Apa yang dibentuk Bani Abbasiyah dalam memajukan bidang militer?

KOMPAS.com - Setelah Bani Umayyah tidak lagi berkuasa, kekuasaan kekhalifahan Islam berganti ke Dinasti Abbasiyah, yang berdiri pada tahun 750 hingga 1258.

Dinasti Abbasiyah didirikan oleh keturunan dari paman Nabi Muhammad, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib.

Selama Kekhalifahan Abbasiyah berlangsung, dunia Islam mengalami kemajuan yang signifikan pada beberapa bidang, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Lantas, apa saja kemajuan yang dicapai pada masa Bani Abbasiyah?

Baca juga: Nama-nama Khalifah Bani Abbasiyah

Ilmu pengetahuan dan pendidikan

Pada masa Dinasti Abbasiyah, Islam mencapai kejayaan di berbagai bidang, salah satunya bidang ilmu pengetahuan.

Kemajuan ilmu pengetahuan diawali dengan kegiatan menerjemahkan naskah-naskah asing, terutama dari bahasa Yunani ke bahasa Arab.

Kemudian, didirikan pula pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan Bait al-Hikmah, serta terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan.

Pada masa kepemimpinan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809), pemerintahan Dinasti Abbasiyah semakin gemilang.

Sang khalifah mendirikan berbagai bangunan untuk keperluan sosial, seperti rumah sakit, lembaga pendidikan, dan farmasi.

Di bidang sastra, Kota Bagdad dikenal memiliki hasil karya yang indah dan banyak digandrungi masyarakat setempat, di antaranya adalah Alf Lailah wa Lailah atau Kisah 1001 Malam.

Baca juga: Biografi Al-Kindi, Tokoh Penggerak Filsafat Arab

Di Kota Bagdad pula, lahir para ilmuwan, ulama, filsuf, dan sastrawan Islam ternama seperti Al-Khawarizmi (ahli astronomi dan matematika), al-Kindi (filsuf Arab pertama), dan al-Razi (filsuf, ahli fisika, dan kedokteran).

Untuk semakin memajukan ilmu pengetahuan, para khalifah di masa Dinasti Abbasiyah mencetuskan beberapa kebijakan, yaitu:

  • Menggalang penyusunan buku
  • Menggalang penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa asing
  • Mengaktifkan kegiatan ilmiah
  • Mengembangkan pusat-pusat kegiatan ilmu pengetahuan

Selain itu, pemerintah juga membangun berbagai macam infrastruktur serta lembaga, termasuk lembaga pendidikan.

Baca juga: Tokoh Cendekiawan Islam di Bidang Kedokteran Masa Daulah Abbasiyah

Oleh karena itu, pada masa Dinasti Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran juga mengalami perkembangan sangat pesat.

Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa rela meninggalkan kampung halaman demi mendapatkan ilmu pengetahuan di kota.

Pada masa ini, sebelum lembaga pendidikan formal dibangun, masjid yang difungsikan sebagai pusat pendidikan.

Selain untuk menunaikan ibadah, masjid juga dijadikan sebagai sarana belajar bagi anak-anak, pengajian dari para ulama, serta tempat untuk berdiskusi.

Berikut ini lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berdiri pada masa Dinasti Abbasiyah.

Baca juga: Abu Abbas As-Saffah, Pendiri Dinasti Abbasiyah

Kuttab

Kuttab merupakan lembaga pendidikan yang dijadikan sebagai tempat belajar menulis dan membaca.

Pendidikan rendah di istana

Ide pendidikan rendah di istana muncul berdasarkan pemikiran akan pendidikan yang harus bisa menuntun anak didik sampai mampu melaksanakan tugas-tugasnya ketika sudah beranjak dewasa.

Dari pemikiran itu, khalifah beserta keluarganya mempersiapkan dengan sebaik mungkin pendidikan yang memadai supaya anak-anak bisa bertanggung jawab terhadap tugas yang kelak mereka emban.

Toko-toko kitab

Perkembangan pendidikan yang pesat juga didorong dengan adanya toko-toko kitab yang berfungsi sebagai tempat jual-beli kitab dari para penulis dan pembelinya.

