Macapat iku tembang Jawa Kuno kena apa disebut Kuno

“Jagad Ginelar, inilah hidup, dalam laku kehidupan dan penghidupan.”

Jawadwipa yang sudah menjadi kota metropolis sejak jaman kuno menjadi tempat bertemunya kesusastraan dunia dengan saling pengaruh mempengaruhi. Akibatnya, Jawa-Nusantara kaya akan khazanah kesusastraan dalam berbagai bentuk dan ragamnya, salah satunya “Macapat.”

Tradisi bahasa lisan (tutur), sebagai fungsi komunikasi untuk menyampaikan pesan berupa gagasan dan pemikiran oleh personal maupun sosial menemukan formatnya sebagai definisi “bahasa” yang terikat oleh kesepakatan. Bahasa dengan banyak fungsinya memerlukan ruang atau media sebagai alternatif penyampaian pikiran. Bahasa yang tidak berwujud diperlukan tulisan sebagai bukti fisik untuk banyak kepentingan sebagai wadah yang aplikatif.

Pemikiran manusia yang mengandung konsep gagasan, perlu ditunjukkan dalam sebuah karya. Karya pemikirannya ditulis dalam ragam medianya, termasuk yang berhubungan dengan jenis bahasa dan jenis tulisan yang berisi mengenai pedoman, ajaran, atau instruksi tertentu yang disampaikan melalui keindahan, disepakati sebagai bentuk “sastra.”

Dalam pendalaman yang lebih intens, sastra belum tentu mengandung nilai seni, menjadi lebih pada nuansa keindahan dalam balutan fiksi, didefinisikan menjadi “sastrawi”. Maka, ruang lingkup kesusastraan menjadi luas, karena berhubungan dengan kebahasaan dan tulisan. Terbagi dalam sastra tertulis dan oral.

Hal tersebut bersifat kerangka konstruktif sastra, belum lagi menerjemahkan isinya yang harus ditelaah secara detail pada banyak aspek. Isi sastra dari hal yang bersifat fakta sejarah sebuah peristiwa, kefahaman spiritual, ekspresi seni, serta fiksi-fiksi yang tidak terbatas menjadi diskursus pemikiran manusia.  Kajian kesusastraan memerlukan banyak disiplin ilmu dalam menggali sejarah sastra maupun penciptaan sastra baru yang berderajat tinggi, sebagai representasi dari peradaban suatu bangsa.

Studi mengenai kesusasteraan harus berdasarkan disiplin ilmu filologi bersama paleografi. Keberagamaan kesusasteraan Nusantara dengan banyaknya ragam bahasa, memunculkan banyak jenis sastra, seperti; Sastra Jawa, Melayu, Sunda, juga Sastra Bali. Begitu juga dengan sumber-sumber sejarah berupa tulisan, terdapati banyak aksara di Nusantara.

Perkembangan bahasa Jawa yang digunakan saat ini pada wilayah kebudayaan Jawa Tengahan misalnya, diawali dari bedah sejarah mulai digunakannya bahasa Jawa Awal yang bercampur dengan bahasa Sansekerta, berkembang menjadi bahasa Kuno, Kawi, sampai menjadi bahasa ber-strata, Jawa Krama Inggil, Madyo dan Ngoko.

Pada perkembangan tulisan atau aksara juga demikian. Aksara Jawa yang ada saat ini hasil dari proses yang panjang. Huruf Jawa Asli, Pallawi, Paranaghri, India, menjadi terkait dan membentuk format baru.

Pada ruang kemediaan yang menjelaskan isi didalamnya, perlu ditelaah dengan komprehensif berdasarkan bentuk seni sastra yang ada. Manuskrip kuno berupa catatan yang berbentuk prasasti, bas-relief, daun lontar, lempeng emas, menjadikan obyek penelitian yang tidak kalah penting, selain obyek kebahasaan itu sendiri. Pada sumber lain, sastra dalam bentuk teks bersifat abstrak, tidak tersusun dalam sebuah naskah, yang mana diperlukan pendekatan kritis dalam analisanya, dan ini merupakan sumber yang tidak tertulis dan banyak terjadi di Nusantara. Cerita Panji, Kidung, Legenda, Dongeng (Folkfor-Folksong), diantaranya.

Bentuk prosa dan aneka puisi dalam ragam bentuknya seperti; Kakawin, Suluk, Babad, Geguritan hingga Macapat adalah bukti kekayaan seni sastra Nusantara. Sayangnya, manuskrip dan naskah-naskah kuno Nusantara tersebar dibanyak negara, terutama saat agresor kolonial Belanda dan Inggris. Disamping itu, dokumentasi mengenai keberadaan teks sastra dalam aneka ekspresi, kesenian dan cerita tutur tidak menjadi naskah seni sastra Nusantara yang digali secara insentif dan tersusun, hanya dikesampingkan sebagai sesuatu yang bersifat fiksi, padahal melalui pendekatan geo-mitologi dapat dijadikan pemodelan ilmu pengetahuan.

Teknik dokumentasi, standarisasi, berupa naskah-naskah dengan aneka alih bahasa dan alih aksara hendaknya mulai dibudayakan, terlebih pada transformasi naskah digital.

Historiografi Nusantara pada seni sastra, telah menjadi pelajaran dari generasi ke generasi, khususnya seni Macapat, tidak hanya sifatnya yang duplikasi, namun lebih pada ide baru sesuai perkembangan sosio-kultural (sosiologis) pada masanya.

Kesusastraan Jawa Klasik dilihat dari sejarahnya , nampaknya bentuk Macapat menjadi pilihan sebagai kesimpulan gaya sastra jawa, terutama pada periode terakhir jawa baru (Surakarta dan Yogyakarta). Macapat telah menjadi bentuk yang sempurna perihal ketatabahasaan dengan kaidah tertentu, sebagai seni sastra dan fungsi yang lain.

Pada hal isi macapat, sebagai monumen peristiwa, bercampur dengan dinamika teologi yang dari prosesnya berawal dari spirit mistis-mitologi, hingga konsep etiologi ketuhanan dan manusia (polytheisme dan monotheisme) ikut melingkupinya, juga bumbu mistis dan fiksi. Spirit Hindu-Budha, Islam, Barat dan kebudayaan dunia lainnya menjadikan macapat sebagai sastra yang berkelas, namun masih banyak hal tersembunyi yang perlu diungkap.

Tembang Macapat dalam pemilihan dan penggunaan kata-kata dan kalimat, lebih pada bentuk metafora yang bersifat komplementatif, nominatif, kalimatif dan predikatif, merupakan cirinya.
Ciri bahasa metafora dalam kesusasteraan Jawa telah ada dalam karya sastra sejak era Jawa Kuno, Madya dan Anyar. Metafora bahasa Jawa tidak dimaknai sebagai kelahiran bahasa yang terpengaruh akan budaya feodal yang mengenal strata, meski bagian itu tetap ada, namun lebih pada derajad seni kesusasteraan yang bermakna tinggi sebagai hal yang bersifat filosofi, juga media pengajaran.

Metafora semantik dalam sastra Jawa, disebut sebagai gaya bahasa, seperti; “Sanepa, Paribasan, Wangsalan, Pepindhan, Parikan, Cangkriman,” disitulah nilai estetik bahasa dan sastra Jawa terlihat dalam tembang Macapat.

Garis Waktu Periodisasi Sastra Jawa-Nusantara

Periodisasi Sastra Jawa menurut beberapa sumber, yaitu; (1) M. Ng. Poerbatjaraka [Kapustakaan Djawa (1952), Kepustakaan Djawi (1954)]. (2) Versi Departemen Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (1946), dalam bukunya Kesoesastraaan Djawi dengan judul “Babad Riwayate Kesusastraan Jawa.” (3) Menurut Suryanto Sastroatmodjo dalam makalahnya yang berjudul “Sastra Jawa; “Adakah Era Baru atau Alternatif-Alternatif Baru” (1976). (4) Dalam “Kalangwan” Sastra Jawa, oleh; Zoetmulder P.J (1974:1983).

Poerbatjaraka dalam studi ini menggunakan sampel penelitian berupa 79 karya sastra dalam berbagai bentuk, sejak jaman Syailendra sampai era Pakubuwana XI Surakarta.

Garis besar Periode Kesusastraan Jawa dapat disimpulkan sebagai berikut :

(1) Sastra Jawa Kuno
1.1. Periode Abad I sampai X

Era kerajaan Kutai Kartanegara, Sriwijaya, Tarumanegara, Kalingga, Medang (i Mataram dan vasal Jawa Timuran)

A. Budaya Tulisan

Merupakan masa awal budaya tulisan, dibuktikan dengan literatur berupa prasasti dalam relief atau properti lainnya sebagai epigraf. Belum membentuk sempurna sebagai seni sastra, melainkan sebagai peringatan peristiwa besar. Masa awal berbahasa Sansekerta dan Jawa Kuno, bertuliskan huruf Pallawa.

Kerajaan Kutai Kartanegara meninggalkan jejak berupa tujuh Prasasti Yupa (tiang batu), berangka tahun abad ke-5 atau sekitar tahun 400 M, sudah dipengaruhi unsur agama Hindu dari India. Dalam prasasti ini ditafsirkan bahwa Raja Kudungga asli orang Nusantara.

Pada abad ke-tujuh, pengaruh agama Buddha sudah ada di Swarnadipa  (Sumatra/Malaya). Gambaran kerajaan Sriwijaya terdapat pada enam buah prasastinya yang teridentifikasi berangka tahun 683 M (Prasasti Kedukan Bukit), sampai tahun 775 M (Prasasti Ligor).

Purnawarman adalah Raja yang membawa kerajaan Tarumanegara mencapai masa keemasan pada tahun 395-434 M. Tujuh prasasti yang terkenal diantaranya, Prasasti Ciaruteun dan Kebon Kopi yang tersebar didaerah Bogor, Banten dan Jakarta (Jawa Barat).

Prasasti Canggal (732 M), ditemukan di Magelang, dikeluarkan oleh penguasa baru Medang i Mataram, Sanjaya. Berawal dari prasasti ini sentuhan seni sastra mulai nampak, dari bentuk prasastinya sendiri yang menggunakan metode simbolisme tahun yang dinamakan tahun “Surya Sengkala” (sengkalan). Serta isinya yang sudah terpengaruh epik Ramayana, seperti kisah perjalanan Resi Agastya di Gunung Kunjara. Sanjaya berusaha menduplikasi epik Ramayana dalam tata kelola pemerintahan di Jawa, diantaranya melalui tulisan atau kitab-kitab yang sederhana berjudul “Kunjarakarna.”

Tahun 808-809 M, Prasasti Dieng menyebutkan bahwa komplek Candi  Dieng sudah digunakan sebagai pusat keagamaan Hindu dari abad ke-7 sampai abad 9. Merupakan bukti yang tertua keberadaan tulisan aksara Jawa Kuno, bila sebelumnya bertuliskan huruf Pallawi.

Aksara Jawa yang digunakan saat ini sebagai inisiasi, melalui bukti tertua pada prasasti-prasasti tersebut, serta dasar dari penggunaan bahasa lingustik dan non verbal Jawa Kuno.

B. Kesusastran Jawa Kuno dalam Kitab

Kitab Candha Karana, berbentuk tembang atau nyanyian berbahasa Jawa Kuno yang masih sederhana. Tersusun dalam bentuknya seperti kamus bahasa yang dipengaruhi epos gaya India. Tumbuh pada masa pemerintahan wangsa Syailendra-Sanjaya yang menceritakan tentang keberadaan dinastinya. Kitab ini diperkuat dengan Prasasti Kalasan (778 M), beraksara huruf Paranaghri dengan langgam India Utara.

Kakawin Ramayana, diprediksi lahir pada masa pemerintahan Dyah Balitung  (820-830 C), berbahasa Jawa Kuna berbentuk tembang atau puisi. Yogiswara diduga sebagai pengarangnya meski bukti itu tidak kuat. Dalam bentuk fisiknya ditulis pada daun lontar, seperti yang ditemukan didaerah gunung Merapi-Merbabu pada abad ke-16. Dalam istilahnya disebut sebagai Adikakawin, sebagai naskah yang indah, panjang dan komplit. Dasar dari isinya tetap dalam kerangka epos Ramayana.

1.2. Periode Jawa Timuran (Sastra Pertengahan)

A. Era Mpu Sindok, Airlangga, Kadiri, Singhasari (929-1293 M)

Pada era ini penggunaan bahasa dan aksara Jawa Kuno sudah meningkat, sedangkan bahasa lingustik Sansekerta serta simbol non verbal berupa; tulisan/aksara sansekerta, pallawi, paranaghri, lebih pada referensi serapan vocabulary, grammar dan perkembangan aksara (serapan).

Kitab Buddha bermazhab Mahayana-Tantrayana, “Sang Hyang Kamahayanikam”. Kitab ini didokumentasi pada pemerintahan Mpu Sindok yang telah berpindah ke daerah Jawa Timuran (929-947 M). Karangan dari Mpu Shri Sambhara Surya Warama, berbentuk prosa; yang mengisahkan cerita-cerita dengan narasi yang dibuat dengan bentuk monolog dan dialog dari pengarang dan ketokohan dalam penceritaan tersebut. Berisi 129 ayat, diantaranya bercerita mengenai perjalanan seorang Yogi dalam mencapai tingkat ke-Budhaan. Kitab ini sebagai bagian dari budaya tulisan menuju konsep institusional, sebagai cikal bakal kesusastraan Majapahit, mengalami kemajuan dalam isi dan teknik (penaskahan, gaya bahasa dan bentuknya).

Kitab Brahmandapurana, tidak diketahui siapa penulisnya dan atas perintah Raja siapa, namun sejaman dengan Kitab Sang Hyang Kamahayanikam. Berbentuk prosa, isinya mengenai ajaran Siwa-Hindu. Berisi mengenai asal muasal jagad, perjalanan spirit manusia. Kelahiran konsep caturasrama; Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra bersumber dari kitab ini.

Kitab Sastra Parwa Mahabaratta, merupakan gubahan dari versi asli India karangan Bghwan Vyasa, berbentuk prosa. Versi India berisi 18 parwa yang disebut Astadasaparwa. Lahir pada era Medang Kamulan saat pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M). Merupakan kumpulan prosa hasil dari budaya sastra pemerintahan sebelumnya, yang lebih bersifat Adiparwa atau bagian keseluruhan cerita Mahabaratta- Ramayana.

Kelahiran Kakawin Arjunawiwaha (kitab bagian ke-3 Mahabaratta) didasari dari prosa Sastra Parwa tersebut. Kakawin Arjunawiwaha secara etimologi berarti perkawinan Arjuna, digubah oleh Mpu Kanwa sebagai persembahan kepada Raja Airlangga menantu dari Dharmawangsa Teguh di Wwtan:Magetan (1028-1035 M). Kerajaan Jenggala Kahuripan merupakan asal dari Kakawin ini, berbahasa Jawa  yang sudah berkembang lagi dari Jawa Kuno menjadi bahasa Jawa Kawi. Dalam perkembangan kasusastraan selanjutnya, seni sastra periode ini mirip dengan sastra Bali, yang mana Airlangga mempunyai nasab dari bangsawan Bali, juga kerajaan Bali sebagai vasal Medang sejak era Dyah Balitung. Dalam kaidah penciptaan seni sastra, selain bentuk Kakawin tercipta format baru berupa Geguritan dan Paparikan (parikan).

Pada bagian parwa yang ke-7 lahir Kitab Uttarakanda berupa teks, yang masih sejaman dengan Kitab Arjunawiwaha.

Salah satu tonggak besar dari perkembangan sastra Jawa Kuna pada era ini telah membentuk format dengan hampir baku, bahwa prosa yang dimaksud berupa “Gancaran”, sedangkan “Kakawin” adalah bentuk puisi, gaya bahasa metafora dan penyajiannya berupa gaya bahasa “Paparikan” dengan penyajian format “Geguritan” menjadi modul perkembangan selanjutnya.

Selain itu masih terdapat beberapa bagian kitab (parwa), seperti; Sabhaparwa (bagian 2), Wirataparwa (4), Udyogaparwa (5), Bhismaparwa (6), Asramawasaparwa (15), Mosalaparwa (16), Prasthanikaparwa (17), dan Swargarohanaparwa (18). Karena sifatnya yang saduran, pada masa ini setiap bagian tidak menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai naskah karya sastra. Terlebih pada era selanjutnya, dengan puncaknya saat kerajaan Majapahit dengan orientasi yang berbeda-beda, namun secara khusus dan intensif karya sastra saduran Mahabaratta lebih berkembang dan menemukan formatnya diwilayah kebudayaan Bali. Bila di Jawa ditulis dengan aksara Jawa, sedangkan penulisan di Bali dengan aksara Bali.

Pada era kerajaan Kadiri, lahir Kakawin yang terkenal yaitu; “Kakawin Bharatayudha,” dengan bahasa Jawa Kawi. Ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, ditulis dalam material daun lontar. Kakawin ini selesai ditulis pada 6 November 1157 untuk Raja Prabu Jayabaya, menurut kronogram pada awal Kakawin sebagai penjelasan. Selain mengetengahkan mengenai kitab Mahabaratta, juga gambaran terjadinya perang saudara antara Panjalu dan Jenggala, dari duplikasi perang Pandawa-Kurawa.

Sebelumnya, Kadiri telah menulis Kakawin Kresnayana yang ditulis oleh Mpu Triguna pada saat Raja Warsajaya (1104 M), mengisahkan perkawinan Prabu Kresna dan Rukmini, yang diawali dengan tragedi penculikan. Kakawin ini ditulis ulang tahun 1135-1157 oleh Mpu Panuluh pada saat pemerintahan Raja Jayabaya, dengan sebutan “Kakawin Hariwangsa.”

Mpu Panuluh juga menulis “Kakawin Gathotkacasraya,” pada saat pemerintahan Raja Jayakreta, bercerita mengenai perkawinan Raden Abimanyu dengan Siti Sundari. Kakawin ini berjumlah 50 pupuh dengan bahasa Jawa Kawi.

Perkembangan sastra era kerajaan Kadiri mengalami kemajuan yang pesat, tidak hanya mengetengahkan mengenai dogma-dogma yang statis dari kitab Mahabaratta yang berupa saduran, tetapi lebih pada campuran unsur lokal sebagai cerita carangan atau sempalan, juga mengetengahkan mengenai keadaan sosiologis kerajaan Kadiri, yaitu pada Kakawin Smaradahana dan Lubdhaka, juga cerita Panji.

Kakawin Smaradahana, meskipun masih menceritakan mengenai kitab Mahabaratta, juga perihal keadaan pemerintahan pada saat Raja Kameswara  II (1185 M), kakawin ini diduga ditulis oleh Mpu Dharmadja. Untuk Raja Kameswara I, dijelaskan dalam cerita Panji Hinu Kertapati dan Dewi Candrakirana.

Kakawin Bhomakawya atau Bhomantaka merupakan kakawin terpanjang dengan 1492 bait. Tidak diketahui siapa penulisnya, pada masa pemerintahan siapa, namun lahir dari periode sastra Jawa Timuran, diduga sejaman dengan kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmadja. Berkisah mengenai peperangan antara Prabu Kresna dan Bhoma.

Kakawin Sumanasantaka, berbahasa Jawa Kuno karya Mpu Monaguna, terpengaruh oleh karya sastra “Mahakavya Raghuvamsa” karya Kalidasa, seorang penyair terkenal abad ke-5 India. Terdiri dari 1100 bait, narasi berupa prolog dan epilog terdapat dalam setiap bagian-bagian, berisi tentang pemujaan dan kematian. Dalam perkembangannya, kakawin ini menjadi “Kidung Sumanasantaka”.

Kakawin Lubdhaka (Siwaratrikalpa) diciptakan pada era Kadiri akhir saat Raja Kertajaya, oleh Mpu Tanakung. Nama Lubdhaka diambil sebagai figur ketokohan dalam cerita tersebut, adalah seorang pemburu yang taat pada ajaran Siwa.

Kakawin Wrettasancaya, juga ditulis oleh Mpu Tanakung, terdiri dari 112 bait kakawin, dengan bermacam-macam metrum (92 contoh metrum). Berbahasa jawa kuna, lebih pada karya sastra bersifat fiksi dengan gaya artifisial. Metrum yang dimaksud menjadi tonggak kelahiran seni Macapat dengan aturan penggunaan jumlah kata dan tekanan huruf vokal, menjadi metrum “Guru Wilangan” dan “Guru Lagu” pada seni Macapat modern.

