Tempat berdiri makmum tidak boleh lebih depan daripada

Tempat berdiri makmum tidak boleh lebih depan daripada
Sumber gambar: http://indonesiaone.org

Oleh: Ustadz Muhammad Idris*

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sebenarnya shaf shalat perempuan saat shalat jamaah yang benar dalam ilmu fiqih bagaimana? Dalam artian, posisi imam antara makmum sejajar atau diberi jarak beberapa langkah?

Fanny Purwokerto

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Majalah Tebuireng

Terima kasih kepada saudari Fany dari Purwokerto. Semoga Allah senantiasa melimpahkan  rahmat dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Amiin yaa rabbal ‘alamiin. Adapun jawabannya sebagai berikut:

Shalat jamaah hubungan dan ikatan shalat antara imam dan makmum. Oleh karena itu, dalam praktiknya harus terdiri minimal dua orang, satu sebagai imam dan yang satu sebagai makmum. Esensi dari shalat jamaah adalah seorang makmum harus selalu mengikuti imam dalam melakukan atau tidak melakukan suatu pekerjaan, selain itu pekerjaan/gerakan yang dilakukan oleh makmum harus setelah gerakan imam dengan tenggang waktu yang tidak lama. Apabila makmum melakukan pekerjaan yang mengesankan ketidakserasian yang mencolok antara imam dan makmum, maka jamaahnya bisa-bisa akan batal karena tidak terjalinnya mutaba’ah  yang semestinya, berbeda dengan kasus mufaraqah.

Dalam shalat jamaah juga yang menjadi tolok ukur jarak antara imam dan makmum adalah tumit, bukan jari-jari kaki. Dalam artian, tumit si makmum tidak boleh lebih depan dari tumit imam. Apabila hanya sejajar, hukumnya makruh namun tidak sampai membatalkan shalat. Adapun format posisi imam dan makmum yang dianjurkan ketika jama’ah sebagai berikut:

Pertama: ketika makmum hanya satu orang, maka makmum dianjurkan berdiri di samping kanan imam dengan sedikit mundur sampai jari kakinya berada di belakang tumit imam. Kemudian, apabila datang makmum kedua, maka makmum tersebut menempati posisi sebelah kiri imam dengan sedikit mundur sama seperti makmum pertama. Kemudian setelah makmum kedua takbir, keduda makmum tersebut disunnahkan membuat shaf di belakang imam. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara yaitu makmum bisa mundur bersamaan atau imamnya maju.

Kedua: ketika makmum lebih dari satu orang dan sudah pada berkumpul, maka hendaknya langsung membentuk shaf kanan dan kiri di belakang imam (tidak berada di samping imam).

Lalu bagaimana jika imamnya wanita dan makmumnya juga sebagaimana pertanyaan di atas? Dalam madzhab Syafi’i apabila makmum hanya wanita, posisi imam wanita dengan makmum perempuan (satu), maka farmasinya sama dengan imam laki-laki dengan makmum laki-laki (satu) yaitu posisi makmum berada di sebelah kanan imam, agak mundur sedikit. Keterangan ini dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al Baijarami ala syarh al Minhaj juz 1 halaman 321 sebagai berikut:

ومثل شرح م ر قال ع ش فإن لم يحضر إلا امرأة فقط وقفت عن يمينها أخذا مما تقدم في الذكور ا هـ

“Jika makmumnya yang hadir hanya satu wanita, maka dia berdiri di samping kanannya imam, karena hal ini sama dengan posisi shalat pada laki-laki.”

Dalam pandangan ulama madzhab As-Syafiiyah yang berlandaskan pada hadis Aisyah, bahwa posisi wanita yang menjadi imam bagi jamaah wanita lainnya (banyak) adalah di tengah dan sejajar dengan shaf. Imam as Syairozi salah satu ulama madzhab as Syafi’iyah dalam kitabnya mengatakan:

السنة ان تقف امامة النساء وسطهن لما روى أن عائشة وام سلمة امتا نساء فقامتا وسطهن

“Sunnah hukumnya bagi wanita yang menjadi imam bagi wanita lainnya untuk berdiri di tengah-tengah mereka, sebagaimana Aisyah dan Ummu Salamah mengimami para wanita yang berdiri di tengah mereka.”

