilakukan secara manipulatif. Dalam kondisi normal, perpindahan keyakinan sesungguhnya adalah hak setiap orang sepanjang hal itu dilakukan dengan kesadaran dan keralaan orang itu sendiri. Namun dalam situasi darurat, ada kemungkinan orang ‘terpaksa’ meninggalkan keyakinannya yang lama karena iming-iming bantuan. Ini seperti Esau yang menyerahkan hak kesulungannya kepada Yakub demi semangkok sup kacang merah. Kesadaran seperti ini perlu dimiliki oleh setiap orang-orang beriman yang berkecimpung di pelayanan kemanusiaan. Bantuan yang diberikan hendaknya diberikan dengan tulus tanpa ada agenda yang tersembunyi. Seorang Guru di Palestina mengajarkan “hendaklah tanganmu yang kiri tidak tahu apa yang diperbuat oleh tangan kananmu.” Itu artinya, kalau hendak menolong, maka tolonglah dengan sebenar-benarnya. Bukan supaya dilihat bahwa engkau adalah orang yang beriman atau orang yang saleh. Biarlah Dia ada yang ada di tempat tersembunyi mengetahui perbuatan baik yang engkau lakukan.


Apa yang dimaksud dengan prinsip dan proletisi dalam penanggulangan bencana

Lihat Sosbud Selengkapnya


Page 3

[caption id="attachment_70305" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: http://media.photobucket.com/image/helping hand/chateekat_bucket/helping_hand.jpg"][/caption] Beberapa hari setelah gempa bumi mengguncang Jawa Tengah [27 Mei 2006] beredar SMS di kalangan orang Kristen. Kira-kira bunyinya begini: “Benteng Yeriko telah runtuh. Ini saatnya kita mengabarkan keselamatan di lokasi bencana.” SMS ini bukan rumor, karena setelah itu saya menyaksikan aksi-aksi sekelompok orang Kristen yang menyebalkan dan justru mengganggu pekerjaan kemanusiaan. Bagaimana tidak, mereka diam-diam menyelipkan lembar-lembar traktat pada paket-paket bantuan yang akan disalurkan kepada korban gempa bumi. Kami sempat menemukan lembaran-lembaran seperti ini di lokasi bencana. Tindakan seperti ini ternyata melanggar prinsip “nonproletisi.” Saya yakin banyak orang yang belum memahami kata “nonproletisi”. Saya pun baru mengenal kata ini setelah membaca Undang-undang no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 3, disebutkan bahwa salah satu prinsip dalam penanggulangan bencana adalah ‘nonproletisi’ [butir i]. Apa maksudnya? Menurut bagian penjelasan UU dimaksud yang nonproletisi adalah larangan untuk menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Hal yang sama dirumuskan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi empat. Dalam kamus ini “proletisi” dirumuskan sebagai “pemberian sumbangan dengan menyebarluaskan agama atau keyakinan pemberi sumbangan.” Mengapa prinsip ini dimasukkan ke dalam UU? Saya tidak tahu alasan pastinya. Namun saya menduga ini berkaitan dengan posisi yang tidak setara antara pemberi dan penerima sumbangan. Dalam situasi bencana, penyintas [orang