Bagaimana Cara untuk memperbaiki ekosistem hutan yang rusak

Tanah yang subur menjadi tempat berpijak yang nyaman untuk makhluk hidup. Tetapi

Sosialisasi Penanganan Sampah Buangan Liar di TPS Panggung Lor bertempat di Kelurahan

Bank Sampah KSM Raos Emi, Tingkatkan Daya Wirausaha Warga, bank sampah saat

Buat kalian yang mau tetap berkreasi di tengah pandemi, jangan lewatkan kesempatan

TPA atau Tempat Pembuangan Akhir pada prinsipnya dibangun dengan berbasis teknologi. Pembuatan

Kepunahan tidak hanya mengancam satwa Indonesia, tetapi juga berbagai jenis tumbuhannya. Sebagai

Lingkungan hidup terbentuk karena adanya penggabungan antara benda hidup dan benda mati.

Bagaimana Cara untuk memperbaiki ekosistem hutan yang rusak

Bagaimana Cara untuk memperbaiki ekosistem hutan yang rusak
Lihat Foto

flickr.com/U.S. Forest Service- Pacific Northwest Region

Ilustrasi tebang pilih pohon di hutan

KOMPAS.com – Hutan berisikan berbagai sumber daya yang penting bagi kehidupan manusia. Dilansir dari National Geographic, hutan menutupi 30 persen lua daratan bumi namun sekitar 46 persennya telah rusak.

Apa yang harus dilakukan untuk menghindari kerusakan hutan? Berikut adalah hal-hal yang bisa dilakukan untuk menghindari kerusakan hutan!

Mencegah terjadinya kebakaran hutan

Kebakaran hutan dapt terjadi karena kondisi alami, namun sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia. Sehingga mencegah terjadinya kebakaran hutan merupakan salah satu sikap untuk menghindari kerusakan hutan.

Menurut U.S. Department of the Interior, berikut adalah hal yang dapat dilakukan untuk menghindari kebakaran hutan:

  • Menghindari aktivitas yang menghasilkan percikan api ketika cuaca kering dan panas
  • Membuat api unggun di lokasi terbuka dan jauh dari bahan mudah terbakar
  • Memadamkan api unggun hingga benar-benar mati dan dingin
  • Menjauhkan kendaraan dari rumput kering (panas knalpot dapat memicu rumput terbakar)
  • Tidak menyalakan kembang api di hutan terutama dekat vegetasi yang kering

Baca juga: Contoh Kerja Bakti untuk Pelestarian Lingkungan

Melakukan tebang pilih

Manusia membutuhkan kayu dari pohon, namun menebang pohon harus dilakukan dengan cara tebang pilih.

Tebang pilih adalah menebang pohon dengan kriteria tertentu seperti pohon yang cukup tua dengan diameter dan tinggi tertentu, pohon yang sudah atau hampir mati, dan juga pohon yang jika ditebang tidak banyak menyebabkan kerusakan hutan.

Berdasarkan CIFOR Forest News, tebang pilih mempertahankan struktur hutan dan menjaga kekayaan hutan secara biologis. Namun juga, tetap membuat hutan produktif bagi manusia. Sehingga tebang pilih merupakan cara pemanfaatan sumber daya alam yang baik.

Tidak melakukan pembalakan liar

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan pemberantasan perusakan Hutan, pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.

Pembalakan liat dilarang karena dapat menyebabkan kerusakan pada hutan dan tidak menjaga kelestarian hutan. Adapun semua kagiatan pembalakan hutan akan dijatuhkan sanksi yang sesuai dengan Undang-Undang tersebut.

Baca juga: Upaya Pelestarian Lingkungan Perairan

Tidak membuang sampah sembarang ke hutan

Tidak membuang sampah maupun limbah di hutan adalah sikap untuk menjaga hutan dari kerusakan. Sampah dan limbah dapat mengotori hutan, mencemari tanah, air, dan juga meracuni makhluk hidup yang tinggal di hutan.

Dilansir dari WWF, sekitar 15 miliar pohon ditebang setiap tahunnya di seluruh dunia. Sedangkan satu batang pohon memerlukan waktu puluhan tahun untuk dapat tumbuh. Sehingga penebangan tersebut menjadikan hutan gundul.

Oleh karena itu harus dilakukan reboisasi atau penanaman kembali hutan yang gundul agar kelestarian hutan dapat terjaga.

Tidak mengalihfungsikan hutan

Hutan dirusak tidak hanya untuk mengambil hasil kayunya, tetapi juga untuk membuka lahan. Hutan dialihfungsikan sebagai lahan pertanian, perkebunan, perumahan, industri, transportasi, lahan pembangkit listrik, dan juga berbagai bangunan lainnya.

