Komitmen semboyan hubbul wathon minal iman mengandung makna tentang

“Kita tidak bertujuan bernegara hanya satu windu saja. Kita bertujuan bernegara seribu windu lamanya. Bernegara buat selama-lamanya. Jer besuki mowo beo. Sekali merdeka tetap merdeka!” (Bung Karno)

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.
DONASI SEKARANG

Pecihitam.org – Sungguh kemerdekaan itu hak segala bangsa. Pada 17 Agustus 1945 bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya. Bangsa Indonesia melahirkan Negara Indonesia. Kemerdekaan ini bukanlah hadiah atau pemberian. Kita merdeka hasil keringat dan darah sendiri. Hasil dari perjuangan dengan tempo tak singkat.

Kemerdekaan yang diraih bukan tanpa ancaman. Belum genap setahun Indonesia merdeka, datang gelombang besar yang hendak merampasnya kembali. Pada 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta. Berkamuflase dengan alasan bertugas melucuti tentara Jepang dan memulangkan ke negeri asalnya.

Padahal di balik itu mereka membawa misi merampas hak kemerdekaan dengan mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) membonceng tentara Inggris.

Situasi tersebut membuat Bung Karno gamang. Akhirnya Bung Karno mengirim utusan ke Pesantren Tebuireng, ke Rais Akbar PBNU Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari untuk meminta nasihat dan fatwa, pada 17 September 1945.

Hal serupa juga dilakukan oleh Mayor Jenderal TKR Mustopo, komandan perlawanan Surabaya bersama Sungkono, Bung Tomo, dan tokoh-tokoh Jawa Timur. Penggerak perlawanan rakyat itu mendapat kabar bahwa tentara sekutu Inggris-Belanda bakal mendarat pula di Surabaya.

Baca Juga: Lawan Paham Khilafah di Indonesia, PBNU Ajak Masyarakat Berjihad di Media Sosial

Kulminasi kunjungan mereka ke Hadratussyekh adalah pertemuan konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945 di Surabaya. Konsensus daripada pertemuan itu mencetus satu fatwa jihad yang dikenal dengan “Resolusi Jihad NU”.

Pokok-pokok kaidah ihwal kewajiban umat Islam berjihad mempertahankan tanah air dan bangsa tersebut disampaikan langsung oleh Rais Akbar PBNU Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Isi pokok “Resolusi Jihad” tersebut sebagai berikut:

“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oeleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkarang 94 kilometer dari tempat masoek kedoedoekan moesoeh. Bagi oerang-oerang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifajah (jang tjokoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja).”

Resolusi Jihad tersebut bergema di masjid-masjid, di ruang-ruang publik rakyat. Andil Nahdlatul Ulama dengan resolusinya itu semakin membakar api perlawanan rakyat Surabaya, juga orang-orang Pesantren.

KH. Maskur mengomandoi satu pasukan perlawanan bernama Sabilillah. H. Zainul Arifin memimpin satu barisan perlawanan yang diisi para santri dan pemuda bernama Hisbullah. Dan Kiai Sepuh, dipimpin KH. Wahab Hasbullah, membentuk laskar perlawanan bernama Mujahidin.

Baca Juga: PBNU: Pancasila Tidak Boleh Diatur UU yang Lebih Rendah

Perang berkecamuk, darah muncrat dan bercecer menghiasi Surabaya kala itu. Rakyat Surabaya melakukan yang terbaik bagi kedaulatan tanah air dan bangsa.

Puncaknya, pertempuran mempertahankan kemerdekaan itu terjadi pada 10 November 1945. Disebut sebagai perang pertama pasukan Indonesia setelah Proklamasi ’45. Hingga sekarang tanggal itu diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Jika diurai akan banyak sekali basis spirit dan perjuangan pasukan Indonesia pada Pertempuran Surabaya 1945 itu. Tak berlebihan jika Resolusi Jihad NU merupakan basis spirit perlawanan yang sangat penting. Boleh jadi bila tidak ada Resolusi Jihad NU tak akan ada Hari Pahlawan.

Untuk menolak lupa, bangsa ini mencatat sejarah peran Nahdlatul Ulama itu sebagai Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober.

