Bagaimana sikap kita sebagai pemuda dalam membentuk akidah yang kuat dalam diri kita

Muhammad Yunus, SHI, M.E.Sy. (Dosen Fakultas Syariah Unisba) – Mahmud Syaltut menjelaskan dalam kitabnya Islam Aqidah Wa Al-Syariah bahwa inti ajaran Islam ada dua yaitu aqidah dan syariah.

Pertama,  aqidah berasal dari kata ‘aqada- ya’qidu-‘ yang artinya ikatan. Maksudnya adalah ikatan yang kuat (mistaqan ghalidhan) antara seorang hamba dengan Allah SWT meyakini bahwa tidak ada sesembahan yang patut untuk disembah melainkan Allah SWT, meyakini bahwa Allah yang menciptakan seluruh jagad raya ini beserta isinya. Oleh karena itu, muncullah istilah aqidah al-islamiyyah, yaitu meyakini dengan hati bahwa Islam adalah agama yang hanif (lurus) menuhankan pada Tuhan Yang Esa yaitu Allah Rabbul ‘Izzati.

Ruang lingkup pembahasan pada aspek Aqidah terangkum dalam rukun Iman yaitu Iman kepada Allah, iman kepada para malaikat, iman kepada kitab-kitabnya Allah, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada hari kiamat, iman kepada qadha dan qadhar-Nya Allah.

Penanaman aqidah (keimanan) yang kuat dalam diri seseorang akan melahirkan pribadi super yaitu sopan, santun, lembut tutur katanya, empati, simpati, dan lain-lain.

Begitu dahsyatnya dimensi iman apabila tertanam kokoh dalam diri seseorang, akan melahirkan buah yang manis yaitu akhlaqul karimah. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda dari abu hurairah, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat maka janganlah dia menyakiti tetangganya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaklah dia memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”.(HR, Shohih Bukhori, jilid 5 hal 2273)

Menarik sekali hadis ini diawali dengan “barang siapa yang beriman kepada Allah” dan “hari kiamat” dihubungkan dengan aspek kehidupan bermasyarakat yaitu memuliakan tetangga, memuliakan tamu,  dan berkata yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi yang kuat antara aspek aqidah (iman) dengan tingkah laku (behavior).

Semakin besar keimanan seseorang kepada Allah dan hari kiamat, maka akan berbanding lurus dengan tingkah lakunya sehingga terjaga lisannya dari menyakiti orang lain, terjaga tangannya dari menzalimi orang lain.

Lantas bagaimana kabar iman kita? Apakah membekas dan terbukti dengan lisan dan kedua tangan kita dari menyakiti orang lain.

 Rasul bersabda dalam kitab Daar al-Manstur Juz 3 hal. 116, “ Dikatakan kepada Rasul seseungguhnya si fulan malam hari dia melaksanakan shalat siang hari berpuasa akan tetapi dia menyakiti tetangganya dengan lisannya, Rasul berkata tidak ada sedikitpun kebaikan pada orang tersebut dia ahli neraka.”

Firman Allah swt dalam surat al-ankabut ayat 45, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ini menunjukkan keindahan dan kesempurnaan agama Islam bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan. Justru Islam mengajarkan kelembutan dan kasih sayang, Islam bukanlah Teroris, Islam tidak mengajarkan sikap anarkis.

Jika seseorang mengaku beriman dengan lisan dan hatinya, tetapi tidak diikuti dengan amal perbuatannya, ini disebut dengan munafik amali atau fasiq. Penyakit inilah yang mewabah dikalangan masyarakat Muslim, mengaku beriman kepada Allah, iman kepada hari kiamat tetapi tidak dibuktikan dengan amal perbuatannya seperti tidak mau melaksanakan shalat, puasa dan lain-lain. Kondisi iman seperti ini mendapatkan ancaman dari Allah yaitu mereka akan lupa terhadap diri mereka sendiri, tidak tahu tujuan hidupnya untuk apa, sedang berada di mana dan hendak ke mana, mereka bagaikan orang amnesia lupa terhadap dirinya sendiri.

