Diasuh Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA.Pertanyaan:Teungku Pengasuh yth.Assalamualaikum wr wb.Saya seorang karyawan di sebuah perusahaan telekomunikasi, pekerjaan saya sering menuntut saya pergi ke luar kota. Yang ingin saya tanyakan adalah:1. Bagaimana jika pada saat safar terjadi pada hari Jumat dan saya tidak mendapati masjid pada saat perjalanan; Apakah gugur kewajiban shalat Jumat saya ataukah saya harus mengerjakan shalat Jumat bersama tim yang biasanya terdiri dari 3 orang?2. Saya seorang yang sering keluar madzi bagaimana jika keluar madzi ketika shalat Jumat; Apakah saya mengganti shalat 2 rakaat, atau menggantinya dengan shalat Zuhur? Atas jawabannya saya ucapkan banyak terima kasih. Muhammad SonyAceh TamiangJawaban:Yth Sdr Muhammad Sony,Waalaikumussalam wr wb.Pengasuh merasa sangat berbahagia dengan pertanyaan saudara, karena tidak banyak sekarang ini orang yang bertanya tentang hal-hal berkaitan dengan shalat Jumat. Padahal shalat Jumat adalah fardhu bagi yag memenuhi syarat, sesuai sabda Rasulullah saw: “Betapa ingin rasanya aku memerintahkan seseorang untuk mengimami shalat kemudian aku membakar rumah orang yang tidak menghadiri shalat Jumat bersama-sama dengan penghuninya” (HR. Muslim). Nabi juga bersabda: “Hendaknya tidak ada lagi orang yang meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan mengunci mati hati mereka dan mereka tergolong orang-orang lalai” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda: “Barangsiapa meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena sengaja meremehkannya, niscaya Allah akan mengunci mati hatinya” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaimah).Dari hadis-hadis di atas, jelas sekali kewajiban atas kita untuk menunaikan shalat Jumat, sehingga shalat Jumat adalah wajib (fardhu ‘ain), sesuai firman Allah swt: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (menunaikan shalat Jumat)” (QS. Al-Jumu’ah: 9).Kewajiban ini tentunya bagi orang yang memenuhi syarat-syaratnya, yang antara lain adalah muqimin atau tidak musafir. Berbeda halnya dengan anda yang memang dalam keadaan bepergian atau musafir. Artinya shalat tersebut tidak diwajibkan kepada orang-orang yang musafir atau bepergian sejarak yang membolehkan qashar shalat, yaitu lebih kurang 85 km. Meskipun demikian, menurut jumhur fuqaha (afli fiqh) bila orang tersebut mengikuti shalat Jumat, maka shalat Jumat-nya sah dan tidak perlu melaksanakan shalat Zuhur. Jadi, anda tidak boleh melaksanakan shalat Jumat bersama tim. Tapi boleh menggabung dengan jamaah di masjid yang ada mendirikan Jumat atau anda menunaikan saja shalat Zuhur empat rakaat karena tidak sempat atau tidak dapat bergabung dengan jamaah Jumat, karena tidak menemukan mesjid. Inilah yang namanya keringanan (rukhshah) bagi orang yang bepergian (musafir) untuk kebajikan. Sedangkan masalah yang kedua, madzi. Sesungguhnya madzi adalah cairan putih yang keluar dari kemaluan seseorang bila ia tergoda atau terangsang syahwatnya, tetapi tidak terpancar seperti mani. Status madzi adalah najis seperti air seni, air besar dan sejenisnya, yang harus disucikan terlebih dulu sebelum ber-wudhuk. Seandainya seseorang mengeluarkan madzi sedang shalat, baik shalat Jumat ataupun lainnya, maka ia harus langsung menghentikan shalat, menyucikan kemaluannya dari madzi, kemudian ber-wudhuk lalu melakukan shalat kembali dari awalnya. Kalau shalat Jumat atau berjamaah, ia dapat saja mengikuti shalat bersama jamaah seberapa rakaat dapat (masbuq). Kalau ia sempat dapat satu rakaat, maka yang bersangkutan dapat menambah satu rakaat lagi setelah imam memberi salam dan menurut jumhur, shalat Jumatnya dinilai sudah memadai, sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “Siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka ia telah mendapatkan shalat” (HR. Bukahri dan Muslim). Beliau juga bersabda: “Siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat Jumat atau selainnya, maka ia telah mendapatkan shalat” (HR An-Nasaa’i) . Dari hadis tersebut, para ulama memahami bahwa, apabila yang bersangkutan tidak sempat mendapatkan satu rakaat shalat Jumat, maka ia harus melaksanakan shalat Zuhur secara lengkap yaitu empat rakaat. Demikian, walahu a’lamu bish-shawab. Jakarta - Sholat Jumat diwajibkan bagi setiap muslim laki-laki yang sudah akil baligh. Mengapa disebut dengan sholat Jumat? Berikut ini pengertian dan dalil sholat Jumat yang harus diketahui. Dikutip dari Kitab Fiqhul Islam wa Adillathuhu juz 2 karya Syekh Wahbah Az Zuhaili, pemberian nama Jumat adalah karena hari berkumpulnya orang-orang dan berkumpulnya kebaikan di hari Jumat. Hari Jumat juga adalah hari penciptaan nabi Adam a.s. serta hari pertemuan Adam dan Hawwa di bumi.
Mendirikan sholat Jumat hukumnya adalah fardhu 'ain (wajib), bagi yang mengingkarinya akan dianggap kafir karena telah diberikan dalil sholat Jumat yang jelas. Dalil keutamaan sholat Jumat disebutkan dalam hadist Abi Lubanah yang diriwayatkan secara marfu': "Hari Jumat adalah 'tuannya' semua hari, dan hari yang paling agung. Di mata Allah, hari Jumat lebih agung dari hari ldul Fitri dan ldul Adha." Sholat Jumat juga merupakan ibadah wajib tersendiri yang bukan pengganti sholat Zuhur. Maka, niatnya tidak dapat diganti niat sholat Dzuhur bagi mereka yang tidak wajib melaksanakannya, seperti perempuan dan musafir. Sholat Jumat lebih ditetapkan waktunya daripada sholat Dzuhur, dan merupakan sebaik-baik sholat. Hari Jumat adalah hari paling baik dari berbagai hari yang ada. Bahkan, Allah SWT mengampuni 600 ribu penghuni neraka di hari Jumat. Bagi orang-orang yang meninggal di hari Jumat, Allah juga akan mencatatkan pahala syahid dan dijaga dari siksa kubur. Dalil wajib sholat Jumat juga disebutkan dalam Surat Al-Jumu'ah ayat 9, Allah SWT berfirman: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya, seorang muslim laki-laki harus meninggalkan pekerjaannya untuk mengingat Allah. Jangan sampai disibukkan dengan urusan dunia, yaitu jual-beli atau perdagangan, dan segeralah menuju sholat Jumat. Selain itu, dalil sholat Jumat dari sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah saw: "Demi Allah, berhentilah para lelaki yang sering meninggalkan sholat Jumat atau Allah akan mengunci hati mereka dan menjadikannya orang-orang yang lalai" (Hadis Riwayat Muslim dari Abi Hurairah).
"Pergi menunaikan shalat Jumat wajib bagi semua lelaki yang sudah baligh." Bahkan, orang yang meninggalkan sholat Jumat layak diberi hukuman. Sesuai sabda Rasulullah saw kepada mereka yang melalaikan sholat Jumat: "Aku berniat menyuruh para lelaki untuk shalat berjamaah, lalu aku akan bakar rumah-rumah orang yang meninggalkan shalat Jumat." (HR. Ahmad dan Muslim dari Ibnu Mas'ud). Sedangkan dalil dari Ijma, umat Islam telah sepakat bahwa hukum sholat Jumat adalah wajib. Ada juga dalil sholat Jumat yang menyebutkannya sebagai ibadah wajib tersendiri dan bukan sholat Zuhur yang dipendekkan meskipun waktunya sama dengan pelaksanaan sholat Zuhur. Umar r.a. mengatakan: "Sholat Jumat hanya dua rakaat, lengkap tidak boleh dipendekkan, sesuai perintah Nabi kalian. Sia-sialah orang yang mendustakannya" (HR. Ahmad) (erd/erd) Pada dasarnya shalat Jumat hukumnya adalah wajib bagi setiap Muslim laki-laki. Hal ini berdasar pada firman Allah swt dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Demikianlah shalat Jumat menjadi salah satu momentum pertemuan antara umat muslim dalam sebuah komunitas tertentu. Diharapkan pertemuan fisik ini dapat menambah kualitas ketakwaan dan keimanan umat muslim. Karena itulah shalat Jumat didahului dengan khutbah yang berisi berbagai mauidhah. Di samping itu secara sosiologis shalat Jumat hendaknya menjadi satu media syiar Islam yang menunjukkan betapa besar dan kuat persatuan umat. Adapun syarat-syarat shalat Jumat seperti yang tertulis dalam kitab Matnul Ghayah wat Taqrib karya Imam Abu Suja’ وشرائط وجوب الجمعة سبعة أشياء : الاسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورية والصحة والاستيطان Syarat wajib Jumat ada tujuh hal yaitu; Islam, baligh, berakal sehat, merdeka, laki-laki, sehat dan mustauthin (tidak sedang bepergian) Dari ketujuh syarat tersebut, tiga syarat pertama Islam, baligh dan berakal dapat dianggap mafhum. Karena jelas tidak wajib shalat Jumat orang yang tidak beragama Islam, yang belum baligh, apalagi orang gila. Sedangkan mengenai empat syarat yang lain Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan lainnya dari Jabir ra, Nabi saw bersabda: من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فعليه الجمعة إلا امراة ومسافرا وعبدا ومريضا Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka wajib baginya shalat Jumat kecuali perempuan, musafir, hamba sahaya dan orang yang sedang sakit. Pada praktiknya, shalat Jumat sama seperti shalat-shalat fardhu lainnya. Hanya ada beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi yaitu pertama hendaklah diadakan di negeri, kota atau desa. kedua jumlah orang tidak kurang dari 40, dan ketiga masih adanya waktu untuk shalat Jumat, jika waktu telah habis atau syarat yang lain tidak terpenuhi maka dilaksanakanlah shalat Dhuhur. Dengan demikian shalat Jumat selalu dilakukan di masjid. Dan tidak boleh dilakukan sendirian di rumah seperti shalat fardhu yang lain. Hal ini tentunya menyulitkan mereka yang terbiasa bepergian jauh. Entah karena tugas negara atau tuntutan pekerjaan. Oleh karena itulah maka shalat Jumat tidak diwajibkan bagi mereka yang sedang sakit atau berada dalam perjalanan (musafir). Khusus untuk musafir atau orang yang sedang berada dalam perjalanan ada beberapa ketentuan jarak tempuh. Tidak semua yang bepergian meninggalkan rumah bisa dianggap musafir. Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang dianggap musafir apabila jarak perjalanan yang ditempuh mencapai 90 km, yaitu jarak diperbolehkannya meng-qashar shalat. Itupun dengan catatan agenda perjalanannya bersifat mubah (dibenarkan secara agama, tidak untuk maksiat ) dan sudah berangkat dari rumah sebelum fajar terbit. Bolehnya meninggalkan shalat Jumat oleh musafir ini dalam wacana fiqih disebut dengan rukhshah (dispensasi). Yaitu perubahan hukum dari sulit menjadi mudah karena adanya udzur. Bepergian menjadi udzur seseorang untuk menjalankan shalat Jumat karena dalam perjalanan seseorang biasa mengalami kepayahan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang, tidak jarang mereka harus melakukan bepergian. Dan seringkali seseorang masih dalam perjalanan ketika waktu shalat Jumat tiba. Akan tetapi keringanan –rukhshah- ini tidak berlaku jika status seorang musafir telah berubah menjadi mukim. Yaitu dengan berniat menetap ditempat tujuan selama minimal empat hari. Misalkan jika seorang dari Surabaya pergi ke Jakarta lalu niat menginap di rumah sanak famili selama lima hari, maka tidak berlaku lagi baginya keringanan bepergian –rukhsah al-safar-. Maka dia tidak diperbolehkan meninggalkan shalat Jumat, jamak atau qashar shalat. Begitu pula jika seseorang berniat mukim saja tanpa tahu batas waktunya secara pasti, maka hukumnya sama dengan bermukim empat hari. Contohnya ketika seseorang dari Jawa Timur merantau ke Jakarta, dengan niat mencari pekerjaan yang dia sendiri tidak tahu pasti kapan dia mendapatkan pekerjaan tersebut. Maka dalam kacamata fiqih ia telah dianggap sebagai mukimin di Jakarta dan wajib mengikuti shalat Jumat bila tiba waktunya. Lain halnya jika orang tersebut berniat untuk tinggal di Jakarta dalam jangka waktu maksimal tiga hari, maka baginya masih berlaku rukhshah. Hal mana juga berlaku bagi seseorang yang sengaja bermukim demi satu keperluan yang sewaktu-waktu selesai dan ia akan kembali pulang, tanpa mengetahui persis kapan waktunya selesai. Maka status musafir masih berlaku baginya dan masih mendapatkan rukhshah selama delapan belas hari. Oleh karena itu untuk menentukan seorang sebagai musafir perlu ditentukan beberapa hal. Pertama jarak jauhnya harus telah mencapai masafatul qasr (kurang lebih 90 km). Kedua, tujuannya bukan untuk maksiat. Ketiga, mengetahui jumlah hari selama bepergian sebagai wisatawan yang hanya singgah satu atau dua hari, ataukah untuk studi atau bekerja yang lamanya sudah barang tentu diketahui (1 semester, 2 tahun dst) ataukah untuk satu urusan yang waktunya tidak diketahui dengan pasti. Semua ada aturan masing-masing. Demikian keterangan dari beberapa kitab Al-Madzahibul Arba’ah, Al-Hawasyiy Al-Madaniyah dan Al-Fiqhul Islami). (Red. Ulil Hadrawi) Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada Ahad, 09 Februari 2014 pukul 11:00. Redaksi mengunggahnya ulang dengan sedikit penyuntingan. |