Jelaskan menurut pemahaman Anda bagaimana pentingnya kesetaraan dalam keberagaman

Jelaskan menurut pemahaman Anda bagaimana pentingnya kesetaraan dalam keberagaman


Indonesia merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa pulau dengan karateristik yang berbeda-beda di setiap daerahnya. Perbedaan tersebut dapat meliputi perbedaan ras, agama, mata pencaharian, suku, adat istiadat, norma, dan lain sebagainya. Keberagaman yang ada di Indonesia menjadikan setiap individu yang berasal dari setiap daerah memiliki tingkah laku dan aktivitas yang berbeda-beda.

Keberagaman Manusia

Keberagaman manusia yaitu manusia yang memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut ditinjau dari sifat-sifat pribadi, misalnya sikap, watak, kelakuan, temperamen, dan hasrat. Selain individu, terdapat juga keragaman sosial. Jika keragaman individu terletak pada perbedaan secara individu atau perorangan, sedangkan keragaman sosial terletak pada keragaman dari masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.

Kesetaraan Manusia

Kesetaraan menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain. Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan tersebut bersumber dari adanya pandangan bahwa semua manusia diciptakan dengan kedudukan yang sama yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain.

Kesetaraan Sosial adalah tata politik sosial di mana semua orang yang berada dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu memiliki status yang sama. Kesetaraan mencangkup hak yang sama di bawah hukum, merasakan keamanan, memperoleh hak suara, memiliki kebebasan dalam berbicara, dan hak lainnya yang sifatnya personal.

Faktor Penyebab Keberagaman Sosial

Indonesia memiliki perbedaan suku bangsa, etnis, agama, bahasa, kesenian, dan kedaerahan yang dianggap sebagai karakteristik dalam kehidupan sosial. Meskipun masyarakat Indonesia bersifat majemuk, namun manusia pada hakekatnya adalah sama dan sederajat. Keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak terlepas dari faktor penyebabnya. Adapun faktor penyebab keberagaman sosial, yaitu: (1) Faktor Sejarah; (2) Faktor Geografis.

Keberagaman dalam dinamika Sosial

Struktur masyarakat Indonesia yang beragam ditandai oleh ciri-ciri yang unik. Secara horizontal, mereka ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, perbedaan adat, serta perbedaan kedaerahan. Sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Berikut akan diuraikan tentang keberagaman yang ada di Indonesia yang meliputi ras, etnik (suku bangsa), agama, mata pencaharian, jenis kelamin, dan norma sosial.

Keberagaman dan Kesetaraan sebagai Kekayaan Sosial  

Setiap manusia dilahirkan sama atau setara antara satu dengan lainnya, meskipun dalam masyarakat, terdapat keragaman identitas. Kesetaraan dan keberagaman yang ada di masyarakat menunjukkan tingkatan yang sama, kedudukan yang sama meskipun dalam masyarakat yang majemuk. Adanya kesetaraan dan keberagaman sosial di masyarakat dapat memberikan kekayaan sosial.

1. Keberagaman sebagai Kekayaan Sosial

Keragaman yang terdapat dalam kehidupan sosial manusia melahirkan masyarakat majemuk. Seperti di Indonesia, adanya masyarakat majemuk dapat dikarenakan kemajemukan etnik atau suku bangsa. Beragamnya etnik di Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki ragam budaya, tradisi, kepercayaan, dan pranata. Etnik atau suku bangsa menjadi identitas sosial budaya seseorang. Artinya, identifikasi seseorang dapat dikenali dari Bahasa, tradisi, budaya, dan kepercayaan yang bersumber dari etnik di mana ia berasal.

2. Kesetaraan sebagai Kekayaan Sosial

Hubungan antarmanusia dan lingkungan masyarakat pada umumnya memiliki sifat timbal-balik. Artinya, individu yang menjadi anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban. Beberapa hak dan kewajiban telah ditetapkan dalam undang-undang (konstitusi) dan telah menjadi hak dan kewajiban asasi, seperti yang tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Pada pasal tersebut jelas mengakui adanya kesetaraan dan kesederajatan yang diakui oleh Negara melalui UUD 1945. Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial.

