Iklan yang berkaitan dengan pelayanan jasa kesehatan Pengobatan alternatif

Senin, 18 Juni 2012 | 19:50 WIB
Oleh : B1

Iklan yang berkaitan dengan pelayanan jasa kesehatan Pengobatan alternatif

Ilustrasi

Agar terhindar dari informasi kesehatan yang menyesatkan dan menghindari praktik kesehatan yang tak bertanggungjawab. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur, meminta lembaga penyiaran radio dan televisi untuk lebih berhati-hati terhadap penayangan iklan pengobatan alternatif. "Tujuan kami adalah supaya masyarakat tidak dirugikan atas informasi seputar kesehatan yang menyesatkan dan menghindari praktik kesehatan yang tidak bertanggung jawab," kata Ketua KPID Jatim, Fajar Arifianto Isnugroho di Surabaya, Senin (18/6). Menurut dia, permintaan itu tertuang dalam surat imbauan KPID Jatim nomor 117/KPID-JATIM/VI/2012 tertanggal 7 Juni 2012, yang ditujukan pada direktur lembaga penyiaran radio dan televisi di Jawa Timur. "Permintaan atau imbauan itu didasarkan pemantauan KPID Jatim atas maraknya iklan pengobatan alternatif serta merujuk peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/032012, tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar program Siaran atau P3SPS 2012 terkait perlindungan kepentingan publik," katanya. Dalam pasal 11 P3SPS tentang perlindungan kepentingan publik menyebutkan, program siaran yang berisi tentang kesehatan masyarakat dilarang menampilkan penyedia jasa pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak memiliki izin dari lembaga berwenang. "Berdasarkan pasal tersebut, lembaga penyiaran hanya boleh menyiarkan (program atau iklan) seputar jasa pelayanan kesehatan masyarakat (pengobatan alternatif atau pengobatan modern) yang sudah melalui proses perizinan dari lembaga yang berwenang," kata Fajar. Lembaga berwenang yang dimaksud adalah Kementerian Kesehatan RI, Dinas Kesehatan provinsi/kabupaten/kota atau badan pengawasan obat dan makanan (POM). Oleh karena itu, lembaga penyiaran diminta untuk lebih berhati-hati dalam proses produksi program atau selektif dalam menerima iklan menyangkut pengobatan alternatif dan sejenisnya dengan melihat kembali proses perizinan lembaga bersangkutan. Dalam kaitan itu, KPID Jawa Timur juga sudah melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, untuk menyikapi masalah ini dengan tujuan dinas kesehatan juga proaktif memantau izin praktek atau izin beroperasinya jasa pengobatan alternatif dan jasa pelayanan kesehatan. "KPID tidak menyentuh jasa pengobatan alternatif, karena KPID hanya konsen pada media penyiaran yang menayangkan iklan pengobatan alternatif, sedangkan jasa pengobatannya tetap menjadi kewenangan Dinas Kesehatan," katanya. Menanggapi imbauan itu, Ketua Program Studi pengobatan Tradisional (Batra) FK Unair Surabaya, dr Ariyanto Yonosewoyo, mengaku dirinya sudah pernah ke China. "Ahli Batra di sana justru mengingatkan agar kami berhati-hati dengan pengobat herbal dari China, karena mereka umumnya ke Indonesia akibat bermasalah di China," katanya. Oleh karena itu, katanya, masyarakat perlu diingatkan, karena 55,3 persen masyarakat masih menyukai jamu, bahkan hanya 11,58 persen yang menyukai jamu dalam bentuk kapsul, sehingga masyarakat perlu dilindungi.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini


Fasilitas kesehatan yang dimiliki Pemerintah maupun swasta boleh memasang iklan atau publikasi pelayanan kesehatan di media cetak, media elektronik, dan media luar dalam bentuk berita, banner, tulisan berjalan, artikel, atau features. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.1787/Menkes/Per/XII/2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan tanggal 14 Desember 2010.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK), dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS dalam temu media dengan topik Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan serta Pengembangan Program Keperawatan di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Komunikasi Publik, 6 Mei 2011 di Jakarta.

Dalam beriklan, fasilitas pelayanan kesehatan harus memperhatikan etika iklan dan publikasi yang diatur dalam kode etik rumah sakit Indonesia, kode etik masing-masing tenaga kesehatan, kode etik pariwara, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu dalam beriklan, harus memuat data dan fakta yang akurat, berbasis bukti, informatif, edukatif dan bertanggungjawab serta wajib mencantumkan nama dan alamat fasilitas pelayanan kesehatan dengan tanggal produksi. Ruang lingkup pengaturan ini meliputi iklan dan publikasi pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan tradisional dan pengobatan komplementer-alternatif.

Dirjen BUK menambahkan iklan dan publikasi yang dilarang adalah yang bersifat menyerang atau pamer dengan merendahkan kehormatan dan profesi tenaga kesehatan, pemberian informasi yang tidak benar/palsu dan menyesatkan, pengenalan metode, obat, dan teknologi pelayanan kesehatan yang belum diterima oleh masyarakat kedokteran karena manfaat dan keamanannya masih diragukan dan belum terbukti, iklan pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan yang tidak berlokasi di Indonesia, iklan pelayanan kesehatan yang tidak memiliki izin.

Selain itu, dalam beriklan juga dilarang mengiklankan susu formula dan zat adiktif, obat keras, psikotropika dan narkotika, pemberian testimoni, dan penggunaan gelar akademis dan sebutan profesi di bidang kesehatan.

“Tenaga kesehatan juga dilarang mengiklankan atau menjadi model iklan obat, alat kesehatan, perbekalan kesehatan, dan fasilitas pelayanan kesehatan kecuali dalam iklan layanan masyarakat. Namun tenaga kesehatan dapat melakukan publikasi atas pelayanan kesehatan dan penelitian kesehatan dalam majalah kesehatan atau forum ilmiah untuk lingkungan profesi,” ujar Dirjen BUK.

Untuk membina, mengawasi dan melakukan penilaian iklan dan publikasi pelayanan kesehatan, Menteri Kesehatan membentuk Tim Penilaian dan Pengawasan Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan di lingkungan Kementerian Kesehatan sebelum dan setelah ditayangkan iklan dan publikasi tersebut.

Berdasarkan penilaian tersebut, apabila iklan dan publikasi melanggar peraturan maka tim dapat memerintahkan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan untuk mengubah, menarik, menghilangkan atau menghentikan iklan dalam jangka waktu paling lama 7 hari kerja.

Jika dalam 7 hari pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tidak mengubah, menarik, menghilangkan atau menghentikan iklan yang melanggar maka dikenakan tindakan administratif yang harus dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari kerja.

Tindakan administratif berupa pencabutan surat izin operasional/surat izin praktik/surat izin kerja/surat izin profesi untuk sementara waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan pencabutan surat izin operasional/surat izin praktik/surat izin kerja/surat izin profesi untuk selamanya.

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, metode alternatif dan metode modern medis sebagaimana yang Anda sebukan kami asumsikan sebagai pengobatan komplementer alternatif.

Iklan Pengobatan Alternatif

Untuk menjawab pertanyaan Anda, mengenai iklan pengobatan komplementer alternatif kami berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1787/MENKES/PER/XII/2010 Tahun 2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan (“Permenkes 1787/2010”).

Ruang lingkup pengaturan ini meliputi iklan dan publikasi pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan tradisional dan pengobatan komplementer alternatif.[1]

Iklan adalah informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.[2]

Menurut Permenkes 1787/2010, iklan pengobatan dikenal dengan istilah Iklan Pelayanan Kesehatan yang berarti sebagai kegiatan komunikasi persuasif atau pengenalan/promosi tentang kebijakan, program, dan/atau pelayanan kesehatan dalam bentuk gambar, suara, dan/atau tulisan dengan tujuan menarik minat dan memudahkan masyarakat.[3] Sedangkan yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang meliputi promosi kesehatan, pencegahan penyakit, kuratif dan rehabilitatif.[4]

Pada dasarnya, fasilitas pelayanan kesehatan dapat menyelenggarakan iklan dan/atau publikasi pelayanan kesehatan melalui media. Penyelenggaraan iklan dan/atau publikasi harus sesuai dengan etika iklan dan/atau publikasi yang diatur dalam kode etik rumah sakit Indonesia, kode etik masing-masing tenaga kesehatan, kode etik pariwara, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.[5]

Fasilitas pelayanan kesehatan dalam menyelenggarakan iklan dan/atau publikasi harus memenuhi syarat meliputi:[6]

  1. memuat informasi dengan data dan/atau fakta yang akurat;

  2. berbasis bukti;

  3. informatif;

  4. edukatif; dan

  5. bertanggung jawab.

Ketentuan Iklan Pengobatan Alternatif dalam Melakukan Promosi di Televisi

Iklan dan/atau publikasi yang dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan media luar ruang wajib mencantumkan nama dan alamat fasilitas pelayanan kesehatan serta tanggal publikasi.[7]

Televisi sebagaimana yang Anda sebutkan termasuk jenis media elektronik. Media elektronik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang kami akses dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah sarana media massa yang menggunakan alat-alat elektronik modern, misalnya radio, televisi, dan film.

Sebuah iklan dan/atau publikasi pelayanan kesehatan tidak diperbolehkan apabila bersifat:[8]

  1. menyerang dan/atau pamer yang bercita rasa buruk seperti merendahkan kehormatan dan derajat profesi tenaga kesehatan;

  2. memberikan informasi atau pernyataan yang tidak benar, palsu, bersifat menipu dan menyesatkan;

  3. memuat informasi yang menyiratkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan tersebut dapat memperoleh keuntungan dari pelayanan kesehatan yang tidak dapat dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan lainnya atau menciptakan pengharapan yang tidak tepat dari pelayanan kesehatan yang diberikan;

  4. membandingkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan fasilitas pelayanan kesehatan tersebut dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, atau mencela mutu pelayanan kesehatan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya;

  5. memuji diri secara berlebihan, termasuk pernyataan yang bersifat superlatif dan menyiratkan kata "satu-satunya" atau yang bermakna sama mengenai keunggulan, keunikan atau kecanggihan sehingga cenderung bersifat menyesatkan;

  6. mempublikasikan metode, obat, alat dan/atau teknologi pelayanan kesehatan baru atau non-konvensional yang belum diterima oleh masyarakat kedokteran dan/atau kesehatan karena manfaat dan keamanannya sesuai ketentuan masing-masing masih diragukan atau belum terbukti;

  7. mengiklankan pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang fasilitas pelayanan kesehatannya tidak berlokasi di negara Indonesia;

  8. mengiklankan pelayanan kesehatan yang dilakukan tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki izin;

  9. mengiklankan obat, makanan suplemen, atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar atau tidak memenuhi standar mutu dan keamanan;

  10. mengiklankan susu formula dan zat adiktif;

  11. mengiklankan obat keras, psikotropika dan narkotika kecuali dalam majalah atau forum ilmiah kedokteran;

  12. memberi informasi kepada masyarakat dengan cara yang bersifat mendorong penggunaan jasa tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut;

  13. mengiklankan promosi penjualan dalam bentuk apa pun termasuk pemberian potongan harga (diskon), imbalan atas pelayanan kesehatan dan/atau menggunakan metode penjualan multi-level marketing;

  14. memberi testimoni dalam bentuk iklan atau publikasi di media massa; dan

  15. menggunakan gelar akademis dan/atau sebutan profesi di bidang kesehatan.

Jadi pada dasarnya pelayanan kesehatan dapat menyelenggarakan iklan dan/atau publikasi pelayanan kesehatan melalui media. Tetapi ada beberapa ketentuan yang harus ditaati sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Sehubungan dengan keterangan Anda, maka pelayanan kesehatan (pengobatan alternatif) yang ditayangkan di televisi tersebut pada dasarnya dilarang melakukan promosi/iklan hanya dengan bermodal testimoni, menipu masyarakat, dan menyampaikan metode yang tidak jelas/diragukan/belum terbukti manfaat dan keamanannya. Untuk memutuskan iklan tersebut melanggar atau tidak tentu perlu penilaian atau pembuktian lebih lanjut.

Untuk menilainya, maka ada Tim Penilaian dan Pengawasan Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan di lingkungan Kementerian Kesehatan yang berwenang untuk melakukan penilaian dan pengawasan atas materi iklan dan/atau publikasi pelayanan kesehatan sebelum dan setelah ditayangkan.[9]

Dalam melakukan tugasnya, Tim Penilaian dan Pengawasan Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan tersebut berwenang untuk:[10]

  1. memberi konsultasi atas materi iklan dan/atau publikasi pelayanan kesehatan yang akan ditayangkan.

  2. menerima, menelaah, dan memeriksa laporan pengaduan dari masyarakat mengenai iklan dan publikasi pelayanan kesehatan;

  3. memanggil dan meminta keterangan saksi dan/atau pelapor;

  4. memeriksa dokumen, bukti informasi, dan teknologi atau bukti-bukti lainnya;

  5. merujuk tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan pelanggaran atas ketentuan peraturan ini ke Majelis Kehormatan Etik Profesi, Majelis Disiplin Profesi, dan/atau Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit Indonesia; dan

  6. memberi rekomendasi kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk untuk mengambil tindakan administratif.

Sanksi

Jika berdasarkan penilaian, iklan tersebut tidak sesuai dengan aturan, maka Menteri Kesehatan dan/atau kepala dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dalam bidang kesehatan di tingkat provinsi, dapat memerintahkan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan untuk mengubah, menarik, menghilangkan atau menghentikan iklan dan/atau publikasi pelayanan kesehatan yang melanggar itu ketentuan Permenkes 1787/2010 dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.[11]

Dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tidak mengubah, menarik, menghilangkan, dan/atau menghentikan iklan dan/atau publikasi, Menteri Kesehatan dan/atau kepala dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dalam bidang kesehatan di tingkat provinsi, dapat mengambil tindakan administratif berupa:[12]

  1. pencabutan surat izin operasional/surat izin praktik/surat izin kerja/surat izin profesi untuk sementara waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan

  2. pencabutan surat izin operasional/surat izin praktik/surat izin kerja/surat izin profesi untuk selamanya.

Tindakan administratif harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja.[13] Selain tindakan administrasi, tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar dapat dikenakan sanksi yang ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Etik Profesi, Majelis Disiplin Profesi, dan/atau Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit Indonesia.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Referensi:

Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 16 April 2018 pukul 13.45 WIB.

[1] Pasal 2 Permenkes 1787/2010

[2] Pasal 1 angka 3 Permenkes 1787/2010

[3] Pasal 1 angka 1 Permenkes 1787/2010

[4] Pasal 1 angka 6 Permenkes 1787/2010

[5] Pasal 3 Permenkes 1787/2010

[6] Pasal 4 ayat (1) Permenkes 1787/2010

[7] Pasal 4 ayat (2) Permenkes 1787/2010

[8] Pasal 5 Permenkes 1787/2010

[9] Pasal 11 ayat (1) dan (2) Permenkes 1787/2010

[10] Pasal 11 ayat (3) Permenkes 1787/2010

[11] Pasal 14 ayat (1) Permenkes 1787/2010

[12] Pasal 14 ayat (2) dan (4) Permenkes 1787/2010

[13] Pasal 14 ayat (3) Permenkes 1787/2010