Penulis buku wealth of nation tahun 1776, yang juga dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi adalah

Penulis buku wealth of nation tahun 1776, yang juga dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi adalah

Artikel Dasar Libertarianisme kali ini akan mengangkat tentang warisan intelektual dari Adam Smith, khususnya melalui karyanya yang paling masyur, The Wealth of Nations. Suara Kebebasan mengambil pembahasan mengenai hal ini dari artikel “Reflecting on Adam Smith’s The Wealth of Nations, 245 Years Later” yang ditulis oleh Presiden Emeritus lembaga libertarian asal Amerika Serikat, Foundations for Economic Education (FEE), Lawrence Reed, yang dipublikasikan di website FEE*. Artikel tersebut membahas mengenai refleksi pengaruh The Wealth of Nations karya Smith.

Adam Smith tidak diragukan lagi merupakan salah satu pemikir terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Gagasannya mengenai bagaimana pasar dan ekonomi bekerja telah membentuk dunia modern yang kita tempati saat ini, dua setengah abad setelah Smith pergi meninggalkan dunia.

Reed di membuka artikelnya dengan menulis bahwa, pada tahun 1776, terjadi dua peristiwa besar dalam sejarah dunia. Pada tahun tersebut, pasukan Amerika menyerang tentara Inggris di kota Boston, dan di South Carolina dan Georgia milisi revolusioner Amerika menyerang angkatan laut Kolonial Britania Raya. Peristiwa tersebut memulai Perang Kemerdekaan Amerika, yang kelak akan melahirkan Amerika Serikat.

Ribuan mil dari Boston, tepatnya di Skotlandia, seorang profesor asal Skotlandia menerbitkan sebuah buku yang akan mengubah dunia. Pada 9 Maret 1776, Adam Smith mempublikasikan karya magnum opus-nya yang berjudul An Inquiry Into the Nature and Causes of The Wealth of Nations, yang dikenal dengan The Wealth of Nations. Buku tersebut membuat ekonomi sebagai disiplin ilmu menjadi berubah dan tidak lagi akan pernah sama seperti masa sebelum Smith.

Sebelum Adam Smith, ilmu ekonomi bukan menjadi disiplin ilmu tersendiri. Reed juga menulis bahwa, tidak semua ide-ide yang dituangkan oleh Smith di dalam bukunya merupakan ide-ide yang asli dan orginal. Namun, Smith memiliki kemampuan yang luar biasa, yang mengkombinasikan ide-ide yang sudah ada, ditambah dengan ide-ide yang berasal dari dirinya sendiri, dan memaparkannya secara komprehensif menjadi disiplin ilmu baru. Karena hal tersebut, dunia mengenal tokoh besar kelahiran Skotlandia tersebut sebagai Bapak Ilmu Ekonomi (Father of Economics).

Sebelum Smith, banyak pemikir yang memiliki pandangan bahwa masyarakat akan menjadi kacau balau bila tidak ada institusi atau seseorang yang mengatur dan mendikte kehidupan orang-orang yang tinggal di masyarakat tersebut. Pandangan ini yang dibantah oleh Smith dalam karyanya.

Melalui bukunya, Smith menyanggah pandangan tersebut, bahwa ketiadaan institusi atau seseorang untuk mendikte kehidupan masyarakat akan berujung pada kekacauan. Yang terjadi justru sebaliknya. Ketika setiap individu di dalam masyarakat diberikan kebebasan untuk mengejar kepentingan pribadinya, maka yang terjadi bukanlah kekacauan, melainkan keteraturan spontan dari kegiatan yang dilakukan oleh para individu tersebut. 

Untuk menciptakan keteraturan, tidak selalu dibutuhkan adanya pihak yang mendikte kehidupan masyarakat. Dalam kata-kata Smith yang sangat terkenal di dalam bukunya misalnya, bahwa seseorang mendapatkan makan malamnya bukan karena kebajikan para pembuat roti, pembuat bir, dan penjual daging, melainkan karena mereka mengejar kepentingan pribadi yang mereka miliki, yang dalam hal ini mendapatkan pendapatan dengan menjual makanan dan minuman yang bisa kita nikmati. 

Dalam bukunya, Smith juga memberi peringatan kepada kita mengenai bahaya dari berbagai proposal untuk meregulasi atau membatasi perdagangan. Segala aturan tersebut, tulis Smith, harus kita tanggapi dengan sikap curiga, karena mereka yang membuat aturan tersebut juga terdiri dari orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi mereka masing-masing.

Tidak jarang, kepentingan pribadi dari orang-orang yang mendukung dan membuat aturan regulasi dan pembatasan tersebut berbeda jauh dengan kepentingan pribadi dari publik dan masyarakat secara luas. Selain itu, orang-orang ini juga kerap melakukan menyesatkan publik agar mereka bisa mendapatkan kepentingan pribadi yang mereka inginkan.

Ide-ide yang dituliskan oleh Smith ini memberi pengaruh yang luar biasa kepada banyak pihak. Read menulis, The Wealth of Nations membawa pengaruh yang sangat besar terhadap para Bapak Pendiri Amerika Serikat untuk membangun negara baru setelah mendapat kemerdekaan dari Britania Raya. Buku Smith tersebut juga menjadi salah satu buku yang wajib dibaca pada masa itu.

Namun, Read juga menulis, bukan berarti Smith terbebas dari kesalahan dan kekeliruan. Salah satu ide yang keliru yang dituliskan oleh Smith adalah apa yang kita kenal dengan istilah labor theory of value, yang menyatakan nilai suatu barang ditentukan dari jumlah tenaga pekerja yang dibutuhkan untuk membuat barang tersebut. Seratus tahun kemudian, para ekonom Mazhab Ekonomi Austria berhasil membantah tesis tersebut, bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh utilitas yang bisa didapatkan dari para individu terhadap barang tersebut.

Namun, bukan berarti lantas ide-ide Smith menjadi tidak relevan lagi saat ini. Tidak ada pemikir, penulis, atau filsuf yang sempurna dan terlepas dari kesalahan, dan Adam Smith adalah salah satunya. Ide-ide dan gagasan yang ditulis Smith mengenai pasar, kepentingan pribadi, dan bahaya regulasi dan larangan kegiatan ekonomi masih sangat penting dan signifikan untuk saat ini untuk mendorong pertumbuhan dan meningkatkan kesejahteraan.

*Artikel ini diambil dari artikel yang ditulis oleh Lawrence Reed yang berjudul “Reflecting on Adam Smith’s The Wealth of Nations, 245 Years Later”. Link artikel: https://fee.org/articles/reflecting-on-adam-smith-s-the-wealth-of-nations-245-years-later/ Diakses pada 7 Mei 2021, pukul 23.20 WIB.

Penulis buku wealth of nation tahun 1776, yang juga dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi adalah

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”

Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).

Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.

Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.

Haikal dapat dihubungi melalui email: .

Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.

Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.

The Invisible Hand

Bagi para penggiat ekonomi, siapa yang tidak kenal dengan Adam Smith? Seorang filsuf berkebangsaan Skotlandia, yang oleh para ekonom, mendapat gelar “Founder of Modern Economics”. Bukunya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nation” (1776) adalah  buku pertama yang berisi perumusan yang pasti tentang ekonomi Liberal yang bertujuan membawa kemakmuran individu dan masyarakat secara maksimum. Adam Smith mengemukakan teori bahwa mekanisme pencapaian tingkat kemakmuran dapat tercapai melalui kekuatan tangan tak terlihat (invisible hand), yaitu tanpa adanya campur tangan pemerintah, dimana mekanisme pasar akan menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien. Teori ini merupakan salah satu fondasi dalam ideologi pasar bebas yang mengunggulkan peran swasta dan mengharamkan program pemerintah, seperti pada masa pemerintahan Ronald Reagan dan Bush I di Amerika Serikat.

Namun, dalam ulasan Harvard Bussiness Review,  Jonathan Schlefer menyatakan dengan tegas bahwa “Invisible Hand” merupakan teori yang tidak pernah terbukti praktis hingga saat ini. Bahkan beberapa penelitian telah dilakukan untuk memodelkan invisible hand, salah satunya oleh Kenneth Arrow dan Gerrard Debreu pada tahun 1954, yang hasilnya adalah sejumlah besar kondisi yang tidak realistis, seperti informasi yang sempurna untuk semua pelaku pasar dan adanya persaingan sempurna.


Kegagalan Pasar, Pandemi, dan Intervensi APBN

Telah lama diakui bahwa pasar tidak selalu bekerja dengan baik. Pada praktiknya, pasar menghasilkan lebih banyak untuk hal-hal tertentu (seperti polusi udara). Tetapi terlalu sedikit untuk hal-hal lainnya (seperti investasi, kesehatan, dan pendidikan), terutama hal-hal yang berkaitan dengan barang publik. Pasar juga tidak dapat mengatur dirinya sendiri. Ketidakmampuan pasar dalam mengakomodasi segala aktivitas, ekternalitas, dan proses yang terjadi di dalamnya mengakibatkan kondisi yang kerap disebut dengan istilah “Kegagalan Pasar”. Berangkat dari fakta-fakta ini, menurut Stiglitz, Pemerintah harus turut menjadi pemain di dalamnya. Terlebih lagi bagi negara berkembang yang perekenomiannya tergolong volatile.

Kurang lebih sudah 8 bulan lamanya Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah menjadi momok dan memporak-porandakan perekonomian dunia. Para elit negara-negara di dunia sibuk meramu strategi-strategi yang tepat di tengah ancaman resesi global. Ada yang nihil, ada yang berhasil, walau hanya sebagian kecil. Negara kita pun  turut berjibaku, di tengah kegagalan pasar massif yang terjadi saat ini yang mana menyebabkan runtuhnya industri berskala besar hingga UMKM, memformulasikan kebijakan makroprudensial dalam rangka intervensi pasar untuk membalikkan keadaan atau hanya sekadar mencegah kejatuhan yang lebih dalam.

Secara garis besar, intervensi pemerintah dapat direpresentasikan melalui kebijakan fiskal, yaitu kombinasi antara pendapatan dan belanja negara berwujud APBN. Angka-angka yang termaktub dalam pos-pos APBN merupakan cerminan dari upaya pemerintah dalam melakukan intervensi terhadap kegagalan pasar di masa Pandemi, dengan gambaran umum sebagai berikut.

1.      Intervensi melalui pos pendapatan negara.

Tahukah anda? Aktivitas perekenomian kerap kali tidak memperhitungkan eksternalitas negatif sebagai input biaya, khususnya eksternalitas luar biasa yang terjadi saat ini, tidak ada yang menduga. Misalnya, dalam kondisi saat ini, pelaku pasar tidak terpikirkan untuk memperhitungkan efek negatif Pembatasan Sosial Bersakala Besar yang marak akhir-akhir ini. Alhasil, kegiatan produksi dan konsumsi barang dan jasa terpukul dan Pemerintah pun wajib memikul.

Mari kita bahas satu contoh, hinggga saat ini, Pemerintah telah memberlakukan berbagai insentif perpajakan untuk merespon perlambatan ekonomi yang terjadi, yang ditujukan kepada Badan Usaha, UMKM dan bahkan karyawan untuk sektor tertentu. Insentif perpajakan tersebut meliputi PPh 21, PPh 22 Impor, PPN, dan lain-lain yang tertuang dalam PMK-23/PMK.03/2020 dan PMK-44/PMK.03/2020 (sumber: pajakku.com). Dengan adanya insentif tersebut, Pemerintah memberi sinyal terjadinya  penurunan target penerimaan pajak sebagaimana telah diundangkan dalam Perpres 72 Tahun 2020, yang semula Rp1.866 T menjadi Rp1.404 T. Penurunan ini merupakan sinyal dari pemerintah untuk memberi ruang gerak bagi perkembangan bisnis. Dari sisi produsen, langkah pemerintah ini akan memberi ruang fiskal (net income/EBT) yang lebih luas bagi korporat untuk berekspansi. Di lain pihak, bagi konsumen, pengurangan target pajak akan memberi sinyal peningkatan daya beli mereka pada tahun berjalan.

Secara akumulatif, langkah penurunan target pajak yang dilakukan pemerintah ini semata-mata untuk mengerek pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan pasar agar lebih berkembang dan tetap kondusif bagi investasi walaupun di masa Pandemi. Sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan apabila pasar bertindak bebas.    

2.   Intervensi melalui pos belanja negara.

Melalui pos belanja negara, pemerintah terus memantau dan memasang kuda-kuda. Pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp695,2 T untuk bantuan bidang kesehatan dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Yang lebih terbaru, Pemerintah telah memberikan sinyal percepatan pembayaran Gaji ke-13 sesuai kriteria dalam PP Nomor 44 Tahun 2020 dan akan memberikan bantuan kepada karyawan swasta sebesar Rp600 ribu per bulan yang rencananya akan dimulai pada bulan September 2020 (sumber: kompas.com).

Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana caranya menggenjot ekonomi, karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi selama 2 (dua) triwulan berjalan secara quarter to quarter menunjukkan angka negatif (sumber: pusatdata.kontan.co.id). Oleh karena itu, kebijakan alokasi anggaran belanja yang besar tersebut semata-mata  untuk menggenjot konsumsi yang memang memiliki kontribusi terbesar dalam Produk Domestik Bruto sebesar 56% (sumber: liputan6.com). Dengan terdongkraknya konsumsi rumah tangga, maka diperkirakan mampu menciptakan peningkatan demand sehingga sektor produksi dengan sendirinya menyesuaikan supply. Kembali lagi ke prinsip dasar ekonomi.

Apabila mekanisme pasar dibiarkan berjalan seutuhnya, maka resesi merupakan sesuatu yang pasti. Hal itu karena mekanisme pasar cenderung individualis, antara produsen, distributor, dan konsumen memiliki kepentingan masing-masing yang sangat sulit dijembatani. Di sinilah, APBN hadir menjadi katalis dan penghubung antara ketiga pelaku ekonomi tersebut dengan menstimulasi aktivitas ketiganya dalam bentuk pemberian pinjaman, bantuan keuangan, dan program lainnya yang didanai APBN. Melalui fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi yang melekat pada APBN, diharapkan mampu menciptakan keadilan dan kepatutan serta mengupayakan kestabilan fundamental perekonomian negara di masa Pandemi ini.


Kesimpulan

Pemodelan invisible hand hanya akan terdeteksi atau muncul apabila kondisi-kondisi yang sukar dipenuhi bahkan tidak realistis sehingga perlu rasionalisasi oleh Pemerintah melalui instrumen APBN. Perencanaan penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN harus dilaksanakan dengan rasional dan kredibel agar langkah-langkah yang ditempuh tidak mengubah kegagalan pasar menjadi kegagalan pemerintah. Dengan adanya intervensi pemerintah dalam memelihara equilibirium perekonomian, maka sejatinya wujud dari Invisible hand adalah “Prudent Government Hand”.


Penulis: Fajar Perdana Putra, Pelaksana pada KPKNL Bima