Mengapa Indonesia disebut sebagai negara berkembang atau negara Dunia Ketiga jelaskan

Mengapa Indonesia disebut sebagai negara berkembang atau negara Dunia Ketiga jelaskan

Amerika Serikat (AS) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Predikat negara maju pun kini disematkan kepada Indonesia. Beberapa negara lain juga dicoret dari status negara berkembang oleh Amerika Serikat, termasuk Albania, Argentina, Brasil, China, India, Singapura, Thailand, Ukrania,dan Vietnam.

Indikator Negara Maju Versi AS

Alasan AS, Indonesia memiliki pangsa pasar 0,5 persen atau lebih dari total perdagangan di dunia. Alasan lain, Indonesia masuk dalam anggota G20. USTR menyebut keanggotaan dalam G20 menunjukkan negara-negara anggotanya masuk kelompok negara maju. 

Dalam Countervailing Duty Laws atau Undang-undang Bea Masuk Tambahan, USTR diberi kewenangan untuk mendefinisikan, memasukkan, dan mengeluarkan negara dalam kelompok berkembang. 

Sementara, dalam perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan (Agreement on Subsidies and Countervailing Measures/SCM) disebutkan, negara yang belum mencapai status negara maju berhak atas perlakuan khusus, yakni de minimis ambang batas (threshold) pemberian subsidi impor.

Dampak Jadi Negara Maju

Perubahan status Indonesia hanya berlaku di WTO. Pengaruhnya, hanya pada thresholds de minimis subsidi impor, bukan pada fasilitas sistem tarif preferensial umum (Generalized System of Preference/GSP) dalam bentuk keringanan bea masuk dari AS. Kenaikan kelas ini menjadi hal yang patut disyukuri oleh masyarakat Indonesia. Sebab, ini menunjukkan kemampuan ekonomi Indonesia dinilai secara positif oleh AS.

Namun, di sisi lain Indonesia berpotensi kehilangan sejumlah fasilitas perdagangan internasional yang selama ini diberikan hanya kepada negara-negara berkembang. Dalam perdagangan dengan AS, misalnya, batas maksimal pembebasan bea masuk turun dari 2 persen menjadi hanya 1 persen.

Amerika Serika (AS) melalui Office of the US Trade Representative (USTR) atau kantor perwakilan dagang (AS) di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang. Predikat negara maju pun kini disematkan kepada Indonesia.

Beberapa negara lain juga dicoret dari status negara berkembang oleh Amerika Serikat, termasuk Albania, Argentina, Brasil, China, India, Singapura, Thailand, Ukrania,dan Vietnam.

Menko Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan Pemerintah menghentikan produk Impor dari China, di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (4/2). (biro Setpres)

Lalu, apakah Indonesia sendiri memang sudah layak menyandang predikat tersebut? Pemerintah merespon hal ini dengan cukup santai. Menko Perekonomian Airlangga Hartanto menyebut bahwa status negara maju merupakan sesuatu yang sangat bagus karena itu pengakuan dari negara adidaya, dalam hal ini AS.

“Loh Indonesia kan sudah G20 ko masih mau dianggap kurang berkembang? Jadi kita sudah negara maju karena berdasarkan purchasing power parity pun kita sudah nomor tujuh di dunia,” ujar Airlangga.

Hal senada, juga disampaikan oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Menurutnya, hal ini bukanlah sesuatu hal yang harus dikhawatirkan, karena AS pun melakukan hal serupa terhadap beberapa negara lainnya.

“Ya bagus-bagus saja, apa masalahnya? Ya kenapa rupanya? Memang ada masalah? Kan 26 negara lain juga bukan hanya kita saja, Gak juga, saya kira gak ada masalah, kan GSP nya kita dapat, kan bagus,” ungkap Luhut.

Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga kepada VOA juga mengatakan bahwa pengakuan sebagai negara maju oleh negara Paman Sam tersebut haruslah diapreasiasi.

“Saya pikir kita bersyukur ketika misalnya ada upgrade status dari negara berkembang menjadi negara maju, itu artinya kita dianggap maju, saya pikir itu sebuah pencapaian dan kita apresiasi itu, tapi kan itu sekali lagi tidak ada hubungan dengan fasilitas GSP kami terima. Jadi intinya, status kita upgraded, GSP kita tetap dapat,” kata Jerry.

BACA JUGA: Kemenko Perekonomian: AS Pastikan Pencabutan RI dari Daftar Negara Berkembang Tak Pengaruhi GSP

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja kepada VOA mengatakan bahwa pemerintah jangan terlena dengan predikat yang diberikan oleh AS tersebut.

Ia menjelaskan ada beberapa faktor yang menunjukkan bahwa Indonesia belum bisa menyandang predikat tersebut. Pertama, kualitas pertumbuhan ekonomi nasional masih sangat fragile, sehingga bukan tidak mungkin, kalau sewaktu-waktu Indonesia bisa mengalami kemunduran ekonomi.

Kedua, standar internasional (World Bank) yang diterima untuk kriteria “developed country” adalah GNI per kapita-nya harus di atas 12.000 dolar AS, bukan berdasarkan besaran GDP karena yang diperhitungkan adalah daya beli masyarakatnya, bukan output ekonomi negaranya.

“GNI per kapita Indonesia bahkan belum tembus 4.000 dolar AS pada 2019. Jadi tentu saja kita masih jauh dan belum layak dianggap negara maju,” ujar Shinta.

Ketiga, kata Shinta dari segi kualitas kesejahteraan masyarakat Indonesia (dalam konteks kesehatan, pendapatan, human capital) umumnya masih di bawah rata-rata internasional (sib-standar).

Menteri Perdagangan Agus Supramanto dan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga saat menghadiri Rapat dengan Komisi VI DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta. (Foto: VOA/Ghita)

Ditambahkannya, kualitas human capital Indonesia juga sangat rendah karena angkatan kerja didominasi oleh unskilled workers. Padahal karakter human capital negara maju didominasi oleh skilled atau highly-skilled workers.

Ia mengakui memang dari sisi kesejahteraan/daya beli, kelas menengah Indonesia bertumbuh semakin besar dan semakin mendominasi dibanding kelas pendapatan lain. Namun, yang berjumlah paling banyak adalah masih kelas pendapatan menengah-bawah (lower middle), bukan middle-middle atau higher-middle.

“Di negara maju justru kelas pendapatan yang mendominasi adalah middle-middle atau higher-middle sehingga daya beli masyarakatnya solid dan tidak fragile seperti Indonesia saat ini,” paparnya.

Ia pun berpesan kepada pemerintah, agar tidak terlalu percaya diri dengan predikat sebagai negara maju tersebut, karena pada kenyataannya, masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah, agar kelak Indonesia dapat benar-benar dikatakan sebagai negara maju.

“Indonesia still have a long way to go, a lot of things to do, a lot of milestones to pass sebelum layak disebut sebagai negara maju. Kita masih harus terus kerja keras dan kerja smart. Jangan cepat pede. Again: this redesignation as 'non-developed country' is NOT a compliment,” tegas Shinta.

April, Indonesia Akan Finalisasi Fasilitas GSP dari Amerika Serikat

Meski sudah menjadi negara maju, pemerintah pun meyakinkan bahwa Indonesia akan tetap memperoleh fasilitas Generalized System of Preferences atau GSP dari AS. Fasilitas GSP adalah kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor. Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak dari AS untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima.

Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menjelaskan bahwa usai pertemuannya dengan USTR di Washington DC beberapa waktu lalu, negosiasi mengenai hal ini berjalan dengan baik sehingga ia yakin bahwa Indonesia akan tetap mendapatkan fasilitas GSP walaupun AS sudah mengubah status Indonesia menjadi negara maju.

Keterangan gambar,

Status negara maju Indonesia di mata AS diyakini bakal berdampak pada keringanan bea masuk barang impor dari Indonesia ke negara itu.

Kantor perwakilan dagang Amerika Serikat di Badan Perdagangan Dunia (WTO) sejak pekan lalu menyebut Indonesia berstatus negara maju, bukan lagi negara berkembang.

Status baru Indonesia di mata AS itu dianggap tak berbasis realitas di lapangan.

Sementara kelompok pengusaha yakin keringanan bea masuk akan tetap ada untuk bisnis ekspor mereka ke AS.

Di sisi lain, pemerintah belum mengeluarkan satu pernyataan resmi terkait status Indonesia di mata AS di WTO.

Kepala Badan Perencanaan Nasional, Suharso Monoarfa, berharap Indonesia tetap mendapatkan tarif rendah.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengklaim akan membahas status baru itu dengan pemerintah AS.

Ekonom di Institute For Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, menilai secara makro Indonesia memang bisa dikategorikan sebagai negara maju.

Indikatornya, kata Enny, Indonesia merupakan anggota G20 atau kelompok negara dengan perekonomian besar di dunia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun dalam beberapa tahun terakhir berada di kisaran 5%.

Meski begitu, menurut Enny pembangunan Indonesia tidak merata. Dampak positif sebagai negara maju disebutnya hanya dinikmati segelintir kalangan.

