Bilamana suatu konflik dapat terjadi berikan analisis anda

Apa itu Konflik?

Para ahli, praktisi dan akademisi memiliki cara pandangan yang beragam dalam memahami konflik. Berikut dikemukakan beberapa pengertian  konflik;

Konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan (Taquiri dalam Newstorm dan Davis, 1977).

Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace dan Faules, 1994:249).

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran yang berbada. Konflik adalah suatu kenyataan hidup yang tak terhindarkan dalam kehidupan bermasyarakat (Lakpesdam NU, 2008).

Konflik merupakan bentuk interaktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999).

Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu (Nardjana, 1994).

Konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja. (Killman dan Thomas, 1978;  Wijono,1993)

Conflict is a situation which two or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another. konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya (Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn, 1998:580).

Keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok (Robbin, 1996). Jika organisasi tidak menyadari adanya konflik, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika organisasi mempersepsikan telah ada konflik, maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan. Konflik selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain (Gibson, et al, 1997: 437).

Selanjutnya Robbin (1996: 431) menjelaskan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan yang melihat konflik seperti dua sisi mata uang, di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
  2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
  3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.

Karakteristik Konflik

Wijono (1993: 37) menguraikan karakteristik yang menegaskan ciri-ciri terjadinya konflik sebagai berikut:

  1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
  2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
  3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
  4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
  5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.

Sumber dan Faktor Penyebab Konflik

Lakpesdam NU (2008:6-7) dalam bukunya Panduan Praktis Sistem Peringatan dan Tanggapan Dini Konflik Berbasis Tokoh Agama dan Adat memberikan penjelasan tentang sumber konflik sebagai berikut;

Konflik Struktural

Terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya (tanah, sumber tambang, air, hutan dsb). Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak yang lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu/pihak dominan/Pemerintah Pusat.

Konflik Kepentingan

Disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban, dan biasanya yang menjadi korban adalah pihak masyarakat kebanyakan. Cirri lain dari konflik kepentingan adalah terjadinya persaingan yang manipulatif atau tidak sehat antar kedua belah pihak. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena masalah yang mendasar (ekonomi, politik kekuasaan), masalah tata cara atau masalah psikologis.

Konflik Nilai

Disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu dirasakan atau  memang ada. Nilai merupakan kepercayaan yang dipakai orang untuk member arti pada kehidupannya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik. Manusia dapat hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai muncul ketika orang berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif di mana di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perbedaan kepercayaan.

Konflik Hubungan Sosial Psikologis

Dalam kehidupan bermasyarakat senantiasa ada interkasi sosial antar pribadi, antar kelompok, dan antar bangsa. Namun dalam berinteraksi ada kecenderungan untuk mengambil jalan pintas dalam mempersepsikan seseorang. Bias persepsi atau stereotip merupakan sumber munculnya prasangka, berlanjut pada dilakukannya diskriminasi yang berakhir pada terjadinya tindakan kekerasan. Prasangka adalah sifat yang negatif terhadap kelompok atau individu tertentu semata-mata karena keanggotaan-nya dalam kelompok. Prasangka muncul karena adanya bias persepsi (stereotip) yang memunculkan penilaian yang tidak berdasar dan mengambil sikap sebelum menilai dengan cermat. Akibatnya, terjadi penyimpangan pandangan dari kenyataan yang sesungguhnya serta terjadi pula generalisasi. Kecenderungan tersebut akan memberikan dampak negative, jika sasaran prasangka itu diarahkan kepada kelompok minoritas baik jumlah maupun status. Prasangka kemudian diwujudkan dalam perilaku atau tindakan diskriminasi.

Konflik Data

Terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. Beberapa konflik data mungkin tidak perlu terjadi disebabkan kurangnya komunikasi diantara para pihak yang berkonflik. Konflik data juga dapat muncul akibat metode pengumpulan informasi dan/atau atau tatacara yang dipakai tidak sama. Disamping itu, secara psikologis dan sosiologis dapat dijelaslan beberapa faktor yang mendorong terjadinya konflik

Faktor-Faktor Penyebab Konflik

Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.

Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi yang berbeda

Perbedaan latar belakang seseorang akan mempengaruhi pola pemikiran, cara pandang, sikap dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Dalam waktu yang bersamaan, masing-masing individu atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Seringkali seseorang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang sebagai bentuk pemanfaatan alam untuk bisnis. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan yang harus dilestarikan. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politikekonomisosial, dan budaya.

Perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, dapat mengganggu proses sosial dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan atau nilai-nilai masyarakat yang telah ada.

Tahapan Konflik

Anatomi konflik selalu berubah setiap saat dalam bentuk siklus, melalui berbagai tahap, aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Secara umum tahapan konflik digambarkan sebagai berikut:

  • Pra-Konflik: Ini merupakan periode di mana terjadi ketidaksesuian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik atau disebut juga konflik tersembunyi, meskipun salah satu pihak menunjukan ketidaksetujuan atau penolakan, ada potensi terjadinya konfrontasi. Juga terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari konflik satu sama lain pada tahap ini.
  • Konfrontasi: Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua pihak. Masing-masing pihak mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di antara ke dua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di anatara para pendukung di masing-masing pihak.
  • Krisis: Ini merupakan puncak koflik, ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala beasar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal diantara kedua oihak kemungkinan putus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya.
  • Akibat: Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin  menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan genjatan senjata (jika perang terjadi). Satu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.
  • Pascakonflik: Akhirnya, situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai  konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang, dan hubungan mengrah ke lebih normal di anatar kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah yang timbul karena sasaran para pihak yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra-konflik.

Dampak Konflik

Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart dan Logan, 1993:342). Konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam mengelola suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu-waktu terjadi kembali. Konflik bisa bernilai positif dan kreatif, apabila dikelola dengan baik justru akan menghasilkan situasi yang produktif. Sebaliknya jika tidak dikelola dengan baik dan menjurus pada tindak kekerasan, maka konflik akan bernilai negatif. Konflik kekerasan dapat terlihat dari tindakan, perkataan, sikap, struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, dan sosial.

Dampak Positif Konflik

Jika konflik ditangani secara serius, efektif dan efisien, maka berdampak pada perubahan perilaku positif sebagai berikut

  • Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil kerja.
  • Meningkatnya hubungan kerjasama secara produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis tugas yang telah ditetapkan.
  • Meningkatnya dorongan atau motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antarpribadi maupun antarkelompok dalam masyarakat, seperti terlihat dalam upaya peningkatan kinerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
  • Semakin berkurangnya tekanan yang dapat menimbulkan stress dan meningkatnya produktivitas kerja.
  • Banyaknya kegiatan pengembangan diri sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan dan kesejahteraan.

Dampak Negatif Konflik

Jika konflik dibiarkan tumbuh subur, berlarut-larut dan tanpa kendali, maka akan terjadi keadaan sebagai berikut;

  • Meningkatnya jumlah ketidakhadiran dan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan dan aktivitas sosial lainnya.
  • Meningkatnya keluhan dan keberatan akibat ketidaknyamanan karena sikap atau perilaku pihak lain yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
  • Meningkatnya perselisihan antarindividu atau antarkelompok yang dapat memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi kinerja, kondisi psikis dan keluarganya.
  • Meningkatnya ketidaknyamanan dan gangguan mental, stress, sakit, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak, diskriminatif, merasa tidak dihargai dan sebagainya.
  • Melakukan mekanisme pertahanan diri jika terjadi kesalahan atau teguran, misalnya melakukan tindakan pengrusakan, sabotase, provokasi dan intrik orang lain.
  • Meningkatnya kecenderungan keluar masuk pekerja atau labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan aktivitas masyarakat secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan tanaga potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan.