Masjid yang pernah menjadi pusat aktivitas dakwah walisongo di Jawa adalah masjid

tirto.id - Sebuah masjid yang terletak di kaki Gunung Lompobattang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tengah diperbincangan warganet sejak sepekan lalu. Masjid yang belum memiliki nama itu dibangun cukup megah di tengah hutan dekat perkebunan kopi.

Kaki Gunung Lompobattang dikenal sebagai tempat keramat. Lokasi dibangunnya masjid yang viral tersebut juga memiliki cerita yang tidak jauh beda. Menurut warga setempat, seperti dilansir Liputan 6, di lokasi itu pernah terdapat batu besar yang biasa digunakan sebagai tempat ritual pemujaan, namun kini telah dihancurkan oleh sang pembangun masjid.

Konsep “menyucikan" suatu kawasan dengan jalan membangun masjid mengingatkan kembali kepada awal mula dibangunnya Masjid Agung Demak ratusan tahun silam. Menurut Kees van Dijk, Profesor Sejarah Islam Indonesia di Universitas Leiden, masjid tertua di Jawa itu dibangun di atas sisa-sisa pengaruh Hindu-Buddha dari Kerajaan Majapahit.

“Pembangunan Masjid Demak ditetapkan harus dibangun segera setelah Majapahit berhasil ditaklukkan dan Sunan Giri telah menduduki takhtanya selama empat puluh hari, guna menyucikan kerajaan tersebut bagi Raden Patah, penguasa baru seluruh Jawa," tulisnya dalam antologi Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia (2009: hlm. 53).

Baca juga: Ratusan Tahun Sejarah Masjid Beratap Segitiga di Jawa

Pusat Islam di Jawa

Masjid Agung Demak tidak hanya sebagai simbol naiknya pengaruh Islam di Pulau Jawa. Dalam Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java (1995: hlm. 321), Nancy Florida mengutip manuskrip Babad Jaka Tingkir yang menyebutkan bahwa Masjid Agung Demak merupakan pusat dari seluruh pusaka para raja Jawa.

“Berbeda dari apa yang dialami ‘pahlawan’ Babad lainnya, Masjid Agung Demak sebagai pusaka sejati jelas sengaja dijadikan sebagai pusat oleh para wali," tulis Florida.

Ia menambahkan, sejak awal para wali sengaja menjadikan Masjid Agung Demak sebagai simbol kebesaran raja-raja Jawa dan para kawulanya yang mulai memeluk Islam.

Demak merupakan salah satu tempat bertumbuhnya Islam untuk pertama kali di Pulau Jawa. Fenomena penyebaran ini terjadi sekitar abad ke-11, bersamaan dengan gerakan penyebaran Islam oleh para wali di beberapa wilayah di pesisir utara Jawa.

Dalam Babad Tanah Jawi yang disunting oleh W.L. Olthof (2017: hlm. 38) dikisahkan bahwa sebelum Masjid Agung Demak didirikan pada pengujung abad ke-15, kawasan di sekitarnya sudah menjadi pusat pengajaran agama Islam di bawah bimbingan Sunan Ampel. Suatu ketika, ia kedatangan dua bersaudara asal Palembang yang ingin menjadi abdi Kerajaan Majapahit.

Sang kakak yang bernama Raden Patah kemudian masuk Islam. Ia memutuskan untuk menetap serta membantu Sunan Ampel menyebarkan Islam dari Hutan Bintara. Sementara adiknya yang bernama Raden Husen, menuntaskan perjalanan sampai akhirnya diberi gelar Adipati Terung oleh Raja Majapahit.

Sumber babad juga menyebut Raden Patah berjumpa kembali dengan adiknya saat mendapat undangan dari Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Sang Prabu sangat menyukai Raden Patah hingga rela memberinya hak atas Bintara yang kemudian dikenal dengan sebutan Demak.

Melalui tulisan bertajuk “Spiritual Phenomena in the Town of Demak," Marwoto menuturkan bahwa pada akhirnya Demak menjadi sangat makmur berkat pertemuan dua kebudayaan, yakni Islam dan Hindu. Surplus beras yang dihasilkan oleh komunitas Hindu di wilayah yang dikuasai Majapahit sebagian besar dijual melalui Demak.

