10 alasan teratas mengapa siswa putus sekolah 2022

Jakarta -

Pandemi COVID-19 mengubah banyak kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Bahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terjadi peningkatan jumlah anak yang putus sekolah.

Hal itu berdasarkan hasil pengawasan KPAI selama Januari-Februari 2021 di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Provinsi DKI Jakarta. Selain pemantauan, pihaknya juga melakukan wawancara dengan guru serta kepala sekolah yang masuk dalam Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI).

Menurut Anggota KPAI Retno Listyarti ada lima faktor yang menyebabkan jumlah anak putus sekolah meningkat selama pandemi, yakni karena menikah, bekerja, menunggak uang iuran SPP, kecanduan game online dan meninggal dunia.

Alasan Anak Putus Sekolah Akibat Pandemi COVID-19:

  • 1. Menikah

KPAI mencatat ada 33 anak yang berhenti sekolah karena menikah. Jumlah tersebut didapat dari pengawasan di daerah kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima.

Rata-rata siswa yang menikah duduk di bangku kelas 12 SMA. Pihak sekolah sendiri baru mengetahui peristiwa tersebut ketika dilakukan 'home visit' karena peserta tidak lagi mengikuti PJJ.

  • 2. Bekerja

KPAI mendapatkan data bahwa ada siswa SMK dan SMP yang terpaksa bekerja untuk membantu orang tua. Sebab, keluarganya terkena dampak secara ekonomi selama pandemi sehingga ia memutuskan untuk putus sekolah.

Adapun, satu siswa SMP di Cimahi bekerja sebagai tukang bangunan. Satu siswa lainnya di Jakarta. bekerja di percetakan yang merupakan usaha orang tuanya.

  • 3. Menunggak Iuran SPP

Menunggak iuran SPP menjadi kasus yang paling tinggi dilaporkan ke KPAI. Terhitung mulai dari Maret 2020 sampai Februari 2021 ada 34 kasus yang mana 90% berasal dari sekolah swasta dan 75% untuk jenjang SMA/SMK.

Kejadian ini merupakan dampak dari pandemi COVID-19, di mana kondisi ekonomi ikut terdampak, sehingga keluarga sulit dan menunggak berbulan-bulan untuk membayar SPP.

"Rata-rata yang mengadu sudah tidak membayar SPP 6-11 bulan, faktor ekonomi keluarga yang terpuruk selama pandemi menjadi penyebab utama," jelas Retno.

  • 4. Kecanduan Game Online

Alasan anak putus sekolah lainnya adalah peserta didik mengalami kecanduan game online. Saat pengawasan di kota Cimahi, KPAI mendapatkan data ada 2 anak kelas 7 SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online,

Bahkan, satu di antaranya berhenti sementara atay cuti selama 1 tahun untuk proses pemulihan secara psikologi. "Kisah dari para guru di beberapa daerah juga menunjukkan fakta yang mengejutkan, bahwa anak-anak yang pagi hari tidak muncul di PJJ online ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang Subuh," papar Retno.

  • 5. Meninggal Dunia

Alasan terakhir anak putus sekolah karena meninggal dunia. Hasil pemantauan mendapatkan siswa meninggal dunia karena terseret arus ketika bencana banjir Januari lalu, dan satu lagi meninggal karena kecelakaan motor. Sehingga, berdasarkan data KPAI, ada 2 siswa yang meninggal pada semester genap tahun ajaran 2020/2021.

Untuk itu, KPAI merekomendasikan beberapa hal, seperti mendorong sinergi antara pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan pemetaan peserta didik yang putus sekolah. Dengan begitu, pemerintah bisa melakukan pencegahan peristiwa serupa.

Kemudian, pemerintah diminta untuk membantu anak-anak yang berasal dari keluarga miskin terkait masalah menikah, bekerja, hingga menunggak iuran SPP. Untuk kasus kecanduan game online, Retno menyarankan kepada orang tua untuk melakukan pendampingan dan pengawasan kepada anak-anaknya.

Terakhir, terkait kasus anak putus sekolah akibat pandemi COVID-19, Dinas Pendidikan di berbagai daerah harus melakukan pembinaan dan memberi sanksi tegas pada sekolah yang tidak memberikan akses PJJ atau mengeluarkan siswa karena menunggak SPP. Pemerintah Daerah juga diminta membantu sekolah yang anak-anaknya mayoritas dari keluarga tidak mampu demi mencegah risiko putus sekolah.

(pay/pal)

22 Mei 2017 | admin
Arsip Media, Main Slide, Media
10 alasan teratas mengapa siswa putus sekolah 2022

Jakarta, CNN Indonesia — Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan negara sesuai amanat UUD 1945. Namun, hingga usia 71 tahun kemerdekaan RI, segenap masyarakatnya masih belum mempunyai akses mengenyam dunia pendidikan formal selayaknya.

Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Begitupula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.

Benarkah ini karena faktor ekonomi atau sistem yang tidak berpihak pada mereka?

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, mengumumkan hasil penelitian Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Ada temuan menarik.

Sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua dengan bekerja, serta 9,4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan nonformal seperti pesantren atau mengambil kursus keterampilan lainnya.

Mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah ini sebagian besar berijazah terakhir sekolah dasar (42,1 persen) maupun tidak memiliki ijazah (30,7 persen). Meski demikian, rencana untuk menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ternyata cukup besar, yakni 93,9 persen. Hanya 6,1 persen yang menyatakan tidak memiliki rencana untuk itu.

Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, S.I.P., M.Sc. mengatakan dalam Focused Group Discussion, pendidikan merupakan investasi modal manusia (human capital investment) dan pemerintah harusnya memberi perhatian yang sungguh terhadap hal ini, terlebih dalam merespons perubahan komposisi demografi.

Tingginya angka penduduk usia kerja hanya akan menjadi bonus (window of opportunity) apabila penyediaan kesempatan kerja sudah sesuai dengan jumlah penduduk usia kerja serta ditopang oleh kualitas angkatan kerja yang baik.

Triyas menambahkan, seperti siklus, kasus anak putus sekolah saling mempengaruhi satu sama lain dengan persoalan kemiskinan. Putus sekolah mengakibatkan bertambahnya jumlah pengangguran, bahkan menambah kemungkinan kenakalan anak dan tindak kejahatan dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu seterusnya karena tingkat pendapatan yang rendah, akses ke pendidikan formal pun sulit dicapai.

Peran Pendidikan Non-Formal Kurang

Pada kesempatan terpisah Sekjen Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asahpena), Budi Trikorayanto yang dikutip dari media radioidola.com, mengakui faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab masih banyaknya anak putus sekolah.

Namun masalah ekonomi yang seperti apa? Satu contoh, anak jalanan, atau pemulung didorong untuk sekolah itu susah. Karena mereka sudah bisa mencari uang, dan merasakan kemerdekaan di dunia jalanan dan itu lebih menarik bagi mereka ketimbang duduk di sekolah, berseragam, dan menerima pelajaran dari sekolah. Dan itu terlalu jauh dari apa yang mereka rasakan sehari-hari.

Menurut Budi, anak-anak jalanan saat ini lebih memilih bekerja menjadi anak jalanan ketimbang sekolah. Tidak mudah menggiring mereka sekolah, mestinya ada upaya sekolah yang mendatangi komunitas mereka.

Tidak bisa sekolah memaksa mereka untuk memakai seragam, itu bukan dunia anak-anak jalanan. Jadi sekolah perlu sektor non-formal, kemudian jemput anak-anak ke kolong jembatan, rel kereta api, dan lingkungan lainnya.

Dari beberapa kasus terungkap pula, banyaknya anak sekarang ini enggan ke sekolah salah satunya karena faktor pengajarnya. Inilah realitas yang sering terjadi di wilayah perkotaan. Kualitas guru kini tentu menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan pemerintah.

Faktor Budaya Salah Satu Faktor Penyebab Putus Sekolah

Sementara itu, Abduh Zen, Ketua Litbang PB PGRI dan Direktur Institute for Education Reform menilai penyebab terbesar anak putus sekolah memang karena faktor ekonomi dan kemiskinan. Untuk itu pemerintah mesti fokus untuk menyelesaikan problematika ini, melalui KIP misalnya.

Meskipun terkendala secara ekonomi, banyak hal yang tidak bisa diselesaikan dengan KIP. Dikarenakan KIP harus menggunakan ATM dalam penarikannya di beberapa daerah tertentu masih kesulitan dalam mengaksesnya. Kemudian di luar faktor ekonomi, faktor budaya misalnya membuat orang tidak berhasrat untuk pergi ke sekolah.

Karena kompleksnya persoalan, banyak masyarakat menilai sekolah tidak lagi menarik. Sehingga sering terdengar keluhan untuk apa sekolah. Oleh sebab itu, pemerintah harus fokus membenahinya dan jangan seperti pemburu yang menembak secara memberondong sembarangan di dalam hutan rimba.

Pada kesempatan itu Abduh Zen mengungkapkan, adanya sekolah rumah sebagai alternatif pendidikan bersifat sementara. Dia menilai, sekolah rumah tidak akan menjadi solusi masalah pendidikan secara luas dan nasional.

Tetapi ini menjadi upaya penting pada daerah-daerah tertentu ketika pendidikan formal tak bisa menjangkau. Dia mengingatkan bahwa substansi sekolah adalah membangun tradisi literasi, kemelekan terhadap kehidupan ini.

Dengan bersekolah anak memiliki kemampuan dalam berpikir secara optimal. Setidaknya denga memiliki bekal pendidikan, anak dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya sehari-sehari. Intinya anak-anak akan memiliki pemikiran yang berkembang dan maju.

Peran Pemerintah dan Swasta Dalam Mensukseskan Pendidikan

Meskipun pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia dinilai sukses, namun jumlah anak usia wajib belajar yang hanya sampai SD cukup besar. Ini menjadi pekerjaan semua pihak agar pendidikan semakin merata dan menyejahterakan.

Mulai dari pemerintah, kalangan swasta dan semua lapisan masyarakat. Masa depan di luar pendidikan sekolah. Dan, tak kalah pentingnya ke depan, pemerintah juga mesti meningkatkan kapasitas dan kualitas guru agar peserta didik semakin nyaman dan bersemangat untuk bersekolah.

Orang bersekolah bertujuan agar mampu berpikir, menalar secara rasional obyektif, dan bisa memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi sehari-hari.

Untuk itu perlu ditunjang dengan sarana dan prasarana yang mendukung dan ditopang pengajar yang bersahabat. Dan, di sini negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa berperan optimal. (ded/ded)

*Sumber: CNN Indonesia