yang selamat dari bencana], berada dalam posisi yang sangat rentan. Daya tawarnya sangat lemah karena sedang membutuhkan uluran tangan. Sedangkan pemberi sumbangan berada pada posisi yang sangat kuat. Dia bisa bebas menentukan kepada siapa akan mengucurkan bantuan dan seberapa banyak akan diberikan. Begitu kuatnya posisi ini sehingga kita seolah-olah dapat berperan sebagai tuhan. Bayangkan, kita dapat menentukan nasib seseorang dengan keputusan kita. Apalagi jika hal itu menyangkut persoalan hidup atau mati. Meski tidak seekstrim paparan di atas, pengalaman ketika menjadi relawan menunjukkan bahwa godaan untuk menjadi superior itu sangat kuat. Kami bisa merasa sangat berkuasa di hadapan penyintas. Situasi seperti ini mudah sekali dimanipulasi untuk kepentingan si pemberi bantuan. Si pemberi bantuan punya posisi kuat untuk menerapkan syarat atau kondisi tertentu yang harus dipenuhi si calon penerima bantuan. “Saya akan member kamu bantuan jika kamu……..” Isilah sendiri titik-titik itu dengan berbagai tuntutan yang harus dipenuhi. Salah satunya, dapat menyangkut keimanan dan keyakinan seseorang. Bukan hal yang mustahil jika bantuan ini dikait-kaitkan dengan upaya untuk penyebaran. Penyebaran agama itu bukan sesuatu yang buruk. Hampir semua agama mengajarkan supaya pemeluknya menyebarkan ajarannya kepada orang lain. Bukankah ini hal yang baik? Jika seseorang menemukan sesuatu yang baik dari suatu ajaran, maka tak ada salahnya jika dia memberitahukannya kepada orang lain. Bahkan semut saja rela mengabarkan berita baik kepada teman-temannya. Ketika dia menemukan sumber makanan, maka dia akan memberitahukan lokasi pangan itu pada rekan-rekan satu koloni yang ditemuinya di sepanjang jalan. Hal yang sama juga berlaku pada penyebaran agama. Yang menjadi masalah adalah jika penyebaran agama itu dilakukan secara manipulatif. Dalam kondisi normal, perpindahan keyakinan sesungguhnya adalah hak setiap orang sepanjang hal itu dilakukan dengan kesadaran dan keralaan orang itu sendiri. Namun dalam situasi darurat, ada kemungkinan orang ‘terpaksa’ meninggalkan keyakinannya yang lama karena iming-iming bantuan. Ini seperti Esau yang menyerahkan hak kesulungannya kepada Yakub demi semangkok sup kacang merah. Kesadaran seperti ini perlu dimiliki oleh setiap orang-orang beriman yang berkecimpung di pelayanan kemanusiaan. Bantuan yang diberikan hendaknya diberikan dengan tulus tanpa ada agenda yang tersembunyi. Seorang Guru di Palestina mengajarkan “hendaklah tanganmu yang kiri tidak tahu apa yang diperbuat oleh tangan kananmu.” Itu artinya, kalau hendak menolong, maka tolonglah dengan sebenar-benarnya. Bukan supaya dilihat bahwa engkau adalah orang yang beriman atau orang yang saleh. Biarlah Dia ada yang ada di tempat tersembunyi mengetahui perbuatan baik yang engkau lakukan.