Kilas balik sejarah ini menjadi penting direnungi. Sebagai bukti otentik bahwa Nahdlatul Ulama sangat berkomitmen menjaga kemerdekaan bangsa. Merawat kebhinekaan, menjaga keutuhan NKRI agar tidak tercerai-berai.

Oleh sebab itu watak keislaman Nahdlatul Ulama sangat menjunjung tinggi Nasionalisme.

Bagi Nahdlatul Ulama, Nasionalisme dan Agama adalah dua ruh kebangsaan kita. Nasionalisme membutuhkan spirit Agama (Islam), dan Islam membutuhkan Nasionalisme. Sebab, jika bangsa kacau tak bakal bisa berislam dengan tenang. Keduanya saling isi dan menguatkan satu sama lain.

Baca Juga: Pesantren dan Masa Depan Moderasi Beragama di Indonesia

Komitmen Nahdlatul Ulama untuk selalu menjaga Proklamasi ’45 tercermin dari adagium “Hubbul Wathan minal Iman”. Nasionalisme merupakan tanda keimanan seorang muslim. Hubbul wathan, cinta tanah air, bagis warga Nahdliyyin adalah wajib hukumnya.

Sebab itu, Nahdlatul Ulama selalu mengedepankan politik kerakyatan dan kebangsaan dibanding politik kekuasaan.

Proklamasi Kemerdekaan 1945 adalah satu keniscayaan yang patut dijaga. Dengan “Hubbul Wathan”-nya, Nahdlatul Ulama dari dulu, sekarang, dan masa yang akan datang terus berkomitmen menjaga keutuhan NKRI.

PBNU, dhawuh al-Maghfurlah Mbah Moen (Allahu yarhamhu), adalah Pancasila, Bhinneka tunggal ika, NKRI, dan Undang-undang ‘45.

Tidak bisa ditawar-tawar lagi. NKRI harga mati!

Wallahul Muwaffiq.

  • Author
  • Recent Posts

Komitmen semboyan hubbul wathon minal iman mengandung makna tentang

Latest posts by Mutho AW (see all)

  • Sampah dan Banjir, serta Keimanan yang Loyo - 24/01/2020
  • Kajian Aqidah Aswaja; Lima Kuantitas yang Mustahil Ada pada Allah Swt - 17/01/2020
  • Kajian Aqidah; Mungkinkah Allah Menciptakan Tuhan Kedua? - 16/01/2020

Komitmen semboyan hubbul wathon minal iman mengandung makna tentang

Komitmen semboyan hubbul wathon minal iman mengandung makna tentang

Komitmen semboyan hubbul wathon minal iman mengandung makna tentang

Temanggung, stainutmg.ac.id – Konsep Hubbul Wathan Minal Iman, menjadi induk dari nasionalisme yang diterapkan dalam pendidikan Islam di Indonesia. Hal itu diungkapkan Hamidulloh Ibda, dosen STAINU Temanggung dalam Seminar Ilmiah bertajuk “Pendidikan Karakter Bangsa” di aula STAINU Temanggung, Sabtu (21/10/2017) yang digelar Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabian Masyarakat (LP3M) STAINU Temanggung, Jawa Tengah.

Dalam artikel bertajul “Konsep Hubbul Wathan Minal Iman dalam Pendidikan Islam sebagai Marwah Nasionalisme” itu, Ibda menegaskan bahwa selama ini banyak orang salah kaprah tentang konsep Hubbul Wathan. “Ada yang mengatakan ini ayat Alquran, padahal ini rumusan kiai NU untuk membangkitkan spirit nasionalisme dalam melawan penjajah. Dalam artikel ini, saya membaginya ada tiga fase. Mulai sebelum, sesudah kemerdekaan dan era sekarang,” beber dia.

Ia juga membeberkan, bahwa urgensei penerapan Hubbul Wathan dalam pendidikan Islam adalah seratus persen. “Pertentangan antara nasionalisme dan spirit keagamaan makin kacau karena ditunggangi kepentingan politik. Ditambah benturan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Adanya kelompok pengusung spirit negara Islam justru memperkeruh kondisi bangsa. Padahal memegang nasionalisme dan Pancasila sudah sangat islami dan bukan pula melenceng dari substansi Islam itu sendiri,” beber mantan Ketua IPNU tersebut.

Adanya kelompok radikal, lanjut dia, konservatif, kaku, yang ingin menegakkan khilafah, negara Islam dan sistem syariah. “Kita juga harus melihat, bahwa Indonesia dengan Arab, Mesir, Yaman beda.  Di Nusantara ini, tidak ada yang urgen untuk mendirikan negara Islam, daulah islamiyah, Islamic state atau pun khilafah. Sebab, hukum Islam tidak bergantung pada adanya suatu negara, melainkan masyarakat dapat memberlakukan hukum agama dalam sebuah negara berbentuk apa saja. Dan Islam tidak harus menjadi sebuah negara, karena yang harus ditonjolkan seharusnya adalah nilai-nilainya, spirit dan substansinya,” beber dia.

Dalam sejarah Islam, menurut dia, nasionalisme tidak bisa lepas dari lahirnya Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang oleh para pakar politik Islam sekaliber Montgomery Watt pada 1988 dan Bernard Lewis pada 1994 yang dianggap sebagai embrio lahirnya negara nasional atau nation state dan menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin negara dan tidak sekadar menjadi pemimpin agama. “Pembentukan Piagam Madinah itu, tidak hanya dinikmati umat Islam, namun juga dari kaum Yahudi, Nasrani dan umat yang masih menyembah berhala. Jadi, faham nasionalisme itu sudah lahir sejak zaman nabi,” jelasnya.

Ia juga menyinggung sejarah lahirnya nasionalisme di Indonesia. "Dari artikel saya, ada tiga jenis nasionalisme, yaitu nasionalisme Islam, kebudayaan dan nasionalisme radikal. Salah satu pelopor nasionalisme kebudayaan adalah Budi Utomo (BU). Sementara organisasi yang mengusung nasionalisme berbasis pemurnian Islam, yaitu Syarikat Islam (SI) dulu bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Kemudian pada 4 Juli 1927 Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan wadah nasionalisme modern yang radikal. Ideologi partai tersebut nasional radikal, yang dalam pandangan Bung Karno dianggap kekuatan bangsa Indonesia terletak pada Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme (NASAKOM). 

“Setelah itu, diikuti kelahiran banyak organisasi, baik yang bercorak keagamaan, politik maupun kepemudaan, seperti Muhammadiyyah (18 November 1912), Nahdlatul Ulama (31 Januari 1926), Christelijke Ethische Partij (1916), Indiche Katholieke Partij (1918), Jong Java (1915), Jong Sumatera Bond (1917), dan lainnya. Lahirnya beraneka ragam organisasi itu dapat dikatakan nasionalisme sudah mulai tumbuh karena senasib sependeritaan, yang menginginkan bebas dari penjajahan Belanda, dan ingin mewujudkan cita-cita yaitu masa depan lebih baik, yang oleh Anderson disebut Imagined Political Community. Nasionalisme mencapai puncaknya saat dibentuknya BPUPKI pada 1 Maret 1945,” ujar dia.

Menurutnya, gagasan cinta tanah air, nasionalisme, yang dikemas dengan idiom Hubbul Wathan Minal Iman tidak pernah lepas dari peran ulama dan kiai Nusantara khususnya NU. “Secara bahasa, hub artinya cinta, wathan berarti tanah air (bangsa), minal iman berarti dari atau sebagian dari iman.

Konsep Hubbul Wathan Minal Iman yang digagas tahun 1934 oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah yang kemudian diabadikan dalam lagu Syubbanul Wathan adalah yang paling ideal dan justru menjadi induk nasionalisme. “Sebab, Hubbul Wathan Minal Iman itu lengkap, memuat unsur Islam, kebudayaan dan kebangsaan. Namun, mengapa kok pakai Bahasa Arab? Kalau versi Kiai Said, karena untuk mengecoh Belanda agar tidak tahu artinya saat penjajahan dulu,” ujar dia.

Selain itu, dalam artikelnya itu, ada beberapa peran NU dalam mengawal nasionalisme. Sebab, tanggal 22 Oktober 1945 yang diperingati sebagai Hari Santri Nasional, delapan minggu setelah Indonesia merdeka, terjadi perang di Surabaya. Untuk memobilisasi dukungan umat Islam, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa untuk tetap mempertahankan NKRI. 

“Pertama, Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan. Kedua, Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong.  Ketiga, musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan Sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia.  Keempat, umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali. Kelima, kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal di radius 94 kilometer,” beber dia.

Tidak hanya dalam bentuk lagu, KH. Abdul Wahab Chasbullah juga mendirikan sekolah Islam bernama Nahdlatul Wathan untuk membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan umat Islam. Nahdlatul Wathan menjadi kawah candradimuka yang menggembleng pemuda Islam untuk belajar dan menggelorakan cinta tanah air dalam melawan penjajah. 

“Gagasan Hubbul Wathan Minal Iman tidak bisa terlepas dari peran dan perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah yang dikonsep dari spirit Islam dan kebangsaan. Dirumuskan dengan Bahasa Arab, tujuannya agar Belanda tidak mengetahui maknanya. Sebab, jika tahu maknanya, maka Belanda akan melawan kaum pesantren saat itu,” lanjut dia.

Untuk menggerakan spirit nasionalisme, kata dia, Syubbanul Wathan sebagai sayap Nahdlatul Wathan mendirikan sayap di sejumlah daerah. Seperti Madrasah Akhul Wathan (saudara setanah air) di Semarang, Far’ul Wathan (cabang tanah air) di Gresik dan Malang, Hidayatul Wathan (petunjuk tanah air) di Jombang dan Jagalan, Ahlul Wathan (warga tanah air) di Wonokromo dan Khitabul Wathan di Pacarkeling.

Ia juga menjelaskan penerapan Hubbul Wathan Minal Iman dalam pendidikan Islam yang bisa diterapkan melalui Pancasila, mapel Kewarganegaraan, PKn dan semua materi. “Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), ada 17 karakter yang dikuatkan. Nah, ada dua karakter yang senafas dengan Hubbul Wathan Minal Iman, yaitu semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Di sinilah yang harus dipahami bersama untuk mengimplementasikan Hubbul Wathan Minal Iman secara sederhana,” papar dia.

Karakter nasionalisme dan Hubbul Wathan Minal Iman yang didesain melalui Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), lanjut dia, harus dimaksimalkan lembaga pendidikan Islam untuk mencetak generasi yang setia kepada Indonesia. “Hal itu menjadi cara strategis untuk menghalau lahirnya generasi antinasionalisme, faham dan aliran radikal yang mengancam keutuhan Indonesia. Nasionalisme memang bukan segalanya, namun keutuhan negara yang di dalamnya ada suku, bahasa, budaya dan agama berawal dari sana. Tanpa nasionalisme, Indonesia akan mudah dijajah dan dihancurkan,” tutur dia.

Sementara itu, Rhindra Puspitasari pemateri kedua yang juga dosen PIAUD STAINU Temanggung, membeberkan bahwa urgensi menerapkan Pancasila dalam PAUD atau TK sangat mendesak. Sebab, saat ini banyak pengaruh negatif, degradasi nilai dan moral anak, penyalahgunaan narkoba seks bebas dan lainnya.

“Di dalam Pancasila itu banyak karakter kebangsaan. Maka kita harus #MENEMPATKAN Pancasila sebagai dasar negara, menjadikan  bangsa Indonesia sudah menetapkan fondasi bagi setiap konten aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,” beber dia yang membawakan materi dengan artikel bertajuk “Eksistensi Pancasila dalam Pendidikan Karakter Kebangsaan Melalui  Good Citizen Diary Activity Anak Salih (GCDA2S) Untuk Anak Usia Dini”.

Dari desain penelitian yang ia gagasa itu, ada beberapa hal yang dikonsep. Pertama adalah pembentukan karakter kebangsaan sebagai perwujudan dari eksistensi Pancasila melalui good citizen daity activity anak salih.

“Kedua, nilai-nilai Pancasila mampu menjadi jangkar transedental dalam pembentukan karakter kebangsaan, sedangkan good citizen dairy acivity anak salih dapat menjadi salah satu media pembiasaan anak usia dini dalam melakukan pembiasaan disiplin sholat dan pembiasaan lain yang positif. Dan Ketiga, salah satu kunci dari keberhasilan membentuk karakter kebangsaan pada anak usia dini adalah konsistensi, keteladanan dan ketelatenan orang tua maupun pendidik dalam menerapkan pembiasaan disiplin sholat pada anak dan pembiasaan lain yang positif,” papar dia dalam seminar yang dihadiri pejabat dan semua dosen STAINU Temanggung itu. (Dloli).