Baca juga: Masjid-masjid yang Dibangun pada Masa Dinasti Abbasiyah

Wikimedia Commons Kitab tafsir At-Tabari, salah satu ahli tafsir terkenal dari masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({}); Rumah para ulama

Selain lembaga formal, anak-anak juga bisa belajar di lembaga pendidikan non-formal, seperti rumah para ulama.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, rumah-rumah ulama dijadikan sebagai tempat untuk anak-anak belajar, salah satu rumah yang kerap digunakan untuk melakukan kegiatan ilmiah adalah milik Al-Rais bin Sina.

Majelis kesusasteraan

Majelis kesusasteraan adalah majelis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas tentang ilmu pengetahuan secara lebih dalam.

Pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, majelis sastra berkembang sangat hebat, karena khalifah sendiri adalah seorang ahli ilmu pengetahuan yang cerdas sehingga ia juga ikut terlibat di dalamnya.

Khalifah acap kali mengadakan perlombaan ahli-ahli syair, perdebatan, dan sayembara antara ahli kesenian dan pujangga.

Baca juga: Harun Ar-Rasyid, Pembawa Kejayaan Dinasti Abbasiyah

Badiah

Badiah adalah dusun-dusun tempat tinggal orang Arab yang terus mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab.

Biasanya, khalifah akan mengirim anak-anak ke badiah untuk mempelajari berbagai syair sekaligus sastra Arab dari sumber aslinya.

Rumah sakit

Khalifah membangun rumah sakit yang tidak hanya digunakan sebagai pusat kesehatan, tetapi juga untuk mendidik anak-anak yang tertarik dengan dunia keperawatan dan kedokteran.

Dengan demikian, rumah sakit juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.

Madrasah

Pada masa Dinasti Abbasiyah, madrasah mulai bermunculan, didorong dengan semakin tingginya minat belajar masyarakat sehingga dibutuhkan tempat yang bisa menampung guru dan murid lebih banyak.

Oleh sebab itu, khalifah mendirikan madrasah yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan formal.

Baca juga: Ahli Tafsir pada Masa Dinasti Abbasiyah

Politik dan militer

Kemajuan yang terjadi pada masa Bani Abbasiyah juga dapat dilihat di bidang politik dan militer.

Supaya semua kebijakan militer saat itu bisa terkoordinasi dengan baik, pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk sebuah departemen pertahanan dan keamanan yang disebut Diwanul Jundi.

Diwanul Jundi dibentuk untuk mengatur masalah keanggotaan tentara.

Ilmu agama islam

Berkembangnya Islam pada masa ini juga didorong oleh antusiasme dari khalifah sekaligus para ulama.

Mereka memberi perhatian berat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan memajukan peradaban Islam.

Ilmu-ilmu agama Islam yang berkembang saat itu adalah ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu fikih dan tasawuf, dengan ulama-ulama terkenal seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal, dan masih banyak lagi.

Referensi:

  • D, Abdurrahman. (2003). Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: LESFI.
  • Nunzairina. (2020). Dinasti Abbaisyah: Kemajuan Peradaban Islam, Pendidikan dan Kebangkitan Kaum Intelektual. Jurnal Sejarah Peradaban Islam, 3 (2).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

A. POLITIK

Secara umum, para ahli sejarah membagi perkembangan politik masa dinasti Abbasiyah yang memerintah selama 750 tahun menjadi lima periode, yang antara lain:

1.Perode Pertama, pengaruh Persia pertama.

Merupakan masa keemasan pada dinasti Abbasiyah, yang dimulai sejak era Khalifah Abul Abbas As-Saffah hingga kepemimpinan Khalifah Al-Watsiq. Tapi dalam periode ini sudah muncul bibit kemunduran dikarenakan terjadi perang saudara antara dua putra Khalifah Harun Ar-Rasyid, yakni Al-Amin dan Al-Ma’mun.

2. Periode kedua adalah periode pengaruh Turki pertama.

Karena tentara turki yang menjadi tentara rekrutan Dinasti Abbasiyah justru sangat mendomnasi pemerintahan. Khalifah pada dinasti Abbasiyah pada periode kedua sejak Khalifah Al-Mutawakkil Alallah hingga masa Khalifah Al- Mu’tamid Alallah.

3. Periode ketiga adalah juga periode pengaruh Persia kedua.

Disebut pengaruh Persia kedua yaitu karena pada waktu itu sebuah golongan dari bangsa Persia berperan penting dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu Dinasti Buwaihiyah. Khalifah-khalifah pada perode ketiga yaitu Khalifah Al-Muktafi Billah hingga masa Khalifah At-Ta’i Lillah.