Apa yang dimaksud dengan prinsip dan proletisi dalam penanggulangan bencana

Lihat Sosbud Selengkapnya


Page 4

[caption id="attachment_70305" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: http://media.photobucket.com/image/helping hand/chateekat_bucket/helping_hand.jpg"][/caption] Beberapa hari setelah gempa bumi mengguncang Jawa Tengah [27 Mei 2006] beredar SMS di kalangan orang Kristen. Kira-kira bunyinya begini: “Benteng Yeriko telah runtuh. Ini saatnya kita mengabarkan keselamatan di lokasi bencana.” SMS ini bukan rumor, karena setelah itu saya menyaksikan aksi-aksi sekelompok orang Kristen yang menyebalkan dan justru mengganggu pekerjaan kemanusiaan. Bagaimana tidak, mereka diam-diam menyelipkan lembar-lembar traktat pada paket-paket bantuan yang akan disalurkan kepada korban gempa bumi. Kami sempat menemukan lembaran-lembaran seperti ini di lokasi bencana. Tindakan seperti ini ternyata melanggar prinsip “nonproletisi.” Saya yakin banyak orang yang belum memahami kata “nonproletisi”. Saya pun baru mengenal kata ini setelah membaca Undang-undang no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 3, disebutkan bahwa salah satu prinsip dalam penanggulangan bencana adalah ‘nonproletisi’ [butir i]. Apa maksudnya? Menurut bagian penjelasan UU dimaksud yang nonproletisi adalah larangan untuk menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Hal yang sama dirumuskan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi empat. Dalam kamus ini “proletisi” dirumuskan sebagai “pemberian sumbangan dengan menyebarluaskan agama atau keyakinan pemberi sumbangan.” Mengapa prinsip ini dimasukkan ke dalam UU? Saya tidak tahu alasan pastinya. Namun saya menduga ini berkaitan dengan posisi yang tidak setara antara pemberi dan penerima sumbangan. Dalam situasi bencana, penyintas [orang yang selamat dari bencana], berada dalam posisi yang sangat rentan. Daya tawarnya sangat lemah karena sedang membutuhkan uluran tangan. Sedangkan pemberi sumbangan berada pada posisi yang sangat kuat. Dia bisa bebas menentukan kepada siapa akan mengucurkan bantuan dan seberapa banyak akan diberikan. Begitu kuatnya posisi ini sehingga kita seolah-olah dapat berperan sebagai tuhan. Bayangkan, kita dapat menentukan nasib seseorang dengan keputusan kita. Apalagi jika hal itu menyangkut persoalan hidup atau mati. Meski tidak seekstrim paparan di atas, pengalaman ketika menjadi relawan menunjukkan bahwa godaan untuk menjadi superior itu sangat kuat. Kami bisa merasa sangat berkuasa di hadapan penyintas. Situasi seperti ini mudah sekali dimanipulasi untuk kepentingan si pemberi bantuan. Si pemberi bantuan punya posisi kuat untuk menerapkan syarat atau kondisi tertentu yang harus dipenuhi si calon penerima bantuan. “Saya akan member kamu bantuan jika kamu……..” Isilah sendiri titik-titik itu dengan berbagai tuntutan yang harus dipenuhi. Salah satunya, dapat menyangkut keimanan dan keyakinan seseorang. Bukan hal yang mustahil jika bantuan ini dikait-kaitkan dengan upaya untuk penyebaran. Penyebaran agama itu bukan sesuatu yang buruk. Hampir semua agama mengajarkan supaya pemeluknya menyebarkan ajarannya kepada orang lain. Bukankah ini hal yang baik? Jika seseorang menemukan sesuatu yang baik dari suatu ajaran, maka tak ada salahnya jika dia memberitahukannya kepada orang lain. Bahkan semut saja rela mengabarkan berita baik kepada teman-temannya. Ketika dia menemukan sumber makanan, maka dia akan memberitahukan lokasi pangan itu pada rekan-rekan satu koloni yang ditemuinya di sepanjang jalan. Hal yang sama juga berlaku pada penyebaran agama. Yang menjadi masalah adalah jika penyebaran agama itu dilakukan secara manipulatif. Dalam kondisi normal, perpindahan keyakinan sesungguhnya adalah hak setiap orang sepanjang hal itu dilakukan dengan kesadaran dan keralaan orang itu sendiri. Namun dalam situasi darurat, ada kemungkinan orang ‘terpaksa’ meninggalkan keyakinannya yang lama karena iming-iming bantuan. Ini seperti Esau yang menyerahkan hak kesulungannya kepada Yakub demi semangkok sup kacang merah. Kesadaran seperti ini perlu dimiliki oleh setiap orang-orang beriman yang berkecimpung di pelayanan kemanusiaan. Bantuan yang diberikan hendaknya diberikan dengan tulus tanpa ada agenda yang tersembunyi. Seorang Guru di Palestina mengajarkan “hendaklah tanganmu yang kiri tidak tahu apa yang diperbuat oleh tangan kananmu.” Itu artinya, kalau hendak menolong, maka tolonglah dengan sebenar-benarnya. Bukan supaya dilihat bahwa engkau adalah orang yang beriman atau orang yang saleh. Biarlah Dia ada yang ada di tempat tersembunyi mengetahui perbuatan baik yang engkau lakukan.


Apa yang dimaksud dengan prinsip dan proletisi dalam penanggulangan bencana

Lihat Sosbud Selengkapnya