Energi nuklir adalah salah satu energi yang efisien dan ramah lingkungan. negara maju sepe

Energi nuklir adalah salah satu energi yang efisien dan ramah lingkungan. negara maju sepe
Selain krisis ekonomi dan energi, pemanasan global (global warming) adalah problem nyata yang harus dihadapi dunia sejak awal abad 21 ini. Nuklir sebagai sumber energi yang sedikit mengeluarkan gas rumah kaca bisa menjadi salah satu pilihan dalam upaya kita menghadapi pemanasan global. Meski begitu aspek keamanan dan keselamatan bagi masyarakat dan lingkungan tetap harus menjadi prioritas utama.


Pengurangan emisi CO2, salah satu jenis gas rumah kaca penyebab pemanasan global adalah merupakan tantangan utama peradaban modern. Efisiensi penggunaan energi, pengurangan eskploitasi energi fosil (batubara, minyak dan gas) dan optimalisasi energi baru terbarukan merupakan langkah nyata yang harus kita lakukan bersama.


Energi nuklir sebagai sumber energi yang sedikit mengeluarkan gas rumah kaca menjadi salah satu pilihan guna mendukung upaya pelestarian lingkungan. Namun berkaca dari pengalaman terkini pemanfaatan energi nuklir, upaya peningkatan standar keselamatan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir akan tetap menjadi prioritas utama guna menjaga keselamatan lingkungan dan manusia, sekaligus menjawab tantangan pemanasan global.


Berbagai fenomena yang muncul, seperti perubahan cuaca yang sangat dinamis, kenaikan permukaan air laut, penurunan hasil panen pertanian dan perikanan, serta perubahan keanekaragaman hayati, secara nyata telah mempengaruhi kehidupan manusia, mulai dari kesehatan, perubahan standar kehidupan, kesejahteraan/ekonomi dan keselamatan. Kini komunitas global menyadari perlunya tindakan nyata untuk mengatasi pemanasan global melalui berbagai aktivitas yang dikenal dengan semboyan Go Green. Aktivitas Go Green didasarkan pada konsep pengurangan emisi gas CO2 sebagai salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global.


Berbicara tentang konsep Go Green di Indonesia sangat erat kaitannya dengan sektor energi yang merupakan sektor dengan kontribusi terbesar emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Saat ini sektor energi menyumbangkan 2/3 dari total GRK yang 30 persennya bersumber dari penggunaan pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil. Hingga saat ini, pasokan energi di tanah air masih bergantung pada sumber energi fosil.


Namun begitu, sebagai negara besar Indonesia akan menjadi bagian dalam upaya bersama warga dunia mengatasi masalah pemanasan global. Dalam forum G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat serta dalam pertemuan COP 15 di Copenhagen tahun 2009, Presiden RI menegaskan bahwa hingga 2020 Indonesia bisa menurunkan emisi GRK sebesar 26% dan bahkan bisa mencapai sebesar 41% dengan bantuan negara maju. Pernyataan serupa disampaikan kembali pada kunjungan Presiden ke Norwegia akhir bulan Mei 2010. Hal itu bisa dicapai tentunya dengan cara optimalisasi pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) yang rendah emisi gas rumah kaca, atau dikenal dengan istilah Green Energy.


Nuklir, Green Energy?


Berdasarkan data IAEA (International Atomic Energy Agency) polusi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik paling banyak bersumber dari pembangkit yang menggunakan bahan bakar fosil yakni batu bara, minyak bumi atau solar dan gas alam. Sebagai ilustrasi, setiap kWh energi listrik yang diproduksi oleh penggunaan energi fosil menghasilkan gas rumah kaca sebesar 974 gr CO2, 962 mg SO2 dan 700 mg NOX, sementara energi nuklir hanya menghasilkan 9 – 21 gram CO2/kWH. Studi ini disusun berdasarkan metode Life Cycle Analysis, suatu analisis yang menyeluruh dari hulu sampai hilir, mulai penambangan, transportasi, konstruksi pembangkit sampai operasi. Karena itu saat ini PLTN di dunia telah berhasil menurunkan pembakaran CO2 sebesar 2 gigaton per tahunnya.


Ini menunjukkan bahwa diantara berbagai jenis pembangkit listrik yang ada saat ini, nuklir merupakan pembangkit yang bersih dan ramah lingkungan, sehingga dapat digolongkan ke dalam green energy bersama dengan EBT lainnya, seperti energi surya, angin dan air. Sebagai sumber energi yang (hampir) bebas karbon, energi nuklir berpotensi untuk dijadikan salah satu opsi energi alternatif.


Keselamatan Lingkungan dan Masyarakat adalah Prioritas


Belajar dari pengalaman terkini kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi Jepang pasca gempa dan tsunami yang menimpa negara tersebut, sedianya industri nuklir terus melakukan pengembangan sistem keselamatan operasional PLTN untuk menjamin keselamatan masyarakat dan lingkungan.


Pelajaran terpenting yang bisa dipetik dari kejadian tersebut adalah desain PLTN masa depan harus mengutamakan sistem keselamatan pasif dan Inhern Safety Fiture yang menjamin keselamatan reaktor nuklir dalam keadaan apapun, termasuk bencana alam yang dahsyat. Selain itu harus dipilih calon lokasi PLTN yang paling aman (probabilitas terjadinya bencana minimal) dan disertai kajian antisipasi kejadian yang paling buruk yang dapat terjadi (Design Basic Accident).


Pengembangan teknologi keselamatan ini akan mendukung pemanfaatan energi nuklir sebagai energi hijau untuk mencegah pemanasan global sekaligus menjamin keselamatan lingkungan dan masyarakat. Go Green dengan energi nuklir.


Sumber: Pusat Diseminasi Iptek Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional

Energi nuklir adalah salah satu energi yang efisien dan ramah lingkungan. negara maju sepe
Ditulis Oleh Agus Puji Prasetyono

Pemanfaatan energi tertentu yang masuk dalam kategori sebagai pilihan terakhir merupakan fluktuasi antara kehampaan dan ketegasan hukum (determinisme dan indeterminisme). Ini merupakan langkah “pengangkangan” kedaulatan dan demokrasi di bidang kemandirian teknologi energi. Sebab, pilihan-pilihan strategis pada jenis energi yang tepat menjadi penting dan mendesak sebagai motor penggerak industri masa depan.

Percaya atau tidak, proyeksi permintaan energi di Indonesia terus meningkat. Ini seiring pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, dan meningkatnya kemampuan rakyat. Tengok konsumsi listrik per kapita yang saat ini mencapai 850 KWh dan terus meningkat, atau prediksi tingginya pertumbuhan jumlah dan dinamika transportasi. Sementara itu, laju penyediaan energi terbentur terbatasnya kemampuan finansial pemerintah dan besarnya subsidi untuk BBM dan listrik di tengah harga pasar yang fluktuatif.

Problematika ini mengakibatkan sulitnya membentuk pasar energi yang efisien di dalam negeri. Ini menyebabkan para produsen energi lebih tertarik untuk mengekspor produk energinya daripada melayani kebutuhan domestik yang tidak kompetitif.

Sementara, ketika Indonesia telah memiliki kedaulatan sumber daya manusia di bidang teknologi nuklir, pemanfaatannya justru selalu kembali pada titik abu-abu (titik awal), yaitu pilihan antara kesatuan (unity) dan perpecahan (disunity). Dengan demikian, posisi nasional menuju sebuah kedaulatan energi berada di ambang penantian besar (the nation is waiting).

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi secara mandiri dan berdaulat, diperlukan sebuah konsistensi dukungan pemerintah, termasuk jaminan dalam menyeimbangkan pertumbuhan kapasitas pembangkit dengan laju permintaan dan kebutuhan energi.

Realitas Energi

Banyak unit pembangkit kita yang berusia uzur, bahkan masih terus beroperasi. Tentu saja ini jauh dari optimal. Di lain pihak, realitas sejumlah wilayah masih mengalami pemadaman listrik secara berkala tak mungkin ditampik. Ini membuktikan bahwa kebutuhan energi belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari pembangkit yang telah beroperasi saat ini.

Kebijakan out of the box dengan tetap mengacu pada konsensus internasional patut dipertimbangkan. Clean energy dengan memanfaatkan pembangkit bertenaga nuklir sebagai pilihan terakhir pun kian terbuka.

Dalam konvensi nasional tentang pemanfaatan energi, Presiden Joko Widodo menekankan bahwa Indonesia sedang bersaing dengan bangsa lain. Untuk itu, harus berani terbuka dan berani berinovasi untuk menjadi bangsa pemenang.

Dibutuhkan sikap tegas tentang sebuah tantangan doktrin teknokrasi. Sikap tegas ini bisa dari bagaimana sebuah kebijakan inovasi dapat diimajinasikan, diformulasikan, dan diimplementasikan ke dalam kerangka pembangunan jangka panjang berbasis pada kemandirian.

Mengukur keberhasilan sebuah inovasi dapat dilihat pada turun atau naiknya posisi dalam peringkat Global Competitiveness Index. Peringkat ini ditentukan melalui 12 pilar inovasi, antara lain tingginya potensi keunggulan komparatif sebagai faktor solusi atas tantangan dan hambatan dalam mewujudkan Indonesia sebagai salah satu kutub kekuatan ekonomi dunia.

Gambaran tidak terpenuhinya ketersediaan energi listrik fosil sesungguhnya sudah di depan mata. Data empiris menyebut jika batu bara dan gas akan habis pada 2087 dan 2052. Berharap pada energi dari fosil untuk mewujudkan prinsip keberlanjutan tentu akan membahayakan.

Sudah saatnya, penggunaan teknologi energi konvensional dialihkan ke teknologi energi bersih dan ramah lingkungan. Ini sekaligus juga untuk memenuhi komitmen Indonesia terhadap COP-21 dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada 2030.

Transformasi menuju negara maju dan berdaya saing memang tengah dilakukan Indonesia. Untuk itu, pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sebuah tuntutan. Namun, ada kejanggalan bila ketentuan pemanfaatan energi baru dan terbarukan mengesampingkan energi nuklir. Sebab, tidak ada satu sumber energi listrik di Indonesia yang bisa memenuhi pasokan energi nasional berskala besar sebagai based load, selain nuklir.

Manfaat Energi Nuklir

Dalam hitungan, sebuah pembangkit dengan bahan bakar batu bara atau gas untuk 1.000 MW selama satu tahun memerlukan bahan bakar sebesar 21 ton uranium (PLTN). Ini setara dengan 970.000 ton gas, 1.310.000 ton bahan bakar minyak, dan 2.360.000 ton batu bara. Realitas tersebut membuktikan bahwa PLTN mampu memenuhi keekonomian dan dapat dipertimbangkan sebagai energi pilihan.

Mengapa PLTN menjadi penting? Berdasarkan analisis makroekonomi di berbagai studi telah menjawab. PLTN merupakan teknologi tunggal dan paling murah dalam segala situasi. PLTN juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan lapangan pekerjaan di seluruh lini ekonomi (multiplier effects). PLTN hadir sebagai spill over knowledge, impuls yang bakal menumbuhkan industri yang memiliki daya saing, kemandirian, serta mampu mewujudkan kesejahteraan anak negeri.

Pemanfaatan energi nuklir akan bermakna jika faktor kritis akselerasi implementasi kebijakan dapat integrasikan dan dipertimbangkan dengan baik, yakni perlunya peningkatan anggaran untuk riset sedikitnya sebesar 1% PDB.

Dengan anggaran tersebut, para peneliti, perekayasa, dan akademisi dapat memulai sebuah lompatan baru memperkecil ketertinggalan inovasi, terutama dalam melakukan persiapan penguasaan teknologi pembangkit energi bersih, melimpah, dan berkelanjutan. Langkah berani ini tentu berdampak pada lahirnya skema baru dalam peta energi nasional.

Ada lima kriteria pemanfaatan nuklir sebagai energi listrik. Pertama, teknologi yang dipilih harus sudah matang dan teruji. Kedua, dibutuhkan dukungan pemerintah dan penjaminan untuk menjangkau biaya teknologi. Ketiga, adanya rancangan smart business model. Keempat, dukungan kuat atas infrastruktur dasar dan pendukungnya, dan kelima adalah pengakuan kemampuan oleh dunia internasional dalam mengelola dan mengoperasikan tiga reaktor riset, fasilitas produksi bahan bakar nuklir dan fasilitas pengolahan limbah radioaktif.

Sementara itu, kemampuan SDM dipenuhi dari tenaga ahli dan terampil dari BATAN, BPPT, BAPETEN, UGM, ITB, UI, STTN dan lain-lain yang diakui sebagai “top level nuclear engineer and technology,” di Asia Tenggara. Dengan demikian, tidak ada keraguan dalam mewujudkan pembangunan PLTN di Indonesia.

Penulis : Agus Puji Prasetyono

Staf Ahli Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Bidang Relevansi dan Produktivitas. Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.