Kelancaran aktivitas perdagangan ini menjadikan Demak ibarat magnet bagi pedagang-pedagang Muslim dari Malaka, Cina, India, dan Arab. Marwoto menandai kondisi ini sebagai fondasi awal pembentukan pemerintahan Demak yang terjadi dari hasil kolaborasi istana, masjid, dan pelabuhan.

“Sistem perdagangan di Demak mengarah pada pembentukan kemampuan untuk menciptakan kelembagaan, pertahanan, dan pengaturan konstitusional, yang didasarkan pada Islam," tulisnya.

Atas restu Sunan Ampel, Raden Patah diangkat menjadi raja pertama Kesultanan Demak. Pada periode yang sama, terbentuk sebuah lembaga bagi para ulama atau para wali yang dipusatkan di Masjid Agung Demak. Selain Raden Patah, raja kedua dan ketiga Demak yakni Adipati Unus dan Sultan Trenggono, juga berhasil memanfaatkan lembaga ulama ini untuk mempertahankan stabilitas politik.

“Masjid [Agung Demak] adalah jaringan inti antara para pemimpin dengan orang-orang yang dianggap suci karena raja perlu mendapatkan pendamping para ulama untuk mengendalikan hukum Islam," lanjut Marwoto.

Baca juga: Tan Go Wat: Datang Dari Cina, Lalu "Mengislamkan" Jawa

Simbol Kekuasaan Ilahiah

Sebagai Kerajaan Islam yang lahir di atas sisa tradisi Hindu-Buddha, kerajaan ini sangat bertumpu pada keberadaan Masjid Agung Demak sebagai legitimasi keluarga raja. Dalam beberapa sumber, Sunan Kalijaga disebutkan sebagai sosok yang mampu menghasilkan keajaiban untuk menonjolkan kesucian para ahli waris kerajaan dan para wali saat membangun masjid tersebut.

Dalam satu kisah tentang perbaikan kiblat Masjid Agung, Nancy Florida membaca ulang naskah Babad Jaka Tingkir yang menggambarkan Sunan Kalijaga ketika mencoba menentukan kiblat menggunakan kedua tangannya. Menurut penafsiran Florida, ketika masjid itu berhasil diarahkan ke Ka’bah di Makkah, bersamaan dengan itu Ka’bah pun dibuatnya menghadap ke Masjid Agung Demak.

Kees van Dijk dalam tulisannya “Perubahan Kontur Masjid" mengkritisi pembacaan yang dilakukan Florida yang tidak masuk akal. Kendati demikian, ia tidak menampik jika kisah tersebut hanya metafora yang menunjukkan bahwa raja-raja Jawa menolak tunduk kepada kekuasaan orang Arab sebagai pusat Islam.

Infografik Masjid Agung Demak. tirto.id/Quita

Dengan meminjam konsep kota kosmis dalam kebudayaan Hindu-Buddha, raja dan masjid di Jawa kala itu dianggap sebagai pusat dari perantara langsung kebesaran Tuhan di muka bumi.

“Dalam pandangan Islam, posisi sentral tidak hanya ada pada seorang raja yang tinggal di istana. Munculnya masjid sebagai pusatnya dapat dipahami sebagai keadilan universal di dunia Islam dengan mempertimbangkan kebudayaan Islam sebagai simbol keberadaan Tuhan," tulis Marwoto melengkapi argumen van Dijk.

Agar dapat menghasilkan narasi kekuasaan ilahiah para raja Jawa, tidak heran jika Masjid Agung Demak dibangun mengikuti bangunan keramat dari tradisi Hindu-Buddha yang dimodifikasi dengan nuansa Islam. Dalam makalah “Syncretism in Architectural Forms of Demak Grand Mosque," Ashadi dan kawan-kawan menyebut ciri ini terdapat pada penggunaan atap tajug atau atap tumpuk. Hal itu biasa digunakan pada bangunan-bangunan keramat (candi) bagi masyarakat Hindu-Buddha di Jawa.

Dengan hadirnya atap tajug dan beberapa artefak kerajaan, Masjid Agung Demak dikenal juga sebagai bangunan yang memiliki nilai sakral menurut tradisi Islam Kejawen.

Hingga kini, Masjid Agung Demak dan kompleks makam para raja tidak pernah lengang dari para peziarah yang mencari berkah. Bahkan tidak sedikit masyarakat Jawa yang meyakini bahwa ziarah ke Masjid Agung Demak memiliki nilai sama dengan menjalankan ibadah haji ke Makkah.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MASJID NUSANTARA atau tulisan menarik lainnya Indira Ardanareswari
(tirto.id - ina/irf)


Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh

Array

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Masjid Agung Demak (bahasa Jawa: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀​ꦄꦒꦼꦁ​ꦢꦼꦩꦏ꧀ Pegon: مسجد اگوڠ دماك) adalah salah satu masjid tertua yang ada di Indonesia. Masjid ini terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

Masjid Agung Demak
ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀​ꦄꦒꦼꦁ​ꦢꦼꦩꦏ꧀
مسجد اگوڠ دماك

Tampak depan dari Masjid Agung Demak

Lokasi di Jawa

Informasi umumLetakKel. Bintoro,
Demak, Jawa Tengah, IndonesiaKoordinat geografi6°53′41″S 110°38′15″E / 6.894695°S 110.637602°E / -6.894695; 110.637602Koordinat: 6°53′41″S 110°38′15″E / 6.894695°S 110.637602°E / -6.894695; 110.637602Afiliasi agamaIslamSitus web//www.masjidagung.idDeskripsi arsitekturJenis arsitekturMasjidGaya arsitekturTajug tumpang tiga[1]Rampung1479SpesifikasiMenara1
Cagar budaya IndonesiaMasjid Agung Demak
PeringkatNasionalKategoriSitusNo. RegnasCB.96Lokasi
keberadaanKabupaten Demak, Jawa TengahTanggal SK1999 & 2015Pemilik
 IndonesiaPengelolaYayasan Sunan MuriaNama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya

Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang disebut dengan Walisongo. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak sekitar abad ke-15 Masehi. Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini pada tahun yang ditampilkan dalam bentuk gambar serupa bulus yang terdapat di depan kubah tempat pengimaman. Ini merupakan Surya sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Masjid ini didirikan pada tanggal 1 Shofar.

Masjid ini didirikan oleh Raden Patah supaya semua orang yang ada di Jawa bisa memegang agama islam. Raden Patah merupakan seorang adipati dan anak dari seorang putri china yang konon diberikan oleh sultan cina kepada Raja Majapahit Brawijaya V sebagai lambang perdamaian kedua negara tersebut. Setelah itu putri mengandung dan diasuh oleh ayah sambungnya Arya Damar yang menjadi adipati di derah palembang yang tidak lain adalah pamannya sendiri, setelah dewasa Raden Patah kembali ke Jawa dan mengabdi di Majapahit

Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas Masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu bledeg”, mengandung candra sengkala, yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.

Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak termasuk di antaranya adalah Sultan Fattah yang merupakan raja pertama Kesultanan Demak dan para abdinya. Di kompleks ini juga terdapat Museum Masjid Agung Demak, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat Masjid Agung Demak.

Masjid Agung Demak dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1995.

  •  

    Masjid Agung Demak, akhir abad ke-19

  •  

    Masjid Agung Demak, 1920-1939

  •  

    Masjid Agung Demak, Agustus 2016

  •  

    Menara Masjid Agung Demak, Agustus 2016

  •  

    Tampak Bagian Dalam Masjid Agung Demak,Kab.Demak Prop.Jawa Tengah Indonesia

  1. ^ (Indonesia) "Rumah Jawa" (html). Diakses tanggal 2012-10-9. Bangunan dengan atap bertingkat dalam arsitektur Jawa menunjukkan strata sosial.  Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)

  • Wisata Religi Masjid Agung Demak
  • Sejarah Masjid Agung Demak Diarsipkan 2016-09-23 di Wayback Machine.

 

Artikel bertopik masjid ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Masjid_Agung_Demak&oldid=21197262"

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA