Menilai orang lain lebih mudah daripada menilai diri sendiri

“Kebenaran Yang Dihasilkan Dari Persepsi Anda Belum Tentu Menjadi Benar Dipersepsi Orang Lain.” – Djajendra

Salah satu kebiasaan yang kurang baik, tapi terlalu sulit untuk disadari adalah sifat suka menilai orang lain. Mungkin sangat banyak waktu dihabiskan untuk menilai orang lain daripada menilai diri sendiri. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Sifat menilai adalah sifat alamia manusia. Kita semua selalu lebih pintar dalam menilai perilaku dan karakter orang lain, daripada menilai perilaku dan karakter diri sendiri. Padahal, kebahagiaan itu hanya bisa kita miliki, pada saat kita mampu memahami diri sejati kita secara sempurna.

Pertanyaannya, apakah salah kalau Anda menilai orang lain? Jawabannya, tidak salah, tapi perilaku yang terlalu dominan dalam menilai kekurangan dan kelemahan orang lain hanya akan menghasilkan ketidakbahagiaan ke dalam diri sendiri. Artinya, kekurangan dan kelemahan orang lain itu adalah energi negatif, yang berpotensi masuk ke dalam diri Anda, dan mengurangi perasaan bahagia Anda. Oleh karena itu, lebih baik Anda menilai diri Anda sendiri dan memperbaiki hal-hal yang masih kurang, agar Anda bisa menjadi pribadi berkualitas tinggi dalam menghadapi kehidupan yang penuh warna ini.

Bila Anda sudah mampu mengurangi sifat menghakimi perilaku orang lain, serta mahir dalam memperkuat sifat mencintai setiap orang secara tulus dari dalam hati. Anda akan menjadi pribadi luar biasa dengan aura positif  yang keluar menyebar dari dalam diri Anda, untuk memberikan kedamaian dan kebahagiaan buat banyak orang, dan Anda akan menjadi orang baik yang istimewa di persepsi banyak orang.

Selanjutnya, jangan biarkan mind set Anda sibuk mengurusi mana benar dan mana yang salah. Latihlah mind set Anda untuk menerima orang lain apa adanya, lalu secara bertahap tingkatkan kualitas diri Anda sendiri untuk mencintai semua warna kehidupan yang ada.

www.djajendra-motivator.com

Ilustrasi

Manusia dalam menjalani kehidupannya pasti memiliki tujuan dan setiap tujuan pasti ada hikmahnya. Dalam kitab suci Al-Qur’an, dengan tegas Allah menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan menjadi khalifah (utusan) di muka bumi. Kata beribadah mengandung dimensi vertikal yaitu Hablum Minallah (hubungan manusia dengan Allah), sedangkan kata khalifah mengandung dimensi horizontal yaitu Hablum Minannas (hubungan manusia dengan manusia).

Dikisahkan ada seorang Guru Sufi ditanya tentang dua keadaan manusia. Pertama manusia yang rajin sekali ibadahnya, namun sombong, angkuh dan selalu merasa suci. Kedua manusia yang sangat jarang ibadah, namun akhlaknya begitu mulia, rendah hati, santun, lembut dan cinta dengan sesama. “Mana yang lebih baik ya, Syekh?”

  • Baca Juga: Memahami Taat Kepada Allah Lahir dan Batin

Lalu Sang Guru Sufi menjawab, “Keduanya baik. Boleh jadi suatu saat si ahli ibadah yang sombong menemukan kesadaran tentang akhlaknya yang buruk dan dia bertaubat lalu ia akan menjadi pribadi yang baik lahir dan batinnya. Dan yang kedua bisa jadi sebab kebaikan hatinya, Allah akan menurunkan hidayah lalu ia menjadi ahli ibadah yang juga memiliki kebaikan lahir dan batin.”

Kemudian orang tersebut bertanya lagi, “Lalu siapa yang tidak baik kalau begitu?”. Sang Guru Sufi menjawab, “Yang tidak baik adalah kita, orang ketiga yang selalu mampu menilai orang lain, namun lalai dari menilai diri sendiri.”

Ini adalah tamparan bagi para manusia yang sering menilai orang lain namun lalai akan menilai dirinya sendiri atau intropeksi diri. Betapa banyaknya manusia yang membuang waktunya hanya sekedar menggunjing atau membicarakan keburukan orang lain. Hal ini biasa nya disebut dengan ghibah, Bahasa kekiniannya itu gosip. Ini termasuk akhlak tercela yang tidak patut untuk diterapkan dalam kehidupan. Sebaiknya, memperbanyak intropeksi diri dan bermuhasabah agar bisa menjadi manusia yang terbaik.

  • Baca Juga: Wasiat Syeikh Ahmad Al Rifai

Kondisi yang terakhir adalah manusia yang rajin sekali ibadahnya serta memiliki akhlak yang begitu mulia, rendah hati, santun, lembut, dan cinta dengan sesama serta tidak membicarakan keburukan orang lain. Keadaan yang ke empat inilah keadaan manusia yang terbaik.

Agama adalah pondasi dan rancangan ajaran yang sudah baku. Ketika agama tersebut hendak diterapkan atau disebarluaskan agar terimplementasi dengan maksimal dan dapat menyentuh berbagai aspek, maka dibutuhkan pemikiran, metode atau konsep yang efektif yang mampu memberikan kemaslahatan dalam berbagai aspek.

Metode atau konsep tersebut bisa berbeda-beda namun memiliki tujuan yang sama. Kita yang terbiasa dengan suatu metode atau konsep dalam beragama yang biasa dilakukan sehari-hari akan merasa nyaman dengan tata cara tersebut. Namun di sisi lain seringkali ada rasa alergi dengan metode atau konsep penerapan ajaran agama yang berbeda dan dilakukan oleh komunitas lain. Terkadang metode dan konsep yang berbeda atau asing dianggap menyimpang agama. Padahal perbedaan perspektif ataupun tatacara hanyalah aspek luar (eksternal) dan bukan merupakan aspek inti (internal). Nashr Hamid Abu Zayd memandang bahwa agama dan pemikiran agama harus dibedakan. Ia mengatakan:

لا بد من التمييز والفصل بين “الدين” والفكر الديني، فالدين هو مجموعة النصوص المقدسة الثابتة تاريخيا، في حين أن الفكر الديني هو الاجتهادات البشرية لفهم تلك النصوص وتأويلها واستخراج دلالتها. ومن الطبيعي أن تختلف الاجتهادات من عصر إلى عصر، بل ومن الطبيعي أيضا أن تختلف من بيئة إلى بيئة – واقع اجتماعي تاريخي جغرافي عرقي محدد – إلى بيئة في اطار بعينه، وأن تتعدد الاجتهادات بالقدر نفسه من مفكر إلى مفكر داخل البيئة المعينة

نصر حامد أبو زيد (في كتاب نقد الخطاب الديني)

Memisah dan membedakan antara agama dan pemikiran agama adalah keharusan. Agama adalah himpunan nash-nash suci yang kokoh dalam sejarah. Sedangkan wilayah pemikiran agama adalah kerja keras intelektual (ijtihad) manusia untuk memahami, mentakwil, dan menggali petunjuk dalam nash-nash tersebut. Termasuk kewajaran bila terjadi perbedaan ijtihad dari masa ke masa. Bahkan wajar bila terjadi perbedaan ijtihad antara satu situasi atau kondisi dengan situasi kondisi yang lain, baik yang sifatnya realitas sosial, kultur masyarakat, sejarah, letak geografis, dan akar masalah yang tajam, yang sedang dihadapi, hingga situasi atau tantangan yang menyebar sebab suatu keadaan. Bila keragaman ijtihad menjadi banyak sebab kadar kemampuan atau pemahaman antara satu pemikir dengan pemikir lain, maka masing-masing pemikir telah saling memasuki kondisi yang tertentu.

Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa situasi atau kondisi pada realitas yang sedang dihadapi sangat mempengaruhi bagaimana sikap, cara atau gagasan yang diambil agar ajaran atau ilmu agama dapat tersampaikan dan terlaksana dengan baik. Memahami realitas sangat penting agar teori-teori baku ilmu pengetahuan mampu terimplementasi. Nashr Hamid Abu Zayd mengungkapkan:

إن فهم الواقع بما فيه من تباين وتعارض هو الهدف والغاية من وراء العلم، فلا تكون دراسة التراث عكوفاً على الماضي واجتراراً لأمجاده، فالعلاقة بين الماضي والحاضر علاقة تواصل وجدل تستوجب قراءة الماضي لفهمه وتجاوزه لا لتقديسه

نصر حامد أبو زيد (في كتاب فلسفة التأويل)

Sesungguhnya memahami berbagai perkara dalam realitas yang ada, baik perkara yang bermacam-macam maupun yang berlawanan, adalah merupakan target dan tujuan dari wilayah eksternal suatu ilmu. Maka jangan sampai studi terhadap teks turats (klasik) menjadi stagnan pada masa lalu dan terpaku pada kejayaan masa lampau. Hubungan antara masa lalu dan masa kini merupakan hubungan titik temu dan titik tolak yang mengharuskan pengkajian terhadap konteks masa lalu untuk memahami dan menyelaminya, bukan sekedar untuk mengagungkan dan mensakralkannya.

Dengan begitu kita mengerti bahwa aspek eksternal ilmu agama, baik konteks masa lalu maupun konteks masa kini sangatlah penting untuk dikaji dan diteliti. Ketika hanya terfokus pada teori inti ilmu agama atau hanya terpaku pada konteks lama saat ilmu itu dilahirkan, maka ajaran agama akan menjadi jumud dan stagnan, sehingga akan kesulitan menjawab berbagai problem baru yang bermunculan. Maka memahami berbagai situasi kondisi lapangan adalah aspek eksternal yang menjadi target dan tujuan agar ajaran agama dan ilmu pengetahuan mampu terealisasi dan memberikan solusi bagi segala problem yang sedang dihadapi.

Penulis: Fadhila Sidiq Permana (Dosen Fakultas Ushuluddin IAIFA Kediri)
Editor: Khoirum Millatin

Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah Ila Ruh al-Naby dikarang oleh Muhammad Ibnu Syekh Fadhlullah al-Burhanfuri Al-Hindi. Ia adalah seorang sufi dari Gujarat (w. 1620 M). Ajaran Martabat Tujuhnya berdasarkan atas paham dari Imam Muhiyiddin Ibn Arabi (w. 1240 M) dan Syekh Abdul Karim al-Jili (w. 1422 M). Ia sebagai pelopor Martabat Tujuh di Nusantara.

Ajaran Martabat Tujuh yang muncul dari Gujarat ternyata segera mempengaruhi perkembangan pemikiran mistik Islam di Aceh. Pada abad 17 ada empat orang tokoh pemikir sufi di Aceh mengembangkan ajaran Martabat Tujuh dari paham Syekh al-Burhanfuri yaitu Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (w. 1630 M), Abdul Rauf dari Singkel (1617-1690 M) dan Nuruddin Ar-Raniri.

Syekh Al-Burhanfuri menjelaskan bahwa Allah menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut Martabat Tanzîh (lâ ta‘ayyun atau martabat tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut Martabat Tasybîh (ta‘ayyun atau terinderawi). Dalam hal ini Syekh al-Burhanfuri mengklasifikasikan martabat-martabat tersebut antara lain:

1. Martabat Ahadiyah

“Martabat lâ Ta’yun” atau “Martabat al-ilthlâq” atau “Martabat Adz-Dzat Al-Bakht (Martabat Dzat Yang Mutlak). Ini tidak bermakna pembatasan kemutlakan dan pemahaman meniadaan ta’yun (entitas yang ada) ada tetap di dalam martabat itu. Sebaliknya hal itu bermakna bahwa Al-Wujud di dalam martabat itu (martabat lâ ta’yun) suci dari yang ikutan-ikutan dan sifat-sifat, dan suci dari setiap ikatan sampai pada ikatan kemutlakan juga. Dan martabat ini dinamakan “Martabat Al-Ahadiyah”, yaitu Kunhu al-Haqq Subahanu wa Ta`ala, dan tidak ada martabat lain di atasnya, sebaliknya setiap martbat ada di bawahnya.

2. Martabat Wahdah

Martabat kedua, “Martabat At-Ta’yun al-Awwal” adalah ibarat dari Ilmu-Nya Allah Ta`ala bagi Dzat-Nya dan Sifat-Nya dan semua al-maujudât dalam sudut global dengan tanpa pembedaan sebagian atas sebagian yang lain. Dan martabat ini dinamakan “Martabat al-Wahdah” dan “Al-Haqiqah al-Muhammadiyah”

3. Martabat Wahidiyah

Martabat ketiga “Martabat At-Ta’yun Ats-Tsani” adalah ibarat dari Ilmu-Nya Allah Ta`ala kepada Dzat-Nya, sifat-Nya, dan semua al-maujudât dari sudut perincian dan pembedaan sebagiannya dari sebagian yang lain. Dan martabat ini disebut “Martabat Al-Wahidiyah” dan “Martabat Al-Haqiqah Al-Insaniyah.” Ketiga martabat ini (Ahadiyah, Wahdah dan Wahidiyah) semuanya adalah ada dalam Ilmu Allah, belum dilahirkan dalam bentuk ciptaan, dan taqdîm dan ta’khîrnya (dalam melihat ini) adalah `aqlî, tidak pada masa (tidak dalam pengertian waktu).

4. Martabat `Âlamul Arwah

Martabat keempat adalah “Martabat `Âlamul Arwah”, ibarat dari sesuatu al-kauniyah (yang dijadikan Allah), yang mujarrod (tunggal), yang terbentang/simpel, yang tampak pada bagian-bagian dzawatya (dzat-dzat dari kauniyah) dan amtsal-nya. 

5. Matabat `Âlamul Mitsal

Martabat selanjutnya ibarat dari sesuatu al-Kauniyah yang tersusun, halus, tidak lagi menerima pembagian dan pembedaan sebagian atas sebagian yang lain, tidak menerima pemecahan (al-kharq)

6. Martabat `Âlamul Ajsam

Martabat ini ibarat dari sesuatu al-Kauniyah yang tersusun, tampak, menerima pembagian dan pembedaan (dengan yang lainnya).

7. Martabat al-Insan

Dan martabat ketujuh adalah martabat yang menghimpun keseluruhan bagi semua martabat yang disebutkan, berupa jismâniyah, nuraniyah, Wahdah, Wahidiyah, tajalli Ilahi yang yang akhir dan pakian-pakaian akhir (bagi tajalli Al-Haqq), yaitu al-Insan. Dan ketujuh martabat ini, yang paling utama adalah “Martabat li Zhuhûrin” (yang menyebabkan yang lain tampak), dan enam yang tersisa adalah martabat-martabat penampakan keseluruhannya. Martabat terakhir, yaitu martabat al-Insan (dapat terjadi) apabila seseorang mendaki dan tampak di dalam (penyaksiannya) martabat-martabat seluruhnya tersebut. Dan yang paling sempurna terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw. dan karena ini Nabi menjadi Khataman Nabiyyin.

Dan tidak boleh mengatakan pada “Martabat al-Ulûhiyah” (tiga martabat dalam Ahadiyah, Wahdah dan Wahidiyah) sebagai martabat al-Kaun dan al-Khalq; demikian pula tidak diperbolehkan (menyebut) nama-nama martabat al-Kaun kepada “Martabat Uluhiyah”. Karena sesungguhnya Al-Wujud itu keduanya sempurna, salah satunya adalah disebut “Kamâlun Dzâtiyun” (sempurna Dzat-Nya) dan “Kamâlun Asmâ’iyun” (sempurna Asma-Nya).

Demikianlah pembahasan mengenai martabat tujuh yang perna berkembang di bumi Nusantara pada abad ke 16. Dan masuknya islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan oleh ajaran martabat tujuh ini yang dibawahkan oleh ulama-ulama sufi yang bernuansa tasawuf falsafi. Akan tetapi, seiring dengan masuknya kolonialisme Belanda ke Nusantara (Indonesia) dan Inggris ke Malaysia maka ajaran martabat tujuh mulai memudar dan akhirnya tergilas habis dengan berkembangnya tasawuf ‘amali ala Imam Al-Ghazali menitikberatkan kepada syariat. Sehingga oleh ulama-ulama syariat yang ada di berbagai pesantren Nusantara melarang untuk mengajarkan dan mengembangkan ajaran martabat tujuh ini. Namun demikian, ajaran martabat tujuh telah membawa sumbangsih terbesar dalam mengokohkan aqidah dan memperkuat tauhid masyarakat Islam di Nusantara ini

Penulis: Budi Handoyo
Editor: Khoirum Millatin

Syamsuddin As-Sumatrani adalah ulama sufi terkemuka yang hidup pada abad ke 16-17 M. Ia telah memberi pengaruh dalam pengembangan intelektualitas dan spiritualitas keislaman di Aceh pada abad tersebut. Mengenai asal-usulnya, kapan dan di mana ia lahir tidak diketahui secara pasti. Namun sebutan ‘Sumatrani’ yang selalu ada di belakang namanya merupakan penisbatan dirinya kepada negera “Sumatera” alias Samudera Pasai. Di kepulauan Sumatera ini dulu pernah berdiri sebuah kerajaan yang ternama, yakni Samudera Pasai. Itulah sebabnya ia terkadang disebut Syamsuddin Pasai.

Menurut Hikayat Aceh kedudukan sebagai penasihat sultan diperoleh Syamsuddin bukan sebagai hadiah dari Sultan Iskandar Muda (yang memerintah pada tahun 1606 hingga 1636), melainkan karena memang ia mempunyai pengetahuan yang tinggi sehingga diangkat menjadi penasihat sultan. Sebagai seorang ulama, sufi, dan filosof yang memperoleh dukungan penuh dari Sultan Iskandar Muda, Syamsuddin dapat lebih leluasa mengembangkan ajaran-ajarannya. Oleh sebab itu, di Aceh ia memiliki pengaruh yang cukup besar dan luas.

Ajaran yang dikembangkannya dikenal dengan nama ajaran Martabat Tujuh, yaitu ajaran yang menjelaskan tajjalli ‘manifestasi Tuhan’ melalui tujuh jenjang. Ajaran tersebut mendapat pengaruh dari filsafat Neoplatonisme yang bersifat panteistis. Karena yang dibahas di dalamnya adalah masalah hubungan antara wujud dan hakikat Tuhan dan alam, ajaran itu disebut pula sebagai ajaran Wujudiyah. ajaran tasawuf yang termasuk ke dalam golongan tasawuf falsafi.

Titik tolak ajaran Syamsuddin As-Sumatrani tentang wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraanya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan kalimat tauhid tersebut bagi para salik (penempuh jalan tarekat tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.

Bagi para salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-Mutawwasith), kalimat tauhid itu dipahami dengan pengertian tidak ada maksud kecuali Allah. Adapun Bagi para salik yang sudah berada pada tingkat paling atas (al-Muntahi), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian tidak ada wujud kecuali Allah.

Bahrum Rangkuti berpendapat melalui ajaran tersebut Syamsuddin As-Sumatrani sebenarnya ingin menyatakan bahwa segala sesuatu berpusat pada Allah, sebagaimana yang dikemukakan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani dalam kitab Jauhar al-Haqa’iq mengatakan,

فطريق ذكرك أن تقول بلسانك لا إله إلا الله وتحفظ بقلبك معناها نفيا وإثباتا. فالنفي أن تنفي أنيتك الوهمية بأن تصور لا أنية لي. والاثبات أن تثبت في قلبك الحق تعالى بأن لا تتصور فيه إلا الله

“Metode zikirmu adalah engkau mengucapkan لا إله إلا الله dengan lisanmu dan engkau menjaga maknanya dengan hatimu dengan cara nafi (penafian) dan itsbat (penetapan). Maksud Nafi engkau menghilangkan keakuan/wujud dirimu yang ilusif (anaiyyah wahmiyyah) dengan cara menggambarkan aku tidak memiliki keakuan diri sama sekali. Adapun maksud itsbat adalah menetap dalam hatimu hakikat Al-Haq Subhanallah wa’ Ta’ala dengan tidak membayangkan di dalam nya kecuali hakikat Allah.”

Syamsuddin As-Sumatrani menegaskan adanya perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-Muwahiddin al-Shiddiqin) dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut pantheisme. Di satu sisi, dua golongan tersebut memang sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yaitu tiada Wujud selain Allah, sedangkan wujud segenap alam hanyalah bersifat bayangan atau majazi. Tetapi kedua golongan tersebut juga memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil.

Bagi kaum pantheisme yang zindiq alias sesat, mereka memahami wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakkannya). Para penganut paham pantheisme ini mengindentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin As-Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh penganut tauhid yang benar.

Bagi Syamsuddin As-Sumatrani, sebagaimana paham Ibnu Arabi, adalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Allah sementara alam dan segala sesuatu selain Allah keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum), tetapi jika dilihat dari segi keberadaanya karena wujud Allah, maka jelaslah alam itu ada (maujud).

Sumber:

Ensiklopedia Ulama Besar Aceh Vol 2, diterbitkan LKAS (Lembaga Kesejahteraan Aceh Semata), 2010,
Syamsuddin Asy-Syumatrani, Jauhar al-Haqa’id, Maktabah al-Wathaniyah lil Jamahiriya, Indonesia, 2009.

Penulis: Budi Handoyo (Dosen Prodi Hukum Tata Negara Islam Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Teungku Diruendeng Meulaboh-Kabupaten Aceh Barat)
Editor: Khoirum Millatin

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA