Red: Damanhuri Zuhri REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab Selain itu, kita juga sering berdoa: “Allhumma inni as’aluka ridhaka wal jannah, wa a’udzu bika min sakhathika wan nar.” Artinya: Ya Allah aku (kami) memohon kepada-Mu akan ridha-Mu dan surga; dan aku (kami) berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan siksa neraka. Dalam konteks ini kita patut bertanya kepada diri sendiri: “ Apakah selama ini kita sudah ridha terhadap Allah, Islam dan Nabi Muhammad SAW? Dan mengapa kita perlu memohon ridha Allah?”Ridha merupakan bentuk mashdar (infinitive), dari radhiya-yardha yang berarti: rela, menerima dengan senang hati, cinta, merasa cukup (qana’ah), berhati lapang. Bentuk lain dari ridha adalah mardhat dan ridhwan (yang super ridha). Antonim kata ridha adalah shukht atau sakhat, yang berarti murka, benci, marah, tidak senang, dan tidak menerima. Ridha adalah engkau berbuat sesuatu yang membuat Allah senang atau ridha, dan Allah meridhai apa yang engkau perbuat. Ridha hamba kepada Allah berarti ia menerima dan tidak membenci apa yang menjadi ketetapan Allah. Sedangkan ridha Allah kepada hamba berarti Dia melihat dan menyukai hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.Ada dua dimensi ridha, yaitu ridha billah dan ridha ‘anillah. Ridha billah atau rela dan cinta kepada Allah berarti bersedia mengimani dan menjadikan-Nya sebagai Dzat yang wajib diibadahi, tidak menyekutukan-Nya, dimintai pertolongan, dan ditaati syariat-Nya. Sedangkan ridha ‘anillah berarti hamba menerima ketentuan, takdir, rizki, dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh-Nya. Ridha dalam konteks ini tidak berarti hamba menyerah-pasrah tanpa usaha, berdoa dan bertawakkal. Sebaliknya, hamba diharuskan memahami hukum sebab-akibat, berusaha maksimal dan berdoa. Ridha kepada Allah mengharuskan hamba untuk selalu beriman kepada-Nya, termasuk percaya kepada qadha dan qadar-Nya; mencintai dan menaati syariat-Nya; mencintai Rasul-Nya dan mengikuti keteladananya; menjadikan Islam sebagai agama pilihan hidupnya; dan mengorientasikan hidupnya dengan penuh keikhlasan untuk meraih cinta dan ridha-Nya. Oleh karena itu, ada tiga kategori ridha yang harus ditapaki hamba. Pertama, ridha bi syar’illah (syariat Allah) berarti menerima dan menjalankan syariat-Nya dengan ikhlas dan penuh dedikasi. Kedua, ridha bi qadha’illah (ketentuan Allah) berati tidak menolak dan membenci apa yang telah ditetapkan Allah, termasuk segala sesuatu yang tidak menyenangkan (musibah), karena ujian dari Allah merupakan tangga peningkatan derajat iman. Ketiga, ridha bi rizqillah (rezeki Allah) berarti menerima dan merasa cukup (qana’ah) terhadap rezeki yang dianugerahkan kepadanya, tidak rakus dan tidak serakah, meskipun sedikit dan belum mencukupi kebutuhannya. Dengan demikian, menggapai ridha Allah itu merupakan keharusan bagi setiap Muslim, karena Allah menjadikan ridha itu sebagai syiar kehidupan akhirat.“Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa senang (ridha) karena usahanya (sendiri), (mereka) dalam surga yang tinggi.. (QS. al-Ghasyiyah/88: 8-10). Allah selalu memanggil hamba-Nya yang berhati ridha. “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr/89: 27-28) Selain itu, Allah menjadikan ridha itu sebagai salah satu syarat terwujudnya rukun iman. Seseorang tidak disebut beriman manakala tidak ridha terhadap segala ketentuan Allah. Ridha juga dapat mengantarkan Mukmin menjadi mukhlis, tulus ikhlas karena Allah sehingga amalan-amalannya dapat diterima oleh-Nya. Ridha juga dapat menjadi obat hati yang dapat menangkal segala penyakit hati, sekaligus dapat membuat hati lapang dan merasa qana’ah terhadap segala pemberian Allah. Ridha merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hidup Muslim menjadi tenang, damai, tenteram, tidak diliputi keresahan dan kegalauan. Ridha merupakan salah satu jalan yang mengantarkan kepada pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Dengan ridha, hamba dapat menghiasi dirinya dengan akhlak mulia, menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan sia-sia, karena standar ridha kepada Allah itu menuntut hamba untuk selalu taat dan bertaqwa kepada-Nya.Menggapai ridha Allah senantiasa dilakukan dengan memperoleh ridha kedua orang tua dalam segala hal. Rasulullah Saw bersabda: “Ridha Allah itu tergantung pada ridha kedua orang tua; dan kemurkaan Allah itu juga tergantung pada kemurkaan keduanya.” (HR. Muslim) Untuk lebih memantapkan usaha kita dalam menggapai ridha-Nya, ada baiknya kita selalu berdoa: "Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.“ (QS. an-Naml/27: 19)
Salah satu derajat yang harus dicapai seorang muslim adalah menjadi seorang mukmin. Untuk melihat ciri seorang mukmin, Allah berfirman dalam Al-Quran Surat Ali-Imron ayat 113-114, yang artinya : “Mereka itu tidak (seluruhnya) sama. Di antara Ahli Kitab ada golongan yang jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka juga bersujud (shalat). Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk orang-orang saleh.” DARI firmah Allah itu, ada empat perilaku yang menunjukkan bahwa seseorang mempunyai ciri seorang mukmin, yaitu : Pertama, orang mukmin jika bekerja akan cepat, tidak pernah dinanti-nanti. Kedua, ketika bekerja paling semangat. Ketiga, paling depan ketika berbuat baik. Keempat, tidak pernah mempunyai niat untuk berbuat jahat. Semua perbuatan itu harus dijalankan dengan ikhlas, seperti dicontohkan Rasulullah yang selalu menghabiskan waktu malam untuk sujud dan ruku meminta ridho-Nya. Rasulullah mencontohkan untuk tidak pernah lelah dalam melakukan sesuatu, karena ikhlas dalam menjalankannya. Sebagai karyawan-karyawati, kita harus meniru sikap Rasulullah yang tak kenal lelah beribadah dan bekerja atas nama Allah, bukan yang lainnya. Padahal Rasulullah adalah manusia yang akhlaqnya paling mulia, pasti terbebas dari semua dosa, dan dijamin masuk surga. Bekerja dengan hati ikhlas dan bulat tekad karena Allah akan memudahkan perjalanan karier kita ke depan. Ada tiga tingkatan orang ikhlas. Pertama, orang beribadah karena Allah, namun masih dikaitkan dengan urusan dunia. Contohnya, semangat bekerja jika ada pimpinan, karena ingin mendapat pujian. Kedua, ibadah karena Allah, namun masih dikaitkan ingin masuk surga dan menghindari neraka. Ketiga, beribadah karena Allah tidak ada iming-iming lain kecuali hanya karena Allah. Sebab, apapun yang Allah kehendaki, tentu Allah sudah ridho. Ikhlas jenis terakhir inilah ikhlas yang sangat dimuliakan. Orang ikhlas hatinya senantiasa terbuka, karena mendapat cahaya iman dan takwa dari Allah SWT. Sebaliknya, celakalah bagi orang yang suka melanggar, karena memiliki hati yang sangat keras untuk ingat kepada Allah. Mereka itulah yang berada dalam kesesatan yang nyata. Agar tidak sesat dan selalu dicintai Allah SWT, Al-Quran Surat Al-Anbiya ayat 19-20 memberi petunjuk : “ Dan milik-Nya siapa yang di langit dan di bumi. Dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya, tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih tidak henti-hentinya malam dan siang.” Ada tiga hal yang harus diperhatikan manusia dalam berperilaku agar dicintai Allah. Pertama, tidak sombong dan angkuh. Allah akan mencintai hambaNya yang senantiasa rendah hati dan tidak sombong. Kemuliaan di depan Allah bukan karena warna kulit, jabatan, atau ilmu, tetapi karena takwa. Perilaku sombong dan angkuh merupakan induk dosa. Berawal dari sombong dan angkuh akan menyebabkan perilaku-perilaku lain yang tidak diridhoi Allah. Tanda kedua orang yang dicintai Allah adalah ketika manusia beribadah, baik beribadah kepada Allah maupun kepada masyarakat. Kalau kita bekerja, niatkan karena Allah, bukan karena uang dan yang lainnya. Bila di dunia tidak didapat, kelak di akhirat Allah akan memberi kesempatan dan kebahagiaan yang luas, karena kita bekerja karena Allah. Tanda terakhir orang yang dicintai Allah adalah dia selalu mengingat Allah. tidak ada hentinya. Dalam Al-Quran ada pesan : “Saat kalian selesai menunaikan shalat, jangan berhenti untuk ingat kepada Allah.” v (wasu / DK) Tausyah Ustadz Hapid, Dosen UIN, dalam Manajemen Qalbu di hadapan pimpinan, karyawan dan, karyawati DBMPR Provinsi Jawa Barat.
|