Dalam redaksi kitab Asna al Mathalib syarh Raudhu at Thalib, Imam Zakaria al Anshari mengatakan bahwa seorang wanita yang menjadi imam bagi wanita lainnya disunnahkan untuk berdiri di tengahnya. Sebagaimana ketarangan hadis riwayat Imam Baihaqi dalam dua sanadnya yang shahih bahwasanya Aisyah dan Ummu salamah saat menjadi imam, kedua berdiri sejajar dengan mereka (makmum).

Akan tetapi dalam kitab Hawaasyi al Madaniyyah juz 2 halaman 21 mengatakan posisi wanita yang menjadi imam agak maju yang sekiranya imam tersebut dibedakan dari makmum-makmum wanita. Sebagaimana teks di bawah ini:

المعروف من كلامهم كما بينته في الأصل أن إمامة النساء يندب لها مساواة المؤتمات بها. لكن في حواشي المنهج للشوبري ما نصه مع تقدم يسير بحيث تمتاز عليهن

“Yang diketahui dalam ucapan ulama, sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab asal (hasyiyah al kubra) bahwasanya imam  wanita disunnahkan bagi makmum-makmumnya supaya sejajar dengannya. Namun, dalam kitab Hawaasyi al Manhaj lil- Syaubari, yang teksnya “beserta maju sedikit yang sekiranya imam wanita dibedakan dari makmum-makmumnya.”

Dengan demikian, permasalahan tentang posisi imam wanita baik makmumnya satu maupun lebih masuk dalam ranah ikhtilaf (perbedaan pendapat di kalangan ulama) yang lumrah di dalam dunia fikih. Inti dari bahasan tersebut adalah bila mengikuti ulama yang mengatakan posisi imam wanita sejajar di tengah meraka, maka shalatnya sah. Begitupun mengikuti ulama yang mengatakan posisi imam wanita maju sedikit, karena persoalan tersebut hukumnya sunnah saja. Wallahu ‘alam bisshowab.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

الأصلُ المقررُ عند العلماء أن الصفوف في صلاة الجماعة يجب أن تكون منضبطةٌ ومتصلةٌ ولا ينبغي أن يكون هنالك انقطاعٌ بينها.

Pada dasarnya Keputusan para Ulama bahwa shaf-shaf shalat berjamah wajib mudhobit dan tersambung. Tidak diperkenankan shaf terputus antara shaf.

Ada beberapa dalil yang dijadikan rujukan dalam permasalahan ini.

Hadist pertama :

عن جابر بن سمرة رضي الله عنه أن الرسول صلى الله عليه وسلم قال:(ألا تصفون كما تصف الملائكة عند ربها!فقلنا:يا رسول الله وكيف تصف الملائكة عند ربها ؟ قال:يتمون الصف الأول،ويتراصون في الصف) رواه مسلم.وعن أنس رضي الله عنه أن الرسول صلى الله عليه وسلم قال:( أتموا الصف الأول ثم الذي يليه،فإن كان نقصٌ فيكون في الصف المؤخر)رواه أحمد وأبو داود والنسائي وابن ماجة وهو حديث حسن كما قال الحافظ ابن حجر العسقلاني.

Dari Jabir bin Samra, semoga Tuhan meridhoi dia, bahwa Rasul, SAW  besertanya, berkata: (Apakah kamu tidak berbaris (shaf)  seperti yang dilakukan malaikat di hadapan Rabb mereka! Jadi kami berkata: Wahai Rasulullah, dan bagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabb nya? Rasulullah SAW berkata: Mereka menyelesaikan baris pertama dan berbaris di baris setelahnya) Diceritakan oleh Muslim. Dari Anas. RA bahwa Rasulullah, semoga doa dan saw, bersabda: “Selesaikan baris pertama dan kemudian berikutnya, dan jika ada kekurangan, itu akan di baris belakang.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa’i, dan Ibn Majah, dan itu adalah hadits yang baik, seperti yang dikatakan Al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqalani.