4. Periode keempat disebut juga periode pengaruh turki kedua.

Hal tersebut disebabkan waktu itu sebuah golongan dari bangsa turki berperan penting dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah, yakni Dinasti Seljuk/Saljuk. Khalifah-khalifah pada periode keempat ini ialah Khalifah Al-Qadir Billah hingga masa Khalifah Al-Muqtafi Li Amrillah.

5. Periode kelima adalah masa yang bebas dari pengaruh Persia maupun Turki.

Pada periode ini, pemerintahan dinasti Abbasiyah tidak lagi dipengaruhi oleh pihak manapun. Akan tetapi, kekuatan politik dan militer dinasti Abbasiyah sudah lemah sehingga kekuasaan mereka tinggal meliputi wilayah negara Irak yang kita kenal sekarang dan sekitarnya saja. Dinasti Abbasiyah runtuh pada tahun 1258 M karena serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Khalifah-khalifah pada periode ini adalah Khalifah Al-Mustanjid hingga Khalifah Al-Mu’tashim Billah.

B. MILITER

Dinasti Abbasiyah, mengadopsi sistem yang dianut militer Kekaisaran Romawi dalam mengembangkan organisasi militernya, terutama saat membentuk pola pasukan. Militer Dinasti Abbasiyah menempatkan 10 prajurit di bawah kendali satu orang yang disebut a’rif. Sama seperti decurion dalam militer Romawi. Sedangkan, 50 prajurit di bawah komando seorang khalifah, 100 prajurit di bawah komando seorang qa’id, dan 10 ribu pasukan yang terdiri atas 10 batalion di bawah komando seorang amir atau jenderal. Pasukan yang terdiri atas 100 orang membentuk sebuah skuadron dan beberapa skuadron membentuk sebuah unit.[1]

Tak hanya untuk pertahanan, Dinasti Abbasiyah memanfaatkan pasukannya yang kuat untuk meredam berbagai pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah, seperti di Persia, Suriah, dan Asia Tengah. Selain itu pasukannya juga dikirim untuk berperang melawan kekuatan Bizantium.

Menurut Philip K Hitti dalam History of the Arabs, sistem organisasi militer kekhalifahan Arab, pada umumnya tak mempunyai pasukan reguler dalam jumlah besar. Bahkan, pasukan pengawal khalifah yang disebut haras mungkin merupakan satu-satunya pasukan tetap yang masing-masing mengepalai sekelompok pasukan.

Terdapat pasukan bayaran dan sukarelawan serta beberapa pasukan yang berasal dari beragam suku dan distrik. Pasukan sukarelawan yang karib dengan sebutan mutathawwi’ah dibayar saat mereka sedang bertugas. Biasanya, pasukan ini beranggotakan orang-orang badui, petani, dan penduduk kota.

Pasukan tetap yang bertugas aktif, biasanya disebut sebagai murtaziqah. Mereka dibayar secara berkala oleh pemerintah. Sedangkan pasukan pengawal istana, memperoleh bayaran lebih tinggi dibandingkan pasukan lainnya. Mereka juga mengenakan seragam bagus dan dipersenjatai secara lengkap.

Namun, pada masa awal tampuk pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mereka telah memiliki pasukan reguler, yang terdiri atas pasukan infanteri atau harbiyah yang dipersenjatai dengan tombak, pedang, dan perisai. Juga, ada pasukan panah (ramiyah) dan kavaleri (fursan), yang bersenjatakan tombak panjang dan kapak.

Perlengkapan lainnya yang mereka kenakan adalah pelindung kepala dan dada. Terkait dengan tingkat gaji, rata-rata gaji yang diterima pasukan infanteri sekitar 960 dirham per tahun. Mereka juga mendapatkan tambahan santunan rutin. Sedangkan, pasukan kavaleri mendapatkan gaji dua kali lipat dari gaji pasukan infanteri.

Pada masa Khalifah Al-Ma’mun, saat dinasti ini mencapai puncak kejayaan kekuasaanya, pasukan yang bermarkas di Baghdad, Irak, mencapai jumlah 125 ribu. Saat itu, pasukan infanteri hanya menangguk gaji sebesar 240 dirham per tahun. Namun, pasukan kavaleri tetap saja diberi gaji dua kali lipat dibandingkan mereka.

[1] http://portalsatu.com/read/kanal/kekuatan-militer-abbasiyah-seberapa-besar-51829