Masalah Keberagaman dan Solusinya dalam Kehidupan Masyarakat

Indonesia yang terdiri dari beberapa daerah dapat memberikan keberagaman, baik dalam kehidupan sosial maupun budaya. Adanya keberagaman ini juga dapat memicu munculnya konflik. Oleh karena itu, kita harus selalu menghormati dan menghargai perbedaan yang ada dalam masyarakat agar dapat mencegah munculnya konflik.

1. Masalah Keberagaman di Masyarakat

Keberagaman bangsa Indonesia yang terdiri dari adanya perbedaan suku bangsa, bahasa, status sosial; mata pencaharian dapat berpontensi negatif terhadap munculnya masalah. Keberagaman yang ada di masyarakat dapat berpotensi menimbulkan, seperti:

a. Segmentasi kelompok.

b. Konsesus yang lemah.

c. Munculnya konflik.

d. Integrasi yang dipaksakan.

2. Solusi untuk Mengatasi Masalah Keberagaman di Masyarakat

Upaya untuk menghindari adanya perpecahan di masyarakat yang diakibatkan adanya keberagaman yaitu melalui pembangunan yang merata di semua lapisan masyarakat. Pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah semata, namun juga dibutuhkan adanya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya. Pembangunan harus diperuntukan bagi semua lapisan masyarakat, sehingga dapat mencapai kesejahteraan bersama.

Mengembangkan Sikap Harmonis terhadap Keberagaman Sosial di Masyarakat

Perbedaan memang wajar dalam kehidupan sosial di masyarakat. Perbedaan tersebut menjadikan karakteristik masyarakat menjadi beragam. Manusia dengan segala perbedaan tersebut berfikir bahwa harus membentengi dan menghindarinya. Adanya pebedaan tersebut harus kita sikapi dengan baik dan sudah seharusnya menjadikan hal tersebut menjadi perubahan yang lebih baik. Sebagai anggota masyarakat, kamu wajib menjaga keharmonisan dalam lingkungan masyarakat.

Beberapa sikap yang dapat dilakukan untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat, antara lain:

1. Adanya kesadaran mengenai perbedaan sikap, watak, dan sifat.

2. Menghargai berbagai macam karakteristik masyarakat.

3. Bersikap ramah dengan orang lain

4. Selalu berfikir positif.

       Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk atau beragam. Kemajemukan bangsa Indonesia ditandai oleh banyak dan beraneka ragamnya kesatuan sosial berdasarkan suku, penganut agama, penutur bahasa, pelaku budaya, dan sebagainya yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara. Di luar kelompok-kelompok tersebut masih terdapat lagi kesatuan-kesatuan sosial lain berdasarkan ideologi, organisasi politik, asosiasi ekonomi, perkumpulan profesi, dan sebagainya.

       Di sisi satu keberagaman tersebut menjadi berkah karena merupakan sebuah kekayaan yang tak ternilai. Namun, di sisi lain, keberagaman semacam itu dapat menjadi sumber terjadinya ketegangan dan konflik. Banyak dan beragamnya kesatuan sosial yang masing-masing memiliki karakteristik dan kepentingan yang berbeda-beda dapat menimbulkan gesekan atau benturan yang berujung pertentangan dan konflik.

       Lalu, apa kaitan keberagaman dengan kesetaraan? Bagaimankah hubungan di antara  keduanya? Apa fungsi dan urgensi kesetaraan bagi keberagaman masyarakat Indonesia? Hubungan keberagaman dan kesetaraan adalah hubungan yang bersifat prasyarat; artinya, salah satu menjadi prasyarat bagi lainnya. Lebih konkretnya, sebagai kondisi riil, keberagaman memang merupakan sebuah kekayaan atau mungkin keunggulan, tetapi sekaligus juga menjadi sebuah risiko karena dapat menjelma menjadi semacam kotak pandora yang mendatangkan masalah (ketegangan dan konflik) sehingga dibutuhkan alat peredam atau penjinaknya.

       Nah, kesetaraan itulah salah satu alat peredam atau penjinak bagi keberagaman karena keberagaman dapat meledak menjadi konflik. Oleh sebab itu, keberagaman memerlukan kesetaraan agar tak berkembang ke arah yang menyimpang dan merugikan. Kita tentu bangga dengan keberagaman dan akan terus membiarkannya demikian, tetapi kita juga perlu memberlakukan syarat, keberagaman harus dijaga dengan senantiasa memegang prinsip-prinsip kesetaraan. Akan tetapi, sebelum Anda mengikuti pembahasan lebih jauh dan detail mengenai hubungan keberagaman dan kesetaraan, Anda lebih dahulu akan diperkenalkan dengan keberagaman yang ada di Indonesia.

A.   Keberagaman Masyarakat Indonesia

       Menurut Furnivall, masyarakat majemuk (plural society) adalah masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen dan tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak terintegrasi dalam satu kesatuan politik. Sementara itu, terkait dengan karakteristik masyarakat Indonesia, Clifford Geertz menyatakan, kendatipun masyarakat Indonesia telah terbentuk sejak tahun 1945 dengan sistem sosial masyarakat yang bersifat multietnik, multiagama, multibahasa, dan multiras, cenderung tidak banyak mengalami perubahan serta sulit terintegrasi. Faktor integrasi dalam masyarakat majemuk dapat menjadi permasalahan tersendiri yang rumit dalam konteks kerekatan sosial dan keutuhan nasional suatu negara.

       Masyarakat mejemuk (heterogen) memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang berbeda dengan masyarakat tunggal (homogen). Perbedaan yang menyolok adalah masyarakat majemuk memiliki kompleksitas dan kerentanan yang lebih tinggi. Menurut Van de Berg, masyarakat majemuk mempunyai karakteristik sebagai berikut:

  1. terintegrasinya masyarakat ke dalam kelompok-kelompok sosial yang mempunyai ciri khas budaya yang berbeda satu sama lain,
  2. adanya lembaga-lembaga sosial yang saling tergantung satu sama lain akibat tingkat perbedaan budaya yang tinggi,
  3. kurangnya pengembangan konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai sosial yang bersifat dasar,
  4. kecenderungan terjadinya konflik antarkelompok lebih besar,
  5. integrasi sosial tumbuh di antara kelompok sosial yang satu dengan yang lain, serta
  6. adanya penguasaan politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.

1.    Keberagaman Suku dan Budaya

       Seperti kita ketahui, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki keberagaman budaya yang tinggi. Faktor penting yang mempengaruhi keberaragaman budaya bangsa Indonesia  adalah perbedaan kelompok-kelompok dalam masyarakat berdasarkan ras dan etnik. Perbedaan ras dan etnik secara alami membentuk keberagaman sosial budaya masyarakat Indonesia.

       Etnik ialah sejumlah besar individu yang memandang diri memiliki kesatuan budaya yang ditimbulkan oleh sifat-sifat budaya masyarakat dan interaksi timbal balik secara terus-menerus. Anggota kelompok etnik memiliki peranan dan identitas yang sama berdasarkan asal-usul, bahasa, agama, tradisi, dan perjalanan hidup. Sebuah kelompok etnik membedakan dirinya dengan kelompok lain menurut ciri-ciri budaya lokal yang mereka miliki.

       Secara struktur sosial, dalam masyarakat Indonesia terdapat banyak perbedaan budaya dan adat istiadat di antara suku bangsa. Di berbagai daerah dengan mudah dapat kita jumpai keberagaman suku bangsa dan agama. Suku bangsa Aceh, misalnya, mayoritas memeluk agama Islam, suku bangsa Batak mayoritas menganut agama Kristen, serta suku bangsa Minangkabau mayoritas menganut agama Islam.

       Dewasa ini di negara kita terdapat kurang lebih 500 suku bangsa. Mereka hidup tersebar di pelosok-pelosok Nusantara, tinggal di ribuan pulau besar dan kecil, serta hidup dengan berbagai mata pencaharian. Selain menganut agama yang berbeda-beda, mereka menjalani hidup dengan budaya mereka masing-masing. Perbedaan adat istiadat, tradisi, bahasa, dan unsur-unsur budaya lain menjadi penanda keberadaan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultural.

2.    Keberagaman Agama

       Ciri kemajemukan lain dari bangsa Indonesia adalah keberagaman agama. Masyarakat Indonesia yang mulanya menganut kepercayaan nenek moyang animisme dan dinamisme, melalui proses sejarah yang panjang mengalami perubahan keimanan. Kedatangan bangsa-bangsa asing (India, Persia, Arab, Tiongkok, Portugis, Belanda, dan Inggris) melalui aktivitas perdagangan, diplomasi, serta kolonialisme dan imperialisme di Indonesia membawa pengaruh besar pada kepercayaan dan keimanan masyarakat Indonesia. Proses dan aktivitas tersebut mengubah kepercayaan dan keimanan sebagian besar masyarakat Indonesia dari semula menganut animise dan dinamisme menjadi beralih menganut agama-agama baru (baru dalam pandangan mereka).

       Maka, sebagaimana yang kita saksikan saat ini, bangsa kita menganut agama Hindu, Buddha, Islam, Protestan, Katolik, dan Konghucu. Secara formal, keenam agama itulah yang saat ini diakui oleh negara. Dianutnya keenam agama tersebut pada awalnya merupakan hasil interaksi masyarakat kita dengan masyarakat asing yang datang ke Indonesia untuk berbagai keperluan.

3.    Keberagaman Bahasa

       Bahasa sebenarnya merupakan unsur atau bagian dari kebudayaan –– maksudnya, kebudayaan dalam arti luas mencakup pula unsur bahasa. Namun, dalam konteks keberagaman masyarakat Indonesia, bahasa perlu disinggung secara tersendiri karena bahasa merupakan komponen yang sangat vital dalam kehidupan manusia umumnya dan masyarakat Indonesia khususnya. Bahasa menjadi alat yang memungkinkan manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya sehingga kemudian dapat berinteraksi untuk mengembangkan hubungan-hubungan lebih lanjut dalam upaya memenuhi keperluan-keperluan hidup yang jumlahnya sangat banyak dan hampir tak terbatas.

       Secara nasional, masyarakat Indonesia telah memiliki bahasa tersendiri yang disebut ‘bahasa Indonesia’, tetapi secara kedaerahan setiap kelompok suku memiliki bahasa tersendiri yang lazim disebut ‘bahasa daerah’. Oleh sebab itu, di tengah keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang memiliki keberagaman bahasa. Keberagaman bahasa ini tampak dari begitu banyaknya bahasa daerah yang ada dan digunakan oleh kelompok-kelompok suku di tanah air. Perlu dicatat, bahasa Indonesia sendiri lahir dan terbentuk justru dari “rahim” bahasa daerah, yakni bahasa daerah Melayu Riau.

       Keberagaman bahasa yang dimiliki masyarakat Indonesia begitu tinggi dan menakjubkan. Hampir setiap kelompok suku memiliki bahasa daerah sendiri yang umumnya diberi nama sesuai dengan nama sukunya masing-masing –– suku Jawa memiliki bahasa Jawa, suku Aceh memiliki bahasa Aceh, suku Sunda memiliki bahasa Sunda, suku Dayak memiliki bahasa Dayak, dan sebagainya. Dengan demikian, jika sekarang ini di negara kita terdapat kurang lebih 500 suku, maka jumlah bahasa daerah yang ada di Nusantara setidaknya juga kurang lebih sebanyak itu.

4.    Keberagaman Ideologi

       Ideologi adalah kumpulan konsep sistematis yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Ideologi juga dapat diartikan cara berpikir individu atau sekelompok individu. Pengertian lain menyatakan ideologi merupakan paham, teori, dan tujuan yang menjadi suatu program sosial politik.

       Di Indonesia sudah jelas dan menjadi harga mati bahwa ideologi bangsa dan negara adalah Pancasila. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan dan teknologi, Pancasila tidak menjadi satu-satunya ideologi yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Secara nasional dapat dikatakan, semua masyarakat Indonesia mengakui dan menganut Pancasila sebagai ideologi pokok yang tak akan berubah. Akan tetapi, beberapa perkembangan baru menunjukkan bahwa sebagian masyarakat terpelajar Indonesia –– dengan tetap menjadikan Pancasila sebagai ideologi utama –– memiliki kecenderungan untuk menganut dan mengembangkan ideologi lain yang secara substansial tidak bertentangan dengan Pancasila.

       Sebagai ideologi terbuka, Pancasalia sendiri dapat menerima masuknya nilai-nilai lain –– dari mana pun asalnya –– sepanjang tak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Sebagai ideologi, Pancasila tidak bersifat kaku, beku, dan tertutup. Pancasila justru bersifat dinamis dan terbuka. Hal ini menunjukkan, Pancasila dapat diperlakukan dengan luwes dan kreatif oleh bangsa Indonesia. Sebagai ideologi, Pancasila dapat menjadi landasan yang lentur dalam menghadapi dan menjalani kehidupan yang terus-menerus berkembang dan berubah akibat perputaran zaman.

       Sadar akan perkembangan tersebut sebagian kalangan terpelajar mengembangkan ideologi-ideologi lain sebagai varian. Namun, pengembangan ini lebih banyak dilakukan pada tataran pemikiran saja, bukan praksis (dipraktikkan). Maka, saat ini dapat disaksikan bebarapa kalangan akrab dengan ideologi seperti liberalisme dan sosialisme. Selain ideologi global, muncul dan berkembang pula varian-varian ideologi sempalan yang bersifat  politis dan lokal, seperti nasionalis dan Islam nasionalis.

5.    Keberagaman Politik

       Keberagaman politik yang dimaksudkan di sini ialah kemajemukan organisasi politik. Dengan pengertian bahwa politik merupakan hal-ihwal yang bersangkut paut dengan masalah ketatanegaraan dan pemerintahan negara, maka lebih spesifik organisasi politik yang dimaksud tidak lain adalah partai politik. Partai politik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara karena menjadi “mesin” penghasil calon pemimpin pemerintahan negara dan anggota lembaga wakil masyarakat (parlemen).

       Pada era Orde Baru yang otoriter jumlah partai politik sangat terbatas –– hanya ada tiga: Golkar, PPP, dan PDI –– serta masyarakat dilarang secara keras untuk mendirikan partai politik baru. Akan tetapi, pada era reformasi yang jauh lebih bebas dan demokratis, jumlah partai politik menjadi begitu banyak. Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, masyarakat sangat antusias mendirikan partai politik sehingga dengan latar belakang ideologi dan platform yang beragam, partai politik tumbuh menjamur. Pemilihan umum era reformasi paling mutakhir, yakni pemilu 2014, diikuti oleh 12 partai politik, sementara pemilu-pemilu sebelumnya diikuti lebih banyak lagi partai politik.

B.   Kesetaraan untuk Mewujudkan Harmoni Keberagaman

Jika Anda kembali mempelajari sejarah nasional periode tahun 1998–2000, Anda akan menjumpai keadaan yang melegakan sekaligus menyedihkan. Mengapa demikian? Melegakan dan menyedihkan adalah gambaran Indonesia pada periode tahun 1998–2000 akibat pecahnya peristiwa-peristiwa besar yang sebagian kita kehendaki dan sebagiannya lagi sama sekali tidak diharapkan terjadi. Melegakan karena pada tahun 1998 pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis berat tumbang oleh gerakan reformasi serta menyedihkan karena pada tahun itu pula hingga tahun 2000 Indonesia dilanda konflik hebat (bahkan nyaris seperti perang saudara) yang menyebabkan ribuan warga meninggal serta harta benda bernilai triliunan rupiah hancur dan musnah. 

Faktor apakah yang menyebabkan pecahnya konflik hebat ketika itu? Berbagai faktor bisa menjadi penyebabnya, tetapi satu hal pasti yang mencuat adalah konflik yang terjadi melibatkan kelompok-kelompok yang berbeda secara etnik, agama, dan golongan. Konflik di Jakarta dan Solo pada tahun 1998 melibatkan etnik-etnik pribumi dan Tionghoa, konflik di Ambon dan Maluku (1999) menghadapkan umat agama Islam dan Nasrani, konflik di Sambas (2000) melibatkan etnik Dayak dan Madura, konflik di Kalimantan Barat (2000) melibatkan etnik Melayu dan Madura, serta konflik di Banyuwangi dan sekitarnya (2000) melibatkan golongan dan kelompok politik.

Semua konflik itu terjadi di tengah keberagaman etnik, agama, golongan, dan sebagainya sekaligus juga melibatkan dan menghadap-hadapkan kelompok-kelompok yang bersangkutan. Di luar masalah faktor penyebab, hal itu menunjukkan bahwa keberagaman dan perbedaan menimbulkan kerawanan-kerawanan yang dapat memicu pertentangan dan konflik. Dengan kata lain, keberagaman dan perbedaan potensial menimbulkan  perselisihan,  pertentangan, dan konflik.

Dan Indonesia, sebagai bangsa yang memiliki keberagaman atau kemajemukan tinggi, dapat menjadi lahan subur bagi terjadinya konflik. Jika tidak dikelola dengan baik, keberagaman dan perbedaan dapat menjadi “ladang ranjau” yang mudah sekali meledak hanya dengan sedikit sentuhan. Menurut pakar politik dan peradaban, Samuel Huntington, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi disintegrasi terbesar ketiga setelah Yugoslavia dan Uni Soviet pada akhir abad ke-20 –– dan kita tahu kedua negara ini sekarang telah lenyap dari muka bumi akibat dilanda konflik internal. Adapun menurut  Clifford Geertz, apabila bangsa Indonesia tidak mampu mengelola keberagaman etnik, budaya, dan solidaritas etniknya, Indonesia akan berpotensi pecah menjadi negara-negara kecil.

1.    Potensi Konflik

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia memiliki berbagai potensi konflik yang tersembunyi. Potensi itu dapat muncul, tumbuh, dan berkembang dari sifat keberagaman dan perbedaan. Dari beberapa potensi tersebut, dua di antaranya dapat menjadi faktor yang paling mengancam dan paling berbahaya. Kedua potensi itu adalah primordialisme dan etnosentrisme.

Primordialisme biasanya melakat pada kelompok-kelompok suku, ras, penganut agama, golongan, dan sebagainya. Secara di luar kesadaran, kelompok-kelompok suku, ras, penganut agama, dan sebagainya cenderung akan mengembangkan ikatan-ikatan primordial, yakni loyalitas berlebihan yang menonjolkan kepentingan kelompoknya masing-masing. Loyalitas semacam ini akan mengurangi loyalitas kepada bangsa dan negara sehingga dapat mengancam integrasi nasional.

Ancaman akan menjadi bertambah besar dan berbahaya manakala kelompok-kelompok suku, ras, penganut agama, dan sebagainya yang terseret primordialisme terorganisasi secara politik serta kemudian mengembangkan politik aliran atau sektarian. Jika sudah demikian, mereka akan mengajukan tuntutan-tuntutan tertentu  untuk kepentingan kelompoknya. Apabila tuntutan mereka tidak diakomodasi dan dikabulkan, manuver mereka akan berkembang menjadi gerakan separatisme: berusaha memisahkan diri dan menjadi negara baru.

Sementara itu, etnosentrisme muncul sebagai akibat dari sikap eksklusif (tertutup) dan kebanggan diri. Etnosentrisme adalah sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri yang biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain. Sikap ini tumbuh akibat adanya anggapan bahwa pandangan hidup dan sistem nilai milik sendiri berbeda dan lebih tinggi atau lebih baik dibandingkan dengan hal serupa yang dimiliki kelompok masyarakat lain.

Etnosentrisme dapat melahirkan sikap lain yang sama negatifnya, yakni stereotip dan xenofobia.  Stereotip merupakan pandangan atau anggapan mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Adapun xenofobia merupakan kekhawatiran atau ketakutan tak beralasan terhadap orang asing sehingga dapat memicu tumbuhnya perasaan benci kepada orang asing –– orang asing dalam hal ini dapat berarti orang dari kelompok lain yang tidak dikenal.

Baik primordialisme maupun etnosentrisme jelas dapat menjadi pemicu terjadinya perselisihan, ketegangan, pertentangan, dan konflik antarkelompok. Dari begitu banyaknya kelompok suku, ras, penganut agama, golongan, dan sebagainya, kita tidak dapat menjamin bahwa semuanya baik-baik saja serta bebas dari sikap primordialisme dan etnosentrisme. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa terjadinya perselisihan, ketegangan, dan konflik antarkelompok seringkali bermula dari sikap yang berbau primordial atau etnosentris sehingga, bagaimanapun juga, kita harus senantiasa waspada serta menempuh langkah-langkah pencegahan.

2.    Meredam Potensi Konflik dengan Prinsip Kesetaraan

Di muka sudah disinggung secara sepintas bahwa kesetaraan merupakan salah satu alat peredam bagi keberagaman yang potensial menimbulkan ketegangan dan konflik. Mengapa kesetaraan dapat dijadikan peredam bagi potensi-potensi konflik akibat keberagaman? Jawaban sederhana atas pertanyaan ini ialah karena salah satu faktor penting penyebab terjadinya ketegangan dan konflik antarkelompok adalah ketiadaan kesetaraan di antara kelompok-kelompok yang ada dan berkembang di tengah masyarakat. Ketiadaan atau minimnya kesetaraan dalam interaksi antarkelompok menyebabkan ketimpangan hubungan yang memicu berkembangnya ketegangan yang kemudian berakhir menjadi konflik.

Mungkin memang benar bahwa penyebab laten atau tersembunyi meledaknya konflik adalah primordialisme dan etnosentrisme. Akan tetapi, primordialisme dan etnosentrisme sebenarnya lebih merupakan pembawaan alamiah dan manusiawi kelompok yang dapat diakomodasi dan dinetralisasi. Selama dibiarkan berkembang tanpa kendali, primordialisme dan etnosentrisme akan bergerak liar mencari sasaran-sasaran pelampiasan hingga memicu ketegangan dan konflik yang merugikan, tetapi jika diredam dan dinetralkan dengan cara yang tepat, akan berhenti dan dapat berubah menjadi familiarisme (sifat kekeluargaan dan persaudaraan) yang menguntungkan.

Secara sosiologis, selain memiliki kecenderungan bersikap primordial dan etnosentris, kelompok-kelompok suku, ras, penganut agama, golongan, dan sebagainya sebenarnya juga memiliki potensi positif, yakni sifat-sifat kemanusiaan seperti keinginan untuk bekerja sama serta semangat kekeluargaan dan persaudaraan. Sifat primordial dan etnosentris di sisi satu serta keinginan bekerja sama serta semangat kekeluargaan dan persaudaraan di sisi lain masing-masing akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Jika situasi dan kondisi yang dihadapi serbaburuk, misalnya banyak kesenjangan dan ketidakadilan serta penuh tekanan, maka hampir pasti sifat primordial dan etnosentris yang akan muncul lebih dominan sebagai bentuk pertahanan diri. Dan demikian juga sebaliknya, manakala situasi dan kondisi yang dihadapi serbakondusif, misalnya penuh toleransi, tiada kesenjangan, dan keamanan terjamin, maka hampir pasti pula keinginan bekerja sama serta semangat kekeluargaan dan persaudaraan akan lebih menonjol sebagai bentuk upaya pengembangan dan penyejahteraan diri.

Bagaimanapun juga, manusia tetaplah memiliki bakat dan pembawaan positif. Secara umum, mereka mempunyai potensi karakter untuk bersikap dan berperilaku baik. Jika mereka terkelompok dalam komunitas-komunitas bernama suku, ras, penganut agama, golongan, dan sebagainya, primordialitas dan etnosentrisitas mereka lebih terbentuk karena desakan internal dan penyesuaian diri saja, dan selebihnya mereka adalah manusia biasa yang karena pembawaan naluriah serta kemampuan akal dan perasaannya tetap memiliki potensi untuk berlaku kooperatif dan konstruktif terhadap sesamanya. Ditambah lagi dengan sifat sosialnya –– karena manusia adalah makhluk sosial –– manusia tidak akan pernah kehilangan keinginannya untuk saling berkomunikasi dan bekerja sama karena dua hal ini merupakan jalan utama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dalam upaya mempertahankan dan melangsungkan kehidupan.

Nah, dengan pertimbangan-pertimbangan sosiologis semacam itulah kita dapat melihat peluang  lebar bagi penggunaan prinsip-prinsip kesetaraan  dalam memberikan solusi untuk di sisi satu meredam potensi-potensi konflik (akibat sifat negatif primordialisme dan etnosentrisme) dan di sisi lain memberdayakan dan mengoptimalkan potensi-potensi positif sebagai upaya untuk menciptakan harmoni atau keselarasan hidup antarkelompok. Melalui implementasi prinsip-prinsip kesetaraan dalam hubungan antarkelompok yang majemuk, akan terbangun sikap saling menghargai, saling menghormati, dan saling pengertian antarkelompok. Penerapan prinsip-prinsip kesetaraan yang dilakukan dengan memperhatikan karakteristik setiap kelompok akan memberikan wawasan dan pengertian kepada semua kelompok suku, ras, penganut agama, golongan, dan sebagainya bahwa sesungguhnya di negara Indonesia yang memang majemuk, semua kelompok memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang setara sehingga tidak ada yang boleh dan berhak merasa paling unggul, paling benar, atau paling berkuasa. Dengan potensi-potensi positif kemanusiaan yang dimilikinya, semua kelompok sangat mungkin dapat menerima hal itu selama penerapan prinsip-prinsip kesetaraan dilakukan dengan adil, konsisten, dan berkesinambungan.

Selain dipicu oleh primordialisme dan etnosentrisme, ketegangan dan konflik  antarkelompok selama ini sesungguhnya juga disebabkan oleh kesenjangan dan ketidakadilan akibat tiadanya kesetaraan dalam hubungan antarkelompok di masyarakat. Hal ini terutama terjadi pada era pemerintahan Orde Baru. Dalam interaksi antarkelompok pada era Orde Baru, kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan elite kekuasaan mendapat keistimewaan untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya sehingga dalam struktur sosial memiliki posisi lebih tinggi dan mendapatkan hak yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain. Dan karena berlangsung dalam waktu yang lama –– sekitar 30 tahun –– keadaan ini menimbulkan banyak kekecewaan, kecemburuan, kesenjangan, ketidakadilan, serta kemudian juga kesengsaraan pada banyak kelompok sehingga membangkitkan primordialisme dan etnosentrisme yang laten dan kronis. Oleh karena itu, ketika pihak yang menyebabkan munculnya keadaan tersebut tumbang dari kekuasaan (Orde Baru), maka meledak konflik hebat (1998–2000) yang melibatkan banyak kelompok sebagaimana dipaparkan di bagian awal pembahasan tadi.


Maka menjadi penting untuk diwujudkan bahwa hubungan antarkelompok dalam masyarakat harus dilandasi dengan prinsip dan semangat kesetaraan. Hubungan antarkelompok yang dilandasi semangat dan prinsip kesetaraan akan menciptakan relasi yang adil, bebas dari kesenjangan, saling menghargai dan menghormati, penuh pengertian, kooperatif, dan konstruktif. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka ekspektasi akan terciptanya kehidupan yang harmonis dalam keberagaman kelompok tidak akan sekadar menjadi harapan yang kosong.