Pemilihan sekolah sebagai sarana sosialisasi politik didasarkan pada pertimbangan kecuali

Peran Sekolah Sebagai Sarana Sosialisasi Politik untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Pada Pemilih Pemula Asmika Rahman Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Pos-el: Abstrak Pemilu merupakan suatu hal yang sangat penting dalam demokrasi. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainya, begitu juga dengan pemilu dan demokrasi, keduanya tidak dapat dipisahkan, jika ada pemilu berarti di situ juga ada demokrasi. Secara sederhana, pemilu adalah cara individu warga negara melakukan kontrak politik dengan orang atau partai politik yang diberi mandat menjalankan sebagian hak kewarganegaraan pemilih. Pelibatan warga negara sebagai pemilih merupakan salah satu elemen penting dalam pemilu, karana sukses atau tidaknya sebuah pemilu akan diukur dari sebatas mana antusiasme masyarakat dalam pemilihan umum tersebut. Baik itu pemilihan umum legislatif, presiden maupun pemilihan umum kepala daerah. Pelaksanaan pemilihan umum tersebut selalu terdapat pemilih pemula. Hal ini didasarkan bahwa kriteria pemilih pemula merupakan mereka yang berusia 17 tahun ke atas atau telah menikah pada saat pemilihan umum dilaksanakan. Sekolah merupakan salah satu media atau sarana sosialisasi politik selain, partai politik, keluarga dan kelompok profesi, sehingga sekolah memiliki peran yang sangat berpengaruh terhadap meningkatkan partisipasi politik pada pemilih pemula. Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis peran sekolah sebagai sarana sosialisasi politik untuk meningkatkan partisipasi politik pada pemilih pemula. Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah studi kepustakaan dengan didukung oleh hasil penelitian yang relevan. Sekolah sebagai salah satu sarana politik diharapkan dapat meningkatkan partisipasi politik pada para gerasi muda atau yang sering disebut sebagai pemilih pemula, sehingga dalam penerapan konsep masyarakat madani (civil Society) dapat terlaksana dengan baik. Kata Kunci: Peran Sekolah, Partisipasi Politik, Pemilih Pemula Pendahuluan Pemilihan umum merupakan suatu hal yang sangat penting dalam demokrasi. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainya, begitu juga dengan pemilu dan demokrasi, keduanya tidak dapat dipisahkan, jika ada pemilu berarti di situ juga ada demokrasi. Ramlan Surbakti (1992:181) mendefinisikan pemilu sebagai mekanisme penyeleksi dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Sedangkan menurut Undang-undang No. 8 tahun 2012 pasal 1 ayat (1) pemilihan umum (pemilu) adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Secara sederhana, pemilu dapat diartikan sebagai cara individu warga negara melakukan kontrak politik dengan orang atau partai politik yang diberi mandat menjalankan sebagian hak kewarganegaraan pemilih. Dalam pemilihan umum warga negara memiliki peran yang sangat penting, karana sukses atau tidaknya sebuah pemilu akan diukur dari sebatas mana partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum tersebut, baik itu pemilihan umum legislatif, presiden maupun pemilihan umum kepala daerah. Pelaksanaan pemilihan umum tersebut selalu terdapat pemilih pemula. Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2008 Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20 menyebutkan bahwa pemilih pemula adalah warga Indonesia yang pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah warga Negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yang mempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena ketentuan Undang-Undang Pemilu. Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya (Setiadji, 2011:19). Berati kriteria pemilih pemula merupakan mereka yang berusia 17 tahun ke atas atau telah menikah atau yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan umum dilaksanakan. Pemilih pemula mempunyai peran yang dapat diperhitungkan dalam pemilihan umum karena suaranya merupakan setengah bagian dari jumlah keseluruhan pemungut suara. Pemilih pemula sering dideskripsikan memiliki unsteady political orientation sehingga mudah dipengaruhi. Maka dari itu pemilih pemula harus memiliki kecakapan partisipatoris politik yang mumpuni, karena jika pemilih pemula tidak memiliki kecakapan partisipatoris politik yang memadai maka kualitas politik pemilih pemula akan menjadi rendah pula, yang berakibat pada rendahnya kualitas pemilu sehingga diperlukan sosialisasi politik. 319

Sosialisasi politik adalah suatu proses memperkenalkan sistem politik pada seseorang, dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik (Rush dkk, 2007:25). Dalam hal ini sosialisasi merupakan suatu proses pedagosis (proses pendidikan), atau suatu proses pembudayaan insan-insan politik. Proses ini melibatkan banyak orang, baik dari generasi tua maupun dari generasi muda. Sosialisasi politik memiliki bebeberapa agen atau sarana politik. Salah satunya yaitu sekolah, sekolah merupakan sarana sosialisasi politik selain, partai politik, keluarga dan kelompok profesi. Sehingga sekolah memiliki peran yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan partisipasi politik pada pemilih, terutama pada pemilih pemula. Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis peran sekolah sebagai sarana sosialisasi politik untuk meningkatkan partisipasi politik pada pemilih pemula. Sekolah sebagai salah satu sarana politik diharapkan dapat meningkatkan partisipasi politik pada para gerasi muda atau yang sering disebut sebagai pemilih pemula, sehingga dalam penerapan konsep masyarakat madani (civil Society) dapat terlaksana dengan baik. Sosialisasi Politik Sosialisasi politik merupakan bagian yang penting dari suatu sistem politik karena dengan adanya sosialisasi politik maka seorang dapat mengambil pelajaran dari suatu proses pembelajaran politik yang dia alami atau yang dia rasakan. Menurut Kweit (1986: 92) bahwa secara umum, sosialisasi politik dapat didefinisikan sebagai suatu proses melalui mana individu belajar tentang politik. Sosialisasi politik adalah proses memperkenalkan seseorang kepada suatu situasi lingkungan sosial, ekonomi dan kebudayaan yang dapat ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat menentukan suatu interaksi pengalaman serta kepribadianya (Rush dkk, 2007: 25). Efriza (2012: 17) berpendapat bahwa sosialisasi politik merupakan bagian dari suatu proses sosial. Sosialisasi adalah suatu kegiatan pengajaran dan pendidikan yang dilakukan individu atau suatu kelompok kepada individu atau kelompok lainnya yang berlangsung secara alamiah. Pada prosesnya, pengajaran dan pendidikan itu bersinggungan dengan nilai-nilai politik. Hal ini dapat dipahami bahwa nilai-nilai politik yang melekat pada setiap invidu tersebut akan berbeda. Selanjutnya dijelaskan bahwa proses terhadap individu-individu sampai pada kadar yang berbeda, salah satunya bisa terlibat dalam satu sistem politik yaitu partisipasi politik. Menurut Efriza (2012: 54) bahwa isi sosialisasi politik yang disampaikan oleh seorang individu atau agen sosialisasi kepada individu atau kelompok masyarakat adalah informasi politik, Pemberian keyakinan dan kepercayaan terhadap politik, pengetahuan politik, Provokasi atau propaganda politik. Maka yang dimaksud dengan sosisalisasi politik adalah suatu proses seseorang mendapatkan pengalaman atau pendidikan politik dari orang lain, atau kelompok masyarakat, sehingga dapat membentuk sikap atau orientasi keterkaitannya terhadap politik tertentu dalam kehidupan politik yang berlangsung. Sarana Sosialisasi Politik Sosialisasi politik dapat dilakukan di beberapa macam sarana yang disebut sebagai agen sosialisasi politik. Agen sosialisasi politik tersebut terdiri dari beberapa individu atau kelompok baik dari segi politik maupun nonpolitik yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan gambaran politik terhadap seseorang terutama yang terjadi saat seseorang tersebut belum dewasa sehingga menimbulkan sikap dan orientasi politik tertentu dalam kaitannya dengan kehidupan politik yang berlangsung. Almond dan Verba (1984: 330) mengatakan bahwa pola kekuasaan nonpolitik yang diharapkan dapat mempengaruhi sikap politik adalah pola di dalam keluarga, sekolah, dan tempat kerja. Apter (1996: 262) menjelaskan bahwa penjelasanpenjelasan psikokultural mengenai sosialisasi di awal masa kanak-kanak dengan pilihan-pilihan orang tua, menunjukkan bagaimana sosialisasi awal diperkuat oleh teman-teman sebaya di sekolah, dan oleh kelompok-kelompok acuan lain. Pengalaman mengambil tindakan politik, dari hal memberikan suara hingga mencalonkan diri, dibangun di atas pola-pola sosialisasi awal dan memberikan kesempatan untuk proses belajar masyarakat baru. Berdasrkan penjelasan tersebut, makan agen sosialisasi politik yang sangat berperan dalam menentukan sikap politik seseorang dari masa kanak-kanak hingga tumbuh dewasa adalah lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Menurut Rush dkk (2007: 35) agen sosialisasi politik terdiri dari keluarga, pendidikan, kelompok sebaya, kelompok kerja, kelompok agama, kelompokkelompok senggang, dan media massa. Proses sosialisasi politik dilakukan mulai dari bagian terdekat yaitu keluarga sampai dengan yang dilakukan oleh media massa cetak maupun elektronik yang mempengaruhi seseorang mulai dari kanak-kanan hingga mencapai umur yang matang yaitu dewasa, selalu berlangsung secara sengaja maupun tidak. Agen sosialisasi politik menurut terdiri dari 6 jenis, yaitu keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya, media massa, situs jejaring sosial, dan kontak-kontak politik langsung. Jika diasumsikan usia pemilih pemula yaitu 17-21 tahun maka status pemilih pemula juga 320

bisa terdiri dari mahasiswa ataupun pekerja muda sehingga agen sosialisasinya termasuk kampus atau tempat kerja (Efriza, 2012: 23). Kontak-kontak langsung dengan pemerintah, lembaga politik dan kehidupan politik juga dapat mempengaruhi sikap dan perilaku politik individu dan kelompok-kelompok untuk tetap setia atau tidak, bersedia mendukung atau tidak sistem politik, pemerintah, atau partai politik yang semula didukungnya (Sahid, 2010: 202). Maka dapat dikatakan bahwa, sarana sosialisasi politik yang sangat berperan penting dalam mempengaruhi sikap atau orientasi politik pemilih pemula adalah keluarga dan sekolah. Selain itu juga ada sarana-sarana atau agen-agen sosialisasi politik yang berperan, diantaranya teman sebaya, media massa, kelompok profesi/kerja, kelompok agama, dan kontak-kontak politik langsung. Konsep Partisipasi Politik Partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa. Partisipasi politik (Budiharjo, 2008) adalah suatu kegiatan dari warganegara baik secara langsung maupun tidak langsung (tidak sengaja) terkait dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat dilakukan oleh individu-individu maupun secara kelompok secara spontan maupun dimobilisasi. Menurut Rahman (2007:285) partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik seperti memilih pimpinan negara atau upayaupaya mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, partisipasi politik adalah bentuk keikut sertaan seseorang dalam politik untuk menentukan sikap dukungan atau penolakan dalam system pemerintahan. Menurut Maran (2001:147) bahwa partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Hal ini dipertegas dengan pendapat dari Rush (2007: 121) bahwa dalam partisipasi politik dapat ditinjau sampai sejauh mana dan sampai tingkat apa individu terlibat dalam sistem politik. Miriam Budiardjo (1982: 1), melihat bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikutserta secara aktif dalam kehidupan politik yakni dengan jalan memilih pemimpin negara baik dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung, memengaruhi kebijakankebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan-kegiatan yang semacam ini dapat terlihat dari kegiatan untuk memberikan suara dalam pemilihan umum, menghindari rapat-rapat umum (Kampanye), menjadi anggota suatu partai politik atau sekelompok kepentingan ataupun mengadakan hubungan dengan pejabat-pejabat pemerintah atauoun juga bisa anggota parlemen dan sebagainya sejenis dengan itu. Bentuk partisipasi politik seseorang dapat terlihat melalui indikator keikutsertaannya memilih pada pemilu baik itu pemilu legislatif, pemilu presiden maupun pemilihan umum kepala daerah yang dilakukan secara langsung. Namun, kegiatan pemberian suara ini dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik yang paling kecil karena hal itu menuntut suatu keterlibatan minimal yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana. Menurut Maran (2001:148) bentuk partisipasi politik yang paling umum dikenal adalah pemungutan suara (voting) untuk memilih calon wakil rakyat atau untuk memilih kepala negara. Lebih lanjut, (Rush dkk, 2007:122) membagi bentuk partisipasi politik yang diidentifikasikan sebagai berikut: a. Menduduki jabatan-jabatan politik atau administratif. b. Mencari jabatan politik atau administratif. c. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik. d. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik. e. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik. f. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik. g. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya. h. Partisipasi dalam diskusi politik informal. i. Menjadi partisipan dalam pemungutan suara (voting). Rahman (2007:287) membagi partisipasi politik ke dalam dua kelompok besar, yaitu partisipasi politik konvensional dan partisipasi politik nonkonvensional. Partisipasi politik konvensional terdiri dari pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, dan mengadakan komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif. Sedangkan partisipasi politik nonkonvensional seperti mengajukan petisi, berdemonstrasi, melakukan konfrontasi, mogok, melakukan tindak kekerasan politik harta benda (perusakan, pemboman, pembakaran), dan tindak kekerasan politik terhadap manusia (penculikan dan pembunuhan). Diperkuat lagi oleh pendapatnya Sitepu (2012: 101), bentuk-bentuk partisipasi politik dibagi menjadi dua macam, yaitu: a) Konvensional, adalah pemberian 321

suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, dan komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif; b) Non-konvensional, antara lain adalah pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda (pengeruskan, pembomam, pembakaran), tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan), dan perang gerilya dan revolusi. Berdasarkan bentuk partisipasi politik tersebut, maka bentuk partisipasi politik seseorang dapat dibagi menjadi dua macam yaitu, konvensional dan nonkonfensional. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi seseorang, Pertama, kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua, menyangkut pengetahuan seseorang tetang lingkungan masyarakat dan politik, dan menyangkut minat perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik dia hidup. Sikap dan kepercayaan kepada pemerintah adalah penilaian seseorang terhadap pemerintah (Surbakti, 2007:144-145) Sebagai suatu tindakan atau aktivitas, partisipasi politik memiliki beberapa fungsi antara lain menurut Lane dalam Efriza (2012:188) dalam studinya mengenai keterlibatan politik, menemukan empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu yaitu: a. Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis. b. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial. c. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus. d. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa partisipasi politik memiliki fungsi yang berkaitan dengan keterlibatan warga negara dalam memberikan dukungan ataupun koreksi terhadap kinerja pemerintah serta untuk memenuhi hak politik setiap individu. Partisipasi politik masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.milbrath dalam Maran (2001: 156) menyebutkan 4 faktor utama yang mendorong orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, antara lain: a. Karena adanya perangsang, maka orang mau berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam hal ini, minat untuk berpartisipasi dipengaruhi misalnya oleh sering mengikuti diskusi-diskusi politik melalui media massa atau diskusi informal. b. Faktor karakteristik pribadi seseorang; orang yang berwatak sosial yang mempunyai kepedulian yang besar terhadap problem sosial, politik, ekonomi, dan lainnya, biasanya mau terlihat dalam aktivitas politik. c. Faktor karakter sosial seseorang; hal ini menyangkut status sosial ekonomi, kelompok ras, etnis dan agama seseorang. Bagaimanapun lingkungan sosial itu ikut mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku seseorang dalam bidang politik. Orang yang berasal dari lingkungan sosial yang lebih rasional dan menghargai nilai-nilai seperti keterbukaan, kejujuran, keadilan, dan lain-lainnya tentu akan mau juga memperjuangkan tegaknya nilai-nilai tersebut dalam bidang politik. Oleh sebab itu, mereka mau berpartisipasi dalam bidang politik. d. Faktor situasi atau lingkungan politik itu sendiri; lingkungan yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam lingkungan politik yang demokratis orang merasa lebih bebas dan nyaman untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik daripada dalam lingkungan politik yang otoriter. Lingkungan politik yang sering diisi dengan aktivitasaktivitas brutal dan kekerasan dengan sendirinya menjauhkan masyarakat dari wilayah politik. Maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi seseorang termasuk pemilih pemula didasarkan atas beberapa situasi yang mampu mendorong partisipasinya dalam proses politik. Pemilih Pemula Pemilih adalah sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan keyakinan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideology tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik (Prihatmoko, 2005:46) Pemilih di Indonesia dibagi menjadi tiga kategori. Pertama pemilih rasional, yakni pemilih yang benarbenar memilih partai berdasarkan penilaian dan analisis mendalam. Kedua, pemilih kritis emosional, yakni pemilih yang masih idealis dan tidak kenal kompromi. Ketiga, pemilih pemula, yakni pemilih yang baru pertama kali memilih karena usia mereka baru memasuki usia pemilih. pemilih pemula adalah warga negara yang didaftar oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih, dan baru mengikuti pemilu (memberikan suara) pertama kali sejak pemilu yang diseleng- 322

garakan di Indonesia dengan rentang usia 17-21 tahun (Fenyapwain, 2013:6) Pahmi (2010: 54) mengatakan bahwa pemilih adalah warga Negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2008 Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20 menyebutkan bahwa pemilih pemula adalah warga Indonesia yang pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah warga Negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yang mempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena ketentuan Undang-Undang Pemilu. Sedangkan menurut Suhrtono (2009:6) pemilih pemula khususnya remaja mempunyai nilai kebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada hal-hal yang informal dan mencari kesenangan, oleh karena itu, semua hal yang kurang menyenangkan akan dihindari. Maka yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga negara Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih berdasarkan ketentuan undang-undang pemilihan umum dengan usia minimal 17 tahun atau sudah/ pernah kawin serta baru pertama kali mendapatkan hak suara pada saat pemilu dilaksanakan. Teori Perilaku Pemilih (Voting Behavior) Perilaku pemilih (voting behavior) dapat dianalisis dengan tiga pendekatan, antara lain adalah: 1. Pendekatan Sosiologis. Keterkaitan antara model sosiologis dengan perilaku pemilih terhadap keanggotaan kelompok mengatakan bahwa pemilih cenderung mengadopsi pola-pola pemungutan suara dicerminkan oleh faktor ekonomi dan kedudukan sosialnya dimana ia berada, terutama dalam kelompoknya. Pengaruh sosiologis terhadap perilaku pemilih yakni identifikasi kelas sosial yakni kesamaan yang dalam pandangan pemilih ada diantara kedudukan sosial dirinya dengan kedudukan sosial partai politik. Namun juga aspek agama, kelas sosial, etnisitas, gender, dan juga aspek daerah tempat tinggal (Sitepu, 2012:183). 2. Pendekatan Psikologis. Pemilih yang secara psikologis terikat dengan partai politik, atau berupa kesamaan psikologis yang terlihat antara diri dan keadaan seseorang dengan partai yang hendak dipilihnya. Lalu kemudian ada lagi yang namanya identifikasi kelas sosial yaitu kesamaan yang dalam pandangan pemilih, ada diantara kedudukan sosial dirinya dan kedudukan sosial partai politik. Para pemilih dilihat sebagai orang yang mengidentifikasikan dirinya dengan satu partai politik tertentu. Jadi, intinya adalah bahwa identifikasi seseorang pemilih dengan partaipartai politik tidak didasarkan kepada kesamaan kelas sosial akan tetapi didasarkan pada kesamaan orientasi budaya (Sitepu, 2012:183). 3. Pendekatan Rasional. Alasan pilihan rasional berupa perhitungan tentang untung dan rugi secara pribadi jikalau seseorang memilih sebuah partai politik (suatu hal yang dapat menjelaskan mudahnya perpindahan seseorang dari partai satu ke partai yang lainnya). Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Oleh sebab itu yang menjadi pertimbangan adalah tidak hanya ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat memengaruhi hasil yang diharapkan. Bagi pemilih, pertimbangan untung rugi dipergunakan untuk membangun kepurusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih (Sitepu, 2012:184). Studi mengenai perilaku memilih juga dikembangkan oleh Dennis Kavanagh sebagaimana dikutip Riswandha Imawan (1995) sebagai berikut: 1. Structural Approach. Dalam pendekatan ini struktur social dipandang sebagai basis dari pengelompokan politik. Bahwa tingkah laku politik seseorang, termasuk dalam menentukan pilihan politiknya, ditentukan oleh pengelompokan sosialnya yang pada umumnya didasarkan atas kelas sosial, agama, desakota, bahasa dan nasionalisme. 2. Sociological Approach. Pendekatan ini berpendapat bahwa tingkah laku politik seseorang dipengaruhi oleh identifikasi serta norma-norma yang dianut oleh satu kelompok. Dalam pendekatan ini, mobilitas seseorang untuk keluar dari satu kelompok dan bergabung dengan kelompok lain masih dimungkinkan. 3. Ecological Approach. Pendekatan ini memandang faktor-faktor yang bersifat ekologis, seperti daerah, sangat menentukan tingkah laku politik seseorang. Misalnya, dalam pendekatan ini percaya bahwa mereka yang lahir dan dibesarkan di daerah pesisir pantai lebih bersikap demokratis dibandingkan dengan mereka yang berada di pegunungan. 4. Social Psychological Approach. Dalam pendekatan ini tingkah laku dan keputusan politik seseorang sangat dipengaruhi oleh interaksi antara faktor internal, seperti sistem kepercayaan, dan faktor eksternal, seperti pengalaman politik. Pendekatan ini memandang bahwa tingkah laku dan kepercayaan individu menentukan dan membentuk norma-norma kelompok. 5. Rational Choice Approach. Pendekatan ini memandang bahwa semakin modernnya serta makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka masyarakat akan selalu memperhitungkan keuntungan 323

dan kerugian yang akan diperoleh bila melakukan satu tindakan politik. Orientasi Politik Almond dan Verba (1984:16) mengajukan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik, yaitu: 1. Orientasi kognitif, yaitu kemampuan yang menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman serta kepercayaan dan keyakinan individu terhadap jalannya sistem politik dan atributnya, seperti tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang mereka ambil, atau mengenai simbolsimbol yang dimiliki oleh sistem politiknya, seperti ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan lagu kebangsaan negara. 2. Orientasi afektif, yaitu menyangkut perasaan seorang warga negara terhadap sistem politik dan peranannya yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu. 3. Orientas evaluatif, yaitu menyangkut keputusan dan praduga tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Penutup Berdasarkan kajian-kajian mengenai peran sekolah sebagai sarana sosialisasi politik untuk meningkatkan partisipasi politik pada pemilih pemula dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut. 1. Sarana sosialisasi politik yang sangat berperan penting dalam mempengaruhi sikap atau orientasi politik pemilih pemula adalah keluarga dan sekolah. Selain itu ada juga sarana-saran sosialisasi politik yang ikut berperan serta, diantaranya seperti teman sebaya, media massa, kelompok profesi/kerja, kelompok agama, dan kontakkontak politik langsung. 2. Bentuk partisipasi politik seseorang dapat dibagi menjadi dua macam, konvensional dan nonkonvensional. 3. Pemilih pemula adalah warga negara Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih berdasarkan ketentuan undang-undang pemilihan umum dengan usia minimal 17 tahun atau sudah/pernah kawin serta baru pertama kali mendapatkan hak suara pada saat pemilu dilaksanakan. 4. Perilaku pemilih (voting behavior) dapat dianalisis dengan tiga pendekatan, a) Pendekatan Sosiologis; b) Pendekatan Psikologis; dan c) Pendekatan Rasional. 5. Ada tiga klasifikasi tipe-tipe orientasi politik: a) Orientasi kognitif; b) Orientasi afektif; dan c) Orientasi evaluatif. Daftar Pustaka Almond, G. & Verba, S. (1984). Budaya Politik. Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bina Aksara. Apter, David E. (1996). Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES. Budiardjo, M. (1982). Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia. Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Efriza. (2012). Political Explore. Sebuah Kajian Ilmu Politik. Jakarta: Alfabeta. Fenyapwain, M.M. (2013). Pengaruh Iklan Politik dalam Pemilukada Minahasa Terhadap Partisipasi Pemilih Pemula di Desa Tounelet Kecamatan Kakas. Journal Acta Diurna Volume I. No. 1 Tahun 2013. Imawan, R. (1995). Pemilihan Umum 1992. Dinamika Pemilih dalam Pemilu 1992. Suatu Evaluasi. Jakarta: Center for Strategic and International Studies. Kweit, R. W & Kweit, M.G. (1986). Konsep dan Metode Analisa Politik. Jakarta: Bina Aksara. Maran, R. R. (2001). Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta. Pahmi, S. Y. (2010). Politik Pencitraan. Jakarta: Gunung Press. Prihatmoko, J. J. (2005). Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia. Semarang: Pustaka Pelajar. Rahman, H. I. (2007). Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Graha Ilmu. Rush, dkk. (2007). Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Sitepu, P. A. (2012). Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sitepu, P. A. (2012). Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suhartono. (2009). Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula Dalam Pilkada; Suatu Refleksi School- Based Democracy Education (Studi Kasus Pilkada Provinsi Banten Jawa Barat), (Hasil Penelitian, Pascasarjana UPI, 2009) hal 6. Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widya Sarana. 324

Surbakti, R. (2006). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widya Sarana. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum. 325