Setelah memahami makna orang Samaria apa kesimpulan tentang ayat itu

Oleh: Tri Setia Kristiyani

Setelah memahami makna orang Samaria apa kesimpulan tentang ayat itu

Apa yang kamu pelajari dari “Kisah Orang Samaria yang Murah Hati” yang terkenal itu? Biasanya aku mendengar nasihat untuk berbuat baik tanpa membeda-bedakan latar belakang orang yang ditolong. Namun, ketika aku membaca sendiri catatan Alkitab tentang kisah tersebut (Lukas 10:25-37), ternyata ada banyak hal menarik yang bisa kupelajari.

1. Berbicara tentang kebenaran tidak menjamin seseorang memiliki hati yang benar.
Menarik untuk memperhatikan bahwa kisah ini ternyata merupakan sebuah perumpamaan yang diceritakan Yesus sebagai jawaban atas “pertanyaan tidak tulus” dari seorang ahli Taurat (Lukas 10:25). Pakar Kitab Suci itu sengaja hendak mencobai Yesus! Ia tidak benar-benar ingin tahu tentang kebenaran, ia hanya ingin menguji Yesus di depan banyak orang. Dalam catatan Lukas sebelumnya, ahli-ahli Taurat dan orang Farisi memang bermaksud mencari-cari kesalahan Yesus (Lukas 6:7,11). Hari ini, kita pun bisa berdiskusi tentang kebenaran dengan motivasi keliru. Kita tidak sungguh-sungguh ingin tahu tentang kebenaran, tetapi hanya ingin memuaskan hasrat intelektual kita, menjebak lawan bicara kita, atau bahkan mempermalukannya di depan orang.

2. Khatam Kitab Suci tidak menjamin perubahan karakter
Dari percakapan yang dicatat Lukas, kita tahu bahwa sang ahli Taurat sangat menguasai isi Kitab Suci-nya. Ia bisa mengutip dengan benar hukum yang utama, yang merangkum semua hukum lainnya (lihat Matius 22:37-40). Namun, ketika ia diminta menerapkan apa yang diketahuinya, ia malah berkelit. “Siapakah sesamaku manusia?” katanya “untuk membenarkan diri” (ayat 29). Bisa jadi kita pun sudah mendengar kebenaran berkali-kali, namun terus mencari pembenaran diri untuk tidak melakukannya.

3. Aktif melayani tidak sama dengan menaati Firman Tuhan
Sang ahli Taurat mungkin terperangah dengan jawaban yang diberikan Yesus. Dua tokoh dalam perumpamaan Yesus adalah orang-orang terkemuka dalam komunitas Yahudi. Seorang imam, dan seorang Lewi, suku yang dikhususkan untuk melayani Bait Allah. Mereka tahu betul tentang hukum-hukum Allah, bahkan selalu memperkatakan kebenaran di depan umat Allah. Sayangnya, keterlibatan aktif dalam pelayanan tidak berarti seseorang menaati Firman Tuhan. Ketika diperhadapkan pada kebutuhan sesamanya, baik sang imam maupun orang Lewi, sama-sama tidak mau mempraktikkan kebenaran yang mereka ketahui dan beritakan. Mungkin mereka takut mengambil risiko menolong orang yang belum mereka kenal. Lagipula, mungkin mereka sangat sibuk dan sedang terburu-buru. Bukankah kita pun kerap demikian? Keaktifan kita melayani bukan jaminan bahwa kita selalu menaati Firman Tuhan.

4. Tuhan menghendaki kita mengasihi sesama manusia, bukan manusia yang sama dengan kita.
Perumpamaan ini adalah jawaban Yesus atas pertanyaan sang ahli Taurat: “Siapakah sesamaku manusia?” Ia mungkin berharap Yesus akan menyebutkan kriteria tertentu, yang kemudian bisa disanggahnya. Tetapi, Yesus malah memberikan perumpamaan yang mengejutkan. Orang Samaria adalah keturunan Yahudi yang sudah berdarah campuran, sehingga dihindari oleh orang Yahudi asli. Namun, ketika mendapati seorang Yahudi yang sekarat, justru orang Samaria yang memberikan pertolongan. Sungguh sebuah contoh yang dramatis! Orang yang ditolongnya bukan hanya berasal dari kaum yang berbeda, tetapi yang selama ini juga menghina dan mengasingkan kaumnya! Sebagai pengikut Kristus, kita pun dipanggil melakukan hal yang sama. Mengasihi sesama manusia bukan karena mereka sama dengan kita, atau berbuat baik kepada kita, tetapi karena Tuhan menghendaki kita menyatakan kasih-Nya kepada sesama kita. Dan, itu berarti termasuk orang-orang yang pernah menyakiti kita.

5. Kita membutuhkan kasih karunia Tuhan untuk memampukan kita mengasihi orang lain.
Yesus meminta sang ahli Taurat meneladani perbuatan orang Samaria yang murah hati (ayat 37). Sebuah perintah yang tidak mudah. Jangankan mengasihi orang yang memandang kita sebelah mata, orang dari kelompok yang sama pun belum tentu mudah untuk dikasihi. Betapa kita semua butuh kasih karunia Tuhan untuk dapat menaati perintah-Nya. Kupikir, sulit untuk benar-benar mengasihi jika kita sendiri belum mengalami kasih Allah. Kita hanya akan baik kepada orang yang juga baik terhadap kita, atau karena kita punya kepentingan tertentu. Namun, ketika kita mengingat kasih Allah kepada kita yang berdosa—Kristus mati ganti kita yang seharusnya mendapat hukuman kekal—kita pun digerakkan dan dimampukan untuk mengasihi sesama dengan tidak tanggung-tanggung, termasuk mereka yang dalam pandangan dunia tidak layak untuk dikasihi.

Kisah “Orang Samaria yang Murah Hati” bukan sekadar kisah teladan menolong orang lain tanpa pamrih. Kisah ini seperti cermin yang menunjukkan tembok-tembok keangkuhan diri yang membuat kita cenderung mencari pembenaran diri, tidak menjalankan kebenaran yang sudah berkali-kali kita dengar, menutupi ketidaktaatan kita dengan berbagai aktivitas pelayanan, atau mendefinisikan perintah Tuhan sesuai dengan standar penilaian kita sendiri. Betapa perlu Tuhan menghancurkan tembok-tembok keangkuhan itu agar kita dapat benar-benar mengasihi sesama seperti diri sendiri, sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan.

Yahudi Samaria atau Orang Samaria adalah penduduk wilayah Israel bagian utara, yang dulunya menjadi wilayah Kerajaan Israel.[1] Sejak abad ke-6 SM, ada pertentangan antara orang-orang Samaria dengan orang-orang Yahudi Haredi, yang berlangsung hingga masa Perjanjian Baru.[1] Pertentangan tersebut terutama disebabkan alasan etnisitas, yang mana orang-orang Yahudi Haredi menganggap orang-orang Samaria tidak berdarah Israel murni karena merupakan hasil pernikahan campur orang Yahudi dengan non-Yahudi.[1]

Setelah memahami makna orang Samaria apa kesimpulan tentang ayat itu

Orang Samaria

Selain itu, dalam hal keagamaan juga ada perbedaan di antara keduanya sehingga Yahudi Haredi menganggap ibadah Samaria tidaklah benar.[1] Disisi lain, Samaria juga melihat Yahudi Haredi secara negatif. Orang-orang Samaria menganggap diri mereka sebagai bangsa Yahudi asli, dan memisahkan diri dari kalangan bangsa Israel yang telah dicemarkan oleh imam Eli pada zaman Samuel.[2]

Daerah tempat tinggal orang Samaria terletak di tengah-tengah Yudea di Selatan dan Galilea di Utara, yang mana keduanya merupakan tempat tinggal bagi mayoritas orang-orang Yahudi.[3] Karena itu, orang-orang Yahudi yang terletak di Galilea sering terancam diserang oleh perampok-perampok Samaria bila hendak menuju ke Yudea, atau sebaliknya.[1] Alternatif lain bagi orang Yahudi di Galilea untuk ke Yudea adalah melewati jalan di sebelah Timur Sungai Yordan yang lebih panjang.[1]

Akar dari orang-orang Samaria adalah penduduk Israel Utara, yang pada tahun 722 SM ditaklukan oleh bangsa Asyur.[1] Kebijakan Asyur saat itu adalah membuang sebagian penduduk Israel Utara ke tempat lain, dan memasukkan penduduk bangsa-bangsa lain ke daerah Israel Utara.[1] Hal itu dilakukan untuk mencegah pemberontakan.[1] Orang-orang Samaria kemudian dianggap sebagai hasil asimilasi antara orang-orang Israel dengan penduduk bangsa lain yang ditaruh di sana.[1]

Pada saat orang-orang Yahudi yang berasal dari Kerajaan Yehuda kembali dari Pembuangan, mereka mulai merumuskan kembali identitas Yahudi dan disertai pelbagai peraturan keagamaan.[4] Mereka menekankan kemurnian darah Yahudi, sehingga memandang negatif orang-orang Samaria.[4] Hubungan keduanya semakin diperburuk ketika pada tahun 128 M, Yohanes Hirkanus, yang menjadi pemimpin orang Yahudi waktu itu, menghancurkan bait suci orang Samaria di bukit Gerizim dalam rangka memperluas daerah Yudea.[4] Karena itu, hubungan antara orang Yahudi dan orang Samaria yang penuh ketegangan terus berlanjut.[4]

Pola keagamaan orang Samaria mirip dengan umat Yahudi dalam hal menyembah satu Tuhan Yang Maha Esa (Yahweh), perayaan hari Sabat, perayaan Paskah, dan sebagainya.[3] Akan tetapi, ada beberapa hal lain yang membedakan pola keagamaan orang Samaria dengan orang Yahudi.[3]

 

Pusat Ibadah orang-orang Samaria di Gunung Gerizim

Pusat Ibadah di Gunung Gerizim

Orang-orang Samaria tidak mengakui Yerusalem sebagai tempat ibadah utama, melainkan mendirikan bait suci yang menjadi pusat peribadahan mereka di dekat Gunung Gerizim.[1] Gunung Gerizim mereka anggap sebagai tempat suci pilihan Allah dan di situlah mereka menyelenggarakan ibadah mereka sendiri.[3] Tidak diketahui dengan pasti kapan bait tersebut dibangun, namun pastinya telah berdiri sebelum tahun 128 SM ketika dihancurkan oleh Yohanes Hirkanus dari bangsa Hasmoni.[4]

 

Orang Samaria dan Taurat Samaria.

Taurat Musa

Sebagai kitab suci, mereka hanya mengakui Taurat Musa yang disadur sedikit sesuai keyakinan mereka, yang disebut sebagai "Taurat Samaria".[3] Kitab-kitab para nabi dan kitab-kitab lain di dalam Kitab Suci Ibrani tidak mereka akui sebagai bagian kitab suci.[1] Kitab Taurat tersebut disusun kurang lebih abad ke-1 atau ke-2 SM, dan berisi legitimasi atas pentingnya Gunung Gerizim atau Sikhem sebagai tempat ibadah.[5] Sebaliknya, mereka menolak Yerusalem dan Bait Suci di sana sebagai tempat beribadah yang benar.[5]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l S. Wismoady Wahono.1986. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 338-339
  2. ^ (Inggris)Etienne Nobet. 1997. A Search for the Origins of Judaism: From Joshua to Mishnah. Sheffield: Sheffield Academic Press. P. 123.
  3. ^ a b c d e C. Groenen. 1984.Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 39-40
  4. ^ a b c d e (Indonesia)John Stambaugh, David Balch. 1997. Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 111-114.
  5. ^ a b (Inggris)Bernard M. Levinson. 2008. Legal Revision and Religious Renewal in Ancient Israel. Cambridge: Cambridge University Press. P. 127-128.

  • Anti-missionary - Samaritanism Diarsipkan 2010-01-05 di Wayback Machine. Defense of the Jewish Belief about Samaritans
  • Jewish Encyclopedia, 1911: "Samaritans"
  • "The Origin and Nature of the Samaritans and their Relationship to Second Temple Jewish Sects" Diarsipkan 2015-03-23 di Wayback Machine., David Steinberg
  • "Samaritans" (theory on the Samaritan-Jewish tensions), Jona Lendering
  • "The Samaritan Pentateuch", Mark Shoulsons
  • "Guards of Mount Gerizim", Alex Maist
  • "Bibliography", James A Montgomery
  • "The Samaritans – the earliest Jewish sect", James A Montgomery
  • Samaritan Alphabet
  • Samaritan Museum Diarsipkan 2009-09-04 di Wayback Machine., JERZIM (bad-webcode site, IE only?)
  • "The Messianic Hope of the Samaritans" by Jacob, Son of Aaron, High Priest of the Samaritans, Chicago, 1907
  • "Josephus' attitude towards the Samaritans" from "Studies in Hellenistic Judaism" By Louis H. Feldman
  • "Samaritans in Nablus and the West Bank", Rüdiger Benninghaus

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Orang_Samaria&oldid=21167274"