Sehingga sebaiknya tidak mengalihfungsikan lahan hutan untuk kepentingan manusia. Mengingat, hampir setengah populasi hutan telah dibabat oleh manusia sejak pertama kali penebangan pohon dilakukan.

Baca juga: Kondisi Hutan jika Terjadi Penebangan Terus-menerus

Mendukung pelestarian hutan

Sikap bijak terakhir yang bisa dilakukan untuk menjaga hutan dari kerusakan adalah mendukung peletarian hutan.

Mendukung pelestarian hutan dapat dilakukan dengan cara mengikuti penyuluhan, membantu meningkatkan kesadaran pemeliharaan hutan pada orang sekitar, mendukung keberadaan hutan lindung dan konservasi hutan lainnya, juga menerapkan sikap menjaga hutan dalam kehidupan sehari-hari.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Bagaimana Cara untuk memperbaiki ekosistem hutan yang rusak

Robert Nasi dan Tony Simons.

Kita telah mendengar banyak inisiatif ambisius penanaman pohon dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini merupakan langkah baik — dan kami memberi apresiasi atas nilai mulia dan dorongan masyarakat — namun kita jelas memerlukan lebih dari sekadar menanam pohon untuk memulihkan bentang alam yang rusak dan menyelamatkan hutan dunia.

Di Hari Hutan Internasional, kami bergabung bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa menyampaikan perhatian akan kebutuhan terhadap pengakuan umum peran utama bentang alam dalam memerangi perubahan iklim dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), target yang bertujuan mengurangi kemiskinan.

Kami menyerukan pentingnya bioma di hutan, baik dalam perannya dalam sistem pertanian efektif, lahan gambut alami, hutan lahan kering atau hutan bakau. Sudah sepatutnya hutan “terlupakan” mendapat perhatian lebih termasuk ekosistem pegunungan tinggi tropis, karst dan hutan keranga.

Kami menyerukan pada masyarakat global tentang penerapan perubahan sistemik kuat untuk mengatasi konsekuensi dramatis dari deforestasi dan degradasi hutan. Melestarikan hutan primer, mengelola hutan sekunder, hutan terganggu atau yang mengalami pembalakan liar, tentu saja harus dikelola berkelanjutan. Meningkatkan jumlah pepohonan di lahan pertanian, sekaligus memulihkan lahan terdegradasi merupakan langkah nyata memenuhi kebutuhan global termasuk menyediakan mata pencaharian masyarakat lokal.

Saat ini telah tersedia kerangka kerja dan target tingkat tinggi. Melalui SDGs, Deklarasi Hutan New York (NYDF), Perjanjian Paris PBB dan Konvensi Keanekaragaman Hayati, kita memiliki semua yang dibutuhkan untuk menerapkan transformasi dan berbagai upaya untuk mencapainya. Harapan tinggi saat ini digantungkan pada inisiatif Dekade untuk Restorasi Ekosistem PBB (2021-2030). Apakah upaya ini dapat membuat suatu struktur di mana pemerintah, bisnis, dan masyarakat bertindak bersama dalam upaya-upaya memerangi pemanasan global sebelum terlambat.

Tapi kita tidak juga tidak boleh melupakan masyarakat yang berada dekat dengan kawasan hutan. Kita harus lebih banyak berdialog dengan mereka yang tinggal, bekerja dan bergantung pada hutan.

Hutan merupakan ekosistem berbasis lahan yang paling beragam secara biologis, dan hutan juga adalah rumah bagi lebih dari 80 persen spesies hewan, tumbuhan dan serangga serta penyimpan karbon dalam jumlah besar.

Pertimbangkan hal-hal ini: ekosistem kritis dengan separuh spesies tanaman dan hewan di planet ini menyediakan mata pencaharian bagi 1,6 miliar orang — termasuk lebih dari 2.000 komunitas adat — yang mengandalkan hutan sebagai penyedia bahan obat-obatan, bahan bakar, pangan, dan tempat berteduh.

Meski nilai finansial terkait dengan degradasi lahan, restorasi hutan dan data lain-lain baru sekedar proyeksi dan perkiraan, namun kita ketahui bersama jumlah tersebut adalah valid.

Deforestasi, degradasi lahan, dan menipisnya sumber daya alam adalah hal yang terjadi di seluruh dunia, dan diperkirakan menelan biaya $6,3 triliun untuk jasa ekosistem yang hilang setiap tahunnya. Jumlah itu setara dengan 10 persen perekonomian global.

Ketika sistem agroforestri dikemas bersama dengan hutan sebagai “sektor penggunaan lahan,” sistem ini menjadi penyedia lebih dari 95 persen kebutuhan pangan manusia, penyedia lapangan kerja bagi lebih dari setengah populasi manusia, dan bertanggung jawab atas 30 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca.