Hadits kedua:

وعن أنس رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:( رُصُّوا صفوفكم قاربوا بينها وحاذوا الأعناق، فوالذي نفسي بيده إني لأرى الشيطان يدخل في خلل الصفوف كأنها الحذف)رواه أبو داود وابن حبان وصححه.والَحذَف غنمٌ سودٌ صغارٌ.

Dari Anas, semoga Tuhan meridhoi dia, dari Rasulullah SAW bersabda: “Satukan barisanmu, rapatkan di antara mereka dan luruskan lehernya, sehingga aku melihat iblis masuk melalui barisan seolah-olah mereka menghapus.” Dikisahkan oleh Abu Dawud dan Ibn Hibban menurutnya hadist ini derajatnya hasan. Dan dimaksud menghapus adalah domba hitam kecil.

وعن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:(أقيموا الصفوف،وحاذوا بين المناكب،وسدوا الخلل،ولينوا بأيدي إخوانكم،ولا تذروا فرجاتٍ للشيطان،ومن وصل صفاً وصله الله،ومن قطع صفاً قطعه الله)  رواه أبو داود،وصححه العلامة الألباني.ففي هذه الأحاديث الأمر بإقامة الصفوف وتسويتها واتصالها والتحذير من قطعها.

Dari Abdullah Ibn Umar, semoga Tuhan meridhoi mereka berdua, bahwa Rasulullah, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian, bersabda: (Menetapkan baris, baris baris, menutup cela-cela, dan bersandar dengan tangan saudara-saudara kalian, dan tidak meninggalkan cela-cela untuk setan, dan siapa pun yang bergabung dalam shaf shalat, Allah akan menyambungnya, dan siapa pun yang memutus (shaf), Allah  akan memutusnya)

Al-Allama Al-Albani mengklasifikasikan hadist ini sebagai hadist shahih, dalam hadits ini perintah untuk mengatur shaf shalat, meluruskannya, dan menyambungkannya, dan memperingatkan agar tidak memutusnya.

berdasarkan dalil ini maka para ulama sepakat bahwa shaf harus tersambung dan mudhobit.

namun terjadi perbedaan ulama hukum shaf makmum terhalang oleh pembatas atau hijab dan makmum di luar masjid. terutama karena ada kondisi yang darurat karena masjid penuh.  Apakah sah shalat berjamaahnya atau tidak?

Jawaban :

Pertama : ulama mengatakan hukumnya sah shalat makmum terhalang oleh pembatas atau hijab dan makmum di luar masjid dengan syarat dapat mendengar takbir Imam dan juga gerakan imam atau makmum yang bersambung dengan imam. Ini merupakan pendapat As-Syafi’iyyah dan Malikiyyah, dan sebagian riwayat Ahmad.

berdasarkan dalil berikut ini

وسئل الإمام أحمد أيضاً عن رجلٍ يصلي يوم الجمعة وبينه وبين الإمام سترة، فقال:إذا لم يقدر على غير ذلك.

Imam Ahmad juga ditanyai tentang seorang pria yang shalat pada hari Jumat dan antara makmun dan Imam ada penghalan, dan dia berkata: Jika dia tidak mampu melakukan yg harusnya (menyambung shaf shalat).

maksudnya sah hukumnya, jika dia tidak bisa lakukan kecuali hal tersebut yaitu shalat ada penghalangnya

