Kebijkan publik adalah realitas yang sangat rumit, karena berisi segala bentuk keputusan pemerintah yang sifatnya mengikat dan keputusan-keputusan tersebut diharapkan mengatasi masalah-masalah yang diidentifikasi. Padahal, kebijakan publik merupakan basis keunggulan bangsa sehingga dalam setiap pengambilan kebijakan, seharusnya mampu mengeluarkan kebijakan publik unggul dengan memenuhi tiga syarat utama, diantaranya bersifat cerdas, bijaksana dan memberi harapan. “Kebijakan publik harus memenuhi ketiga kriteria tersebut, apabila salah satunya tidak terpenuhi maka kebijakan tersebut belum bisa memuaskan masyarakat,†ujar penulis buku “Public Policy†terbitan PT Elex Media Komputindo, Dr Riant Nugroho, dalam acara bedah buku “Public Policy†yang diselenggarakan oleh Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD) UGM, Jumat (14/11) sore di ruang seminar Isipol UGM. Hadir selaku pengulas buku tersebut, Pengelola Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM Dr Purwo Santoso dan bertindak selaku moderator, Dr Gede Lele. Riant Nugroho menjelaskan kebijakan publik yang bersifat cerdas adalah kebijakan publik yang langung mengena terhadap inti dari permasalahan di masyarakat. Adapaun bersifat bijaksana, artinya kebijakan tersebut harus bersifat adil dan tidak memikat serta kebijakn tersebut meiliki sifat memberi harapan bagi masyarakat untuk menjadi lebih baik. “Kebijakan publik yang paling pahit sekalipun akan tetap memberi harapan,†ungkapnya. Untuk kebijakan publik yang cerdas tapi tidak bijaksana, Riant mencontohkan salah kebijakan di era Orde Baru, dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengelola lahan gambut di Kalimantan, namun dalam pengelolaan lahan tersebut tersebut diserahkan sepenuhnya ke perusahaan Grup Salim yang notabene menurutnya tidak menguasai bidang tersebut, sehingga akibatnya kebijakan pemerintah di kala itu menjadi salah, tidak bijaksan dan tidak memberikan harapan yang lebih baik kepada masyarakat. Selain itu, Riant juga memberi contoh lainnya tentang kebijakan pemerintah Orba tentang proyek pengadaan mobil nasional (mobnas) yang dianggapnya pemerintah telah memiliki pilihan cerdas namun tidak bijaksana karena belum siapnya teknologi dan sumberdaya manusia di masa itu, sementara proyek mobnas tersebut diserahkan kendalinya kepada salah satu anak presiden, Hutomo Mandala Putra alias Tommy. “Jadi kebijkan publik tidak bisa memenuhi salah satu dari kriteria cerdas, bijaksana, dan memberi harapan, tapi harus memenuhi ketiganya,†imbuhnya. Dr Purwo Santoso dalam ulasannya mengungkapkan, buku yang ditulis Riant ini memiliki kelebihan dalam hal stock pengetahuan yang disajikan dalam buku setebal 657 halaman. Berbagai text book yang ditulis pakar-pakar asing mampu disajikan penulis secara ringkas dalam buku ini. Dalam kesempatan tersebut, Purwo Santoso memuji upaya penulis atas ketekunannya mengkompilasi dan menyaji ulang secara text book yang tersedia dalam bahasa inggris ke bahasa indonesia. “Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada text book kebijakan publilk yang disajikan dalam bahasa indonesia oleh orang Indonesia yang isinya sekomplit dan sekontemporer sajian Dr Rian Nugroho ini,†kata Purwo. Bahkan Purwo santoso, juga sempat memuji kepiawaian Rian mengkomunikasikan berbagai ide yang terkait dengan kebijakan publik di dalam bukunya. Padahal diakui Purwo Santoso, kebijakan publik bisa berisi segala bentuk keputusan pemerintah yang sifatnya mengikat dan keputusan-keputusan tersebut diharapkan mengatasi masalah-masalah yang diidentifikasi. “Rumitnya pemahaman kebijakan publik, melalui buku ini setidaknya membantu pembaca untuk memahami, dan membantu praktisi mengelola kebijakan publik,†ujarnya. Disamping itu, Purwo Santoso juga menyampaikan kritikannya terhadap buku ini. Menurut Purwo Santoso, niat baik untuk membantu pembacanya memahami berbagai hal tentang kebijakan publik dalam buku ini telah menjadikan penulisnya terkesan kehilangan citra keaekarannya, khususnya dalam hal menyajikan curahan pemikirannya sendiri. “Memang di sana sini ada ide-ide otentik yang disajikan dalam buku ini, namun tidak mudah untuk menghilangkan kesan bahwa buku ini agak mirip dengan kumpulan karangan,†katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Jakarta, DJIKP - Bantuan sosial sangat membantu masyarakat miskin, rentan, dan terdampak pandemi COVID-19. Tantangannya tidak hanya pada pengelolaan data, namun juga pengawalan hingga sampai ke penerima bantuan. Untuk itu, Kementerian Sosial berkomitmen mengatasi berbagai persoalan yang timbul dengan empat strategi, mulai dari proses, penyaluran hingga diterima oleh Keluarga Penerima Manfaat (KPM). “Bantuan sosial bukan soal data semata, melainkan mengawal hingga sampai kepada penerima dan merupakan tugas yang tidak mudah sebab banyak masyarakat yang tidak tahu program bantuan tersebut,” kata Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam siaran pers di laman kemensos.go.id, Selasa (7/9/2021). Menteri Sosial Tri Rismaharini membeberkan empat strategi untuk mengatasi persoalan bantuan sosial, mulai dari proses, penyaluran, hingga bisa diterima oleh para Keluarga Penerima Manfaat (KPM) baik Program Keluarga Harapan (PKH) maupun Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)/Program Sembako. Pertama, melakukan perbaikan sistem dengan menerjunkan langsung tim Kementerian Sosial (Kemensos) ke lapangan untuk mengetahui persis permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat. “Perbaikan sistem itu berat tapi harus dilakukan untuk mengubah ke arah yang lebih baik, dimulai dari pembaruan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), meng-cleansing data ganda, dan memadankan data dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK),” ujar Menteri Sosial. Perbaikan data ini perlu melibatkan peran aktif Pemerintah Daerah (Pemda) karena ada yang tidak melakukan pembaruan data selama selama 10 tahun. Hal ini yang mengakibatkan adanya perbedaan data Dukcapil karena tidak ada informasi pindah alamat dan domisili, meninggal, dan lain sebagainya. Pengawasan bantuan sosial dilakukan Kemensos bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, BPKP, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bareskrim Polri untuk mencegah terjadinya penyelewengan bantuan sosial. Kedua, untuk mendukung transparansi penerima bantuan agar di setiap kelurahan dipampang data penerima bantuan dan menggunakan aplikasi “Usul-Sanggah” dimana masyarakat bisa mengusulkan nama yang berhak menerima bantuan dan menyanggah bila ada masyarakat yang sebenarnya tidak berhak. Ketiga, menghidupkan peran pilar-pilar sosial untuk mendukung kemandirian, seperti karang taruna, agar bergerak dan ambil bagian dalam kegiatan sosial sebagai wujud kebersamaan dalam kebhinnekaan Indonesia. Keempat, upaya pembedayaan sosial lainnya yang terus dilakukan Kemensos terhadap KPM guna mendukung kemandirian ekonomi agar lebih produktif dan sejahtera, termasuk di dalamnya bagi para penyandang disabilitas. (lnm/ip) UNAIR NEWS – Pakar ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR) Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD menanggapi kelangkaan minyak goreng di pasar dalam negeri. Menurutnya, pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri semakin lama semakin berkurang. Sehingga pemerintah perlu melakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas dari produksi minyak goreng. Menurutnya, kelangkaan tersebut harus menjadi perhatian bersama. Sebelumnya minyak goreng di dalam negeri sempat mengalami over–supply sehingga pemerintah menerapkan kebijakan terkait Program Biodiesel 30 Persen (B30). Namun baru-baru ini, pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri justru mengalami penurunan. Rossanto menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang harus diupayakan oleh pemerintah. Dengan penerapan tiga hal tersebut, diharapkan kelangkaan minyak goreng dalam negeri bisa teratasi.
Harga minyak goreng dunia mengalami kenaikan dari yang awalnya di harga $1100 menjadi $1340. Untuk itu, pemerintah perlu menyeimbangkan kebutuhan dalam negeri dan luar negeri. Harga minyak luar negeri saat ini memang cukup menjanjikan. Namun apabila dirasa kurang efektif dalam mendorong kebutuhan pasar dalam negeri, pemerintah dapat menerapkan pajak ekspor minyak goreng menjadi lebih tinggi. “Dengan begitu pemerintah dapat memastikan pasokan minyak goreng dalam negeri tercukupi,” jelasnya. Kebijakan perdagangan juga bisa dilakukan pemerintah dengan menaikturunkan kebijakan ekspor. Apabila kebutuhan dalam negeri masih kurang, maka pemerintah bisa menaikkan pajak ekspor sehingga mengurangi motivasi produsen domestik untuk mengekspor minyak ke luar negeri karena pajak tinggi. Baca Juga: Ekonom UNAIR Paparkan Penyebab Kelangkaan Minyak Goreng di Indonesia Sebaliknya, jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, pemerintah bisa menurunkan pajak ekspor. Hal tersebut akan mendorong produsen melakukan ekspor ke luar negeri sehingga tidak ada yang menumpuk di gudang. “Semua CPO (Crude Palm Oil, Red) yang diproduksi juga bisa terjual, baik di dalam atau luar negeri,” paparnya.
Kedua, menurut Rossanto, pemerintah dapat melakukan relaksasi atau pengenduran kewajiban produsen untuk memenuhi kebutuhan biodiesel 30 persen. Persentase biodiesel bisa dikurangi menjadi 20 persen selama masa gejolak kelangkaan minyak goreng terjadi. “Jika dirasa masih cukup tinggi, bisa diturunkan lagi sampai 15 persen,” tambahnya. Dalam jangka pendek, pemerintah bisa melakukan operasi pasar. Misalnya dengan melacak dari produsen harus memiliki kewajiban untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan ekspor. Pemerintah harus memastikan pasokan minyak goreng dalam negeri terpenuhi dengan harga yang wajar dan terjangkau oleh masyarakat. “Misalnya dengan menerapkan kebijakan 20-30 persen dari produksi harus dipasarkan di dalam negeri,” imbuhnya. Efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut lebih terasa jika intervensi di sektor hulu lebih diutamakan daripada di sektor hilir. Operasi pasar terbuka yang dilakukan pemerintah di sektor hilir dengan menjual minyak goreng dengan harga murah, dinilai kurang efektif. “Selama pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri masih kurang, hal itu akan terjadi kelangkaan dan harganya akan naik,” jelasnya. (*) Penulis : Sandi Prabowo Editor : Binti Q. Masruroh |