Apa itu nasikh dan mansukh

Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.
SUBHANALLAH WALHAMDULILLAH WALAILLAHAILLOH. WALLAHU AKBAR.

Semoga kita selalu sehat dalam lindungan Allah SWT.
Mari saling mendoakan ;

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

مَا نَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍ اَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَاۤ اَوْ مِثْلِهَا ۗ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 106)

Ayat ini tentang Nasikh wal Mansukh.

Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi (bertentangan) yang menurut para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut.

Pengertian Nasikh wal Mansukh

Pengertian nasikh secara umum ialah menghilangkan atau menghapus, sedangkan bagian yang dihapus dinamakan mansukh. Menurut Manna’ Khalil Al Qattan dalam bukunya “Ulumul Qur’an” bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.

  • Pembatalan hukum yang ditetapkan kemudian.
  • Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
  • Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas (samar)
  • Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
  • Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqani dalam bukunya “Manahil Al-Urfan Fi-Ulum Al-Quran” beranggapan bahwa ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain.

Misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di saat kaum muslim lemah, dianggap telah dinasakh oleh adanya perintah atau izin berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum Islam termasuk dalam pengertian nasakh.

Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulama muta’akhirin (ulama setelah abad ke III M.). Menurut mereka, nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku ada yang ditetapkan terakhir.

Mengenai lingkup nasakh, Manna’ khalil al Qattan menyimpulkan bahwa nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna ‘amar (perintah) atau nahyi (larangan).

Jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, dzat Allah, sifat Allah, kitab-kitab Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam nasakh diperlukan beberapa syarat di antaranya:

Hukum yang dimansukh adalah hukum syara’.
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang lebih dulu dari kitab yang hukumnya mansukh.
Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut, yang demikian tidak dinamakan nasakh.
PEMBAGIAN NASAKH

Para ulama membagi nasakh menjadi beberapa di antaranya:

Nasakh sunnah dengan sunnah

Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Misalnya larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi boleh. Seperti sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.

Dalam hal nasakh sunnah dengan sunnah, Manna’ Khalil Al Qattan membagi empat, yaitu;

  1. Nasakh mutawatir dengan mutawatir.
  2. Nasakh ahad dengan ahad.
  3. Nasakh ahad dengan mutawatir.
  4. Nasakh mutawatir dengan ahad.
    Tiga bagian pertama diperbolehkan sedangkan bagian keempat terjadi silang pendapat. Namun jumhur ulama tidak membolehkan.

Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an

Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh dengan dalil Al Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap ke Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 144.

دْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”

Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an

Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Qur’an kemudian dinasakh dengan dalil ayat Al Qur’an pula. Seperti dalam surah Al Baqarah ayat 106. Seperti hukum yang terdapat sebelumnya terlalu ringan dan diganti menjadi hukum yang lebih berat begitu juga sebaliknya.

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”

Nasakh Al Qur’an dengan sunnah

Nasakh jenis ini, menurut Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan, membagi dua, yaitu;

Nasakh Al Qur’an dengan hadist Ahad.

Jumhur ulama berpendapat, bahwa hal itu tidak boleh, karena, hadist ahad itu bersifat dzanni (relatif benar) sementara Al Qur’an bersifat qath’ie (pasti benar).

Nasakh Al Qur’an dengan hadist Mutawatir

Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Imam Malik, imam Abu hanfah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah An Najm ayat 3-4,

( وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (4

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.

Imam As Suyuthi dalam bukunya Al Itqon fi Ulumul Quran merinci contoh contoh ayat yang ternasakh.

Ayat tentang qiblat
Seperti surah Al Baqarah ayat 115 nasakh dengan surah Al Baqarah ayat 114. Namun, Syekh Manna Khalil Al Qattan memberi pendapat berbeda, ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan shalat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan darurat.

Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam as-sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan salat fardhu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dalam sunnah.

Ayat tentang wasiat
Surah Al Baqarah ayat 180 di mansukh oleh surah An Nisa’ ayat 11-12 tentang Waris.

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah ayat 180)

اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنَا يَارَبِّ فَهْمَ النَّبِيِّيْنَ وَحِفْظَ الْمُرْ سَلِيْنَ وَإِلْهَامَ ألْمَلاَ ىِٕكَةَ ألْمُقَرَّبِيْنَ فِى عَافِيَةٍ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Allahummarzuqna ya robbi fahman-nabiyyina. wahifzholmursalin, wa ilhamal-malaaikatil-muqorrobin fi’afiatin ya arhamarrohimin.

“Ya Allah, karuniailah kami faham para nabi dan hafalan para rasul serta mendapat ilham para malaikat yang hampir dengan-Mu, juga kurniakanlah kami kesehatan wahai Maha Penyayang.”

Apa yang dimaksud dengan nasikh dan Mansukh?

Nasikh dalam Ulumul Qur'an diartikan sebagai sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, maka Mansukh diartikan sesuatu yang dibatalkan, dihapus dan dipindahkan. Sedang pengertian secara terminologi adalah mengangkatkan hukum syara' dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.

Apa contoh dari nasakh?

Beberapa contoh peraturan Islam berdasarkan naskh termasuk larangan konsumsi alkohol secara bertahap (semula alkohol tidak dilarang tetapi umat Islam diberi tahu bahwa yang buruk melebihi kebaikan dalam minum), dan perubahan arah (kiblat) yang harus dihadapi ketika shalat shalat (awalnya Muslim menghadap ke Yerusalem, ...

Bagaimana Mengetahui nasikh dan Mansukh dalam Al Quran?

Pedoman untuk mengetahui naskh dan Mansukh ada beberapa cara berikut : 1. Ada keterangan pegas pentransimisian yang jelas dari Nabi SAW; 2. Konsensus (Ijma) umat bahwa ayat ini naskh dan ayat Mansukh; 3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan histori.

Mengapa harus ada nasikh dan Mansukh dalam Al Quran?

Ilmu Nasikh wa Mansukh merupakan bagian penting dalam ilmu Alquran yang wajib diketahui oleh mujtahid, karenanya akan berakibat fatal apabila salah dalam memahaminya pada konteks kekinian, karena itu mengatahui Nasikh wa Mansukh dalam Alquran dijadikan syarat yang harus dipenuhi mujtahid dalam menentukan hukum.