Bagaimana ketersediaan air bersih yang ada di permukaan bumi

Bagaimana ketersediaan air bersih yang ada di permukaan bumi

Mar 23, 2022 | Iftinavia Pradinantia

AIR adalah kebutuhan vital umat manusia. Bukan hanya manusia, hewan dan tumbuhan juga. Tidak ada satupun makhluk hidup yang tidak membutuhkannya. Data yang dikeluarkan oleh badan PBB World Meteorological Organization,s ebagian besar negara di dunia tidak siap menghadapi krisis air. Sayangnya, dengan perubahan iklim karena perubahan gaya hidup manusia membuat bumi berpotensi menghadapi kelangkaan air.

Secara global, laporan tersebut menemukan 25% dari semua kota yang disurvei sudah mengalami kekurangan air secara berkala. Selama dua dekade terakhir, pasokan gabungan dari sumber air permukaan, air tanah, dan air yang ditemukan di dalam tanah, salju, dan es di planet ini telah menurun sampai 1 sentimeter per tahun.

Baca juga:

Waspadai Tanda Depresi pada Perempuan

Indonesia pun tidak luput dari krisis air. “Indeks pemakaian air di Indonesia menunjukkan bahwa beberapa tempat seperti di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, serta Bali dan Nusa Tenggara mempunyai status kritis sedang sampai dengan kritis berat yaitu indeks pemakaian air mencapai 50% - 100% untuk berbagai keperluan seperti domestik, Industri dan pertanian," ujar Dr. Ir. Muhammad Rizal, M.Sc., Direktur Bina Teknik Sumber Daya Air Kementerian PUPR.

“Keterlibatan masyarakat dan badan usaha dapat menumbuhkan rasa tanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya air dan diharapkan kinerja infrastruktur yang telah terbangun dapat terjaga dengan lebih baik," lanjut Muhammad Rizal.

Bagaimana ketersediaan air bersih yang ada di permukaan bumi
Sumber air tercemar. (Foto: Pexels/Pixabay)

Pengelolaan air secara terpadu berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS) diperlukan untuk menjaga keseimbangan siklus air dan memastikan para pengguna air di sekitar DAS terhindar dari bencana, sehingga dapat mempertahankan mata pencahariannya. DAS yang terkelola dengan baik dapat memastikan ketersediaan air tanah tetap terjaga memenuhi kebutuhan air di daerah hilir yang kebanyakan adalah daerah permukiman perkotaan dan kawasan industri.

“Sumber air yang tercemar menyebabkan pengelolaan terhadap kelestarian siklus air juga semakin menjadi sebuah proses yang sulit, di antaranya tentu saja biaya yang meningkat untuk memproses air tanah tersebut, bahkan untuk mencegah penggunaanya secara berlebihan," tutur Tri Agung Rooswiadji, Footprint Program Manager, WWF Indonesia.

Masalah utamanya adalah masyarakat Indonesia tidak mengetahui secara pasti berapa banyak ketersediaan air tanah yang ada. "Artinya kita bisa saja gagal dalam proses pemanfaatan sumber-sumber air tanah yang vital, seperti misalnya di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS)," lanjutnya. Menurutnya, mengeksplorasi, melindungi, serta menggunakan air tanah secara berkelanjutan akan menjadi kunci untuk bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan iklim dan efek dari semakin meningkatnya populasi manusia.

Baca juga:

Jelang Ramadan, Latih Diri untuk Tenang saat Mulai Hilang Kesabaran

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sejumlah stakeholder bekerjasama. Salah satunya Danone-AQUA dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Danone-AQUA menyampaikan program dan inisiatifnya dalam melakukan usaha-usaha pelestarian siklus air dan juga ketersediaan air. BRIN melakukan validasi atas analisa dan kalkulasi dampak kepengurusan (Stewardship) aktivitas pengelolaan air yang dilakukan oleh Danone-AQUA dengan metode Volumetric Water Benefit Analysis (VWBA) di dua lokasi pabrik AQUA yaitu Mekarsari dan Babakanpari di sumber air Kubang.

“Kami terus berupaya mengembangkan program untuk meningkatkan akses air bersih, sanitasi, dan penyehatan lingkungan bagi masyarakat di sekitar pabrik dan wilayah operasional AQUA di Indonesia yang masih kekurangan akses air bersih," terang Ratih Anggraeni, Head of Climate and Water Stewardship Danone Indonesia.

Bagaimana ketersediaan air bersih yang ada di permukaan bumi
Hemat air dari kran. (Foto: Pexels/Pixabay)

"Tak hanya itu, kami juga menjalin kerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dan internasional untuk meningkatkan jangkauan dan jaminan keberlanjutan program serta menginisasi model bisnis yang inovatif untuk mendukung hal tersebut.Kami juga menyadari bahwa proses validasi yang terukur dari lembaga yang kredibel memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas dari pengelolaan sumber daya air. Oleh karena itu kami bermitra dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk melakukan proses validasi dari program pengelolaan sumber daya air kami”, lanjut Ratih.

Sementara itu, Puteri Indonesia Lingkungan 2020, Ayu Saraswati, Puteri Indonesia Lingkungan 2020 juga punya concern terhadap air bersih. Secara konsisten IA melakukan berbagai langkah peduli lingkungan dan melakukan advokasi di ranah media sosial. “Saat ini saya melihat bahwa perubahan iklim dengan kenaikan suhu yang konstan di berbagai belahan dunia mengakibatkan semakin langkanya sumber air yang dapat digunakan oleh mahluk hidup. Namun terkadang perbuatan manusia itu sendiri yang mencemari sumber air, misalnya pembuangan limbah cair rumah tangga ke sungai, menggunakan pupuk dan pestisida kimia dan sebagainya,” ucapnya.

Ia mengatakan contoh sederhana yang bisa kita lakukan sebagai wujud nyata menjaga lingkungan sebagai bagian dari masyarakat adalah secara sadar berhemat air untuk kegiatan sehari-hari, misalnya dalam menyiram tanaman, mandi, mencuci, atau menggosok gigi. Proses menggosok gigi dengan membiarkan kran air terus mengalir dapat mengakibatkan sekitar 6 liter air bersih terbuang dengan sia-sia. Akhirnya, saya menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk memikul tanggung jawab yang sama terhadap kelestarian siklus air dan ketersediaan air bagi kehidupan kita,” tutup Putu Ayu. (Avia)

Baca juga:

Jubah Menghilang Ternyata Ada

Baca Original Artikel

Jakarta (SIB)

Pada abad 21 keberlanjutan ketersediaan air sepanjang tahun oleh ekosistem semakin terancam. Fenomena itu terlihat dari adanya indikasi yang memperlihatkan peningkatan fluktuasi aliran air yang semakin besar antara musim hujan dan kemarau. Hal ini sangat berkaitan erat dengan menurunnya daya dukung ekosistem di daerah hulu.

Kondisi itu yang menunjukkan banjir dan kekeringan yang makin sering terjadi adalah indikator rusaknya ekosistem. Sedangkan turbiditas dan suspensi lumpur yang makin tinggi di air sungai, indikator yang dapat dipakai sebagai tolak ukur berkurangnya daya dukung ekosistem, tegas Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr. Umar Anggara Jenie, Apt, MSc pada peluncuran buku Transformasi Kebijakan Air dan buku Katolog Sungai Jilid1, Senin (29/3).

Menyadari hal tersebut, jelasnya Program Hidrologi Internasional Unesco, khususnya untuk kawasan Asia Pasifik mengambil prakarsa untuk menggalang kerjasama regional dalam mengatasi masalah air. Prakarsa itu diwujudkan melalui interaksi dan pertukaran pengalaman dan pengetahuan antara ilmuwan dan praktisi hidrologi. Karena itu, Umar menilai peluncuran kedua buku itu sebagai wujud dedikasi dan kepedulian yang tinggi praktisi hidrologi dan ilmuwan yang selama ini bergumul dengan penelitian mengenai air. Mereka sangat peduli terhadap masalah yang sangat serius yang dihadapi oleh bangsa ini dan bangsa-bangsa di dunia.

Kepala LIPI itu mengharapkan data dan informasi dalam katalog sungai versi bahasa Indonesia dapat dimanfaatkan dan dijadikan dasar bagi kalangan akademik dan masyarakat luas. Ini sebagai informasi dasar dalam studi maupun perencanaan dan pengambil keputusan untuk pengelolaan sungai di Indonesia.

Karakter geografi fisik dan sosial Indonesia yang merupakan daerah kepulauan yang membentuk satu-satunya benua maritim di dunia. Perairan mengelilingi daratan dengan dinamika iklim yang sangat mempengaruhi iklim dunia yang memerlukan pendekatan paradigma tersendiri dalam pengelolaan sumberdaya airnya, tandas Umar.

Menurut dia, kita sudah waktunya mengembangkan kepeloporan dalam aliran pemikiran pengelolaan sumberdaya air, khususnya dalam bidang hidrologi yang tepat dan dapat diterapkan untuk kondisi geografi dan sosial. Masalah pengelolaan air, tidak hanya terbatas masalah hidrologi, tetapi juga menyentuh aspek ekonomi-sosial.

Berdasarkan pengamatannya, pengelolaan air telah makin bergeser dari yang semula lebih menekankan pada pendekatan struktural kini justru lebih menekankan pendekatan non-struktural . Hal ini selain lebih menekankan pada manajemen sumberdaya air lewat pendirian bangunan air yang lebih bersifat ke tara ruang di hulu sungai pada seluruh DAS daerah aliran sungai, termasuk perilaku manusia dan introduksi teknologi, seperti eko-bio-teknologi untuk pengelolaan air.

Umar mengatakan air dan perairan sebagai salah satu elemen penting dalam public goods kepentingan masyarakat memerlukan penanganan terpadu kolaboratif, lintas dan multidisiplin, lintas sektoral dan bervisi jangka panjang. Pendekatan parsial hanya akan memberikan pengertian sempit berorientasi sektoral dan solusi yang diberikan tidak mampu memberikan jawaban fundamental bagi penyelamatan sumberdaya air bagi kepentingan bangsa dan negara.

Lebih lanjut Kepala LIPI itu menegaskan diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam tentang interaksi antara manusia dan air melalui penelitian terpadu. Di sini termasuk upaya pelestarian nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang kondusif bagi konservasi air dan ekosistemnya.

Perhatian khusus pun harus diberikan kepada danau dan waduk sebagai the ultimate frontier of water resources. Ini penting mengingat problematik yang menimpa danau dan waduk yang merupakan akumulasi masalah-masalah yang berpotensi mengundang konflik antar-wilayah, bahkan antar-negara, tandas Umar.

Buku Transformasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air yang tebalnya 198 halaman itu disusun oleh DR PE Hehanussa, APU (mantan Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI) Dr Gadis Sri Haryani (Kepala Pusat Limnologi LIPI) dan Dr Hidayat Pawitan (Bapenas). Buku merupakan hasil kerjasama LIPI dan Panitia Nasional Program Hidrologi IHP-Unesco, menyambut Hari Air Sedunia, yang jatuh pada 22 Maret 2004 lalu. (Tbt/x)

Sumber : www.hariansib.com, 14 April 2004