Hal ini termaktub dalam surat al-hasyar ayat 19, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.

Dapat disimpulkan bahwa penanaman akidah (iman) yang kokoh dalam diri seseorang akan berbanding lurus dengan tingkah laku (behavior), begitu juga halnya dengan syariah memiliki korelasi yang kuat dengan tingkah laku (behavior) seseorang. Semakin baik shalatnya maka akan berbanding lurus dengan tingkah laku atau akhlak al-karimah, artinya hasil dari akidah dan syariah adalah akhlak al-karimah. (Sumber : Kompas Hal. 35, 05 Mei 2017)

Jakarta (10/12) -- Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Sartono hadir mewakili Menko PMK menyampaikan pidato keynote speech pada acara Seminar Virtual Nasional “Generasi Cerdas Berkarakter, Indonesia Maju Bermartabat” yang diselenggarakan oleh Kemendikbud, pada Kamis (10/12). 

Pada kesempatan ini, Agus menjelaskan bahwa penanaman karakter pada generasi muda perlu terus diperkuat. Pendidikan merupakan rekayasa sosial yang bertujuan membentuk karakter. Menurut dia, pendidikan tidak sekedar membuat anak didik cerdik dan pandai, namun harus berkarakter dan berbudaya. 

Lebih lanjut, Agus mengatakan bahwa berkarakter artinya memiliki akhlak yang baik. Menyitir pandangan dari Imam Ghazali, maka akhlak atau karakter merupakan tingkah laku yang melekat pada diri seseorang yang dapat memicu perbuatan tanpa memperhatikan pikiran terlebih dahulu. Hal ini dapat dilakukan melalui pembiasaan sehari-hari baik dirumah, di sekolah maupun di masyarakat. Dengan demikian, pendidikan karakter harus dimulai sejak dini melalui pembiasaan sepanjang waktu dalam kehidupan sehari-hari dan keteladanan.

Menurut Agus, guru adalah yang paling berperan dalam pembentukan karakter, karena adalah seseorang yang digugu dan ditiru dan menjadi teladan bagi anak didik. Guru harus dimaknai sebagai guru dalam pendidikan formal, nonformal dan informal. Artinya setiap kita adalah guru bagi lingkungan terkecil masing-masing serta menjadi contoh dan memberi keteladanan, sebelum diserahkan kepada guru di sekolah.

Selanjutnya Agus menyampaikan bahwa terdapat beberapa kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik dalam proses pendidikan yaitu knowledge, skills, attitude dan values.  Knowledge (pengetahuan) dan skills (keterampilan) perlu diberikan kepada peserta didik karena akan membangun kemampuan kognitif, fisik dan praktek mereka. Sementara attitude (sikap) dan values (nilai) perlu dimiliki peserta didik karena dapat membentuk karakter mereka dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Menurutnya, selain pemahaman tentang pendidikan, para generasi muda harus dikenalkan pada budaya lokal untuk menanamkan karakter dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.  

"Supaya nilai-nilai positif adat istiadat dan kemasyarakatan yang ada tidak hilang tergerus oleh budaya bangsa lain yang saat ini sangat digemari oleh generasi muda, seperti budaya barat, dan lainnya," jelas Deputi Agus.

Penanaman karakter melalui nilai budaya lokal, dikatakan Agus, dapat diperkenalkan dalam bentuk seni tari, seni lukis, seni musik, dan karya tulis tentang legenda setempat. Dia mengatakan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mengamanatkan perlunya upaya strategis untuk meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.

Upaya strategis yang dapat dioptimalkan adalah dengan menggerakkan guru dan sekolah untuk mengarusutamakan budaya Indonesia dalam lingkungan pendidikan. Selain itu, keluarga juga sangat berperan sebagai tempat untuk membentuk dan mengembangkan karakter maupun kepribadian anak.

