Konsekuensi undang-undang kpk yang tidak merumuskan kualifikasi yuridis

Untuk lebih menciptakan kepastian hukum dan keadilan dalam pemberantasan korupsi, pemerintah Indonesia telah membentuk kerangka yuridis berupa Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK 2001 Jo.1999). Namun, rumusan ketentuan delik suap yang diatur dalam peraturan tersebut masih tumpang tindih dan mengandung kerancuan/disparitas berdampak pada penerapan oleh aparat penegak hukum yang bersifat subjektif dan menimbulkan potensi kesewenangwenangan (abuse of power) dalam menerapkan pasal dan hukuman khususnya terkait dengan pengawai negeri atau penyelenggara negara dan hakim yang menerima suap, sehingga jauh dari keadilan dan kepastian hukum. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui latar belakang dirumuskannya ketentuan delik suap dalam UU PTPK 2001 Jo. 1999, persepsi dan pertimbangan aparat penegak hukum dalam penerapan pasal delik suap dalam UU PTPK 2001 Jo. 1999, dan prospek pengaturan delik suap dalam upaya melakukan pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan datang. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif dan empiris dengan menelaah hukum positif yang terkait, selanjutnya mengeksplorasi fakta empiris dengan rumusan dan penerapan ketentuan delik suap dalam UU PTPK 2001 Jo. 1999. Oleh karena itu, penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latar belakang dirumuskannya atau reformulasi ketentuan delik suap dalam UU PTPK 2001 Jo. 1999 adalah untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan sehubungan dengan akan diamandemennya KUHP, sehingga perlu untuk tidak mencantumkan angka dari pasal-pasal KUHP, untuk memperjelas dan memperluas subjek delik dengan menambah rumusan penyelenggara negara dan untuk lebih mempermudah pembuktian. Jika dilihat dari hasil rumusan yang telah disahkan menjadi undang-undang, tidak sejalan dengan yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang tersebut karena justru menimbulkan kerancuan antara ketentuan yang satu dengan yang lainnya akibat diformulasikan pasal tersebut secara berlebihan atau tumpang tindih. Aparat penegak hukum memiliki persepsi yang sama mengenai ketentuan gratifikasi maupun ketentuan menerima suap yakni terdapatnya kerancuan dalam perumusan. Namun, masing-masing aparat penegak hukum memiliki ukuran atau memaknainya secara subjektif yang berdampak pada tahap implementasinya, sehingga semua pihak menginginkan agar ketentuan UU PTPK 2001 Jo. 1999 untuk direvisi. Oleh sebab itu, pemerintah membuat rancangan undang-undang terkait dengan pengaturan gratifikasi dan suap yaitu Rancangan KUHP dan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor). Jika dilihat dari substansi dan komposisi rumusan delik, maka ketentuan RUU Tipikor lebih realistis dan lebih baik dari rancangan KUHP serta dari rumusan delik suap dalam UU PTPK 2001 Jo. 1999 yang nanti diharapkan terjadi perubahan ketentuan ke arah yang lebih baik.

PEMBAHARUAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN NILAI-NILAI PANCASILA DISELARASKAN DENGAN UNITED NATION CONVENTION AGAINST CORRUPTION TAHUN 2003

OLEH : PRIYAMBUDI, SH., MH.*

 I. PENDAHULUAN

Korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau ”extra ordinary crime”, sehingga kejahatan ini sering dianggap sebagai ”beyond the law” karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (high level economic) dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic), baik birokrat ekonomi maupun pemerintahan. Bayangkan saja, kejahatan korupsi yang melibatkan kekuasaan ini sangat sulit pembuktiannya, selain itu kehendak adanya pemberantasan perbuatan ini nyata-nyata terbentur dengan kepentingan kekuasaan yang sangat mungkin melibatkan para birokrasi tersebut, akibatnya sudah dapat diperkirakan bahwa korupsi ini seolah-olah menjadi ”beyond the law” dan sebagai bentuk perbuatan yang ”untouchable by the law” [1].

