Apa yang akan terjadi apabila setiap orang mendahulukan hak daripada kewajiban

(1)

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.

Beberapa waktu lalu, Saya berkesempatan untuk beraudiensi secara langsung dengan jajaran manajemen salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama di Kota Malang terkait adanya permasalahan klaim gaji yang diajukan oleh salah satu pegawai. Klaim terjadi karena pegawai bersangkutan belum pernah menerima gaji sejak tercatat secara resmi sebagai pegawai perguruan tinggi tersebut. Sedangkan pihak institusi berkeberatan untuk membayarkan gaji pegawai tersebut dengan alasan pegawai bersangkutan tidak melaksanakan tugas. Tampak disini terjadi perbenturan pelaksanaan hak dan kewajiban antara pegawai dengan unit kerjanya.

Pada awal tahun 2016 Perguruan tinggi tersebut menerima alih tugas Pegawai Negeri Sipil dari Pemerintah Daerah. Proses alih tugas ini, secara yuridis formal, telah tuntas dengan diterbitkannya Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 00140/KEP/AU/12001/2016 tanggal 31 Desember 2015 serta Keptusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 1653/2.2/KP/2016 tanggal 29 Pebruari 2016.

            Ke dua keputusan tersebut membawa implikasi bagi pihak Perguruan Tinggi  maupun PNS bersangkutan. Bagi institusi, berhak atas seluruh kinerja PNS yang bersangkutan dalam rangka mendukung pelaksanaan tusinya serta berkewajiban atas pemenuhan hak-hak kepegawaian PNS bersangkutan. Sedangkan bagi PNS bersangkutan berkewajiban mematuhi seluruh ketentuan institusi serta memberikan kinerja terbaiknya bagi terlaksananya tusi institusi  serta berhak memperoleh hak-hak kepegawaian sebagaimana ketentuan yang berlaku.

 Hak Versus Kewajiban

Sebagaimana deskripsi diatas, pada kenyataan lapangan tidaklah sejalan. Sejak awal tertuntaskannya proses alih tugas (tahun 2016), ternyata PNS bersangkutan belum pernah melaksanakan tugas secara riel dengan alasan masih dalam proses penuntasan pendidikan Dokter Spesialis hingga awal tahun 2020. Dalam kurun waktu lebih kurang empat tahun tersebut, pihak institusi telah melaksanakan komunikasi secara intens dengan PNS yang bersangkutan agar segera bertugas sebagaimana keputusan status kepegawaian yang bersangkutan. Hal ini dilakukan, karena pihak Perguruan Tinggi berpendapat bahwa pelaksanaan pendidikan Dokter Spesialis yang dilaksanakan oleh PNS tersebut tidak memperoleh persetujuan dari pihak institusi. Sehingga PNS dimaksud tetap diwajibkan oleh institusi untuk melaksanakan tugas kedinasan. Namun demikian, PNS bersangkutan menyampaikan keberatan atas keputusan penugasan tersebut yang di nilai tidak sesuai dengan kompetensinya sebagai seorang Dokter Spesialis. Di sisi lain, selaku institusi pemerintah yang memiliki kewajiban serta kewenangan dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM), pihak Perguruan Tinggi juga tidak pernah mengambil “langkah tegas” terkait dengan permasalahan ini. Akhirnya pada Bulan Pebruari 2020, PNS bersangkutan mulai aktif bertugas pada Perguruan Tinggi tersebut serta mengajukan klaim agar pihak institusi membayarkan gajinya sebagai PNS mulai awal tahun 2016 hingga 2020 yang memang belum pernah diterima. Sementara pihak Perguruan Tinggi berkeberatan atas klaim tersebut dengan argumentasi bahwa PNS bersangkutan tidak pernah masuk kerja dalam kurun waktu klaim tersebut.

  Berkaitan dengan situasi tersebut, terdapat beberapa aspek yang dapat dicermati, setidaknya terdapat dua aspek yang berkaitan dengan pokok permasalahan yaitu aspek pengelolaan sumber daya manusia dan aspek finansial. Aspek pengelolaan sumber daya manusia, secara spesifik berkaitan erat dengan aktivitas penegakkan disiplin pegawai yang menjadi kewajiban serta kewenangan dari institusi/unit kerja. Sedangkan aspek finansial berkaitan dengan ketentuan penggajian/kompensasi finansial kepada PNS.

   Disiplin Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2010 diartikan sebagai kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Sehingga seluruh aktivitas penegakkan disiplin dapat diartikan sebagai segenap upaya institusi guna menjaga kedisiplinan pegawai yang berada dalam pengelolaannya. Adapun secara teknis, sebagaimana pengaturan pada Peraturan Pemerintah tersebut, dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan tingkat kesalahan/pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh pegawai. Mulai dari hukuman disiplin tingkat ringan, sedang, hingga berat. Peraturan Pemerintah ini ibarat “pisau bermata dua”, karena tidak saja mengatur sanksi bagi pegawai yang melakukan tindak pelanggaran disiplin semata, namun juga memberikan sanksi kepada pimpinan yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan penegakkan disiplin namun tidak dan/atau lalai dalam melaksanakan kewenangannya. Sehingga jika terjadi kondisi terdapat pimpinan yang tidak dan/atau lalai dalam melaksanakan kewenangannya guna melaksanakan penegakkan disiplin, maka pimpinan tersebut akan di sanksi sebagaimana seharusnya sanksi tersebut dijatuhkan kepada pegawai yang berada di bawah kepemimpinannya.

   Berkaitan dengan aspek finansial yaitu pembayaran gaji pegawai, banyak ahli yang mengemukakan definisi gaji, salah satunya sebagai berikut “Gaji atau upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan, dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas dasar persetujuan atau perundang-undangan, serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan termasuk tunjangan, baik karyawan itu sendiri maupun keluarganya (Sonny, 2003: 141).” Beberapa komponen terdapat dalam definisi tersebut antara lain imbalan, pengusaha, karyawan, pekerjaan, dan uang. Secara sederhana gaji adalah imbalan yang diberikan oleh pegusaha kepada karyawan atas pekerjaan/prestasi/kinerja yang dilaksanakan oleh karyawan. Sehingga proses pemberian gaji dimulai terlebih dahulu dengan penyerahan/pelaksanaan prestasi/kinerja oleh penerima pekerjaan kepada pemberi pekerjaan. Sedangkan tujuan pemberian gaji itu sendiri, menurut pendapat para ahli antara lain menjalin ikatan kerja sama secara formal, tercapainya kepuasan, membangkitkan motivasi, meminimalisir terjadinya kondisi labour turn over, serta pendisiplinan pegawai (Hasibuan:2001).

   Kembali pada kasus diatas, mengingat status pegawai pada institusi tersebut adalah PNS, maka seluruh ketentuan terkait dengan pelaksanaan hak serta kewajiban sebagai PNS juga berlaku untuk pegawai bersangkutan, demikian pula hal nya dengan pihak institusi yang juga memiliki hak serta kewajiban yang berkaitan permasalahan yang terjadi. Berkaitan dengan penggajian bagi seorang PNS, bahwasannya aspek legal formal PNS lah yang menjadi dasar dalam pemberian gaji. Aspek ini ditentukan dengan adanya surat keputusan pengangkatan sebagai PNS. Surat Keputusan inilah yang menjadi dasar legal formal bagi belanja negara berupa belanja pegawai (gaji). Sehingga konsekuensi lebih lanjut dengan diterbitkannya surat keputusan dimaksud, maka secara legal formal seseorang berhak memperoleh gaji dari pemerintah. Pada kasus diatas, maka secara legal formal, pegawai yang mengajukan klaim atas gaji yang belum pernah diterima sudah benar. Namun demikian, dari sisi institusi/unit kerja, secara de facto bahwa pegawai tersebut tidak pernah melaksanakan tugas sesuai kewajiban yang seharusnya dilaksanakan (selama 4 tahun). Sehingga hal dimaksud dijadikan argumentasi oleh institusi untuk tidak membayarkan klaim yang diajukan.

   Pegawai bersangkutan mengajukan klaim gaji karena berstatus PNS aktif dan belum pernah terputus atas status tersebut. Sementara pihak institusi/unit kerja berargumentasi bahwa pemberian gaji tidak sekedar bersandar pada status aktif sebagai PNS, tetapi juga wajib melaksanakan tugas aktif/berkinerja. Pada situasi seperti ini, baik pihak pegawai yang mengajukan klaim (lebih kurang sebesar Rp 140 juta an) maupun pihak institusi/unit kerja sama-sama memiliki kelemahan argumentasi. Bagi pihak pegawai, klaim diajukan semata-mata karena belum pernah terputusnya status kepegawaian (PNS) dan pihak institusi tidak “rela hati” membayarkan gaji hanya didasarkan pada kenyataan pegawai bersangkutan tidak pernah melaksanakan kewajiban dalam kurun waktu empat tahun tanpa dilakukan tindakan penegakan disiplin kepada pegawai bersangkutan.

   Kondisi pengajuan klaim seperti ini seharusnya tidak terjadi jika saat awal pegawai yang bersangkutan tidak melaksanakan tugas, sebagai salah satu kewajibannya, sudah dilaksanakan langkah-langkah penegakkan disiplin. Namun demikian pihak manajemen Institusi/unit kerja “abai” atas kondisi ini. Klaim atas gaji dimaksud, dalam situasi ini, secara esensi, memiliki potensi “merugikan” keuangan Negara. Berpotensi “merugikan” keuangan negara karena intitusi, sebagai representasi dari Negara, tidak memperoleh prestasi/hasil atas pengeluaran Negara yang telah dilakukan. Sikap “abai” menjadi celah potensi merugikan keuangan Negara. Sikap “abai” dari pihak memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewenangan “pengamanan” keuangan negara dalam bentuk aktivitas pendisiplinan pegawai yang dimanfaatkan oleh pihak lain melaksanakan/menuntut pemenuhan hak nya, maka sudah sewajarnya jika pihak yang memiliki kewenangan diberikan sanksi.

   Di sisi lain, pengaturan terkait dengan penggajian bagi PNS menegaskan bahwa penggajian tersebut melekat dengan status pengangkatan PNS yang dikuatkan dengan surat keputusan dari pejabat yang berwenang serta tidak dapat “diputus” jika tidak dilaksanakan serangkaian tindakan untuk memutusnya, dalam kasus ini serangkaian tindakan penjatuhan hukuman disiplin (secara spesifik hukuman disiplin tingkat berat yaitu Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai PNS). Sehingga dari pihak pegawai tetap memiliki landasan legal formal untuk “menuntut” pemberian hak nya yaitu berupa gaji PNS dalam kurun waktu yang bersangkutan tidak bekerja

Simpulan

Berdasarkan uraian diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa baik pihak pegawai maupun institusi sama-sama berada pada posisi “bersalah” dalam kasus klaim gaji ini, pihak pegawai “keukeuh” dengan pendirian bahwa yang bersangkutan memiliki landasan hukum untuk “menuntut” hak nya, sementara pihak institusi juga bersih kukuh dengan pendirian tidak akan menuntaskan hak pegawai karena tidak ada kinerja yang diterima.

Klaim yang terjadi ini, dari sisi pengelolaan keuangan Negara, berpotensi “merugikan”  keuangan Negara karena uang Negara yang dikeluarkan tidak diiringi dengan prestasi yang seharusnya diterima. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara ditegaskan bahwa belanja negara didasarkan prestasi/hasil pekerjaan/kinerja yang diterima. Oleh karena itu menjadi penting bagi para pimpinan untuk tidak bersikap “abai” atas kewenangan manajerial yang dimiliki sebagai konsekuensi atas amanah yang diemban sebagai pimpinan. Dari sisi pegawai sudah seharusnya juga menyadari bahwa pelaksanaan hak adalah wajar manakala juga diiringi dengan pelaksanaan kewajiban secara seimbang.

Sedangkan dari sisi regulasi, menurut penulis, perlunya reformulasi pengaturan terkait penggajian bagi PNS yang melekat dengan statusnya, dalam artian jika terjadi kondisi (sengketa) sebagaimana deskripsi diatas, maka kepentingan pihak institusi selaku representasi dari Negara seharusnya lebih dikedepankan, mengingat negara memiliki “amanah” yang jauh lebih besar dan esensial yaitu mengelola uang negara secara prudent guna mensejahterakan seluruh rakyat. Sehingga seluruh tindakan atau bahkan sikap pribadi yang “cenderung” berpotensi merugikan Negara (secara spesifik merugikan dari sisi finansial) dapat di cegah atau bahkan dieliminir. Sedangkan bagi para pimpinan institusi/unit kerja wajib lebih meningkatkan pemahaman serta ketrampilan manajerialnya dalam rangka pengelolaan SDM dalam seluruh aspek guna memunculkan sikap aware akan urgensi dan tanggungjawab pengelolaan SDM sebagai konsekuensi pelaksanaan amanah yang di emban. Oleh karena itu, judul tulisan ini seharusnya juga tidak boleh terjadi di negeri tercinta ini apapun bentuknya……”Jangan pernah lelah mencintai negeri ini” (Sri Mulyani Indrawati-Menteri Keuangan R.I.)