"Begitu pula masyarakat, sebagai elemen penting Trisentra Pendidikan, menjadi tempat untuk mengontrol dan membelajarkan anak melalui aktivitas sosial," tuturnya.  

Untuk menanamkan karakter generasi muda dengan nilai-nilai kebudayaan, menurut Agus, perlu dilakukan digitalisasi budaya nusantara agar lebih mudah diakses melalui berbagai platform media sosial. Perlu juga dipastikan bahwa konten budaya yang disampaikan harus kreatif dan inovatif serta mendidik, sehingga nilai-nilai budaya ini dapat benar-benar tersampaikan dan diterima generasi muda.

"Saya mengajak agar setiap kita menjadi guru mulai dari lingkungan terkecil kita seperti di keluarga untuk memberi contoh dan keteladanan," pungkasnya. (*)

SEBAGAI seorang Muslim, tentu tidak ada panduan yang lebih diutamakan dalam mengambil keputusan selain Al-Qur’an.

Hal ini penting, mengingat Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang absolut benar. Mengikutinya secara totalitas berarti menyiapkan diri dan keluarga dalam kebahagiaan. Dan, menolaknya, berarti menjerumuskan dir dan keluarga dalam kesengsaraan.

Oleh karena itu, mau bagaimanapun dunia ini diwarnai oleh hasil karya cipta manusia, seorang Muslim tidak akan pernah bergeser dari menjalani hidup sesuai dengan tuntunan Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Termasuk dalam hal menentukan prioritas dalam mendidik anak.

Dalam masalah pendidikan, Islam meletakkan pendidikan akidah di atas segala-galanya. Dan, itulah yang Allah tekankan dengan menggambarkan betapa getolnya Nabi Ya’kub dalam masalah ini. Sampai ketika anak-anaknya pun dewasa, pertanyaan beliau adalah masalah akidah.

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” (QS. Al-Baqarah [2]: 133).

Dalam tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan bahwa kewajiban orangtua adalah memberi wasiat kepada anak-anaknya untuk senantiasa beribadah kepada Allah semata.

Hal ini memberikan petunjuk penting bahwa kewajiban utama orangtua terhadap anak-anaknya adalah tertanamnya akidah dalam sanubarinya, sehingga tidak ada yang disembah melainkan Allah Ta’ala semata.

Lantas, bagaimana cara kita menanamkan pendidikan akidah pada anak di zaman seperti sekarang ini?

Pertama, dekatkan mereka dengan kisah-kisah atau cerita yang mengesakan Allah Ta’ala.

Terkait hal ini para orangtua sebenarnya tidak perlu bingung atau kehabisan bahan dalam mengulas masalah cerita atau kisah. Karena, Al-Qur’an sendiri memiliki banyak kisah inspiratif yang semuanya menanamkan nilai ketauhidan.

Akan tetapi, hal ini tergantung pada sejauh mana kita sebagai orangtua memahami kisah atau cerita yang ada di dalam Al-Qur’an. Jika kita sebagai orangtua ternyata tidak memahami, maka meningkatkan intensitas atau frekuensi membaca Al-Qur’an sembari memahami maknanya menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.

Kalaupun dengan cara membaca ternyata masih belum bisa. Kita bisa menyiasatinya dengan membeli buku-buku kisah dalam Al-Qur’an. Jadi, orangtua jangan pernah membelikan anak-anaknya buku cerita, novel atau kisah apapun yang tidak mengandung nilai akidah. Lebih-lebih yang mengandung unsur mitos dan pluralisme-liberalisme.

Mengapa demikian? Orangtua mesti sadar bahwa anak-anak kita saat ini adalah target dari upaya sekulerisme peradaban Barat. Untuk itu, sejak dini, anak-anak kita sudah harus memiliki kekuatan akidah sesuai dengan daya nalar dan psikologis mereka.

Oleh karena itu, tahapan dalam menguatkan akidah anak harus benar-benar kita utamakan. KH. Zainuddin MZ berpesan dalam salah satu pencerahannya, “Didik mereka dengan jiwa tauhid yang mengkristal di dalam batinnya, meresap sampai ke tulang sumsumnya, yang tidak akan sampaipun nyawa berpisah dari badannya, akidah itu tidak akan terpisah dari hatinya. Bahkan dia sanggup dengan tegar berkata, ‘Lebih baik saya melarat karena mempertahankan iman dari pada hidup mewah dengan menjual akidah.”

Kedua, ajak anak mengaktualisasikan akidah dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah langkah di atas, selanjutnya tugas kita sebagai orangtua adalah mengajak mereka untuk mengaktualisasikan akidah dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila anak kita belum baligh, maka aktualisasi akidah ini bisa dilakukan dengan mengajak anak ikut mendirikan sholat. Sesekali kita kenalkan dengan masjid, majelis taklim, dan sebisa mungkin ajak mereka untuk senantiasa mendengar bacaan Al-Qur’an dari lisan kedua orangtuanya.

Apakah tidak boleh dengan murottal melalui alat elektronik? Jika tujuan kita adalah mengajak, maka keteladanan jauh lebih efektif.

Adapun kala anak kita sudah baligh maka orangtua harus tegas dalam masalah akidah ini. Jika anak sudah berusia 10 tahun dan enggan mendirikan sholat, maka memberi hukuman dengan memukul sekalipun, itu dibolehkan.

Apabila anak kita perempuan, maka mewajibkan mereka berjilbab menjadi satu keniscayaan. Dan, itu adalah bagian dari aktualiasi akidah.

Dengan demikian, sejatinya tugas orangtua dalam masalah akidah ini benar-benar tidak mudah. Sebab selain mengajak, orangtua juga harus senantiasa melakukan kontrol akidah anak-anaknya. Terlebih pengaruh budaya saat ini, seringkali menggelincirkan kaum remaja pada praktik kehidupan yang mendangkalkan akidah.

Ketiga, mendorong anak-anak untuk serius dalam menuntut ilmu dengan berguru pada orang yang kita anggap bisa membantu membentuk frame berpikir islami pada anak.

Orangtua tidak boleh merasa cukup dengan hanya menyekolahkan anak. Sebab akidah ini tidak bisa diwakilkan kepada sekolah atau universitas. Untuk itu, orangtua mesti memiliki kesungguhan luar biasa dalam hal ini.

Dengan cara apa? Di antaranya adalah dengan mencarikan guru yang bisa menyelamatkan dan menguatkan akidah mereka.

Dorong anak-anak kita untuk bersilaturrahim, berkunjung ke pengasuh pesantren agar belajar, diskusi atau sharing masalah akidah. Dorong mereka untuk mendatangi majelis-majelis ilmu yang diisi oleh guru, ustadz, ulama atau pun figur publik Muslim yang terbukti sangat baik dalam menguatkan akidah anak.

Mengapa kita sebagai orangtua merasa ringan mengeluarkan biaya untuk kursus ini, kursus itu, sementara untuk akidah yang super penting, bahkan untuk masalah surga dan neraka kita sendiri, kita sebagai orangtua justru tidak mempedulikannya.

Semoga uraian sederhana ini, membantu para orangtua untuk kembali pada orientasi pendidikan Islam yang sesungguhnya. Karena hidup ini bukan semata dunia, tetapi juga akhirat. Maka jangan abaikan masalah yang sangat menentukan dan diperhatikan super serius oleh para Nabi dan Rasul. Wallahu a’lam.*

Rep: Ibnu Sumari
Editor: Cholis Akbar

#akhlak #akidah #anak #orangtua #Pendidikan #sekolah

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA