TARAKAN – Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Kota Tarakan Sunarto menghadiri ujian kenaikan sabuk Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Kota Tarakan. Sunarto berpesan warga PSHT juga ikut menjaga persatuan dan kesatuan serta kondusifitas Kota Tarakan. Show Ujian kenaikan sabuk dari hijau ke putih yang diikuti sebanyak 94 siswa ini, dilaksanakan di Taman Berkampung, Minggu (27/3/22). Selain Ketua IPSI Kota Tarakan, ujian kenaikan sabuk juga dihadiri Ketua PSHT Cabang Kota Tarakan Pusat Madiun Jumanto. “Alhamdulillah PSHT cabang Tarakan pusat Madiun, mengadakan tes kenaikan sabuk dari hijau ke putih. Setelah mendapatkan sabuk putih nanti baru pengesaha biasanya itu di bulan suro mau entah itu bulan suro awal, tengah, akhir yang penting masih di bulan suro,” kata Sunarto saat diwawancarai Fokusborneo.com. Dalam proses ujian kenaikan sabuk dari hijau ke putih hingga menjadi warga PSHT, dijelaskan Sunarto banyak cobaannya. Selama menunggu pengesahan, pelatih akan mengawal dari masing-masing siswanya. “Harapan kami harus bisa lulus semua menjadi warga semua, karena itu kan prosesnya sangat panjang,” ujar Sunarto. Ujian kenaikan tingkat siswa PSHT Tarakan dari sabuk hijau ke putih. Foto : Ist. Sebelum mengikuti ujian dari sabuk hijau ke putih, dikatakan Sunarto banyak proses yang harus dilewati. Mulai dari pra polos, menjadi polos warna hitam hingga naik sabuk menjadi merah jambu atau jambon. “Jadi dari pra polos menjadi polos mereka mendapatkan jurus, mendapatkan senam, naik lagi ke Jambon. Dari jambon ada tambahan senam, ada tambahan jurus, ada tambahan senam toya, baru naik lagi ke hijau. Di hijau ini tempatnya mematangkan para siswa untuk betul-betul menjadi pesilat atau menjadi pendekar,” tambah Sunarto. Setelah lulus ujian kenaikan tingkat dari hijau ke putih, disampaikan Sunarto baru bisa mengikuti pengesahan menjadi warga PSHT untuk mendapatkan sabuk putih mori. Sampai saat ini, warga PSHT di Kota Tarakan jumlahnya sekitar 5.000 orang. “Kalau sudah memakai sabuk putih tua sudah disahkan, itu baru menjadi warga PSHT. Untuk ke sabuk putih yang tua itu ada tes namanya tes warga sebelum bulan suro nanti,” tutur Sunarto. Sunarto berharap siswa yang sudah disahkan menjadi warga PSHT, bisa berguna bagi nusa, bangsa bisa menjaga persatuan dan kesatuan serta kondusifitas Kota Tarakan. “Paling tidak dimana bumi kita dipijak, disitulah langit kita junjung artinya kira harus bisa menjaga dan kesatuan yang ada di Kota Tarakan,” tutup Sunarto.(Mt) Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Persaudaraan Setia Hati Terate (SH Terate)
Persaudaraan Setia Hati Terate (dikenal luas sebagai Setia Hati Terate atau SH Terate) adalah organisasi olahraga yang diinisiasi oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo pada tahun 1922 dan kemudian disepakati namanya menjadi Persaudaraan Setia Hati Terate pada kongres pertamanya di Madiun pada tahun 1948. PSHT merupakan organisasi pencak silat yang tergabung dan salah satu yang turut mendirikan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) pada tanggal 18 Mei 1948.[1][2] Saat ini PSHT diikuti sekitar 7 juta anggota, memiliki cabang di 236 kabupaten/kota di Indonesia, 10 komisariat di perguruan tinggi dan 10 komisariat luar negeri di Malaysia, Belanda, Rusia (Moskwa), Timor Leste, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, Belgia, dan Prancis.[3] SejarahAwal mula Setia HatiPada tahun 1903, Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo (EBI: Ki Ageng Surodiwiryo) meletakkan dasar gaya pencak silat Setia Hati di Kampung Tambak Gringsing, Surabaya (kawasan dekat Tanjung Perak). Sebelumnya, gaya silat ini ia namai Djojo Gendilo Tjipto Muljo (EBI: Joyo Gendilo Cipto Mulyo) dengan sistem persaudaraan yang dinamai Sedulur Tunggal Ketjer. Pada tahun 1917, ia pindah ke Madiun dan mendirikan Persaudaraan Setia Hati di Winongo, Madiun.[4] Awal mula PSHTPada tahun 1922, Ki Hadjar Hardjo Oetomo (EBI: Ki Hajar Harjo Utomo) salah satu pengikut aliran pencak silat Setia Hati yang berasal dari Pilangbango,[5] meminta izin kepada Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo untuk mendirikan pusat pendidikan pencak silat dengan aliran Setia Hati. Niat ini dilatarbelakangi keadaan saat itu di mana ilmu pencak silat hanya diajarkan kepada mereka yang memiliki status bangsawan seperti bupati, wedana atau masyarkat bangsawan yang memiliki gelar raden, sehingga Ki Hardjo Oetomo berniat agar ilmu pencak silat ini bisa dipelajari oleh rakyat jelata dan pejuang perintis kemerdekaan.[5][6] Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo setuju atas ide ini asalkan pusat pendidikan nanti harus memiliki nama yang berbeda. Akhirnya didirikanlah SH PSC (Persaudaraan Setia Hati "Pemuda Sport Club").[7] Pengikut Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo yang lain yang telah terhasut[8] beberapa pihak mengganggap pembukaan SH PSC sebagai sebuah pengkhianatan sehingga SH PSC dianggap "SH murtad".[4] Kelak, pihak-pihak yang mendukung pemurnian aliran Setia Hati dan mengklaim sebagai penerus sah ajaran Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo ini tergabung dalam SH Panti.[9] Selain itu, adanya tempat latihan ini dianggap oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai sarana untuk melawan pemerintah kolonial sehingga Ki Hardjo Oetomo ditangkap dan menjalani hukuman pembuangan Belanda di Jember, Cipinang, dan Padangpanjang.[5] Sistem yang dianut SH PSC ini adalah sistem paguron (perguruan) di mana guru ditempatkan pada tingkat tertinggi sebagai patron perguruan. Sistem pendidikan inilah yang menjadi cikal bakal Persaudaraan Setia Hati Terate.[4] Pada tahun 1942, salah seorang murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang bernama Soeratno Sorengpati mengganti nama SH PSC menjadi Setia Hati Terate. Perubahan ini lalu disepakati saat kongres pertama yang diadakan di rumah Ki Hadjar Hardjo Oetomo di Madiun pada tahun 1948.[5][7] PSHT lalu mengubah diri dari sistem yang berbentuk perguruan menjadi sistem berbentuk persaudaraan untuk mendukung konsep demokratisasi organisasi, namun konsepsi dan tradisi sistem perguruan masih tetap dilanjutkan.[10] Selanjutnya PSHT semakin berkembang, setelah Mas Irsjad (salah satu murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo) menjadi ketua dan memperkenalkan 90 senam dasar, jurus 1–4, jurus belati, dan jurus toya.[4] Jurus-jurus perguruan juga diperbarui oleh Mas Imam Koesoepangat untuk membedakan diri dari jurus-jurus Djojo Gendilo Tjipto Muljo milik SH Winongo atau sekarang di kenal dengan Setia Hati Panti. Ketua dari masa ke masaPucuk kepemimpinan di PSHT berganti-ganti seiring waktu. Setelah wafatnya Ki Hadjar Hardjo Oetomo pada tanggal 12 April 1952, ketua dijabat oleh Soetomo Mangkoedjojo (EBI: Sutomo Mangkujoyo), yang merupakan karyawan BRI. Setelah Sutomo dipindahtugaskan ke Surabaya, ketua dijabat oleh Mas Irsjad. Pada dekade 1960-an, Mas Irsjad pindah ke Bandung dan kepemimpinan PSHT diserahkan kepada Mas Santoso Kartoatmodjo. Setelah itu terjadi pergolakan tahun 1965 sehingga ketua kembali dijabat oleh Soetomo Mangkoedjojo hingga 1974. Pada masa jabatan kedua ini PSHT membuka beberapa cabang di Magetan, Surabaya, Mojokerto, Yogyakarta, dan Solo. Pada tahun 1974, diadakan kongres di Madiun yang memutuskan Mas Imam Koesoepangat (dikenal dengan julukan Pandhita Wesi Kuning[11][12]) sebagai ketua pusat. 3 tahun berikutnya, diadakan kongres kembali dan menghasilkan nama Badini sebagai ketua selanjutnya. Pada masa ini organisasi mengalami masalah keuangan sehingga salah satu pendekarnya yang bernama Tarmidji Boedi Harsono keluar dengan solusi kontroversial, yakni mengubah sistem pembayaran pengesahan warga dari menggunakan uang logam lama (ketengan atau benggolan) menjadi uang logam yang berlaku (baik rupiah maupun yang lainnya seperti dolar, ringgit, atau riyal) agar dapat membantu keuangan organisasi. Sebelumnya uang ketengan dan benggolan didapat dengan cara membeli dari istri Ki Hardjo Oetomo, Inem, sekaligus sebagai bentuk terima kasih organisasi untuk membantu keluarga Ki Hardjo Oetomo. Maka Tarmidji meyakinkan pada semua pihak yang mempertanyakan usul tersebut karena PSHT sudah berubah menjadi organisasi modern yang menjadi milik anggota bukan perorangan lagi dan untuk membantu keluarga Ki Hardjo Oetomo sudah dipersiapkan solusi lain. Pada tahun 1981, Tarmidji Boedi Harsono diangkat sebagai ketua. Pada tahun 2000, kongres diadakan kembali dengan menjadikan kembali Tarmidji Boedi Harsono sebagai ketua dan dilengkapi dengan 9 tokoh lainnya sebagai dewan pusat atau yang dikenal sebagai Nawa Pandhita.[4][10] Saat ini ketua pusat PSHT dijabat oleh Dr. Ir. H. Muhammad Taufiq, S.H., M.Sc.[13][14] PendidikanPendidikan pencak silat di PSHT memiliki inti unsur pembelaan diri untuk mempertahankan kehormatan, keselamatan, kebahagiaan, dan kebenaran. Materi yang diajarkan terbagi untuk 3 kelompok, yaitu kelompok pencak silat ajaran (pemula) yang terdiri dari, senam massal, senam dasar, jurus, senam dan jurus toya, jurus belati, kuncian (kripen), dan silat seni untuk tunggal, ganda, dan beregu. Kelompok kedua adalah kelompok pencak silat prestasi untuk mengikuti kejuaraan atau ajang olahraga yang melibatkan pencak silat dengan materi tanding serta dan silat seni baik tunggal, ganda, maupun beregu. Dan yang terakhir adalah kelompok Pencak Silat Bela Diri Praktis yang diberi materi bela diri profesional, pertunjukan dan keterampilan khusus.[15] Selain itu PSHT juga mengajarkan beberapa ajaran seperti Ajaran Setia Hati, di mana warga akan belajar mengenai upaya mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam semesta. Ajaran Setia Hati mengharuskan warganya mampu memahami dirinya sendiri dan hati nuraninya, bahwa manusia dapat dihancurkan, manusia dapat dimatikan (dibunuh) tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu setia pada hatinya sendiri dan tidak ada kekuatan apa pun di atas manusia yang bisa mengalahkan manusia kecuali kecuali kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.[16] Ajaran selanjutnya adalah Ajaran dan Gerakan Budi Luhur di mana warga PSHT harus ikut berupaya mewujudkan memayu hayuning bawana (Bahasa Indonesia: memperindah keindahan dunia) dalam upaya mewujudkan masyarakat nyaman, adil, makmur, dan sejahtera lahir batin.[1][15] Falsafah ajaranPSHT memiliki falsafah ajaran yang diambil dari ajaran luhur Jawa:[17]
TingkatanSabuk PSHT, dari kiri: sabuk mori, sabuk putih, sabuk ijo, sabuk jambon, dan sabuk polos. Warga PSHT tingkat I memakai sabuk mori. SiswaSiswa PolosSiswa polos atau siswa hitam adalah tingkatan awal pada PSHT, yang ditandai dengan sabuk berwarna hitam. Warna hitam melambangkan kebutaan karena siswa belum mengetahui dengan baik apa itu PSHT.[7][18] Pada tingkatan ini siswa diajarkan pengenalan tentang Setia Hati dan Setia Hati Terate, pengenalan gerak, gerakan, beberapa senam dan jurus. Gerak dan gerakan yang diajarkan termasuk senam untuk tangan dan kaki. Sedangkan jurus yang diajarkan pada tingkatan ini adalah 1 hingga 2 pukulan, tendangan dan pertahanan, 30 senam dan 5 sampai 6 jurus.[19] Siswa JambonSiswa Polos yang lulus ujian kenaikan tingkat akan menjadi Siswa Jambon yang ditandai sabuk berwarna merah jambu (merah muda). Warna merah muda melambangkan keragu-raguan. Jambon juga berarti sifat matahari yang terbit atau sifat matahari yang terbenam, yaitu sifat yang mulai mengarah ke suatu kepastian tetapi masih belum sempurna.[7][18] Pada tingkatan ini siswa diajarkan pemahaman dan pengamalan Ajaran Setia Hati. Dan penambahan kemampuan gerak dan gerakan menjadi 3 hingga 4 pukulan, tendangan dan pertahanan, 45 senam dan 13 jurus.[19] Siswa IjoSiswa Jambon yang lulus ujian kenaikan tingkat akan menjadi Siswa Ijo yang ditandai sabuk berwarna hijau. Warna hijau melambangkan keadilan dan keteguhan dalam menjalani sesuatu.[7][18] Pada tingkatan ini siswa diajarkan penambahan kemampuan gerak dan gerakan menjadi 5 hingga 6 pukulan, tendangan dan pertahanan, 60 senam dan 15 hingga 20 jurus.[19] Siswa PutihSesuai namanya, Siswa Putih menggunakan sabuk berwarna putih.[7] Dalam tingkatan ini semua pukulan, tendangan, teknik pertahanan, senam dan jurus sudah diajarkan kecuali jurus ke-36.[19] Warna putih melambangkan kesucian[18] sehingga siswa dalam tingkatan ini diharapkan telah mengerti arah yang sebenarnya dan telah mengetahui perbedaan antara benar dan salah, bertindak berdasarkan prinsip kebenaran, dan bersikap tenang. Siswa pada tingkatan ini sudah siap untuk menjalani pengesahan sebagai pendekar/warga PSHT.[19] WargaWarga atau Pendekar PSHT adalah mereka yang sudah menjalani ujian dan pengesahan. Warga PSHT dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu Warga tingkat I (satria), tingkat II (ngalindra), dan tingkat III (pandhita).[20] Warga tingkat I menggunakan sabuk berwarna putih dari kain mori. Warga tingkat dua dan tiga menggunakan selendang.[19] Tokoh
Galeri
Referensi
Pranala luar
Berapa bulan sabuk hitam PSHT?"Memang ini kegiatan rutin khusus sabuk hitam ke jambon. Kalau kenaikan sabuk ini kami jadwalkan setiap empat bulan sekali dalam setahun.
Berapa lama waktu untuk menjadi warga PSHT?Untuk menjadi anggota Setia Hati Terate, seseorang harus menjalankan latihan fisik dan juga penggemblengan mental spiritual minimal 2 tahun Latihan selama 2 tahun itu dibagi menjadi 4 angkatan yang masing-masing tingkatn ditempuh selama 6 bulan latihan.
Pertama masuk PSHT sabuk apa?Siswa polos atau siswa hitam adalah tingkatan awal pada PSHT, yang ditandai dengan sabuk berwarna hitam.
Berapa kali seminggu latihan PSHT?Latihan pencak silat dilaksanakan menurut tingkatan sabuk dalam Organisasi PSHT, dua kali dalam seminggu untuk tingkatan calon polos sampai tingkatan jambon, dan tiga kali dalam seminggu untuk tingkatan ijem dan tingkatan petak.
|