Selain perkembangan pada bidang kasusastraan, budaya penulisan pada prasasti masih diteruskan oleh kerajaan Kadiri. Aspek sosiologisnya digambarkan melalui prasasti, yaitu; Prasasti Pandeglan (1117), Panumbangan (1120), Ngantang (1135), Talan (1136), dan Jepun (1144), dengan menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kawi.

B. Periode Majapahit (1293-1498 M)

Naskah Pararaton, ditulis dalam bahasa jawa kawi, terdiri dari 32 halaman berjumlah 1126 baris. Isi naskah ini diragukan kebenarannya (a-historis), namun cukup memberikan gambaran sebagai data pembanding untuk menelaah keadaan jaman Singhasari dan Majapahit. Perkembangan seni sastra mengalami kemajuan dengan gabungan cerita fiksi dan fakta. Naskah ini disebut sebagai “Pustaka Raja,” atau kitab raja-raja, yang menyebutkan mengenai daftar raja-raja Singhasari dan Majapahit, serta mengulas secara khusus mengenai Ken Arok. “Serat Pararaton  atawa Katuturanira Ken Arok,” (kitab raja-raja atau cerita mengenai Ken Arok), merupakan judul alternatif yang ditawarkan dalam isi naskah. Kitab (naskah) ini lebih pada fungsi legitimasi kekuasaan raja. Tidak diketahui siapa penulisnya, dugaannya atas perintah Raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang mempunyai nasab dari Ken Arok. Ditulis pada kisaran tahun 1478-1498.

Kitab Nagarakretagama atau Kakawin Desyawarnana, merupakan karya sastra dari Mpu Prapanca atau Dang Acarya Nadendra sebagai pejabat agama Buddha, ditulis pada tahun 1365. Etimologi Nagarakretagama berarti “Negara dan Tradisi (agama) yang Suci” Naskah ini ditulis dalam bentuk Kakawin berupa syair-syair, terdiri dari 98 pupuh dalam dua bagian, masing-masing terdiri dari 49 pupuh. Struktur puisi dalam naskah ini sudah menggunakan kaidah seni sastra yang rapi dengan aturan pada jumlah suku kata maupun rima. Kakawin ini merupakan yang terlengkap sebagai dokumentasi gambaran tata kelola pemerintahan Majapahit dan kondisi sosio-kulturalnya. Merupakan karya sastra yang sudah membentuk sebagai dokumentasi institusi sebagai negara Majapahit. Telaah sejarah era Jawa pertengahan (Jawa Timuran) berdasarkan data primer dalam Kakawin Nagarakretagama. Penyempurnaan atas Kakawin ini dilanjutkan dan mungkin digubah pada era selanjutnya, pada periode tahun 1481 sampai dengan tahun 1600.

Kakawin Sutasoma (1365-1389), adalah karya tulis dari Mpu Tantular yang beragama Buddha, karya ini disusun pada era pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Isinya mengenai toleransi kehidupan umat beragama antara agama Siwa-Hindu dan Buddha. Kalimat yang menjadi motto negara Republik Indonesia adalah “Bhineka Tunggal Ika,” diambil dari petikan kalimat pada kitab ini. Terdiri dari 148 pupuh, berbahasa jawa kawi. Alih bahasa dan alih aksara telah menjadi kebiasaan pada masa ini karena hubungan kerajaan di Jawa dan Bali, yang mana Bali lebih sebagai negara vasal maupun Negaraagong sejak pemerintahan Dyah Balitung sampai Majapahit.

Kitab Nawaruci karya Mpu Siwamurti, atau disebut sebagai ajaran filosofi hidup “Sanghyang Tattwajnana Nirwala Nawaruci,” berisi mengenai ajaran Ketuhanan dalam prosesnya manusia mencari jati diri. Latar cerita ini terkenal dengan kisah mengenai “Dewaruci,” yang selanjutnya menjadi lakon favorit dalam pertunjukan pakeliran wayang kulit modern. Oleh Yasadipura Surakarta, menulis ulang naskah ini dengan judul Serat “Dewaruci,” serta Prabu Hadiwijaya Padjang yang menduplikasi ajaran ini dengan konsep “Manunggaling Kawula Kalawan Gusti.” Dalam langgam seni sastra, gaya penulisan pada era ini bersifat metafora dengan simbolisme ajaran berupa konsep mitologi-spiritual sebagai teologi, hingga mempengaruhi rasa atau gaya bahasa kesusastraan di era selanjutnya, terlebih pada bagian spiritual.

Kidung Sri Tanjung Merupakan cerita rakyat yang dinyanyikan, bagian dari cerita Sudamala. Terdapat banyak versi mengenai kidung ini, termasuk cerita Dewi Sri Tanjung yang juga ada di Banyuwangi. Kisah ini diabadikan dalam bas-relief pada candi Penataran, Surawana dan Jabung, juga pada Gapura Bajang Ratu. Kidung seperti ini atau cerita-cerita panji berorientasi pada kebudayaan lokal sebagai tema. Relief tersebut juga menggambarkan pertunjukan wayang beber, sebagai cikal bakal kelahiran wayang kulit era Wali dengan penggunaan sastra pada musikal pengiringnya berupa vokal Kekidungan, Sulukan, Ada-Ada, juga Macapat. 

C. Periode Transisi

Merupakan periode transisi dari pemerintahan Hindu-Budha Majapahit ke pemerintah Islam Demak. Angka tahun pada periode ini berdasarkan tahun candrasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi,” keruntuhan Majapahit tahun 1478, berdirinya kerajaan  Demak Bintoro (1481) sampai keruntuhan Demak (1547).

Pada era ini muncul bahasa jawa gaya Jawa Tengahan, sebelumnya era Majapahit dan yang lebih tua dengan bahasa Jawa Kawi, Kuno, Sansekerta, dan bahasa Jawa awal.

Tumbuhnya bahasa Jawa Tengahan (1478-1547), akibat perpindahan pusat pemerintahan dari Majapahit ke Demak, sebagai era transisi menuju periode Jawa Baru.

Kitab “Tantu Panggelaran,” berbentuk teks prosa berbahasa jawa kawi, dan ditulis pada masa Majapahit akhir. Kitab ini berbeda dengan pendahulunya terutama pada isi cerita. Kitab ini sebagai etiologi perihal proses pembentukan pulau Jawa dan peradabannya. Pulau Jawa yang bergunung-gunung seperti pada keadaan alam (gunung) di India, mengilhami kelahiran kitab ini.

Dewa Brahma dan Wisnu atas perintah dari Bathara Guru untuk mengisi pulau Jawa dengan manusia, namun keadaan alam yang penuh bencana harus dilakukan upaya untuk merekayasa alam pulau Jawa agar tenang tidak bergolak, karena Jawa yang sering bergoyang (gempa) harus dipaku, yaitu dengan memindahkan puncak Meru (gunung Mahameru di India) ke pulau Jawa sebagai paku bumi.
Mitologi akan gunung-gunung sudah menjadi bagian dari tradisi di Jawa, seperti Gunung Merapi, Penanggungan dan Semeru sebagai gunung hayal dalam spirit mitologi Jawa.

Hegemoni kebudayaan Islam dipesisir Jawa turut andil dalam pengaruhnya pada teks ini, meskipun tidak frontal. Secara kontekstual teks Tantu Panggelaran hasil dari kajian hermeneutika kitab-kitab Abrahamik dengan konsep monotheisme, yang melahirkan konsep agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Tentu, dewan perwakilan agama sebagai juru dakwah oleh para Wali telah mempengaruhi visi dari sastra ini untuk tujuan masa depan sebagai strategi, meskipun isi teks tetap dengan pemahaman polytheisme. Namun, latar dalam cerita tersebut sudah berobyek Jawa, bukan India sebagai sumber pokok.

Mobilitas para Wali yang berada dipesisir utara Jawa dengan posisi Jawa Tengah yang terletak ditengah, membuat visi bahasa lebih mengarah ketengah, seiring perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak, disimpulkan sebagai kelahiran bahasa jawa baru gaya Jawa Tengahan.

Legenda “Calon Arang”
Bercerita mengenai kisah seorang wanita cantik sebagai tukang sihir, singkat cerita dikawinkan dengan keluarga kerajaan agar tidak membuat gaduh. Kisah ini sudah muncul saat pemerintahan era Airlangga di Panjalu-Kadiri (1006-1042 M), dibuktikan atau muncul pada prasasti dari era Kadiri. Kisah Calon Arang muncul kembali dalam bentuk teks pada saat keruntuhan Majapahit yang beribukota di bekas kerajaan Kadiri-Daha pada saat pemerintahan Raja Ranawijaya atau diduga sebagai Bhre Kerthabumi.

Teks yang dimaksud juga dimungkinkan dipengaruhi oleh budaya Islam yang telah kuat pada era Ranawijaya atau Majapahit yang sudah menjadi vasal dari Demak (1540 M). Meskipun Islam juga mengenal sistem patriarki, yang mana legenda tersebut sebagai pembelaan atas diskriminasi kaum wanita.
Dalam perkembangannya, teks Calon Arang yang telah menjadi cerita tutur berupa legenda telah tumbuh subur di kebudayaan Jawa Tengahan awal.

Saya meyakini bahwa duplikasi legenda Calon Arang lebih pada kepentingan Islam, karena Majapahit yang terpecah ke Jawa Tengah dan Bali masing-masing membawa legenda ini dalam kebudayaannya, termasuk kisah Calon Arang dalam versi kebudayaan Bali.
Tahun 1926 kisah ini ditulis oleh Hindia Belanda dan diterbitkan dalam jurnal ilmiah, serta diangkat oleh senias film layar lebar pada masa Indonesia modern.

Cerita Panji Cerita-cerita panji termasuk dalam lingkup sastra (literary cycle). Pada awalnya berkisah mengenai tokoh Raden Panji Hinu Kertapati atau terkenal dengan cerita Panji Asmarabangun dengan Dewi Sekartaji. Latar dari cerita ini mengambil tema dari masa kerajaan Jenggala dan Kadiri, dikenal dengan cerita Panji Anggraeni.

Dugaannya, cerita ini berkembang pada era transisi dan menjadi populer di Jawa Tengahan, seperti cerita Ande-Ande Lumut, Keong Mas, Enthit, dan Golek Kencana.

Cerita Panji merupakan cerita carangan atau sempalan dari kejadian nyata atau genre dari sumber primer, seperti cerita Sri Tanjung dari asal kelahirannya di era keemasan Majapahit masih menjadi populer di kalangan masyarakat era transisi, termasuk cerita mengenai tokoh “Sri Huning Mustika Tuban,” yang bercerita mengenai keadaan kerajaan di Tuban dengan kisah asmaranya pada Raden Wiratmaya, dalam cerita panji atau Babad Tuban.

Selain itu masih banyak lagi antologi cerita panji asal Jawa Timuran, seperti Panji Nagagini dan carangannya pada cerita Prabu Anglingdharma.
Antologi cerita panji terus menjadi tradisi  tutur pada era sastra Jawa Tengah, bahkan Nusantara dengan menjadikan banyak versi.

(2) Sastra Jawa Tengahan

A. Periode Islam Awal (Demak-Padjang)

Islam telah melahirkan sastra baru berbentuk Suluk berupa tembang atau puisi seloka. Suluk merupakan karya sastra Islam yang tertua, berisi ajaran agama Islam.
Suluk yang pertama bernama “Suluk Sukarsa,” yang diduga dipopulerkan oleh Ki Sukarsa.

Suluk secara harfiah merupakan ilmu tasawuf sebagai jalan menuju tingkatan tarekat. Ibadah sebagai tatanan syariat menjadi penting sebagai titian agar derajad spiritual menjadi tinggi.
Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, Malang Sumirang, Suluk Burung, juga Suluk Bonang, merupakan karya awal sastra Jawa-Islam, dilanjutkan sampai era Mataram.

Cerita Tutur Manikmaya, menjadi bentuk teks “Serat Manikmaya.” Cerita ini tumbuh dari masa ke masa dalam banyak versi. Versi Sunda dalam cerita Parahyangan, bahwa Maha Guru Manikmaya merupakan penguasa di Tarumanegara pada tahun 535-561 M, di kerajaan Kendan. Manikmaya juga terdapat dalam cerita tutur pada era transisi Majapahit-Demak abad ke-15, juga abad 18. Pada periode Demak, cerita Manikmaya ada dalam pertunjukan pakeliran wayang  (beber dan kulit) dengan lakon “Jagad Ginelar,” cerita ini juga mengawali tradisi pada ritus “Ruwatan Murwakala”. Dalam makna kontekstual, merupakan proses pengislaman Sang Hyang Guru Manikmaya dari ajaran Hindu-Buddha.

Pada era ini budaya penulisan yang disebut sebagai karya tulis “Babad” muncul, seperti pada riwayat berdirinya kerajaan Demak melalui “Babad Demak,” yang ditulis oleh Amangkurat. Babad berisi campuran antara fakta sejarah, mitos dan kepercayaan, yang mengurai asal usul suatu peristiwa besar atau daerah (kerajaan) oleh seorang penguasa. Babad Demak mengilhami kelahiran Babad Tanah Jawi oleh Mataram. Konsep penulisan Babad dalam karya sastra sudah dimulai oleh kerajaan Gel-Gel di Bali tahun 1370. Babad sebagai karya sastra berbentuk puisi maupun prosa, namun sudah membentuk dengan metrum yang jelas sebagai bentuk puisi jawa “Macapat.”

Serat Nitisruti
Ditulis oleh Pangeran Karanggayam atau Tumenggung Sujanapura tahun 1591 M, merupakan leluhur dari R.Ng. Ranggawarsita, pada era keruntuhan Padjang. Sudah membentuk sebagai puisi jawa bermetrum macapat. Termasuk dalam naskah atau serat dalam kategori  didaktice literature atau berisi mengenai ajaran (piwulang) perilaku hidup. Macapat tersebut bermetrum Dhandanggula, Mijil, Durma, Pucung, Kinanthi dan Megatruh. Isi dalam pupuh Macapat tersebut diantaranya mengetengahkan mengenai konsep “Khalifah”, “Manunggaling Kawula Kalawan Gusti,” juga “Sangkan Paraning Dumadi.”

Karya kesusastraan Jawa terus berkembang, semula penyebutan karya sastra dengan istilah “Kitab,” sudah lazim dengan nama baru sebagai “Serat,” seperti Serat Menak dan Serat Rengganis.
Kedua karya sastra tersebut berkembang sebagai tradisi pesisiran utara Jawa. Berisi mengenai campuran wiracarita yang khas, yaitu; (1) Nafas Hindu-Budha dengan epik Mahabaratta dan Ramayana (2) Cerita lokal atau Panji  (3) Nafas Islam sebagai ajaran.

Cerita Menak dan Rengganis masih terus mentradisi pada kebudayaan pesisiran sekalipun kekuasaan Demak telah beralih kedaerah Mataraman. Pada era Pakubuwana II di Kartasura menyebutkan bahwa, cerita Menak juga ditampilkan pada pertunjukan wayang Menak, terutama didaerah Kudus.
Cerita-cerita Menak dalam berbagai versi juga ada di Sunda, Bali, Lombok, dan Madura.

Kitab Salokantara dan Jugul Mudha Adalah sebuah serat yang sangat penting bagi kerajaan Demak, menyambut era baru dengan memulai tatanan yang baru pasca Majapahit. Serat itu sebagai bentuk pemodelan konsep baru berupa rancang bangun pondasi sosio kultural. Berisi catatan mengenai studi-studi hukum yang berjumlah 1044 kasus hukum. Penekanannya lebih pada aspek regulasi tata kelola pemerintahan dalam penegakan hukum. Hukum yang dimaksud berdasarkan asas kesetaraan dan kedudukan yang sama antar manusia dihadapan Tuhan sebagai sumbernya (ciri Islam)

Serat Pepali
Serat ini ditulis oleh Ki Agung Selo yang berisi mengenai ajaran hidup. Ditulis dalam bentuk puisi atau pupuh bermetrum macapat. Ki Agung Selo sebagai leluhur Mataram berjasa besar atas karyanya sebagai rujukan sastra pada era Mataraman (Panembahan Senopati-Sultan Agung), termasuk cerita atau legenda; Joko Tarub Bondan Kejawan, Dewi Nawangsih-Nawangwulan, sebagai penghubung nasab darah biru Mataram dengan genetik Raja Majapahit, bahwa dinasti Mataram adalah keturunannya, sebagai legitimasi.

Serat Layang Anbiya
Dalam teks yang tertua, kitab ini ditulis oleh Sunan Drajat pada tahun (1487-1522). Mengisahkan riwayat Nabi Adam sampai Nabi terakhir Muhammad SAW. Ditemukan sekitar 52 manuskrip di daerah pesisir utara. Dalam dakwahnya, Sunan Drajat sudah menggunakan iringan musik atau gendhing dengan set orkes gamelan dalam bentuknya yang sederhana, termasuk kemunculan metrum “Macapat Pangkur.” Pada wilayah tertentu dan daerah kebudayaan lain seperti Melayu, ditulis dalam aksara Arab Pegon. Pada era Pangeran Diponegoro, menduplikasi kitab ini sebagai Serat berbentuk Macapat, memuat 286 bait tembang dalam lima pupuh.

B. Periode Mataram Islam

Serat Nitipraja ditulis oleh Sultan Agung pada tahun 1630. Berbentuk puisi atau macapat dengan aneka metrum, terutama Dhandanggula. Pemerintahan Mataram Islam yang telah membentuk sebagai kerajaan institusional (negara), turut mempengaruhi isi dari karya sastra pada era ini. Isinya seputar  wawasan mengenai kenegaraan dan tata kelola pemerintahan, diantaranya bidang kepemimpinan dalam konsep kekuasaan.

Serat Sastra Gendhing (1613-1646)
Merupakan buah pikiran Sultan Agung, berisi ajaran yang berlandaskan nilai religiusitas Islam. Isi didalamnya berupa ajaran moral, filsafat, mistik dan juga seni. Sastra ini berbentuk puisi atau macapat bermetrum “Sinom.”

Sultan Agung juga meninggalkan warisan yang masih lestari sampai sekarang, berupa sistem penanggalan Jawa-Islam, perpaduan dari kalender Saka dan Hijriah, menjadi kalender Jawa.

Bahasa Bagongan
Merupakan bahasa yang digunakan dilingkup internal pejabat istana, agar tidak terjadi kesenjangan sesama pejabat. Bahasa ini hanya bagian kecil dari sistem kebahasaan jawa krama inggil, alus dan ngoko.

Babad Keraton Kartasura (1680-1755)
Berisi mengenai sejarah Mataram Kartasura dan penggambaran situasi etnis Cina di Jawa dalam peran dan pengaruhnya. Peristiwa besar terjadi saat peristiwa Geger Pecinan yang mengakibatkan rusaknya Kedathon Kartasura.

Serat Iskandar
Ditulis oleh Pakubuwana II, mengenai sikap politik para satrya Jawa, juga karyanya dalam Serat Yusuf.

Babad Tanah Jawi
Merupakan karya sastra sebagai babon (induk) rekonstruksi sejarah Jawa yang paling komplit. Isi didalamnya perihal periodesasi masa kepemimpinan Raja-Raja Jawa sejak era Padjajaran sampai Mataram Sultan Agung. Kondisi sosio kulturalnya turut dijelaskan didalamnya. Namun, isinya lebih pada nuansa mistis dan pengkultusan tokoh, meskipun demikian karya ini tetap dijadikan referensi primer dengan analisis kritis dan data pembanding.

Versi yang paling tua ditulis oleh Carik Adilangu II (1722), pada saat pemerintahan Pakubuwana I dan II di Kartasura. Versi selanjutnya ditulis oleh Carik Tumenggung Tirto Wiguna era pemerintahan Pakubuwana III (1788), di Surakarta. Pada tahun 1874, Johannes Jacobus Meinsma menerbitkan dalam versi Gancaran yang ditulis oleh Ngabehi Kertapraja.

(3) Sastra Jawa Baru (Klasik)

Periode Mataram Anyar (1755) Surakarta dan Yogyakarta

Setelah VOC berhasil masuk menguasai Jawa pada tahun 1680 pada era Amangkurat Agung (Pleret), melanjutkan hegemoninya dengan memecah Mataram menjadi dua kerajaan, pada tahun 1755 melalui perjanjian Giyanti, melahirkan keraton Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta.

Babad Giyanti  (1755)
Berisi ihwal dibaginya Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, ditulis tahun 1757 oleh R.Ng. Yasadipura I, saat pemerintahan Pakubuwana III (Surakarta awal). Selain itu, Yasadipura juga menulis ulang kitab Bharatayudha dan Serat Mintarga (Dewa Ruci) dari naskah Kakawin Arjunawiwaha, juga Serat Rama dari Kakawin Ramayana, serta Serat Arjuna Sasrabahu dari Kakawin Arjunawijaya.

R.Ng. Yasadipura II, adalah kakek dari R.Ng. Ranggawarsita, karya besarnya adalah Serat Nitisastra berupa ajaran hidup atau piwulang dengan pesan-pesan moral didalamnya. Juga menulis Serat Babad Pakepung (1790), tentang peristiwa pengepungan keraton Surakarta oleh gabungan VOC, Ngayogyakarta dan Mangkunegaran.

Pujangga terakhir Keraton Surakarta, adalah R.Ng. Ranggawarsita, merupakan murid dari Yasadipura. Karya-karyanya sangat terkenal dan indah, Serat Cemporet, Paramayoga, Kalatidha, Joko Lodang, Wirid Hidayat Jati, Kamus Kawi-Jawa, Cariyos Ringgit Purwa, dan masih banyak lagi, adalah hasil karyanya dalam bentuk naskah dan tembang macapat. Pujangga ini hidup pada era pemerintahan Pakubuwana VII, diangkat sebagai pujangga keraton pada tanggal 14 September 1845. Pakubuwana IV juga menulis sendiri karya sastranya berjudul, Serat Wulangreh dan Wulang Istri.

Begitu juga Mangkunegara IV dengan karyanya Serat Wedhatama. Atas kehendak putra Pakubuwana IV, Mangkunegara VII dan VIII pada tahun 1814 berhasil menggubah Serat yang sangat terkenal, yaitu “Serat Centhini.” Sastra ini merupakan tembang berbentuk Suluk, maka disebut dengan “Suluk Tembanglaras” atau “Tambangraras-Amongrogo.”

Dalam dunia kasusastraan jawa baru, Serat Centhini merupakan karya terbesar, berisi mengenai aneka ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, yang juga berisi mengenai ajaran hidup (piwulang).

Sementara itu, para bangsawan di Kesultanan Yogyakarta juga banyak menghasilkan karya sastra jawa.
Sultan Hamengkubuwana VI menulis Serat Napuliyun, karena Napoleon Bonaparte berkebangsaan Prancis pernah menguasai Jawa dalam kepentingan global dengan revolusi industri. Manuskrip ini ditulis dalam bentuk tembang macapat juga novel.

Keraton Kasultanan Yogyakarta mengalami masa sulit ketika agresor Inggris menguasai Kesultanan. Penjarahan naskah-naskah kuno milik perpustakaan keraton yang dibawa ke Inggris berjumlah ratusan, hanya menyisakan Serat Surya Raja, Arjunawiwaha dan Kanjeng Kyai Al-Quran.

Hasil karya kesusastraan jawa dari lingkup Kasultanan Yogyakarta cukup beragam, diantaranya; Babad Dipenegoro I-III, Serat Bendhe Ki Becak, Serat Jatimurti, Serat Madurasa, Kasarasing Bathin, Serat Wedharama Winardi. Juga banyak artikel-artikel yang ditulis oleh pelopor pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara.

Ki Padmosusastro, adalah seorang sastrawan yang karya-karyanya banyak dipengaruhi oleh gaya sastra barat, juga bersekolah dinegri Belanda. Gaya penulisan dan bentuknya dalam wacana baru dunia, mulai menampakkan trend. Banyak serat yamg tidak lagi ditulis dalam aksara jawa, melainkan latin. Karyanya yang ditulis di Belanda adalah Serat Woordenlijst dan Urapsari. Tahun 1910 menerbitkan kalawarti Sasadara,  Tjandrakanta, Waradarma. Tahun 1890-1925 adalah rentang waktu dalam berkarya, telah menghasilkan banyak karya buku, yaitu; Piwulang Nulis, Carakan Basa, Tata Sastra, Layang Paramabasa, Zemenspraken, dan masih banyak lagi.

Gaya sastra barat seperti novel juga diadopsi dalam kesusastraan jawa pada masa ini, seperti Serat Riyanta yang ditulis oleh R.M. Soewardi, juga karyanya yang berjudul Serat Mitro Musibat.

(4) Sastra ModernPasca Kemerdekaan – Sekarang.
Macapat

Macapat adalah tembang (tetembangan) yang berupa susunan kata dan kalimat menjadi puisi. Termasuk kategori puisi jawa. Puisi yang dimaksud dibatasi dalam aturan-aturan tertentu yang disebut sebagai metrum. Metrum tersebut adalah, berupa pupuh pada setiap bait puisi yang  mempunyai baris kalimat, dinamakan “Gatra,” dan setiap gatra terdiri dari sejumlah suku kata, disebut “Wilangan”. Wilangan dinamakan dengan “Guru Wilangan.” Pada kata akhir guru wilangan berbunyi sajak dengan huruf vokal yang telah dibakukan, disebut dengan “Guru Lagu.”

Seni Macapat juga berkembang didaerah Sunda, Bali, Sasak-Lombok, dan Madura, juga pernah ada di Banjarmasin dan Palembang.

Aneka tembang jawa terbagi dalam tiga kategori, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhe, disebut dengan “Sekar Alit,” “Sekar Tengahan,” dan “Sekar Ageng.”

Tembang Macapat termasuk dalam kategori sekar alit, untuk sekar tengahan berawal dari seni kidungan atau uran-uran, sedangkan sekar ageng merupakan kelanjutan dari kakawin.

Secara etimologi, macapat berarti maca papat-papat, atau dibaca dan dilagukan setiap empat suku kata, namun dalam praktek dan perkembangannya tidak demikian, meskipun pembacaan setiap empat suku kata paling sering dibunyikan dalam jenis metrum macapat. Macapat ini dibawakan dalam bentuk lagu, juga dinamakan “maca-pat-lagu.” Hal ini karena ditemukan bentuk lain macapat, yaitu; maca-sa-lagu, maca-ro-lagu, maca-tri-lagu.

Macasalagu, yang saat ini termasuk kategori sekar ageng, berawal dari era pujangga Yogiswara Kadiri. Dalam mitologi jawa, Macasalagu dan Macarolagu diciptakan oleh para Dewa. Perbedaannya pada panjang dan pendeknya kalimat dan suku kata dalam aturan tertentu. Sedangkan Macatrilagu termasuk kategori sekar tengahan, yang diciptakan pada era Jenggala Kadiri oleh Pangeran Panji Hinu Kertapati. Sedangkan sekar macapat diciptakan oleh para Wali, terutama Sunan Bonang.

Bentuk dan Macam Tembang Jawa1. Tembang Cilik atau Sekar Alit memuat sebelas metrum (jenis macapat).2. Sekar Tengahan dengan enam metrum, namun dalam perkembangannya lebih.

3. Sekar Ageng dengan satu metrum.

Metrum Tembang Macapat (Sekar Alit)
Guru Gatra, Guru Wilangan dan Guru Lagu

11 Metrum Sekar Macapat

1. Maskumambang: 12i, 6a, 8i, 8a2. Pucung: 12u, 6a, 8i, 12a3. Gambuh: 7u, 10u, 12i, 8u, 8o4. Megatruh: 12u, 8i, 8u, 8i, 8o5. Mijil: 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u6. Kinanthi: 8u, 8i, 8a , 8i7. Durma: 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i8. Pangkur: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i9. Asmaradana: 8i, 8a, 8e, 8a, 7a,8u, 8a10. Sinom: 8a, 8i,8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a

11. Dhandanggula: 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a

Watak Tembang Macapat

1. MaskumambangDari etimologi kata mas dan kumambang. Mas atau emas berarti sesuatu yang sangat berharga, misalnya anak. Mambang atau kemambang artinya mengambang. Berarti, kehidupan bayi didalam rahim ibunya.2. MijilMijil artinya keluar. Merupakan proses kelahiran manusia.3. KinanthiKinanti berasal dari kata kanthi atau tuntun. Seorang anak yang membutuhkan tuntunan dan bimbingan hidup.4. SinomSinom berarti anak muda atau remaja. Sinom menceritakan kisah manusia pada masa pubertas yang perlu bimbingan.5. AsmarandanaMenggambarkan masa-masa mengenal cinta, dirundung asmara, dimabuk cinta.6. GambuhGambuh adalah jumbuh atau bersatu, sebagai komitmen untuk menyatukan cinta dalam mengarungi rumah tangga. 7. DhandhanggulaGambaran kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan, lahir dan batin yang matang. 8. DurmaSebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah, maka harus sering berderma.Durma dari kata darma atau bersedekah. 9. PangkurPangkur atau mungkur artinya, saatnya beribadah (manekung). Menyingkirkan hawa nafsu angkara murka.10. MegatruhMegatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, atau proses kematian.11. Pocung

Setelah mati, mengawali kehidupan baru di alam barzah atau alam kubur.

Contoh Sekar Macapat:

Sekar Macapat Mijil

Poma kaki padha dipun eling, (Wahai anakku ingatlah selalu)ing pitutur ingong,(atas nasihat dariku)sira uga satriya arane,(dirimu disebut juga sebagai satria)kudu anteng jatmika ing budi, (harus tenang dan baik budi pekertinya)ruruh sarta wasis,(sabar serta pandai)samubarangipun.

(atas segala hal)

Sekar Macapat Pucung

Ngelmu iku kelakone kanthi laku,Lekase lawan kas,Tegese kas nyantosani,

Setya budya pangekese dur angkara

Terjemahan;Ilmu itu dijalani dengan perbuatan,Dimulai dengan kemauan,Artinya kemauan yang menguatkan,

Ketulusan budi pekerti adalah penakhluk kejahatan

Metrum Tembang Tengahan
(Sekar Tengahan)

Sri Martana, Wirangrong, Balabak, Girisa, Jurudemung, Kuswarini, Pangajabsih, dan Palugangsa.

Aturan Tembang Tengahan, yaitu;a. Tiap gatra tidak lebih dari 8 wanda, tanpa lampah.

b. Terikat dengan dhong-dhinge lagu.

Contoh Sekar Tengahan:

Wirangrong

Den samya marsudeng budi,Wiweka dipunwaspaos,Aja dumeh, dumeh bisa muwus,Yen tan pantes ugi,Sanadyan mung sakecap,Yen tan pantes prenahira

(Sunan Paku Buwana IV. Wulangreh: VIII. 1)

Balabak
Byar rahina Ken Rara wus maring sendhang, mamet wae,Turut marga nyambi reramban janganan, antuke,Prateng Wisma wusing nyapu atetebah, j ogane,Cethik geni arerateng tata-tata, sumbule,Samantara kirimane wus samekta, kabehe,Ngambil slendhang Ken Rara nuli pamitan, renane,Nggendhong cething manggul sumbul sarwi ngemban, kendhine,Gya umangkat semparet agegancangan, lampahe,Prapteng teba winulat kawuryan sunya, gubuge

(Yasa Widagda, 1954:53)

Struktur dan Jenis Tembang Gedhe
(Gito Supradjoyo, 2002)

Jenis Sekar Ageng versi Surakarta terdapat 44 jenis sekar ageng.Aturannya;a. Berjumlah 1032 suku kata atau wanda dalam swara baris: ______. b. Pada dirga adalah pedhotan karo belah, misalnya: 16, 16 :  __, ____ . c. Pada pala adalah pedhotan prapatan. Misalnya: 8, 8, 8, 8 : _, _, _, ___.d. Tidak ada ikatan guru lagu a, i, u, e, o pada akhir baris seperti dalam tembang macapat.

e. Jumlah wandanya 10, disebut dengan istilah golongan salisir, yang 20 golongan salisiran, yang 30 golongan raketan, dan yang 32 ke atas disebut dengan istilah dhendhan.

Macam Tembang Gedhe
Langen Kusuma, Minta Jiwa, Citra Mengeng, Prit Anjala, Sardula Wikridita, Manggalagita, Swadara Kawekas, Retno Asmara, Maduretna, Rara Bentrak, Candra Kusuma, dan sebagainya.

Contoh;Sekar Ageng Rarasmara

(lampah 17, pedhotan 4, 6, 7)

Dhuh Gustika kang apindha ratih, Cahyanira sumunu kadya wulan, Kang purnama sidi wong kuning nemu giring,Dhuh kang rarasmara,Esemira lir gebyaring thathit,

Weh renyeping wardaya

Sekar Ageng Prit Anjala
(lampah 19, pedhotan 6, ­6, ­7)

Rikat lampahirieng, rata tan antara,prapteng sukuning arga (6 6 7 : 19)Eram tumingaling, pakuwon arsine, ndhendheng saengga praja (6 6 7 : 19) Umyung kang pradangga, busekan kang janma, wawar gradeg ing kandha (6 6 7 : 19)Kang njajari rata, amawa bandera,

kumlap lir prit anjala (6 6 7 : 19)

Demikian garis besar perjalanan sastra Jawa-Nusantara, selanjutnya dapat ditinjau secara kasuistik dengan bekal peta global kesusasteraan Jawa-Nusantara.
—-

Ditulis oleh: Bhre Ari Koeswanto Abdurrahman Suryo Mataram ARI KS Center Media Penyiaran Publik & Strategi Kebudayaan

#lebarkandimensipemikiran

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA