Pada pemaparan di atas telah rinci dijelaskan pengertian dari keluarga yang harmonis dan beberapa aspek yang mempengaruhi bagi terwujudnya keluarga katolik yang harmonis. Selain teori-teori keharmonisan di atas, keluarga keluarga katolik yang harmonis juga diungkapkan dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja. Menurut Kitab Kejadian 1:26-28 diceritakan bahwa Allah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan. Dari ungkapan tersebut menunjukkan bahwa adanya pria dan wanita adanya seksualitas (yang dimengerti sebagai kenyataan sebagai pria dan sebagai wanita). Seksualitas tersebut dikehendaki oleh Allah karena pria dan wanita diciptakan-Nya, sehingga dengan demikian seksualitas itu merupakan hal yang baik, berharga, dan suci (Purwa Hadiwardoyo, 1988:12). Laki-laki dan perempuan kemudian diberkati oleh Allah, sehingga dengan demikian semakin menegaskan bahwa seksualitas itu berasal dari Allah dan dinilai baik oleh-Nya. (Purwa Hadiwardoyo, 1988:13). Sedangkan berdasarkan Kitab Kejadian 2:18-25 yang menceritakan bahwa wanita diciptakan dari “tulang rusuk” pria menunjukkan bahwa secara kodrati pria dan wanita memiliki unsur kesatuan. Selanjutnya diceritakan bahwa wanita itu kemudian “dibawa” oleh Allah kepada pria. Hal tersebut mau mengungkapkan bahwa pertemuan seorang wanita dan seorang pria dalam perkawinan terjadi karena dorongan Allah sendiri (Purwa Hadiwardoyo, 1988:13). Kitab Tobit dalam bab keenam hingga kedelapan menghisahkan bagaimana malaikat Raphael mendorong Tobias agar mengawini Sarah, putri Raguel, dan menegaskan bahwa perkawinan perlu dilaksanakan menurut hukum Musa serta dimeriahkan dengan pesta. Dalam hal ini hukum Musa dipahami sebagai hukum yang berasal dari Allah dan Allah sendirilah yang mendorong agar perkawinan dimeriahkan dengan perayaan. Dari kisah tersebut Kitab Tobit ingin ditentukan oleh Allah sendiri, berdasarkan cinta kasih dan ketulusan hati, yang diawali dengan suatu peresmian hukum yang berlaku serta perayaan yang melibatkan seluruh keluarga (Purwa Hadiwardoyo, 1988:17). Maleakhi 2:10-16 menegaskan bahwa Allah tidak berkenan atas praktek kawin campur agama dan perceraian yang dilakukan oleh orang-orang Israel. Kitab Maleakhi melihat bahwa kawin campur agama dapat merusak “perjanjian” antara Yahwe dan bangsa Israel karena perkawinan yang dilaksanakan oleh orang Israel mempunyai kaitan dengan “perjanjian” antara Yahwe dan Israel. Kitab Maleakhi juga menegaskan bahwa Allah tidak berkenan atas praktek perceraian antara suami-istri Israel. Perkawinan merupakan suatu “perjanjian” maka perceraian antara suami-istri merusak “perjanjian” yang mana Allah sendiri adalah saksi dari perjanjian itu (Purwa Hadiwardoyo , 1988:17). Kitab Hosea 1-3 mengungkapkan makna lain dari perkawinan. Perkawinan suami-istri Israel dipandang sebagai lambang dari hubungan cinta antara Yahwe dan Israel. Yahwe meminta nabi Hosea untuk mengawini wanita sundal, untuk mewahyukan kebenaran bahwa Yahwe telah “mengawini” Israel, walaupun Israel sama sekali tidak pantas menerima kedudukan istimewa itu. Seperti istri Hosea yang kurang setia kepada “suami”nya yang begitu setia, Yahwe tetap setia kepada bangsa Israel meskipun bangsa Israel tidak setia kepada Allah yaitu menyembah dewa-dewi bangsa-bangsa kafir. Penyembahan berhala merupakan bentuk melawan kesetiaan kepada Allah. Begitu pula perzinahan berarti melawan kesetiaan kepada suami (Purwa Hadiwardoyo , 1988:19). kesetiaan kepada Allah dilukiskan secara lebih terperinci dalam seluruh Kitab Kidung Agung. Dalam Kitab Kidung Agung kemesraan sebagai suami-istri tampak sangat jelas antara lain tampak dalam bab pertama di mana mempelai perempuan memuji mempelai pria yang dicintainya dengan sepenuh hati. Dalam bab berikutnya tampak bagaimana mempelai perempuan menyebut mempelai pria sebagai “milik”nya yang ditunjukkan dengan sikap takut akan kehilangan. Sikap mempelai perempuan tersebut ditanggapi oleh mempelai pria dengan menyebut mempelai perempuan sebagai “kegembiraan”nya. Secara keseluruhan Kitab Kidung Agung ingin menyampaikan segi-segi manusiawi dari cinta antara pria dan wanita yang siap menjadi suami-istri. Dengan demikian dari Kitab Kidung Agung ini memberikan pesan yaitu perkawinan harus didasarkan pada cinta yang kuat, dan perkawinan harus menyatukan suami-istri seerat mungkin, serta membangun kebahagiaan bagi keduanya (Purwa Hadiwardoyo , 1988:19). Kitab Amsal memberi pesan lain bagi kehidupan keluarga. Amsal bab 5-6 memberi pesan kepada suami bahwa suami harus menjauhi wanita-wanita selain istrinya sendiri. Suami juga dihimbau untuk untuk tidak membiarkan istrinya berhubungan cinta dengan pria lain. Pernyataan bijak tersebut ingin menunjukan bahwa perkawinan berciri “eksklusif”, terutama dalam hal hubungan seksual sebagai ungkapan cinta suami suami-istri yang paling khas. Amsal menghubungkan ketidaksetiaan suami-istri dengan dosa yang berarti bahwa “eksklusivitas” cinta suami-istri merupakan kehendak Allah sendiri. Dalam bab 31, Amsal menunjukkan gambaran dari seorang istri yang baik. Seorang istri yang bekerja keras, bersedia membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan, dan takut akan Allah. Amsal ingin menegaskan bahwa cinta suami-istri tidak hanya menyangkut kemesraan dan hubungan seksual, melainkan juga menyangkut kebersamaan hidup sehari-hari (Purwa Hadiwardoyo , 1988:21). Perjanjian Baru khususnya Matius 19:1-12 berbicara langsung mengenai masalah perceraian, dan secara tidak langsung bagian tersebut juga memperlihatkan pandangan Yesus tentang hakikat perkawinan. Menurut Yesus, perkawinan sebetulnya dipersatukan oleh Allah sendiri. Dialah yang menyatukan pria dan wanita sedemikian erat, sehingga keduanya menjadi “satu daging” saja (Purwa Hadiwardoyo , 1988:22). Santo Paulus dalam Efesus 5:21-33 menegaskan bahwa hubungan suami-istri kristen harus dilaksanakan menurut hubungan antara Kristus dan Gereja. Seperti Kristus mencintai Gereja, demikianlah seorang suami kristen harus mencintai istrinya. Seperti Gereja menaati Kristus sebagai Kepalanya, demikian seorang istri kristen harus menaati suaminya. Dengan pernyataan itu Santo Paulus menunjukkan ciri “sakramentalis” dari perkawinan kristen, walaupun dalam arti yang amat luas, yakni bahwa perkawinan kristen merupakan “lambang” dari hubungan Kristus dan Gereja (Purwa Hadiwardoyo , 1988:24). Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus yaitu pada bab 7 menegaskan bahwa suami istri harus menghindarkan diri dari godaan untuk berhubungan seksual dengan orang lain karena tubuh suami adalah milik istri dan tubuh istri adalah milik suami. Dengan demikian hakikat perkawinan yang ingin antara seorang pria dan seorang wanita, yang memberikan kepada keduanya hak prerogatif atas hubungan seksual dengan partnernya, dan menjauhkan keduanya dari bahaya percabulan (Purwa Hadiwardoyo , 1988:26). Dari uraian mengenai ajaran Kitab Suci di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hidup keluarga merupakan panggilan dari Allah sendiri. Allah yang mempersatukan seorang pria dan wanita untuk hidup dalam kesatuan cinta kasih. Oleh karena itu keluarga merupakan ikatan persekutuan suci yang diberkati dan dikehendaki oleh Allah. Suami-istri memiliki kewajiban untuk mengupayakan keutuhan hidup bersama itu dengan dituntut suatu kesetiaan. Keutuhan dan kebahagiaan dalam keluarga antara ayah, ibu, dan anak keharmonisan keluarga Katolik. b. Keharmonisan Keluarga Katolik Menurut Dokumen Gereja Hidup berkeluarga mendapat pembahasan penting dalam Konsili Vatikan II, seperti yang ditulis dalam Gaudium et Spes (GS). Gaudium et Spes khususnya artikel 47. Dalam GS 47, konsili melihat adanya tanda-tanda jaman yang dapat merusak kesucian perkawinan dan keutuhan keluarga. Konsili mengingatkan bahwa persekutuan hidup dan kasih suami-istri yang mesra diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali. Pria dan wanita yang karena janji pernikahan “bukan lagi dua, melainkan satu daging” (Mat 19:6), hendaknya saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan mesra antar pribadi dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami-istri yang sepenuhnya dan mengupayakan agar tidak kesatuan tersebut tak terceraikan (GS.47). Yohanes Paulus II dalam Amanat Apostolik “Familiaris Consortio” dalam artikel 19 mengingatkan bahwa persatuan suami-istri berakar dalam kodrat saling melengkapi yang ada antara pria dan wanita, dan dikembangkan dengan kesediaan pribadi suami-istri untuk saling mengambil bagian dalam seluruh proyek hidup mereka, untuk saling membagi segala milik dan keberadaan mereka: maka persatuan seperti itu merupakan buah dan tanda dari kebutuhan yang sungguh bersifat manusiawi (Seri Bina Keluarga, 1994:42). Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa perkawinan sebagai pemberian diri timbal balik, persatuan mesra, maupun kesejahteraan anak-anak mewajibkan suami-istri untuk setia seutuh-utuhnya dan menuntut adanya kesatuan yang tak terceraikan antara mereka (Seri Bina Keluarga, 1994:43). Dari amanat Yohanes Paulus II ini tampak bahwa kebahagiaan keluarga terletak pada persatuan dan kesetiaan suami-isrti. Kesatuan dan kesetiaan yang terbangun akan membawa keluarga pada kekuatan untuk mewujudkan tujuan-tujuan perkawinan katolik yang membahagiakan.
Oleh: Hikmat Widayat dan Hasiyati Banyak orang telah mampu membicarakan komitmen. Sejatinya, komitmen adalah sebuah kesepakatan atau perjanjian untuk melakukan sesuai di masa depan atau sesuatu yang telah disepakati sebelumnya. Lebih lagi dijelaskan bahwa komitmen merupakan suatu keteguhan untuk berjanji kepada diri sendiri yang akan mengacu dan merangsang seseorang untuk terus berjuang dalam mencapai target yang dicita-citakan serta tidak akan berhenti sebelum target tersebut tercapai. A. Pentingnya Komitmen dalam Pernikahan Komitmen dalam pernikahan melebihi komitmen dalam perjanjian apapun. Islam memandangan pernikahan sebagai komitmen yang kokoh, sejajar komitmen Allah dengan para nabiNya. Oleh karena itu, suami istri harus bertanggung jawab untuk menjaga komitmen yang diucapkan pada ijab kabul secara Islam, dan penerimaan Sakramen Perkawinan dalam agama Katholik. Menjaga komitmen berarti berupaya merawat cinta dan kasih sayang yang telah Allah Tuhan Yang Maha Esa, tiupkan ke dalam sanubari, ketentraman akan dirasakan, tetapi sebaliknya, jika mengabaikan komitmen berarti menyia-nyiakan anugerah yang telah diberikan sehingga ketentraman tidak pernah didapatkan. Bila mengharapkan kebahagiaan dalam pernikahan, ada 7 hal penting dalam pernikahan yang harus segera disudahi agar hal itu tidak sampai menghancurkan pernikahan.
Seorang istri tidak berhak mendapatkan perlakukan kasar dari suaminya. Suami dan istri adalah rekan yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga baik yang dilakukan secara fisik maupun kata-kata harus segera dihentikan. Kekerasan di dalam rumah tangga sangat tidak manusiawi dan itu sangat mengerikan. Perselingkuhan adalah sebuah pengkhianatan, ketika salah satu pasangan mengkhianati rekannya. Tidak ada kebahagiaan sejati yang bisa dirasakan oleh mereka yang mengkhianati pasangannya, kesenangan yang dirasakannya hanya bersifat sementara namun mengandung dosa besar kebahagiaan sejati dalam rumah tangga hanya bisa diperoleh melalui sikap saling setia. Sebagai rekan dalam kehidupan pernikahan hendaknya suami istri tidak mengabaikan pentingnya komunikasi. Melalui komunikasi yang baik segala macam permasalahan serta kesalahpahaman akan bisa diatasi dengan baik. Ibarat membangun sebuah rumah di atas batu karang, membangun sebuah hubungan yang sehat harus dilandasi kejujuran, tanpanya mustahil kebahagiaan yang sejati dapat terwujud. Dalam sebuah pernikahan, kejujuran adalah batu karang itu. Sikap saling terbuka di antara setiap pasangan tidak akan memberi peluang bagi kecurigaan dan prasangka buruk tumbuh di dalam kehidupan pernikahan.
Sebuah hubungan pernikahan, setiap pasangan wajib untuk saling peduli dan memerhatikan satu sama lain. Segala bentuk keegoisan dan sikap mementingkan diri sendiri dapat menghancurkan hubungan tersebut. Dengan demikian, bila suami istri memiliki satu tujuan, tidak hanya suami istri yang berbahagia tetapi juga seluruh anggota keluarga. Pornografi dan narkoba adalah tidak bermoral dan sangat merendahkan martabat diri sendiri. Berbagai macam cemoohan dan tudingan miring dari masyarakat akan diterima, dampaknya seluruh anggota keluarga akan merasakannya. Sebagai nahkoda dalam sebuah batera rumah tangga, suami istri wajib untuk menunjukkan rasa kepedulian mereka terhadap satu sama lain sebagai perwujudan rasa tanggung jawab dan kasih. Namun, bila salah satu pasangan atau bahkan keduanya sudah tidak lagi saling peduli, maka mereka tidak akan pernah tahu ke mana akan menyandarkan bahtera mereka. B. Pentingkah Komitmen? Idealnya, pasangan suami istri menentukan komitmen atau kesepakatan sebelum mereka menikah. Berikut adalah contoh beberapa pertanyaan komitmen yang perlu dibicarakan. a. Siapa bendaharanya? Hal terpenting adalah transaparansi antara calon suami dan calon istri. Kedua belah pihak sama-sama tahu penghasilan masing-masing, dan yang paling penting adalah cara memaksimalkans serta mengatur uang tersebut. Terdapat beberapa konsep yang dapat diatur dan dijalankan bersama-sama. Sebelum menyerahkan gaji kepada istri, suami sebaiknya menentukan anggaran per bulan untuk dirinya sendiri. Gaji yang diserahkan kepada istrinya untuk kebutuhan bersama. Kedua belah pihak harus pintar mengatur agar satu sama lain tidak begitu bergantung. Sangat perlu membuat anggaran keuangan bulanan yang jelas, mulai dari biaya listrik, telepon, air, makan, pendidikan, pendidikan anak, kesehatan, rekreasi, tabungan, dan hal lain yang tidak terduga. b. Tinggal dimana? Tak jarang, lantara belum punya tempat tinggal sendiri, pasangan suami istri masih tinggal di rumah orang tua atau mertua. Idelanya dalam satu rumah ada satu keluarga dengan satu kepala keluarga. Jika satu rumah ada lebih dari satu kepala keluarga, sudah tidak sehat. Jika tinggal di rumah sendiri, pasangan suami istri memiliki kemandirian untuk mengatur rumah tangga, mulai dari mengatur keuangan, tata letak rumah, hingga kondisi rumah. Sebaliknya, berikut hal-hal yang mungkin terjadi jika tinggal dengan mertua adalah:
c. Punya Anak atau Tidak Hal ini perlu dibahas sebelum menikah. Jangan sampai setelah menikah, salah satu dari pasangan ingin segera memiliki anak, pasangan lainnya tidak. Jika ingin memiliki anak, sebaiknya pasangan suami istri melakukan tes kesehatan pranikah. d. Istri bekerja atau jadi ibu rumah tangga? Pertannyaan ini berhubungan dengan kondisi ekonomi. Jika sebelum calon istri telah bekerja dan suami tetap menginginkan istri bekerja, istri perlu pintar membagi waktu antara pekerjaan dan rumaht angga. Apalagi jika kelak memiliki anak. Kendati edmikian, mengurus rumah tangga dan anak tidak dibebankan sepenuhnya kepada istri. Idealnya, rumah tangga dan anak dapat dikerjakan berdua. Telah disadari bersama bahwa komitmen adalah hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Komitmen adalah hal yang lebih berat dari sebuah janji dan tepat waktu. Komitmen berbicara tentang seluruh aspek kehidupan manusia yang pada akhirnya berjalan beriringan dengan pencapaian visi misi hidup dalam membangun sebuah keluarga. Tidak dipungkiri bahwa komitmen dalam sebuah pernikahan jauh lebih rumit daripada komitmen sebuah pekerjaan. Berikut adalah tips sederhana untuk menyempurnakan komitmen sebuah pernikahan. a. Mengenal karakter masing-masing Pernikahan adalah penyatuan dua karakter manusia yang berbeda. Pengenalan karakter ini tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sebentar. Butuh kesabaran selama proses pengenalan karakter berlangsung. Tentunya, karakter besar dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diyakini serta perilaku lingkungan terdekat. b. Pemeliharaan kasih sayang Bila karakteri salah satu topik yang tidak dapat terhindarkan, maka kasih sayang pun adalah hal penting dalam upaya menjaga komitmen. Secara logika, antara karakter dan kasih sayang memiliki keterikatan yang tidak putus. Bila kasing sayang terbangun sempurna, pengenalan karakter bukan hal sulit yang dilakukan. Karena dalam upaya pengenalan karakter, dibutuhkan kasih sayang antara dua insan. Kasih sayang dapat diwujudkan dalam beberapa cara sederhana. Seperti Rasulullah SAW yang menyapa Aisyah dengan panggilan yang memanjakan, dengan gelar yang menyenangkan. Suami atau istri harus menampilkan sosok diri dan pribadi yang dapat menumbuhkan rasa tenteram, senang, dan kerinduan. c. Penataan ekonomi Bukan hal yang tabu lagi bila ekonomi menjadi pertimbangan sebelum bersepakat membangun keluarga. Sebagian calon suami maupun calon istri menyepakati beberapa hal, termasuk di dalamnya adalah penataan ekonomi. Dalam Islam telah dijelaskan dan ditegaskan bahwa suami memiliki tanggung jawab dan kewajiban memberi nafkah kepada keluarganya. Namun selalu tidak menutup kemungkinan bagi istri untuk membantu suami dalam kegiatan penataan ekonomi rumah tangga. Selama sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan syariah Islam yang ditetapkan. d. Pembagian beban Beban yang dimaksud adalah tanggung jawab dalam keluarga. Bukan hanya hal nafkah menafkahi, namun kepada tanggung jawab dan tugas dalam rumah tangga. Meski istri memiliki beban mengurusi rumah tangga dan anak-anak, tetapi bukan berarti suami tidak memiliki tugas tersebut. Saling tolong menolong, saling mengasihi, mengutamakan kepentingan orang lain, dan tentunya saling berbagi peran dalam segala aspek kehidupan dalam rumah tangga. Seperti teladan yang telah ditunjukkan Rasulullah dalam sebuah riwayat shahih, cara beliau bercengkrama dengan anak cucu, menyapu rumah, bahkan menjahit baju yang koyak. Hal itu hanya beberapa contoh peran sang istri yang Rasulullah SAW ambil alih sebagai salah satu pembagian tanggung jawab di dalam rumah tangga. e. Penyegaran Tidak dipungkiri bahwa manusia akan mengalami kejenuhan. Jenuh bisa karena rutinitas yang tidak pernah berhenti dan selalu sama setiap harinya. Rehat sejenak menjadi pilihan bagi sebuah keluarga untuk meningkatkan kebugaran diri yang telah direnggut untuk menyelesaikan rutinitas sehari-hari. Lebih dari itu, ketika penyegaran dilaksanakan, banyak hal yang perlu diingatkan kembali. Cara bercanda, melepaskan diri dari rutinitas, dan tentu saja diskusi ringan antara anggota keluarga. Bisa jadi, belanja bersama menjadi rutinitas kecil sebagai cara penyegaran yang sederhana yang bisa dilakukan di sela-sela waktu liburan yang singkat. Beberapa hal di atas merupakan cara-cara untuk membangun komitmen bersama. Berikut adalah perilaku pencerminan komitmen yang telah dibuat.
C. Apresiasi Pernikahan Pernikahan yang langgeng tidak luput dari keharmonisan yang berhasil diciptakan oleh pasangan. Apresiasi adalah suatu proses melihat, mendengar, menghayati, menilai, menjiwai, dan membandingkan atau penilaian terhadap sesuatu. Dalam hal pernikahan, apresiasi atau penghargaan dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Memberikan nama panggilan kesayangan yang manis dan baik adalah hal kecil yang dapat dilakukan oleh pasangan. Mulailah dari sekarang, saat ini, dimana saja kita berada menjaga kepercayaan yang sudah diberikan dari pasangan, agar tercipta keluarga harmonis yang menjadi inspirasi keluarga lain yang ada isekitar kita, dan jangan lupa saling memuji. |