Peran perusahaan dalam mengurangi efek gas rumah kaca tersebut

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah terus mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) demi menekan emisi gas rumah kaca sebagai upaya mengurangi dampak perubahan iklim.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, setidaknya ada tujuh cara dalam menekan emisi gas rumah kaca di Tanah Air.

Pertama, terkait sektor transportasi. Dia mengatakan, Kementerian ESDM berupaya mempercepat program kendaraan listrik, dengan menyiapkan mulai dari kebutuhan hulunya. Selain itu, Kementerian ESDM juga menyiapkan dari sisi pengisian daya (charging) dengan membangun Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT


"Terkait dengan infrastruktur kendaraan listrik, harus diatur dari sisi standar dan keselamatan, segala jenis kendaraan listrik bisa dicas dengan baik di setiap SPKLU-nya, bagaimana proses perizinan dan sertifikasi laik operasi," paparnya dalam diskusi 'Peran EBT untuk Mewujudkan Sustainable City di Indonesia', secara daring oleh bisnis.com, Rabu (24/02/2021).

Selain pengisian daya, disediakan juga Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). Diharapkan, agar jenis baterai ini tidak terlalu banyak, sehingga bisa memudahkan dalam penukaran dan mencapai keekonomian.

Kedua, adalah sektor bangunan gedung. Perlu diperhatikan bagaimana membuat gedung menjadi hemat energi, namun tidak melupakan aspek kenyamanan. Dadan menyebut pihaknya sudah punya komunikasi yang baik dengan para pemangku kepentingan pengelolaan bangunan.

"Solusi terintegrasi untuk mengatasi masalah penghematan energi, perlindungan lingkungan, dan pengurangan emisi CO2," jelasnya.

Ketiga, adalah di sektor rumah tangga, yakni penggunaan peralatan yang hemat energi. Kaitannya dengan lampu dan AC, kata Dadan, dipastikan bahwa dilakukan standardisasi.

"Hal yang sama dilakukan untuk alat-alat rumah tangga yang lain," ujarnya.

Keempat, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. PLTS Atap sudah banyak dilakukan baik dalam skala besar dan skala kecil.

Kelima, melalui bahan bakar berbasis non fosil yakni biofuel, seperti biodiesel maupun bio gasoline.

Keenam, melalui penerangan jalan umum (PJU).

Ketujuh, adalah pengolahan sampah. Mengolah sampah di sini tujuan utamanya adalah menekan jumlah sampahnya. Namun demikian, sampah juga bisa menghasilkan listrik.

Lebih lanjut dia mengatakan dalam Perjanjian Paris ditetapkan penurunan emisi tahun 2030 sekitar 880 juta ton CO2 di mana sektor ESDM mendapatkan jatah 314 juta ton penurunan CO2. Untuk mencapai ini, 75% akan dikontribusikan dari EBT dan sisanya dari energi bersih.

"Energi bersih yang tetap energi fosil misalnya pemanfaatan gas, karena secara emisi kan bagus. Atau dengan batu bara dengan teknologi terkini, sehingga dari sisi emisi juga lebih baik," ungkapnya.


[Gambas:Video CNBC]

(wia)

Kontribusi Penurunan Emisi GRK Nasional, Menuju NDC 2030

Peran perusahaan dalam mengurangi efek gas rumah kaca tersebut

Pengaturan kelembagaan yang diterapkan dalam inventarisasi GRK Nasional diatur dalam Lampiran I Peraturan Menteri LHK Nomor P.73/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tanggal 29 Desember 2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Sesuai mandat yang tercantum di Perpres 71/2011, penyusunan inventarisasi GRK nasional melibatkan partisipasi aktif pemerintah sub-nasional (provinsi, kabupaten dan kota). Namun demikian dalam pengembangan inventarisasi GRK nasional saat ini hanya melibatkan K/L pusat. Dalam pengembangan inventarisasi GRK nasional, peran pemenerintah daerah diperkuat secara berkelanjutan. Sehingga di masa depan, pengembangan inventarisasi GRK akan dilengkapi melalui pendekatan top-down dan bottom-up, agar dapat dibandingkan perhitungan yang dilakukan di tingkat nasional dengan agregasi hasil perhitungan yang dilakukan pemerintah daerah.


Indonesia telah menyatakan komitmennya pada Conference of Parties (COP) 15 tahun 2009 untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% (dengan usaha sendiri) dan sebesar 41% (jika mendapat bantuan internasional) pada tahun 2020. Komitmen Indonesia tersebut diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Republik Indonesia yang pertama pada bulan November 2016 dengan ditetapkannya rget unconditional sebesar 29% dan target conditional sampai dengan 41% dibandingkan skenario business as usual (BAU) di tahun 2030. Secara nasional, target penurunan emisi pada tahun 2030 berdasarkan NDC adalah sebesar 834 juta ton CO2e pada target unconditional (CM1) dan sebesar 1,081 juta ton CO2e pada target conditional (CM2). Untuk memenuhi target tersebut, secara nasional telah dilakukan berbagai aksi mitigasi pada semua sektor oleh penanggung jawab aksi mitigasi.


Dalam rangka memberikan informasi tentang pencapaian target dari komitmen NDC, juga sebagai kontrol terhadap progress capaian NDC, serta sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden No 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (GRK), Pemerintah Indonesia telah menyelenggarakan inventarisasi GRK Nasional, serta Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV), dengan mengacu pada Intergovernmetal Panel on Climate Change (IPCC) Guidelines Tahun 2006. Penghitungan emisi dilakukan terhadap 4 (empat) kategori sumber emisi atau sektor, yaitu energi, proses industri dan penggunaan produk, pertanian dan kehutanan serta perubahan penggunaan lahan lainnya, serta pengelolaan limbah.


Perhitungan emisi yang dilaporkan merupakan berdasarkan metodologi IPCC Guideline 2006 dengan tingkat Tier 1 dan Tier 2. Global Warming Potential (GWP) yang digunakan untuk mengkonversi data emisi GRK non-CO2 menjadi karbon dioksida ekuivalen (CO2-e) mengikuti Second Assessment Report (2nd AR of IPCC). Data aktifitas dan factor emisi sangat memegang peran penting dalam mendapatkan nilai emisi. Data aktifitas diperoleh dari kementerian/lembaga yang memiliki dan menyimpan data yang dibutuhkan. Sedangkan faktor emisi menggunakan data faktor emisi lokal dan faktor emisi lokal yang belum tersedia, menggunakan faktor emisi default dari IPCC Guideline 2006.

Peran perusahaan dalam mengurangi efek gas rumah kaca tersebut

Pelaksanaan verifikasi capaian penurunan emisi GRK untuk masing-masing sektor dilakukan dengan metodologi perhitungan yang mengacu pada metodologi yang telah dibangun pada masing- masing penanggung jawab aksi di kementerian teknis terkait. Perhitungan verifikasi dilakukan terhadap 27 aksi mitigasi dari seluruh sektor, dengan mengacu pada metodologi IPCC Guideline 2006.


Hasil pelaporan kegiatan inventarisasi GRK Nasional, serta Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) telah di publikasikan melalui Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MRV Nasional 2017. Hasil perhitungan inventarisasi gas rumah kaca nasional menunjukkan bahwa tingkat emisi GRK di tahun 2016 menjadi sebesar 1.514.949,8 GgCO2e, meningkat sebesar 507.219 GgCO2e dibanding tingkat emisi tahun 2000, atau mengalami peningkatan sebesar 2,9% per tahun selama periode tahun 2000-2016. Sedangkan kontribusi penurunan emisi secara nasional pada tahun 2016 terhadap target yang ditetapkan dalam NDC tahun 2030 adalah sebesar 8,7% dari target penurunan emisi sebesar 834 Juta Ton CO2e atau 29% dari BAU.

Peran perusahaan dalam mengurangi efek gas rumah kaca tersebut

Kontribusi dimaksud berasal dari sektor energi sebesar 3,28%, sektor IPPU sebesar 0,23%, sektor kehutanan sebesar 4,71%, sektor pertanian -0,1%, dan sektor limbah sebesar 0,57%. Dari hasil kontribusi tersebut apabila dibandingkan dengan skenario CM1 dan CM2 maka masih diperlukan usaha yang lebih besar di seluruh sektor untuk memenuhi target yang telah ditetapkan dalam NDC.


Penyelenggaraan inventarisasi gas rumah kaca, monitoring, pelaporan dan verifikasi merupakan suatu proses yang berkesinambungan karena melibatkan upaya perbaikan yang dilakukan terus menerus sejalan dengan semakin berkembangnya ketersediaan data dan pengetahuan terkait dengan pendugaan emisi dan serapan GRK. Upaya perbaikan dalam peningkatan kualitas data, sistem dokumentasi dalam mendukung QA/QC dan transparansi data masih perlu ditingkatkan dalam rangka perbaikan penyelenggaraan inventarisasi GRK dan monitoring, pelaporan dan verifikasi. Peningkataan kualitas data aktifitas maupun faktor emisi dari data terkecil, merupakan prioritas perbaikan dalam penyelenggaraan inventarisasi gas rumah kaca pada sektor yang mempunyai key category dan uncertainty tinggi. Upaya perbaikan selanjutnya akan difokuskan pada sumber/rosot yang sudah diidentifikasi sebagai kategori kunci serta untuk meningkatkan kualitas inventarisasi GRK ke Tier yang lebih tinggi.

Sumber: Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MRV Nasional 2017.

PANDEMI Covid-19 memberikan dampak luar biasa pada seluruh aspek kehidupan manusia. Meski begitu, tidak semuanya bersifat negatif, karena pandemi yang telah berlangsung selama 18 bulan juga menjadi momentum percepatan digitalisasi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.

Sejalan dengan target besar negara untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) pada tahun 2030, pemerintah mengambil langkah untuk memaksimalkan potensi Indonesia melalui inisiatif transformasi digital. 

Sementara itu, pemerintah menekankan untuk tidak hanya sekedar fokus pada digitalisasi fasilitas atau pun layanan publik.

Terlebih lagi, sektor publik dan swasta perlu mengembangkan lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitar.

Targetnya, segala perangkat dan kemudahan yang dimungkinkan oleh teknologi akan menjadi pendukung terciptanya kenyamanan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat agar menjadi lebih hijau, berkelanjutan, dan inklusif. 

Dalam perjalanan Indonesia menuju SDGs, tentu diperlukan perencanaan dan kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta.

Untuk itu, pada Oktober 2021, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) bersama dengan Cisco, perusahaan yang telah berpartisipasi aktif dalam menyediakan solusi teknologi berkelanjutan, menghadirkan sesi diskusi untuk membahas peran swasta dalam memperbarui model bisnis guna mendukung dan mencapai target SDGs. 

Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, dan Kepala Sekretariat Nasional SDG, Dr. Vivi Yulaswati, MSc menyatakan,“Ada 17 goal, 169 target, dan berdasarkan edisi terakhir ada 289 indikator, yang harapannya jadi petunjuk untuk mencapai target-target SDGs."

"Sementara capaian SDGs selama ini, sekitar 70% sudah on track, namun masih ada 30% belum tercapai atau membutuhkan perhatian khusus, karena sebagiannya masih stagnan atau mengalami perburukan,” kata Vivi.  

Ia menjelaskan bahwa SDGs akan memberikan landasan kokoh menuju Indonesia maju, dengan mimpi bahwa pada tahun 2045 negara dapat keluar dari middle income trap.

“Pasca-pandemi, dibutuhkan pertumbuhan PDB tahunan 6% untuk membawa Indonesia menjadi negara maju dan terlepas dari middle income trap. Tanpa transformasi ekonomi, pendapatan per kapita Indonesia akan ‘disalip’ oleh Filipina pada tahun 2037 dan oleh Vietnam pada tahun 2043,” tuturnya. 

Selain SDGs, dalam pembangunan nasional terdapat juga kajian lingkungan hidup yang menjadi backbone untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih hijau, salah satunya melalui pembangunan rendah karbon. Aksi nyata ini disebut sebagai ekonomi sirkular. 

Dengan implementasi ekonomi sirkular pada lima sektor prioritas seperti makanan dan minuman, perdagangan grosir dan eceran, tekstil, peralatan elektronik, dan konstruksi, estimasi dampak yang dihasilkan pada tahun 2030 adalah sebagai berikut.

Estimas yang dihasilkan meningkatnya PDB sebesar Rp593-638 triliun, terciptanya 4,4 juta lapangan kerja (neto), 75% diantaranya berpotensi untuk perempuan, dan meningkatnya tabungan rumah tangga sebesar 9%.

Selain itu, mengurangi timbulan limbah sektoral sebesar 18%-52% dibandingkan skenario BaU, berkurangnya emisi CO2e sebesar 126 juta ton dibandingkan skenario BaU, dan berkurangnya penggunaan air sebesar 6,3 miliar m3, dibandingkan skenario BaU

Perusahaan dapat berkontribusi untuk pencapaian SDGs dengan cara berinvestasi pada masyarakat, memasukkan kelompok marginal dalam rantai nilai, membayar harga yang adil dan penerapan standar-standar kepada supplier, memahami dampak bisnis terhadap lingkungan, penghematan energi, serta menerapkan procurement berkelanjutan.

Faktanya, 4 dari 10 perusahaan (40%) dalam kelompok 250 perusahaan terbesar global telah mengadopsi prinsip-prinsip Sustainable Business, seperti dicatat dalam laporan tahunannya.

Perhatian terbesar pada isu-isu perubahan iklim, konsumsi yang bertanggung jawab, pekerjaan layak, kesetaraan gender, dan pertumbuhan ekonomi. 

Pada keterangan pers, Sabtu (30/10), SVP Asia Pacific Energy, Sustainability & Industrial Frost & Sullivan, Ravi Krishnaswamy mengatakan,“Data dari UN mengenai status SDGs menunjukkan bahwa wilayah Asia Tenggara sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan di beberapa goal SDGs.”

Meski begitu, masih ada beberapa kekhawatiran terutama dalam hal kemiskinan akibat pandemi Covid-19. Banyak kegiatan perekonomian tidak bisa berjalan seperti biasa sehingga pendapatan mereka tertekan, bahkan sebagian lainnya kehilangan mata pencaharian.

Masih ada jutaan masyarakat juga yang belum terhubung secara digital, sehingga pemerintah perlu melakukan berbagai cara untuk memperkuat infrastruktur, konektivitas yang menghubungkan antara pusat ekonomi dan wilayah penunjang.

Menanggapi hal tersebut, VP Internet of Things Telkomsel, Alfian Manullang memaparkan komitmen perusahaan dalam mendukung transformasi digital di Tanah Air.

Ia menjelaskan bahwa pemerintah dan perusahaan telah melakukan berbagai inisiasi mengenai infrastruktur, yakni dengan menggelar program Merah Putih yang bertujuan untuk memberikan akses jaringan di seluruh wilayah terdepan, tertinggal, dan terluar (3T) dan program Universal Service Obligation (USO) dengan target menjangkau lebih dari 11.000 desa tanpa akses internet. 

Ia menambahkan bahwa dalam membangun infrastruktur di wilayah tersebut, perusahaan menggunakan teknologi berkelanjutan, seperti solar cell (bertenaga matahari), energi hydropower (tenaga air), dan fuel cell (alat konversi elektrokimia yang menghasilkan listrik dengan gas buang berupa uap air/zero emission).

Selain itu, perusahaan juga fokus untuk menghadirkan teknologi 5G, dimana otomatisasi dan robotisasi yang dapat dihadirkan teknologi tersebut akan berperan dalam mengatasi pandemi yang melanda saat ini. 

Country Managing Director, PT. Cisco Systems Indonesia, Marina Kacaribu juga turut menjelaskan komitmen Cisco sebagai perusahaan penyedia teknologi dan solusi digital bagi organisasi publik maupun swasta agar dapat memiliki connected secured automated business yang berkelanjutan seraya mendukung agenda digitalisasi nasional yang dicanangkan pemerintah Indonesia.

“Tentunya, kami memiliki tanggung jawab yang besar, ada dua hal yang sangat relevan untuk Cisco, yakni percepatan transformasi digital dan keberlanjutan (sustainability),” kata Marina. 

Ada empat hal utama bagaimana Cisco menerapkan keberlanjutan dari sisi produk, operasi, dan supply chain sejak 2008 dalam rangka mencapai net zero dari sisi emisi gas rumah kaca (GRK).

Pertama, dari sisi produk, Cisco terus berinovasi untuk meningkatkan efisiensi energi produknya melalui desain produk yang inovatif.

Cisco mengintegrasikan best-of-breed ASIC (Application-specific Integrated Circuit) terbaik dalam desain produk-produknya guna mencapai penggunaan energi, ruang dan performa yang teroptimal di kelasnya. 

Sementara itu, dari sisi operasi, Cisco terus melakukan percepatan penggunaan energi-energi terbarukan di mana saat ini 83% pemakaian listrik untuk operasional Cisco di seluruh dunia dihasilkan dari energi baru dan terbarukan, bahkan di Amerika Serikat 100% fasilitas Cisco ditenagai energi terbarukan.

Perusahaan pun mendukung penyesuaian cara bekerja yang paling inklusif. Karyawan diberikan fleksibilitas untuk datang ke kantor ataupun bekerja dari mana saja, secara taktis hal tersebut mengurangi carbon footprint.

Cisco juga memberikan solusi-solusi digital inovatif dan handal untuk semua industri mulai dari perbankan, telekomunikasi, industrial, energi, utilitas, manufaktur, logistik, transportasi, UMKM dan layanan publik, yang dapat membantu organisasi meningkatkan keberlanjutan usaha, sosial dan lingkungannya.

Cisco bertujuan memberdayakan masa depan yang inklusif untuk semua melalui prinsip keberlanjutan dan ekonomi sirkular.

Aktivitas ekonomi Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah terutama dalam mewujudkan transformasi digital dan green economy, termasuk di dalamnya ekonomi sirkular.

Untuk itu, kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk mengintegrasikan SDGs dengan sektor industri perusahaan perlu terus didorong. (RO/OL-09)