Bangsa Indonesia kini tengah memasuki era millennium dan globalisasi dengan segala tantangan dan kompleksitasnya yang harus dijawab dengan cara menselaraskan jati diri sebagai bangsa dengan perubahan dan perkembangan dunia. Berbagai perubahan yang terjadi dalam perkembangan dunia global juga berpengaruh pada ketatanegaraan Republik Indonesia, sistem hukum dan arah politik hukum Indonesia. Dalam pergaulan global, pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi dalam kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (UN Convention Against Corruption), dengan konsekuensi pembentukan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru harus mengacu pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam UNCAC. Namun demikian, pembenahan terhadap sistem hukum yang ditujukan bagi upaya perbaikan haruslah tetap berlandaskan kepada nilai-nilai Pancasila yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang selanjutnya mengkristal dan mewujud menjadi hukum yang tercipta dan berlaku di tengah-tengah masyarakat hukum Indonesia.

Berbagai perubahan yang terjadi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia dan perkembangan dunia global juga berpengaruh pada sistem hukum dan arah politik hukum Indonesia, perlu upaya pembenahan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Pembenahan terhadap sistem di berbagai sektor yang ada ditujukan bagi upaya perbaikan dengan tetap berlandaskan kepada prinsip-prinsip hukum dan ketatanegaraan yang berlaku serta tetap tanggap terhadap kebutuhan yang diperlukan.

 II. PERMASALAHAN

Walaupun sudah berkali-kali dirubah dan diganti, akan tetapi peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi dianggap belum memadai dan belum maksimal mendukung pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Salah satunya peraturan perundang-undangan yang ada tersebut belum mengatur mengenai kerja sama internasional, utamanya dalam hal pengembalian hasil tindak pidana korupsi[2]. Oleh karena itu dengan memperhatikan bahwa karakteristik korupsi adalah merupakan kejahatan transnasional (transnational crime), maka upaya pemberantasan korupsi di Indonesia juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan internasional.

Pemerintah Indonesia yang pada tanggal 18 Desember 2003 telah ikut menandatangani UNCAC, dan kemudian meratifikasinya dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Ratifikasi adalah merupakan pernyataan suatu negara untuk tunduk dan terikat kepada ketentuan yang sudah disepakati oleh masyarakat internasional baik dengan reservasi maupun tidak dengan reservasi. Oleh karena itu dengan disahkannya Undang-Undang No. 7 tahun 2006 tersebut, maka Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi.

Adanya ratifikasi tersebut yang mengatur hal-hal baru dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi membawa konsekuensi berupa upaya harmonisasi dan revisi peraturan perundang-undangan Indonesia sesuai dengan isi Konvensi PBB Anti-Korupsi tersebut. Penyempurnaan dan pembaharuan peraturan perundang-undangan yang progresif diharapkan dapat membantu percepatan pemberantasan korupsi yang sudah merupakan extraordinary crime, sehingga diperlukan kajian hukum, sosial, politik dan budaya tersendiri untuk menjawab tantangan upaya pemberantasan korupsi secara global dan nasional.

Dari uraian-uraian diatas dapat dikemukakan permasalahan berikut :

1)   Apakah yang seharusnya menjadi pedoman dalam pembaharuan UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2)   Bagaimanakah langkah yang seharusnya diutamakan dalam pembaharuan UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

III. PEMBAHASAN    

Pembentukan hukum dalam arti undang-undang, merupakan aktivitas penting dalam negara hukum. undang-undang menjadi dasar legalitas bagi seluruh elemen negara, khususnya bagi penyelenggara negara, dalam menyelenggarakan dan mengelola negara [3]. Untuk itu, idealnya undang-undang merupakanformalisasi atau kristalisasi norma dan kaidah yang dikehendaki atau sesuaidengan aspirasi masyarakat. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengungkapkan setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan antara nilai kepastian (certainty, zekerheid), keadilan (equity, billijkheid), dan kebergunaan (utility)[4].

Gustave Radbruch menyatakan bahwa di dalam hukum terdapat 3 nilai dasar yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya yakni kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Apabila dalam pembuatan hukum lebih mengutamakan kepastian hukum yang tercermin dalam pasal-pasalnya yang bersifat rigid, maka nilai keadilan yang menjadi dambaan masyarakat dalam berhukum akan tergeser bahkan sulit untuk dilacak jejak keberadaannya. Bersamaan dengan hilangnya nilai keadilan karena lebih mengutamakan kepastian hukum sebagaimana tertulis dalam undang-undang maka akan hilang pula rasa kemanfaatan hukum bagi masyarakat.

Hukum merupakan gambaran/refleksi dari masyarakat dimana hukum itu berlaku. Hukum yang berlaku di Indonesia akan menjadi efektif apabila hukum itu berasal dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang selanjutnya mengkristal dan mewujud menjadi hukum yang tercipta dan berlaku di tengah-tengah masyarakat hukum Indonesia. Kongkritnya, Pancasila hendaknya menjadi pedoman dasar pembentukan dan pembaharuan hukum Indonesia. Politik hukum tertinggi terdapat dalam UUD Tahun 1945 yang memuat arah kebijakan hukum yang harus dijalankan sesuai dengan tujuan nasional yang hendak dicapai dan berdasarkan pada Pancasila yang termaktub dalam pembukaan UUD Tahun 1945.

Bagi bangsa Indonesia, Pancasila mempunyai fungsi dan peranan yang bermacam-macam antara lain:[5]

a. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa.

Dengan Pancasila menjadi pandangan hidup, maka bangsa Indonesia akan mengetahui arah mana tujuan yang ingin dicapainya, akan mampu memandang dan memecahkansegala persoalan yang dihadapinya secara tepat, sehingga tidak terombang-ambing dalam menghadapi persoalan tersebut, mengapa? Karena pancasila adalah merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia dan berakar pada budaya bangsa, maka akan dijunjung tinggi oleh warganya.

b. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

   Pancasila dalam kedudukan ini sering disebut sebagai dasar filsafat atau dasar falsafah negara (philosohische Gronslas) dari negara, ideologi negara (staatsidee).

   Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama segala peraturan perundang-undangan negara dijabarkan dan diderivikasi dari nilai-nilai Pancasila. Karena itu Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.

Kedudukan Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke IV, ketetapan MPRS NO XX/MPRS/1966 jo TAP No. V/MPR/1973 dan Ketetapan No. IX/MPR/1978.

c. Pancasila Sebagai Ideologi Negara dan Bangsa Indonesia.

Ideologi negara pada hakekatnya merupakan asas kerokhaniahan, merupakan sumber cita-cita, harapan nilai-nilai serta norma-norma yang dianggap baik, sehingga pancasila pada hakekatnya sebagai ideologi bertujuan mewujudkan kesejahteraan hidup bagi bangsa Indonesia. Ketentuan tentang ideologi Pancasila ini dapat ditemukan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4.

d. Pancasila Sebagai ideologi terbuka.

Pancasila sebagai ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup namun bersifat terbuka, aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan masyarakat, sehingga memiliki kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru dan aktual yang senantiasa berkembang seiring dengan tuntutan zaman.

Dalam aplikasinya ideologi Pancasila yang bersifat terbuka, dikenal ada 3 tingkat nilai yaitu nilai dasar yang tidak berubah yaitu pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan dari Pancasila, kemudian nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang senantiasa sesuai dengan keadaan. Nilai praktis yang berupa nilai pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya dalam kehidupan yaitu UU dan peraturan pelaksanaan lainnya, yang sewaktu-waktu dapat berubah seiring dengan derap perkembangan yang ada.

Dibidang hukum Pancasila yang selama ini ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum hanyalah mejadi jargon belaka, belum sebangun serta senafas. Hal ini terjadi karena ketiadaan kerangka implementasi terhadap monsep tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut Mahfudz MD mengintroduksi empat kaidah untuk penuntun dalam pembuatan politik hukum atau kebijakan negara lainnya agar Pancasila tidak sekedar menjadi jargon belaka yakni :[6]

Pertama, Kebijakan umum dan politik hukum harus tetap menjaga integrasi atau keutuhan bangsa baik secara ideologi maupun secara teritori. Setiap hukum atau kebijakan apapun di Indonesia tidak boleh menyebabkan terancamnya keutuhan kita sebagai bangsa baik ideologis maupun wilayah teritorinya. Politik hukum dan kebijakan umum haruslah menjadi milik dan diterima secara bersama tanpa dirusak oleh nilai-nilai sektarian. Haruslah ditangkal dan ditindak tegas setiap kebijakan atau upaya apapun yang berpotensi merobek keutuhan ideologi dan teritori kita.

Kedua, Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (negara hukum) sekaligus. Indonesia adalah negara demokrasi yang berarti menyerahkan pemerintahan dan penentuan arah kebijakan negara kepadarakyat melalui kontestasi politik yang sehat, namun Indonesia juga adalah negara hukum (nomokrasi) sehingga setiap kebijkan negara yang dibuat atas nama rakyat haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan dan filosofi hukum yang mendasarinya. Demokrasi biasanya mendasarkan diri pada pertarungan menang atau kalah, sedangkan nomokrasi mendasarkan diri pada masalah benar atau salah. Oleh karena itu keputusan-keputusan yang diambil secara demokratis tetapi isinya salah maka dapat dibatalkan oleh proses nomokratis (misalnya melalui judicial review) untuk membenarkannya.

Ketiga, Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia bukanlah penganut liberalism, tetapi secara ideologis menganut prismatika antara individualisme dan kolektivisme dengan titik berat pada kesejahteraan umum dan sosial. Itulah sebabnya dalam pembangunan sosial dan ekonomi kita menganut ekonomi kerakyatan, kebersamaan, gotong royong dan toleransi sebagaimana ditegaskan prinsipnya di dalam Pasal 33 dan 34 UUD 1945.

Keempat, politik hukum haruslah didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang berkeadaban. Indonesia bukan negara agama sehingga tidak boleh melahirkan kebijakan atau politik hukum yang berdasar atau dominasi oleh satu agama tertentu atas nama apapun; tetapi Indonesia juga bukan negara sekuler yang hampa agama sehingga setiap kebijakan atau politik hukumnya haruslah dijiwai ajaran berbagai agama-agama yang bertujuan mulia bagi kemanusiaan. Kedudukan agama sebagai sumber hukum haruslah diartikan sebagai sumber hukum materiil yakni bahan untuk dijadikan hukum formal atau peraturan perundang-undangan yang memiliki bentuk tertentu setelah diolah dengan bahan-bahan hukum yang lain.

Dalam pergaulan global, pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan dilakukan antara lain berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk Indonesia bersama-sama berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens) bagi para koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (UN Convention Against Corruption) dan Konvensi PBB Tentang Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (UN Convention on Transnational Organised Crime).

Konvensi PBB Menentang Korupsi yang dirundingkan selama kurun waktu 2002 - 2003 telah diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 dan Indonesia sebagai salah satu anggota masyarakat internasional telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 18 Desember 2003.Sebagai kelanjutan konvensi ini, PBB telah menetapkan tanggal 9 Desember 2004 sebagai hari internasional pertama anti korupsi. Sebagai konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki dengan melakukan langkah-langkah konkrit pemberantasaan korupsi.

Sebagai amunisi bagi pemberantasan tindak pidana korupsi, maka pembentukan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam UNCAC. Dengan mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UNCAC ke dalam undang-undang, diharapkan akan dapat menumbuhkan kembali rasa kepastian hukum dan nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat yang selama ini telah tercabik-cabik akibat penegakan hukum yang tidak efektif terhadap praktik-praktik korupsi. Dengan kata lain undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru, akan menjadi tonggak bagi usaha-usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam praktiknya, penerapan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut masih menyisakan beberapa permasalahan antara lain :

Pertama, masih adanya beberapa perbuatan yang seharusnya dipandang sebagai perbuatan korupsi belum tercakup di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Hal ini menyebabkan sering diterapkannya penafsiran yang ekstensif bahkan cenderung akrobatik. Oleh karena itu diperlukan rumusan delik yang lebih luas tetapi ketat (strict).

Kedua, Adanya kekeliruan yang mendasar seperti pengaturan delik yang diatur dua kali, contoh Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 11C UU 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang sama-sama mengatur mengenai pegawai negeri yang menerima suap. Selain itu, juga terdapat pasal yang kontradiktif mengenai masalah ancaman pidananya, yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Ketiga, adanya kesalahan rumusan mengenai beban pembuktian terbalik dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001. Dengan adanya kekeliruan tersebut, rumusan yang seharusnya dibuat untuk pengaturan beban pembuktian terbalik, akan tetapi dalam pelaksanaannya menjadi proses pembuktian biasa.

Selain itu, apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam UNCAC, maka ketentuan-ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sudah tidak sesuai dalam UNCAC. Isu-isu antar negara yang diakomodir dalam UNCAC, tidak dapat diterapkan di Indonesia, apabila Indonesia masih menggunakan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang lama. Oleh karena itu, dengan telah diratifikasinya UNCAC oleh Indonesia dengan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2006 tentang tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003, maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian produk hukum nasionalnya dengan UNCAC.

Adapun arti penting ratifikasi UNCAC bagi Indonesia adalah:

a. untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;

b. meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik

c. meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;

d. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan

e. harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini.

Pada dasarnya ketentuan yang terdapat dalam UNCAC bersifat memberi kewajiban bagi negara-negara yang meratifikasi UNCAC untuk mengatur dalam produk hukumnya mengenai hal-hal yang telah ditentukan dalam UNCAC. Rumusan bunyi dalam pasal diserahkan kepada masing masing negara, dengan catatan bahwa susbtansi yang ditentukan dalam UNCAC telah tercakup di dalamnya. Rambu-rambu yang harus dipegang oleh perancang undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru adalah berpegangan bahwa hokum (aturan) yang akan dibuat dan akan diterapkan harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu menganut asas lex certa (jelas, pasti dan tidak meragukan), menganut keseimbangan antara hak dan kewajiban sesuai dengan HAM, serta memegang teguh prinsip transparansi, akuntabilitas dan menjaga adanya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya di lapangan.

IV. PENUTUP

Terkait dengan telah diratifikasinya ketentuan UNCAC, maka salah satu kewajiban bagi pemerintah Indonesia adalah melakukan penyesuaian peraturan perundang-undangan (harmonisasi) di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCAC. Dengan kata lain pemerintah harus merubah atau mengganti Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian dengan belum sinkronnya produk hukum Indonesia mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi dengan UNCAC, maka kebijakan untuk membentuk undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru adalah merupakan kebijakan yang tepat. Pembentukan undang-undang yang baru dianggap lebih efektif dan efisien daripada hanya melakukan perubahan terhadap undang-undang yang lama. Norma-norma dalam UNCAC lebih mudah diadopsi dalam satu undang-undang, dengan kata lain alur (sistimatika) pengaturan akan dapat menjadi lebih terurut dan sinkron. Hal ini akan memberikan dampak yang lebih bagus bagi aparat penegak hukum dalam memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada.

Pengutamaan nilai terutama nilai keadilan dalam berhukum tidaklah bertentangan dengan tujuan hukum secara universal sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul Scholten[7] bahwa keadilan inilah yang pada hakekatnya harus diciptakan dalam bermasyarakat. Selain tidak bertentangan dengan tujuan universal pengutamaan keadilan dalam berhukum juga tidak bertentangan dengan pedoman hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila karena keadilan adalah salah satu sila yang ada dalam Pancasila.

Keadilan tidaklah bisa dicabut dari akar dimana hukum tersebut lahir dan tidak bisa dijauhkan dari nilai/hukum agama dan hukum tradisional yang hidup dalam masyarakat, bahkan merupakan “tuntutan jaman” khusunya bagi bangsa Indonesia untuk mengakomodasi nilai-nilai tersebut kedalam hukum nasional yang dicita-citakan.

Guna mencegah hukum yang tidak adil dan kering terhadap rasa kemanusiaan seperti yang saat ini banyak dirasakan orang, maka perlu untuk mewujudkan nilai keadilan yang bersifat abstrak tersebut kedalam hukum dan sistem hukum nasional dimasa yang akan datang (ius constituendum), dengan berpedoman pada unsur-unsur sebagaimana disebutkan oleh Bagir Manan yang mengemukakan bahwa sistem hukum nasional terdiri dari Hukum Islam (yang diambil asas-asasnya), Hukum Adat (yang diambil asas-asasnya) dan Hukum Barat (yang diambil sistimatikanya).

Priyambudi, SH., MH adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

[1] Indriyanto Seno Adji, 2007, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, CV. Diadit Media, Jakarta

[2] Lihat penjelasan UU No. 7 Tahun 2006

[3] Mahfud MD, Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca Amandemen UUD 1945., hlm., XIII. Dalam Kata Pengantar Ketua Mahkamah Konstitusi Pada Sebuah Buku PolitikHukum Pembentukan Undang-undang Pasca Amandemen UUD 1945, 2012. Pataniari Siahaan, Jakarta, Konpress.

[4] Jimly Asshiddiqie, 2010. Perihal Undang-undang. Jakarta: Rajawali Pers.

[5] M. Ali mansyur, 2006, Aneka Persoalan Hukum, Sultan Agung Press Semarang.

[6] M. Mahfud MD, 2009, Pancasila sebagai Hasil Karya dan Milik Bersama, Dalam Konggres Pancasila 2009, Sekjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta.

[7] Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.