وقال الشيخ ابن قدامة المقدسي:[فإن كان بين الإمام والمأموم حائلٌ يمنع رؤية الإمام، أو من وراءه، فقال ابن حامد فيه روايتان: إحداهما لا يصح الائتمام به اختاره القاضي، لأن عائشة قالت لنساءٍ كنَّ يصلين في حجرتها:لا تصلين بصلاة الإمام، فإنكن دونه في حجاب. ولأنه لا يمكنه الاقتداء به في الغالب.والثانية يصح. قال أحمد في رجلٍ يصلي خارج المسجد يوم الجمعة وأبواب المسجد مغلقة، أرجو أن لا يكون به بأسٌ. وسئل عن رجلٍ يصلي يوم الجمعة وبينه وبين الإمام سترة،قال:إذا لم يقدر على غير ذلك.وقال:في المنبر إذا قطع الصف لا يضر.ولأنه أمكنه الاقتداء بالإمام فيصح اقتداؤه به من غير مشاهدةٍ كالأعمى،ولأن المشاهدة تُراد للعلم بحال الإمام ،والعلم يحصل بسماع التكبير، فجرى مجرى الرؤية، ولا فرق بين أن يكون المأموم في المسجد أو في غيره.واختار القاضي:أنه يصح إذا كانا في المسجد، ولا يصح في غيره، لأن المسجد محل الجماعة وفي مظنة القرب، ولا يصح في غيره لعدم هذا المعنى، ولخبر عائشة.ولنا أن المعنى المجوز أو المانع قد استويا فيه فوجب استواؤهما في الحكم. ولا بدَّ لمن لا يشاهد أن يسمع التكبير ليمكنه الاقتداء، فإن لم يسمع لم يصح ائتمامه به بحالٍ، لأنه لا يمكنه الاقتداء به] المغني2/39.

Dan Syekh Ibn Qudamah al-Maqdisi berkata: [Jika ada pembatas antara imam dan jamaah yang menghalangi imam untuk melihat, atau di belakangnya, maka Ibn Hamid mengatakan ada dua riwayat di dalamnya: Salah satunya tidak sah untuk mengikutinya, dipilih oleh hakim, karena Aisyah Radhiyallahu anha berkata kepada wanita yang biasa sholat di kamarnya: Jangan kalian sholat berjamaah kepada imam, yang kalian terhalang dengannya.  karena kalian tidak bisa sering meniru dia, dan yang kedua benar. Ahmad berkata tentang seorang pria yang shalat di luar masjid pada hari Jumat dengan pintu masjid tertutup, saya berharap tidak ada yang salah dengan itu. Dia ditanyai tentang seorang pria yang shalat pada hari Jumat, dan antara dia dan Imam ada penghalang, Dia berkata: Jika dia tidak mampu melakukan yang sebaliknya.

Dia berkata: Di mimbar, jika dia memutus shaf shalat tidak ada salahnya, karena dia bisa mengikuti gerakan imam, jadi sah shafnya jika mengikuti imam tanpa terlihat, seperti orang buta, dan karena melihat (imam) itu dimaksudkan untuk  mengikuti gerakan imam, dan pengetahuan terjadi dengan mendengarkan takbir, jadi cara menyaksikan imam (makmum melihat imam) dilakukan, dan tidak ada bedanya. Dia menunjukkan bahwa mengikuti imam di dalam masjid atau di tempat lain, dan hakim berkata: Sah jika mereka ada di masjid, dan tidak sah selain masjid, karena masjid adalah tempat jemaah dan terkesan dekat, dan itu tidak berlaku di luar masjid karena kurangnya Pengertian pada  ini, dan riwayat Aisyah RA. Mereka kedudukannya sama,  Dia yang terhalang dari imam, harus mendengar takbir agar bisa meniru, dan jika makmum tidak mendengar maka tidak sah mengikutinya dengan cara apapun, karena makmum tidak bisa meniru imam] Al-Mughni 2/39.

maksudnya adalah sah hukumnya makmum shalat berjamaah dengan imam dan ada penghalangnya, dengan syarat makmum mendengar suara imam dan mengetahui gerakan imam atau makmum (yang bersama dengan imam)

Pendapat lainnya adalah pendapat Syeikkh Al-Mardawai

وقال الشيخ المرداوي الحنبلي بعد أن ذكر الخلاف في المذهب:[…يجوز فيها ذلك على كلا الروايتين ،نظراً للحاجة…وإن كانا خارجين عن المسجد،أو كان المأموم خارج المسجد والإمام في المسجد،ولم يره ولا من وراءه،ولكن سمع التكبير، فالصحيح من المذهب:لا يصح، قدَّمه في الفروع، والرعاية الكبرى،والمحرر،والفائق،وابن تميم،وهو ظاهر كلام كثير من الأصحاب،وهو ظاهر كلام المصنف هنا.وعنه يصح،قال أحمد في رجلٍ يصلي خارج المسجد يوم الجمعة وأبواب المسجد مغلقة أرجو أن لا يكون به بأسٌ .قلت:وهو عين الصواب في الجمعة ونحوها للضرورة، وعنه يصح في النفل، وعنه يصح في الجمعة خاصة] الإنصاف 2/293

Syekh Al-Mardawai Al-Hanbali berkata setelah menyebutkan perbedaan dalam mazhab hambali: [… diperbolehkan (shalat ada penghalangnya) di dalam masjid menurut kedua riwayat tersebut, karena kebutuhan … dan jika mereka berada di luar masjid, atau jika mengikuti imam berada di luar masjid dan imam ada di masjid, dan dia tidak melihat dia atau orang-orang di belakangnya, tetapi dia mendengar takbir, maka yang benar adalah dari mazhab hambali: Tidak sah, dia sampaikan di al-Furoo ‘, al-Ra’a al-Kabir, al-Muharrir, al-Faiq, dan Ibn Tamim, dan itu terlihat dari perkataan banyak sahabat, dan itu dipahami dari zhahir perkataannya. Dan pendapat beliau kata Ahmad adalah sah hukumnya pada seorang pria yang shalat di luar masjid pada hari Jumat dan pintunya tertutup, saya berharap hukum tidak mengapa hal tersebut. Saya katakan: Itu adalah pandangan yang benar tentang hari Jumat dan permasalahan seperti itu karena darurat., dan dari situ sah bermakmun dengan imam di luar masjid atau adanya penghalang boleh di shalat sunnah saja dan d berlaku pada hari Jumat secara khusus] Al-Insaaf 2/293

ورجَّح  شيخ الإسلام ابن تيمية جواز ذلك للحاجة مطلقاً،مثل أن تكون أبواب المسجد مغلقة، حيث قال شيخ الإسلام ابن تيمية:[وأما صلاة المأموم خلف الإمام خارج المسجد أو في المسجد وبينهما حائلٌ،فإن كانت صفوفٌ متصلة جاز باتفاق الأئمة،وإن كان بينهما طريقٌ أو نهرٌ تجري فيه السفن، ففيه قولان معروفان هما روايتان عن أحمد:أحدهما:المنع،كقول أبي حنيفة. والثاني:الجواز:كقول الشافعي.وأما إذا كان بينهما حائلٌ يمنع الرؤية والاستطراق، ففيهما عدة أقوال في مذهب أحمد وغيره.قيل:يجوز،وقيل:لا يجوز،وقيل:يجوز في المسجد دون غيره،وقيل:يجوز مع الحاجة،ولا يجوز بدون الحاجة،ولا ريب أن ذلك جائز مع الحاجة مطلقاً مثل أن تكون أبواب المسجد مغلقة،أو تكون المقصورة التي فيها الإمام مغلقة أو نحو ذلك،فهنا لو كانت الرؤية واجبة لسقطت للحاجة]مجموع فتاوى ابن تيمية 23/408.

Syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah lebih memilih bahwa hal ini diperbolehkan secara mutlak, seperti pintu masjid ditutup, seperti yang dikatakan Syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah: [Adapun shalat jamaah di belakang imam di luar masjid atau di masjid dan ada pembatas di antara mereka, jika ada baris yang terus menerus dibolehkan hukumnya sesuai dengan kesepakatan para imam, dan jika ada jalan di antara mereka Atau sungai yang dilalui kapal, dan ada dua riwayat dari Ahmad: Salah satunya larangan (beliau melarang shalat ada penghalangnya), seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifa.

