Informasi berikut ini yang tidak tepat terkait dengan perang Diponegoro adalah

Informasi berikut ini yang tidak tepat terkait dengan perang Diponegoro adalah

Informasi berikut ini yang tidak tepat terkait dengan perang Diponegoro adalah
Lihat Foto

Wikimedia Commons

Lukisan penyerahan diri Pangeran Diponegoro kepada Jenderal de Kock pada 1830, yang menandai akhir Perang Diponegoro.

KOMPAS.com - Perang Diponegoro yang berlangsung antara 1825-1830 termasuk salah satu perlawanan besar yang harus dihadapi Belanda semasa pendudukannya di Indonesia.

Pasalnya, pertempuran yang bermula di Yogyakarta ini meluas ke banyak daerah di Jawa hingga sering disebut sebagai Perang Jawa.

Perlawanan Diponegoro terhadap Belanda berkobar setelah Belanda menanam patok-patok jalan di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Namun sebelum insiden tersebut, Belanda juga telah melakukan serangkaian aksi yang memicu kemarahan Pangeran Diponegoro.

Perang Diponegoro berakhir setelah lima tahun, dengan dampak yang sangat serius bagi Indonesia.

Latar belakang Perang Diponegoro

Memasuki abad ke-19, keadaan di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan karena intervensi Belanda terhadap pemerintah lokal sering kali memperburuk perselisihan yang ada di lingkungan kerajaan.

Campur tangan pihak kolonial juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya nusantara.

Selain itu, dominasi Belanda telah membuat rakyat menderita karena dijadikan sebagai objek pemerasan.

Pasalnya, para petani tidak dapat mengembangkan hidupnya karena harus menjadi tenaga kerja paksa.

Beban mereka pun semakin berat karena diwajibkan untuk membayar berbagai macam pajak. Melihat penderitaan rakyat akibat kekejaman Belanda, Pangeran Diponegoro tidak mau tinggal diam.

Pangeran Diponegoro, yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo, adalah putra Sultan Hamengkubuwono III yang pada awalnya memilih untuk tidak ikut campur urusan keraton karena ibunya bukan seorang permaisuri.

Namun, ketika Belanda dirasa terlalu banyak mencampuri urusan keraton, Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan.

Selain itu, Perang Diponegoro terjadi karena Belanda dengan sengaja menanam patok-patok untuk membuat jalan di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Hal itulah yang membuat kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak, dan menyatakan sikap perang dengan mengganti patok yang dipasang Belanda dengan tombak.

Baca juga: Gaya Militer Turki Utsmani dalam Perang Pangeran Diponegoro

Proses terjadinya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro meletus pada 20 Juli 1825, ketika pasukan Belanda datang ke Tegalrejo untuk menangkap Pangeran Diponegoro.

Meski sempat mendapatkan perlawanan dari pendukung Pangeran Diponegoro, Belanda berhasil membumihanguskan Tegalrejo.

Sementara itu, Pangeran Diponegoro berhasil menyingkir ke Desa Selarong, di mana ia menyusun strategi perang.

Berikut ini beberapa strategi Perang Diponegoro.

  • Merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan mencegah masuknya bantuan dari luar
  • Mengirim utusan kepada para bupati dan ulama agar bersiap melawan Belanda
  • Memilah bangsawan yang dinilai sebagai lawan dan kawan
  • Membagi wilayah perang dan pertahanan

Perang Diponegoro dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro, yang didampingi pamannya, Pangeran Mangkubumi, Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya.

Tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro menyerang dan keraton Yogyakarta dan berhasil mendudukinya.

Keberhasilan ini kemudian disusul dengan kemenangan di beberapa daerah pada tahun-tahun awal berkobarnya Perang Diponegoro.

Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan Rembang.

Kemudian ke arah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya, hingga disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.

Selain itu, semua kekuatan dari rakyat, bangsawan, dan ulama bersatu untuk melawan kekejaman Belanda.

Selama perang, Pangeran Diponegoro menerapkan strategi perang gerilya dan perang atrisi (penjemuan).

Baca juga: Benteng Stelsel, Taktik Belanda untuk Kalahkan Pangeran Diponegoro

Strategi Benteng Stelsel Belanda

Menghadapi perlawanan Diponegoro yang terus meluas, Jenderal de Kock sebagai pemimpin perang Belanda memutuskan untuk mengubah strategi, yaitu dengan sistem Benteng Stelsel.

Dengan strategi ini, perlawanan Diponegoro di berbagai tempat berhasil dilumpuhkan Belanda hingga ruang geraknya menjadi semakin sempit.

Selain itu, para pemimpin yang membantu Pangeran Diponegoro banyak yang tertangkap.

Kendati demikian, belum ada tanda-tanda bahwa perlawanan Diponegoro akan berakhir.

Akhir dan hasil Perang Diponegoro

Perang Diponegoro merupakan perang terbesar selama penjajahan Belanda di Indonesia. meskipun demikian, perjuangan Pangeran Diponegoro harus berakhir karena pemerintah kolonial Belanda berhasil membujuk pangeran Diponegoro agar menyerah.

Pertempuran sengit antara Belanda dan Pangeran Diponegoro baru berakhir pada 28 Maret 1830.

Kala itu, pasukan Pangeran Diponegoro dijepit di Magelang oleh Jenderal de Kock. Demi membebaskan sisa pasukannya, Pangeran Diponegoro rela menyerahkan diri.

Pangeran Diponegoro kemudian ditangkap dan diasingkan ke Makassar hingga akhir hidupnya.

Perang Diponegoro terjadi selama lima tahun dan menimbulkan dampak yang sangat besar.

Berikut ini beberapa dampak Perang Diponegoro bagi Indonesia.

  • Menelan korban tewas sebanyak 200.00 jiwa penduduk Jawa
  • Kekalahan Pangeran Diponegoro menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa
  • Raja dan bupati Jawa tunduk kepada Belanda

Referensi:

  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Informasi berikut ini yang tidak tepat terkait dengan perang Diponegoro adalah
Pangeran Diponegoro. bbc.com

JABAR | 1 November 2020 16:41 Reporter : Andre Kurniawan

Merdeka.com - Nama Diponegoro tentu sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Salah satu pahlawan yang berasal dari Yogyakarta ini memang sudah sering disebutkan dalam pelajaran atau buku sejarah. Beliau adalah seorang pemimpin perang dari para serdadu pribumi dalam peperangan melawan pasukan Belanda.

Perang Jawa, atau dikenal juga dengan sebutan Perang Diponegoro, merupakan kancah peperangan yang membuat nama Pangeran Diponegoro banyak menghias halaman buku sejarah saat ini. Beliau dengan berani melakukan pemberontakan terhadap pihak Belanda yang sudah berlaku sewenang-wenang.

Perang ini juga berlangsung cukup lama, yaitu selama lima tahun antara tahun 1825 sampai 1830. Perang Diponegoro sendiri tercatat sebagai salah satu perang terbesar yang terjadi di Indonesia. Dalam perang ini, pasukan pribumi dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, sedangkan pasukan Belanda dikomandoi oleh Jendral de Kock.

Untuk mengenang kembali bagaimana perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan pasukan Belanda, berikut kami ulas tentang siapa Pangeran Diponegoro sampai penyebab Perang Diponegoro bisa sampai meletus.

2 dari 5 halaman

Informasi berikut ini yang tidak tepat terkait dengan perang Diponegoro adalah

liputan6.com

Sebelum mengulas penyebab Perang Diponegoro bisa meletus, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu siapa sosok yang memimpin pasukan pribumi dalam perlawanannya terhadap Belanda, yaitu Pangeran Diponegoro.

Dilansir dari situs diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id, 11 November 1785 lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Mas Mustahar. Ibu dari anak ini bernama Raden Ayu Mangkorowati, sedangkan ayahnya Raden Mas Surojo, yang mana merupakan putra Hamengkubuwana II, dan di kemudian hari menjadi Sultan Hamengkubuwono III.

Raden Mas Mustahar kemudian diganti namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo pada tahun 1805 oleh kakeknya yaitu Sultan Hamengkubuwono II. Selanjutnya pada tahun 1812, ketika ayahnya naik tahta menjadi Hamengkubuwono III, Raden Mas Ontowiryo diberi gelar pangeran dengan nama Pangeran Diponegoro.

Beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Sebagai penghargaan perjuangannya, pemerintah Indonesia mengangkat Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan nasional.

3 dari 5 halaman

Antara tahun 1825-1830 Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dilanda oleh perang besar yang bahkan hampir meruntuhkan kekuasaan imperialis Belanda di Indonesia. Peperangan tersebut dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan dari kesultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro sendiri berjuang melawan imperialis Belanda bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan.
Berikut bagaimana penyebab Perang Diponegoro bisa meletus:

  • Penyebab Perang Diponegoro yang pertama adalah adanya perasaan tidak puas pada kaum bangsawan Kesultanan Yogyakarta, karena:
    • Mereka dilarang oleh Belanda untuk menyewakan tanahnya kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk perkebunan-perkebunan. Sebab itu merupakan saingan bagi Belanda yang mengusahakan perkebunan-perkebunan juga.
    • Daerah Kesultanan Yogyakarta yang terletak di antara Pekalongan dan Semarang dirampas oleh Belanda.
    • Kekuasaan dan kewibawaan para bangsawan makin terdesak oleh Belanda, baik di pusat maupun di daerah-daerah.
  • Penyebab Perang Diponegoro yang selanjutnya yaitu kaum ulama Islam yang semakin kecewa, karena makin meluasnya adat kebiasaan barat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal ajaran Islam bagi kaum ulama merupakan alat untuk pendidikan moral. Oleh karena kaum ulama memandang bahwa keburukan moral itu bersumber dari Belanda, maka Belanda harus disingkirkan.
  • Penyebab Perang Diponegoro yang terakhir adalah karena rakyat jelata makin menderita akibat adanya bermacam-macam pungutan pajak dan macam-macam kewajiban kerja paksa.

Selain itu ada peristiwa lain yang menjadi penyebab Perang Diponegoro ini meletus.

Pada tahun 1825, Belanda bermaksud menyambung dan memperlebar jalan melalui tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro dengan tidak minta izin lebih dulu kepada Pangeran Diponegoro. Hal itu menyebabkan Pangeran Diponegoro marah karena mengesampingkan beliau sebagai wali raja.

Waktu diadakan pemasangan pancang-pancang oleh suruhan Belanda, pancang-pancang itu dicabuti oleh suruhan Pangeran Diponegoro. Wakil Belanda ialah Residen Smissaert, meminta kepada Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro) untuk memanggil Pangeran Diponegoro.

Setelah Pangeran Mangkubumi bertemu dengan Pangeran Diponegoro, beliau justru menggabungkan diri dengan Pangeran Diponegoro. Maka pada tanggal 20 Juli 1825, rumah kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo diserang dan dikepung oleh pasukan berkuda di bawah pimpinan Chevalier dengan maksud untuk menangkap Pangeran Diponegoro.

Dalam pertempuran itu Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi sempat meloloskan diri dengan menunggang kuda. Setelah Belanda mengetahui bahwa Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi dapat meloloskan diri, maka rumah Pangeran Diponegoro dibakar oleh Belanda. Sejak itu Pangeran Diponegoro bertekad melawan Belanda untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan.

4 dari 5 halaman

Informasi berikut ini yang tidak tepat terkait dengan perang Diponegoro adalah
©2020 Merdeka.com

Pangeran Diponegoro beserta Pangeran Mangkubumi setelah berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda, lalu menuju ke Kalisaka. Di sana pengikut yang berdatangan semakin banyak. Para bangsawan Yogyakarta dan rakyat biasa berduyun-duyun datang menggabungkan diri, sehingga Kalisaka tidak dapat menampungnya dan dipindahkan ke Selarong. Di sinilah Pangeran Diponegoro memusatkan pertahanannya dan mengatur pasukannya.

Dalam perang melawan Belanda, Pangeran Diponegoro mempergunakan sistem perang gerilya, yaitu tidak pernah mengadakan penyerangan secara besar-besaran, tetapi hanyalah perang lokal secara tiba-tiba saja. Siasat ini ternyata sangat menguntungkan pasukan Pangeran Diponegoro sebab sulit untuk diatasi oleh Belanda.

Berkali-kali Selarong diserang oleh Belanda, tetapi pasukan Pangeran Diponegoro telah mengundurkan diri lebih dahulu. Baru setelah Belanda pergi dari Selarong, tentara Pangeran Diponegoro kembali ke Selarong. Demikian berkali-kali pasukan Belanda menyerang Selarong selalu mendapatkan tempat itu telah kosong.

Waktu itu ada seorang ulama termasyhur dari Surakarta bernama Kyai Maja turut menggabungkan diri memperkuat pasukan Pangeran Diponegoro. Untuk menghindari serbuan Belanda, Pangeran Diponegoro memindahkan pusat pertahanannya ke Daksa (sebelah barat laut Yogyakarta).

Maka selanjutnya serangan-serangan terhadap Belanda dilakukan dari Daksa sebagai pusat pertahanan yang baru. Atas desakan rakyat, para bangsawan dan ulama, Pangeran Diponegoro mengangkat dirinya sebagai kepala negara dengan gelar "Sultan Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa".

Pada tanggal 9 Juni 1826, Belanda dengan kekuatannya yang besar berusaha menyerang Plered, yang menjadi pusat negara setelah penobatan Pangeran Diponegoro. Karena pertahanan di Plered sudah diperkuat, maka usaha Belanda itu tidak berhasil. Kemudian pada permulaan Juli 1826, Belanda mengulangi serangannya ke Daksa lagi. Namun, oleh Pangeran Diponegoro, Daksa telah dikosongkan terlebih dahulu, sehingga serangan Belanda ini gagal.

Selanjutnya Belanda menggunakan siasat baru untuk menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro. Salah satunya adalah dengan menggunakan siasat perbentengan. Setelah Jenderal Markus de Kock diangkat menjadi panglima seluruh pasukan Belanda (1827), siasat perbentengan (Benteng Stelsel) ini mulai dijalankan, dengan cara mendirikan benteng-benteng yang dikelilingi dengan kawat berduri dan dijaga ketat di wilayah kekuasaan Belanda. Siasat demikian dimaksudkan untuk mempersempit daerah kekuasaan Pangeran Diponegoro, dan untuk mencerai-beraikan pasukannya.

Karena berbagai usaha Belanda masih belum dapat mematahkan perlawanan Pangeran Diponegoro, maka Belanda menawarkan perundingan kepada Pangeran Diponegoro (tahun 1830), bertempat di markas Belanda Magelang dengan janji bila perundingan itu mengalami jalan buntu, Pangeran Diponegoro boleh kembali dengan bebas.

5 dari 5 halaman

Informasi berikut ini yang tidak tepat terkait dengan perang Diponegoro adalah
bbc.com

Sehari setelah Lebaran, yaitu pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya memasuki kota Magelang untuk mengadakan kunjungan kehormatan dan persahabatan dengan Jenderal de Kock.

Ketika Jenderal de Kock menanyakan syarat apa yang diinginkan, Pangeran Diponegoro menghendaki negara merdeka dan menjadi pimpinan mengatur agama Islam di Pulau Jawa. Jenderal de Kock menolaknya, dan melarang Pangeran Diponegoro meninggalkan ruangan.

Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda yang ternyata telah menyiapkan penyergapan secara rapi. Selanjutnya dengan pengawalan ketat, Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia, lalu dibuang ke Manado, kemudian dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar sampai wafatnya, pada 8 Januari 1855.

(mdk/ank)