"Yang menikmati kue pembangunan tidak rata, hanya terkonsentrasi ke 1% penduduk. Jadi status negara maju itu bias," kata Enny via telepon, Senin (24/02).

Mengapa Indonesia disebut sebagai negara berkembang atau negara Dunia Ketiga jelaskan
Mengapa Indonesia disebut sebagai negara berkembang atau negara Dunia Ketiga jelaskan

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Walau berstatus anggota G20, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut tidak merata.

Sayangnya, tak cuma bias, kata Enny, konsekuensi negatif status Indonesia sebagai negara maju kini harus ditanggung banyak kelompok penduduk.

Enny memprediksi Indonesia bakal kehilangan fasilitas bea masuk ringan untuk ekspor produk ke AS yang kerap disebut sebagai Generlizes System of Preferences (GSP).

"Saat diberikan status negara maju, kita kehilangan fasilitas untuk negara berkembang."

"Memang fasilitas GSP dari AS tidak dimanfaatkan Indonesia karena sebagian besar komoditas ekspor kita tidak termasuk yang mendapat fasilitas GSP. Tapi saat Vietnam masih mendapatkan fasilitas itu, barang-barang Indonesia jadi tidak kompetitif," tuturnya.

Pendapat berbeda diutarakan Shinta Kamdani, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN).

Ia yakin status baru Indonesia di mata AS tidak akan menghapus fasilitas keringanan bea masuk barang impor.

"GSP (Generalized System of Preferences atau sistem tarif preferensial, terkait tarif untuk berbagai produk) tidak akan terpengaruh. Itu akan tetap berjalan. Peningkatan status itu hanya berhubungan dengan WTO," kata Shinta.

"Ini mencakup penyidikan, batas toleransi subsidi yang mereka berikan. Dalam undang-undang di AS ada pembedaan batas toleransi subsidi untuk negara yang berdagang dengan AS."

"Sebagai negara berkembang Indonesia diberi toleransi 2%, sebagai negara maju lebih rendah sekitar 1%. Jadi ini hubungannya hanya dengan WTO, tidak ada kaitan dengan GSP," ujar Shinta.

Keterangan gambar,

Seorang pekerja memproses kacang soya impor dari AS menjadi tempe di Malang. Kemudahan dari pemerintah bagi produk impor AS disebut vital sebagai balasan keringanan bea masuk barang Indonesia ke negara itu.

Isu penghapusan keringanan bea masuk untuk produk Indonesia ke AS ramai diperbincangan sejak 2018.

Shinta berharap, pemerintah terus bernegosiasi dengan AS agar fasilitas itu tetap bisa dirasakan pengusaha Indonesia.

Menurutnya, kemudahan untuk pebisnis AS yang hendak mengekspor barang ke Indonesia merupakan tawaran yang seimbang dengan fasilitas GSP.

"Indonesia harus beri akses untuk produk AS yang masuk, produk holtikultura mereka yang sekarang masalah," tuturnya.

"Yang paling penting adalah mempertahankan GSP. Walau total ekspor ke AS US$1,8 miliar dari total keseluruhan eskpor yang mencapai US$14 miliar, kami ingin pertahankan itu.

"Pemerintah harus memastikan fasilitas itu tetap berjalan karena bisa menego kebijakan itu pemerintah," kata Shinta.

Keterangan gambar,

Pemerintah menyebut akan berdialog dengan AS terkait dampak status negara maju yang mereka lekatkan kepada Indonesia di WTO.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, berkata Indonesia tidak perlu khawatir merugi akibat status baru sebagai negara maju di mata AS.

Airlangga berencana membincangkan ini dengan AS secara langsung.

Kalaupun harga produk Indonesia yang masuk ke AS meningkat, ia yakin barang itu tetap laku karena memiliki daya saing.

"Justru kita berbangga, kita kan G20, kita sekarang ekonomi 15-16. Dan kita purchasing power parity kita nomor tujuh. Masa dianggap berkembang?" kata Airlangga di kepada pers di Jakarta, Senin (24/02).

"Kita kadang-kadang sudah maju tapi nggak mau maju."

"Kalau biaya ekspor impor ada nanti perjanjian yang sedang diproses itu bisa diselesaikan bilateral. Kami optimis. Kita punya GSP hanya 20%," tuturnya.

Bukan hanya Indonesia, AS pada saat yang sama juga memberikan status negara maju di WTO kepada China, Brasil, India, dan Afrika Selatan.

Berbeda dengan pandangan AS terhadap status Indonesia di WTO, Dana Moneter Internasional (IMF) masih menganggap Indonesia sebagai negara berkembang.

China, Brasil, India, dan Afrika Selatan pun menyandang status negara berkembang di mata IMF.