Pepohonan di hutan atau lahan pertanian adalah jantung dari solusi berbasis alam untuk keadaan darurat iklim.

Penelitian CIFOR-ICRAF dan lain-lain telah menunjukkan bahwa pepohonan di hutan dan pertanian tidak hanya menyerap karbon dalam jumlah besar, supplier makanan dan bahan baku bagi petani dan pekerja kehutanan, memperbaharui kesuburan dan stabilitas tanah, melindungi daerah aliran sungai, dan komponen vital dalam siklus hidrologi planet bumi.

Dan sekarang, saat kita menghadapi keadaan darurat iklim, komunitas global harus segera melakukan usaha yang lebih baik untuk menghubungkan kembali kesejahteraan manusia, ketahanan ekosistem dengan hutan dan pertanian.

Jadi bagaimana agar kita dapat mencapai tujuan tersebut?

Dunia memerlukan kemitraan ilmiah, pengembangan, bisnis, dan keuangan transformatif bagi perubahan skala besar yang diperlukan guna mencapai target global sehingga dapat memberikan hasil dalam beberapa tahun.

Ada lima area di mana investasi dapat dilakukan agar mengembalikan fungsi ekosistem terdegradasi. Upaya ini dapat membantu melindungi, memperluas dan meningkatkan nilai hutan dan keanekaragaman hayati, mengubah pertanian menjadi sistem tahan lama, dan membangun rantai nilai berkelanjutan dengan dukungan dari pemerintah dan sektor swasta untuk melakukan transisi ke ekonomi berkelanjutan.

Pertama, pembiayaan proses transisi membutuhkan komitmen kuat dari komunitas global. Kita tidak kekurangan dana. Perkiraan menunjukkan bahwa pemerintah membelanjakan $1,8 triliun per tahun untuk pengeluaran militer dan lebih dari $5 triliun untuk subsidi bahan bakar fosil, tetapi hanya sekitar $50 miliar untuk restorasi bentang alam.

Kita perlu menyelaraskan prioritas kita.

Investasi yang diperlukan guna memulihkan degradasi lahan di seluruh dunia agar terpenuhi target Deklarasi Hutan New York adalah $830 miliar, menurut FAO. Memulihkan 350 juta hektar sebagai bagian dari Tantangan Bonn – suatu komitmen yang dibuat selama pembicaraan iklim PBB pada tahun 2014 sebagai bagian dari Deklarasi Hutan – diperkirakan mencapai $360 miliar.

Banyak yang harus dilakukan untuk mempercepat pendanaan.

Para peserta konferensi Global Landscape Forum di Luxembourg November tahun lalu menyoroti tentang perluasan definisi “kekayaan” sehingga dimungkinkan memasukkan unsur aset alam dan sosial, suatu kolaborasi signifikan antara sektor publik dan swasta dan perubahan sistematis dalam rantai pasokan global dan sistem keuangan .

Kedua, pertanian harus lebih kuat terhubung ke solusi iklim. Sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lain-lain, bertanggung jawab atas seperempat dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh manusia, terutama yang disebabkan oleh deforestasi dan sumber-sumber pertanian seperti peternakan, tanah dan nutrisi.

Namun, agroforestri, jika didefinisikan sebagai lebih dari 10 persen tutupan pepohonan: maka lebih dari 43 persen berada di wilayah lahan pertanian global, dengan 30 persen masyarakat hidup di pedesaan, mewakili lebih dari 1 miliar hektar lahan dan lebih dari 1,5 miliar manusia.

Ini harus diperluas baik bagi perluasan wilayah maupun keanekaragaman spesies agar membantu negara-negara memenuhi kontribusi nasional — di bawah Perjanjian Paris PBB tentang perubahan iklim yang bertujuan mengurangi pemanasan global — meningkatkan mata pencaharian, meningkatkan ketahanan pangan, dan mengurangi tekanan untuk hutan alam.

Ketiga, hutan bakau dan lahan gambut merupakan penyerap karbon vital.

Ekosistem mangrove dikenal karena kemampuannya menyimpan karbon dalam jumlah besar dan melindungi garis pantai dari erosi akibat kegiatan-kegiatan di laut. Ekosistem mangrove juga merupakan penyangga dengan menangkap sedimen dalam karbon organik, yang dapat terakumulasi bersamaan dengan kenaikan permukaan laut, menurut temuan penelitian dari ilmuwan CIFOR.

Seperti halnya mangrove, lahan gambut memiliki peran besar mengurangi dampak perubahan iklim, tapi lahan gambut berada di bawah ancaman besar di dunia baik bagi negara di bagian utara maupun selatan.

Misalnya, di Kongo Basin, lahan-lahan konsesi gambut dijual dan ancaman terhadap drainase semakin nyata. Lahan gambut membentuk lebih dari setengah dari seluruh lahan basah di seluruh dunia, setara dengan 3 persen dari total luasan lahan dan permukaan air tawar.

Tersusun selama ribuan tahun dari sisa-sisa vegetasi yang membusuk, menurut Wetlands International bahwa  sekitar 15 persen lahan gambut telah dikeringkan untuk pertanian, kehutanan komersial dan untuk ekstraksi bahan bakar.

Ketika lahan gambut dikeringkan, gambut mengalami oksidasi dan karbon dilepaskan ke atmosfir, menyebabkan pemanasan global.

Sepertiga dari karbon tanah dunia dan 10 persen sumber daya air tawar global di seluruh dunia disimpan di lahan gambut, menurut International Mire Conservation Group dan International Peat Society.

Setiap program yang bertujuan untuk memperbaiki hutan dan bentang alam harus memastikan lahan gambut dilindungi, dibasahi ulang, dan dipulihkan.

Keempat, memulihkan bentang alam dapat membawa manfaat besar dengan perkiraan hingga 30 dolar AS untuk investasi setiap dolar, namun investasi dalam restorasi sejauh ini masih belum banyak.

Langkah-langkah penting menuju investasi transformatif ini mencakup kolaborasi antara pemegang dana swasta dan publik, mengurangi risiko dan ketidakpastian bagi investor, mengembangkan langkah-langkah yang lebih baik bagi keberlangsungan bentang alam dan membangun teknologi, metode, dan pengetahuan yang dapat diterapkan dalam skala besar.

Kelima, keanekaragaman hayati merupakan hal mendasar bagi keberlangsungan kehidupan bumi. Untuk memilih contoh paling jelas, tanaman pangan adalah tanaman yang mengandalkan penyerbuk alami bagi bunga dan buah. Nilai bunga dan buah hampir setara $600 miliar per tahun.

Sebagian besar penyerbuk bunga adalah serangga liar, termasuk 20.000 spesies lebah, yang bergantung pada keutuhan ekosistem beragam dan sehat. Serangga cenderung menjadi bagian terbesar dari hilangnya keanekaragaman hayati di masa depan: saat ini 40 persen dari semua spesies invertebrata menghadapi kepunahan.

Memadupadankan jumlah pohon, semak, dan spesies lain-lain yang lebih besar ke dalam pertanian dapat membantu menyediakan habitat, spesies penyerbuk, pemangsa alami, sumber makanan dan pendapatan.

Lalu selanjutnya?

Kita tahu solusi yang diperlukan untuk menyelamatkan hutan salah satunya dengan menjalankan restorasi lahan, dan kita semakin memahami implikasi dari kegagalan yang terjadi. Penanaman pohon telah menginspirasi banyak orang mengambil tindakan  melindungi dan melakukan rehabilitasi hutan. Hal yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen pendanaan untuk melaksanakannya.

Mari mengingat kembali apa yang disampaikan oleh Elinor Ostrom (1933-2012), pemenang Hadiah Nobel dalam Ilmu Ekonomi tahun 2009, yang ia teliti bersama Oliver Williamson, “untuk analisisnya tentang tata kelola ekonomi, terutama kepemilikan bersama.”

Melalui penelitian tentang bagaimana tata kelola lahan yang dimiliki umum, ia membalikkan perspektif kolonial-dominan tradisional. Elinor mengajarkan bahwa kita dapat bekerja bersama menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan dan efektif, selama aturan dan parameternya jelas, dan pihak-pihak yang bekerja di bidang ini terlibat. Dia mengakui bahwa aturan tidak boleh diberlakukan tanpa konsultasi dari pemerintah atau entitas formal lain-lain agar tercapai tingkat keberhasilan tertinggi pengelolaan lahan.

Dia menyampaikan rumus untuk mencapai kesuksesan. Kita harus memastikan bahwa kita menjalankannya dengan memadukan kebijakan tingkat tinggi dengan strategi yang digunakan oleh pengelola lahan berkelanjutan — yaitu mereka yang tinggal dan bekerja di hutan. Kita harus terus bekerja dalam lintas sektor untuk mencapai hasil komprehensif.

Menurut Ostrom: “Hingga penjelasan teoritis — berdasarkan pilihan manusia — bagi usaha yang dikelola sendiri dan diatur sendiri sepenuhnya dikembangkan serta diterima, maka sepenuhnya keputusan kebijakan dapat terus dilakukan dengan anggapan bahwa individu tidak dapat mengatur diri mereka sendiri dan selalu perlu diorganisir oleh otoritas eksternal.”