Dan yang kedua: diperbolehkan: seperti ucapan Al-Syafi’i. Tetapi jika ada pembatas di antara mereka yang menghalangi penglihatan dan mengetahui gerakan imam, maka ada beberapa pendapat dalamnya masalah ini.  dalam mazhab Ahmed dan lain-lain.

Pendapat pertama : Itu diperbolehkan

pendapat kedua : Tidak diperbolehkan, ….

Pendapat ketiga : Itu tidak diperbolehkan di masjid saja,

Pendapat keempat : Itu tidak diperbolehkan jika tidak Perlu, dan tidak ada keraguan bahwa ini diperbolehkan dengan kebutuhan yang mutlak, seperti jika pintu masjid ditutup, atau mihrob tempat imam ditutup atau semacamnya.Di sini, jika riwayat (harus menyambung shaf) itu wajib hukumnya, maka jatuh hukum kewajiban disebabkan kebutuhan] Majmoo ‘Fataawa Ibn Taymiyyah 23/408.

Pendapat lainnya yang membolehkan shalat berjamaah namun ada penghalang

وعند المالكية يجوز الفصل بين الإمام والمأموم في جميع الحالات إلا إذا كان لا يسمع أقواله ولا يرى أفعاله ولا أقوال أو أفعال أحد من مأموميه، ففي مثل هذه الحالة فقط لا يجوز أن يقتدي به، قال الشيخ عليش في منح الجليل: وجاز فصل مأموم عن إمامه بنهر صغير أي غير مانع من سماع أقوال الإمام أو مأموميه أو رؤية أفعاله أو أفعال مأموميه… أو طريق صغير كذلك، اللخمي: يجوز لأهل الأسواق أن يصلوا جماعة، وإن فرقت الطريق بينهم وبين إمامهم. 1/375.

Menurut para Maliki, dalam semua keadaan makmun dibolehkan adanya pemisah atara dirinya dengan imam, kecuali makmum tidak mendengar perkataan imam dan tidak melihat perbuatan imam, atau ucapan atau gerakan makmum  (yang tersambung dengan imam) dalam kasus seperti itu (dimana makmum tidak mendengar suara imam) maka tidak sah mengikuti imam tersebut.

Berkata syeikh alisy di manh jalil, boleh imam dan makmum terpisah oleh sungai kecil, artinya, tidak ada keberatan untuk mendengarkan ucapan imam atau makmumnya, atau melihat perbuatannya atau perbuatan para makmumnya … atau juga dipisah (antara imam dan makmum) oleh jalan kecil, Al-Lakhmi: Masyarakat pasar dibolehkan untuk shalat berjamaah, meskipun jalan itu memisahkan mereka dari imamnya. 1/375.

Kedua : pendapat yang tidak sah shaf shalat dengan terputusnya shaf antara imam dan makmun dengan pembatas, harus tersambungnya shaf. Pendapat ini adalah pendapat Hanafiyyah dan sebagian riwayat Imam Ahmad atau hanabilah.

Bagi Hanabilah tidak cukup mendengarkan suara imam. Tapi juga harus melihat imam atau makmum yang bersama satu masjid dengan imam. Namun dalam riwayat yang lain mengatakan cukup mendengar imam dan mengetahui gerakan imam atau makmum yang membersamainya.

Berikut ini ada fatwa Lajnah Ifta’ Mesir.

تنضبط أحكام الإمامة والاقتداء بمجموعة من الضوابط والأحكام، ومن ذلك اختلاف موضع الإمام والمأموم، فإذا كان الإمام يقف في المسجد والمأموم خارجه، وجب ألا يحول حائل -حائط مثلاً- بين صفوف المسجد والصفوف التي تقف خارج المسجد، كما يشترط قرب المسافة بين المسجد والمأموم الواقف خارجه بما لا يزيد عن مائة وخمسين متراً؛ كما جاء في [الإقناع 1 /168] من كتب فقهاء الشافعية: “وإن صلى الإمام في المسجد والمأموم خارج المسجد حالة كونِه قريباً منه، أي: من المسجد، بأن لا يزيد ما بينهما على ثلاثمائة ذراع تقريباً، معتبراً من آخر المسجد [جاز]؛ لأن المسجد كله شيء واحد؛ لأنه محل الصلاة فلا يدخل في الحد الفاصل”.

Aturan-aturan imamah dan mengikuti seperangkat ketentuan dan hukum yang ditetapkan, termasuk perbedaan kedudukan imam dan makmum, maka jika imam berdiri di dalam masjid dan makmum di luarnya, maka wajib tidak ada pemisah tembok – misalnya – antara barisan masjid dan barisan yang berdiri di luar masjid, dan diperlukan jarak yang dekat antara masjid dengan jemaah yang berdiri. Di luarnya tidak lebih dari seratus lima puluh meter; Seperti yang dikatakan dalam [Al-Iqna’a 1/168] dari kitab-kitab ahli hukum Syafi’i: “Dan jika imam shalat di masjid dan jemaah di luar masjid jika dia dekat dengannya, yaitu: dari masjid, yang ada di antara mereka tidak melebihi kira-kira tiga ratus hasta, mengingat ujung masjid [mungkin] Karena masjid itu semuanya satu, karena itu tempat sholat, jadi tidak masuk batas.

أما وجود فراغ في الصفوف التي تقف في المسجد، مع وجود صفوف خارج المسجد، فلا تؤثر على صحة صلاة الجماعة، وإنما تنقص من ثواب الجماعة؛ كما قال العلامة الشربيني: “ويسن سد فرج الصفوف، وأن لا يشرع في صف حتى يتم الأول، وأن يفسح لمن يريده، وهذا كله مستحب لا شرط، فلو خالفوا صحت صلاتهم مع الكراهة” [مغني المحتاج 1 /493].

Adapun adanya ruang kosong pada barisan yang berdiri di dalam masjid, bila terdapat barisan di luar masjid tidak mempengaruhi keabsahan shalat jamaah, melainkan mengurangi pahala jamaah. Syeikh Al-Syarbini juga berkata: “Itu diberlakukan untuk menutup kekosongan shaf, dan itu tidak buat shaf baru sampai yang pertama selesai, dan hendaknya meluaskan shafnya untuk siapa pun yang menginginkannya, dan semua ini diinginkan, bukan syarat. Kalaupun mereka menyalahinya maka shalatnya sah disertai dengan makruh. mughani almuhtaj 1 /493].

وعليه، فيشترط لصحة اقتداء المأموم بالإمام من خارج المسجد أن تكون المسافة بينه وبين الإمام قريبة، وألا يحول حائل بينه وبين صفوف المسجد، وكذلك تصح صلاة المأموم الذي ترك فرجة في الصفوف المتقدمة مع الكراهة. والله تعالى أعلم.

Atas dasar itu, syarat sah berjamaah bagi yang makmum mengikuti imam dari luar masjid hendaknya jarak antara makmum dengan imam yang dekat, dan tidak ada pembatas yang menghalanginya dari barisan masjid.Selain itu, tidak disukai sholat jemaah yang meninggalkan celah di barisan depan.Wallahu A’lam.

Kesimpulan.

Dalam suatu pertanyaan yang ditujukan kepada saya tentang hukum shalat berjamaah dengan posisi makmum berada di luar masjid dengan jarak yang dekat dan dipisahkan oleh dinding yang transparan / kaca, makmum di luar dapat mendengar suara imam melalai mikropon, ditambah kondisi jamaah yang membludak ke luar masjid maka hukum shalatnya sah, berdasarkan pendapat para ulama diantaranya Malikiyyah dan Syafi’iyyah, dan sebagian riwayat Imam Ahmad. Wallahu A’lam.

Referensi :
Al-Mughni 2/39.
Al-Iqna’a 1/168

Majmoo ‘Fataawa Ibn Taymiyyah 23/408.

mughani almuhtaj 1 /493

Beberapa referensi dari Website :
https://www.aliftaa.jo/Question2.aspx?QuestionId=3389#.X3qDrtozbIV
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/
http://yasaloonak.net/2014/