Apakah yang dilakukan nyai Ageng sebelum mengikuti Ki Ageng melakukan perjalanan ke Gunung jabalkat

LOKABALI.COM-Tak banyak yang mengetahui siapa sebenarnya sosok Ki Ageng Pandhanarang yang di kenal sebagai Sunan Tembayat.

Selain di kenal sebagai wali tutup menggantikan Syech Siti Jenar agar jumlah wali genap menjadi sembilan ( Walisongo ), jasa Sunan Pandhanarang dalam mensiarkan Islam di daerah selatan yang berbatasan dengan pegunungan seribu ( gunung kidul ) juga di akui dalam berbagai serat dan babad.

Kawasan pegunungan seribu dikenal merupakan basis pelarian para ajar ( pertapa buda ) di masa akhir kejayaan Majapahit.

Kedatangan Sunan Pandhanarang di Tembayat atas perintah Sunan Kalijaga. Ia di beri tugas tidak hanya melakukan siar, tetapi juga mengislamkan para ajar. Beberapa ajar yang berhasil diislamkan dan menjadi muridny diantaranya Ajar Menakbawa, Ajar Prawirasakti ( penguasa Gunung Gambar ), Ki Ageng Sutowijaya ( Majasto ) dan para ajar lainya.

Di kutip dari berbagai sumber dan Serat Pandhanarang. Ki Ageng Pandhanarang atau yang dikenal dengan julukan Sunan Tembayat merupakan wali tutup menggantikan peran Seh Siti Jenar.

Di dalam komplek makam Sunan Tembayat terdapat delapan gapura yang harus di lewati para peziarah diantaranya, Gapura Segaramuncar, Gapura Dhuda, Gapura Pangrantunan, Gapura Sinaga, Gapura Panemut, Gapura Pamuncar, Gapura Bale kencur dan Gapura Prabayeksa.

Keterangan gambar : Salah satu gapura di makam Sunan Bayat / Foto: Lokabali

Di dalam bangsal prabayeksa terdapat gentong padhasan kyai naga.
Disisi sebelah kanan gapura segoro muncar terdapat sengkalan berbunyi, ‘ Murti sarira jleking ratu’. Sengkalan tersebut menandakan di bangunya gapura sekitar tahun 1488

Di dalam ruangan makam Sunan Tembayat terdapat makam dua orang istrinya yakni, Nyai Ageng Kaliwungu dan Nyai Ageng Krakitan ( Nyi Endang ).

Selain dua makan tersebut juga ada makam Nyai Agêng Madalêm, Pangeran Jiwa, Kyai Sèh Sabuk Janur, Kali Dhatuk, Pangeran Winang, Kyai Malanggati, Kyai Banyubiru, Panêmbahan Kabul, Kyai Panêmbahan Masjid Wetan dan Kyai Panêmbahan Sumigit Wetan.

Sebelum di angkat menjadi wali mukmin berjuluk Sunan Tembayat, Ki Ageng Pandhanarang adalah bupati semarang yang sangat senang dengan kemewahan harta duniawi.

Setiap hari kerjanya hanya mencari harta. Sementara itu di Demak Bintoro, para wali tengah berkumpul di masjid meminta kepada Sunan Kalijaga, agar mencari seorang wali untuk melengkapi jumlah genap sembilan menggantikan Seh siti Jenar.

Di sampaikan oleh Sunan kalijaga, jika sudah ada wali yang akan menjadi wali tutup, akan tetapi tinggal menunggu waktunya saja. Wali tutup yang di maksud nantinya adalah Ki Ageng Pandhanarang yang saat ini masih di liputi nafsu duniawi.

Untuk menyadarkan Ki Ageng Pandhanarang menjauh dari nafsu duniawi, beberapa kali Sunan Kalijaga mencoba menyadarkanya, akan tetapi tetap saja Ki Ageng Pandhanarang belum juga sadar.

Sampai akhirnya Sunan Kalijaga datang langsung kepada Ki Ageng Pandhanarang dan berkata, jika hidup didunia tidak akan lama. Kelak semua akan kembali ke alam keabadian. Jikalau sangat senang duniawi itu kurang baik, karena harta duniawai akan menjadi perusak, serta menjauhkan manusia dari kebaikan dan jalan menuju surga. Harta benda yang banyak akan menutupi tujuan hidup utama manusia. Juga tidak akan dibawa turut serta ke alam baka.

Di surga kebaikan dan kemewahan di sediakan, ibarat orang mencangkul, satu cangkulan saja mudah untuk mendapatkan emas.

Nasehat perumpamaan yang di sampaikan oleh Sunan Kalijaga tidak membuat Ki Ageng Pandhanarang sadar, akan tetapi justru membuat ia marah dan berkata kepada Sunan Kalijaga, ucapanmu bohong, seperti orang yang sudah pernah melihat surga. Mana ada orang mencangkul mendapatkan bongkahan emas.

Mendengar perkataan Ki Ageng Pandhanarang, Sunan Kalijaga lantas mencangkul tanah di halaman Kadipaten Semarang dan melemparkan kehadapan Ki Ageng Pandhanarang.

Tanah yang di lemparkan Sunan Kalijaga jatuh berubah menjadi bongkahan emas.

Melihat kejadian tersebut Ki Ageng Pandhanarang sadar, sosok yang berdiri didepannya bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang wali linuwih.

Kepada Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandhangaran merasa bersalah dan mengaku keliru. Ia lantas menanyakan siapa sebenarnya orang yang berdiri di hadapanya.

Di jawab oleh Sunan Kalijaga jika ia adalah Seh Malaya atau Sunan Kalijaga.
Lanjut perkataan Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Pandhanarang, jikalau berniat berguru, Ki Ageng Pandhanarang di perintahkan menyusul ke Jabalkat di tanah Tembayat.

Atas nasehat Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandhanarang kemudian meninggalkan semua kemewahan membagikan hartanya untuk orang miskin, mendirikan masjid dan pesantren, kemudian mengikuti jejak gurunya ke Jabalkat.

Bersama istrinya Nyai Ageng Kaliwungu, Ki Ageng Pandhanarang menempuh perjalanan menuju Jabalkad.

Dalam perjalanan ke Jabalkad, tanpa sepengetahuan suaminya, Nyai Ageng Kaliwungu membawa emas dan berlian yang ia simpan di dalam tongkat gading wuluh.

Meski dilakukan diam diam, tetapi Ki ageng Pandhanarang mengetahuinya. Hingga sampailah suatu ketika saat di tengah perjalanan, Ki Ageng Pandhanarang di cegat dua orang begal yang akan merampoknya.

Oleh Ki Ageng Pandhanarang begal tersebut di ijinkan merampok, jika berniat mengambil harta maka di persilahkan mengambil tongkat wuluh gading yang di bawa istrinya, akan tetapi tidak boleh mengambil yang lain.

Mendengar perkataan Ki ageng Pandhanarang, kedua begal tersebut lantas mengambil tongkat yang di bawa Nyai Ageng Kaliwungu.

Tak puas hanya mendapatkan tongkat berisi emas, dua orang begal tersebut lantas berusaha mengambil pakaian yang di kenakan Nyai Ageng Kaliwungu. Akan tetapi belum sempat mengambil, tiba tiba tubuhnya jatuh lunglai ke tanah.

Sebelumnya Ki Ageng Pandhanarang sudah mengingatkan agar tidak menggangu istrinya, akan tetapi dua begal tersebut nekad ingin mengambil pakaian yang dikenakan Nyai Ageng Kaliwungu.

Melihat kondisi begal yang lunglai seperti ular dan domba, tiba tiba keduanya berubah wajah menjadi domba, sedangkan begal yang satunya berperilaku seperti ular.

Melihat kesaktian orang yang di rampoknya, kedua begal lantas meminta maaf dan ingin berguru agar wujudnya kembali seperti sedia kala. Dua orang begal yang berubah wujud lantas di beri sebutan Seh Kewel dan seh Domba.

Setibanya di jabalkad Seh Kewel dan Seh Domba di kembalikan lagi wujudnya oleh Sunan Kalijaga

Di daerah tembayat, Ki Ageng Pandhangaran di kenal sebagai Sunan Tembayat dan mengislamkan para ajar yang bermukim di daerah tembayat dan sekitarnya.

Sunan Tembayat juga memperistri Nyi Endang yang di kemudian hari di kenal dengan sebutan Nyai Ageng Krakitan.
Selain versi Sunan Tembayat adalah Ki Ageng Pandhanarang Bupati dari semarang, juga ada versi lain yang di yakini oleh masyarakat sekitar.

Di kisahkan, pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya diam diam meninggalkan kerajaan di temani Sabdopalon dan Noyogenggong.

Saat dalam pelarian menuju pegunungan seribu, Prabu Brawijaya bertemu dengan Sunan Kalijaga dan di tanya alasanya sampai pergi sejauh itu.

Dikatakan Prabu Brawijaya, jika perjalananya ke selatan tak lain ingin menyatu dengan leluhurnya, Ratu Kidul, yang kala itu bernama Dewi Wilutama.

Dalam pertemuan antara Sunan Kalijaga dan Prabu Brawijaya terjadi banyak diskusi berbagai hal persoalan gaib. Sabdopalon dan Noyogengong yang mendengar diskusi dua orang linuwih tersebut mengakui, keduanya tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.
Semua memiliki maksud dan tujuan yang sama.

Hanya saja Sunan Kalijaga telah menggunakan jaman baru, yang harus di ikuti tatananya. Oleh karena alasan ini, Prabu Brawijaya akhirnya mengikuti apa yang menjadi kemauan Sunan Kalijaga.

Di sarankan oleh Sunan Kalijaga, agar Prabu Brawijaya bersedia menjadi Bupati Semarang beralih nama menjadi Ki ageng Pandhanarang.

Hal itu di lakukan bukan untuk mengembalikan kembali Prabu Brawijaya menjadi raja, akan tetapi menjadikannya ia sebagai wali tutup menggantikan peran Seh Siti Jenar.

Sementara itu dalam cerita yang lain, asal susul Sunan Tembayat dalam serat kandha di terangkan, yang menjadi bupati semarang dengan nama Ki Ageng Pandhanarang adalah Raden Made Pandhan, putra Raden Sebrangwetan yang juga cucu Sultan Demak.

Dalam serat kandha, Radèn Made Pandhan menerima perintah dari Sunan Bonang untuk membuka tanah Tirangampèr, serta mengislamkan para ajar yang ada di sekitarnya. Setelah menetap di Tirangamper, Raden Made Pandhan terkenal dengan nama Ki Pandhanarang.

Dari informasi yang terpampang di komplek makam, kawasan makam Sunan Tembayat pernah di renovasi oleh Sultan Agung, hal tersebut tentunya menandakan, jika Sunan Pandhanarang bukanlah sosok wali biasa, tetapi memiliki keistimewan di mata Sultan Agung./ dbs

      Penyebaran agama Islam di Indonesia tidak terlepas dari peran Walisanga, salah satunya adalah Sunan Kalijaga. Kisah beliau dalam menyadarkan seorang Bupati Semarang yang sombong hingga menjadikannya murid menjadi kisah menarik untuk didengar. Seperti biasa, orang besar tidak lepas dari kisah hebat dan menakjubkan. Lika-liku dakwah beliau menjadi bumbu tersendiri dalam pembahasan kita kali ini, mari simak kisahnya berikut ini.

Menjadi Murid Sunan Kalijaga

      Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah atau yang lebih dikenal Sunan Pandanaran (ll) atau Pangeran Mangkubumi yang menggantikan ayahnya yakni Ki Ageng Pandan Arang sebagai seorang Bupati Semarang atas perundingan antara Sultan Hadi Wijaya dengan Sunan Kalijaga. Pada awalnya beliau menjalankan tugasnya dengan baik, menjalani kesibukan dengan mengurus pemerintahan dan mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan di wilayahnya. Namun lambat laun sifatnya berubah. Beliau menjadi seorang yang gila harta, keberhasilan yang dicapainya membuatnya lupa diri, bahkan ia tidak lagi menjalankan urusan pemerintahan dengan baik.

      Suatu hari, datanglah seorang pemotong rumput dengan pakaian compang-camping ke kediaman Sang Bupati dengan menjualkan rumputnya. Di sela-sela menjualkannya, pemotong rumput itu mengingatkan Sang Bupati untuk kembali ke jalan yang benar. Merasa harga dirinya turun karena diceramahi oleh seorang pemotong rumput yang miskin, bupati itu pun marah dan mengusirnya. Namun keesokan harinya, pemotong rumput itu kembali dan tidak henti-hentinya mengingatkan Sang Bupati untuk kembali ke jalan kebenaran, bupati itu kembali mengusirnya. Hal ini berulang kali terjadi, hingga pada akhirnya karena takut sikap bupati semakin menjadi-jadi, Sang Pemotong rumput itu kembali mendatangi kediaman Sang Bupati dengan mengatakan bahwa hartanya jauh lebih banyak dibanding harta milik Sang Bupati , sontak saja bupati tidak mempercayainya, dia lalu menyuruh tukang rumput itu membuktikan ucapannya.

Hal ini disanggupi oleh Si Tukang rumput, dia pun mencangkul tanah-tanah dan setiap cangkulan tanah itu berubah menjadi bongkahan emas, melihat hal itu Sang Bupati berpikir bahwa tukang rumput ini bukanlah orang biasa, segera saja tukang rumput itu menunjukan sosok aslinya yang tidak lain adalah Sunan Kalijaga. Mengetahui hal ini, Pangeran Mangkubumi (Sang Bupati) meminta maaf dan sangat merasa bersalah atas kelakuannya selama ini, beliau pun mengajukan diri menjadi murid Sunan Kalijaga.

  Perjalanan Menuju Gunung Jabalkat

     Sunan Kalijaga menerima Pangeran Mangkubumi sebagai muridnya dan menyuruh Pangeran untuk menemui dirinya di Gunung Jabalkat tanpa membawa sepeser harta. Dengan semangat menggebu, berangkatlah Pangeran Mangkubumi ke Gunung Jabalkat bersama dengan istrinya yakni Nyai Ageng Kaliwungu dan putranya yang bernama Pangeran Jiwa. Namun istrinya tidak sepenuhnya bisa meninggalkan harta kekayaan itu, akhirnya beliau tetap membawa perhiasan yang diletakkannya di dalam tongkat bambu. Suatu ketika mereka dihadang oleh kedua pencuri yang bernama Sumbang Dalan dan satu temannya. Mereka mencoba merampas harta benda yang dibawa oleh Nyai Ageng Kaliwungu, karena masih curiga bahwa ada harta benda yang disembunyikan, kedua pencuri itu akhirnya menggeledahi Nyai Ageng, sontak saja Nyai berteriak dan Pangeran Mangkubumi langsung menolongnya. “Wong salah kok iseh tega temen” kata pangeran kepada kedua pencuri. Karena Sambang Dalan sudah berbuat nekat seperti domba, maka wajahnya pun berubah menyerupai domba dan dinamai oleh Pangeran menjadi Syeikh Domba, dan teman satunya gemetar ketakutan seperti seekor ular dinamai menjadi Syeikh Kewel. Hal ini tidak terlepas dari kesaktian Sunan Kalijaga. Semenjak Pangeran Mangkubumi diterima menjadi murid Sunan Kalijaga, beliau mempunyai kesaktian tingkat tinggi, salah satunya yakni kesaktian dalam ucapannya. Karena merasa bersalah merekapun berjanji untuk mengabdi dan setia kepada Adipati.

     Perjalanan berlanjut dan Nyai tertinggal jauh di belakang, sedangkan pangeran sudah duduk santai di batu besar sambil menunggu lainnya. Lalu Nyai berkata “Karo bojo mbok ojo lali” setelah kejadian itu, tempat di mana Nyai mengatakan hal itu dinamai Boyolali (mbok ojo lali). Sampailah pangeran disalah satu tempat di mana beliau memilih untuk tinggal sementara waktu sebelum melanjutkan perjalanannnya kembali. Sedangkan kedua pengikutnya yang setia disuruh Pangeran Mangkubumi untuk tinggal di gunung sementara waktu. Suatu hari pangeran disuruh untuk membeli beras oleh majikannya, dia bertemu dengan penjual beras yang akan pergi ke pasar. Saat ditanya oleh Pangeran Mangkubumi apakah ada beras di dagangannya, dia menjawab “tidak ada” dan dia juga mengatakan bahwa dagangannya hanya berisi pasir. Sesampainya di pasar, Sang Pedagang itu mencoba mengeluarkan beras dari karungnya. Namun apa yang ia lihat? Beras itu berubah menjadi pasir, sesuai dengan apa yang dikatakannya kepada Pangeran Mangkubumi. Sejak itu nama wilayah itu menjadi “wedi” yang berarti “pasir”.

    Di lain waktu, Pangeran Mangkubumi membantu Nyi Tasik, istri dari tuannya untuk berjualan di pasar. Namun ketika sudah sampai di sana, Nyi Tasik lupa membawa kayu bakar, dia akhirnya memarahi pangeran. Pangeran Mangkubumi menawarkan tangannya sebagai pengganti kayu bakar dan keluarlah api dari tangannya itu. Sontak saja orang-orang di pasar takjub melihatnya. Di suatu waktu, pangeran bertugas menjadi pengisi air gentong. Namun ternyata air di gentong itu sudah habis dan tidak ada air yang keluar dari dalamnya. Sedangkan orang-orang sudah mengantri, segeralah pangeran mengambil air dengan keranjang, semua orang heran melihatnya dan nama  Pangeran Mangkubumi semakin terkenal di sana.

   Setelah bekal yang dirasa cukup, Pangeran Mangkubumi kembali melanjutkan perjalanannya ke Gunung Jabalkat, tidak lupa ia memanggil kedua pengikutnya yang sedang berada di gunung. Di tengah perjalanan, pangeran kembali menunjukan kesaktiannya, yaitu sewaktu putranya manangis karena kehausan, langsung saja Pangeran Mangkubumi menggoreskan kukunya ke tanah dan seketika air menyembur dari dalam hingga membentuk genangan air, dari genangan tersebut mereka dapat mengobati rasa haus. Genangan air tersebut kini dikenal dengan nama Sendang Kucur yang terletak di dalam Hutan Angker di Pasebayan, Bayat, Klaten.  Setelah perjalanannya yang memakan waktu lama, sampailah mereka di Gunung Jabalkat. Kedatangan mereka disambut oleh Sunan Kalijaga, sejak itulah pangeran berguru kepada Sunan Kalijaga.

Perjalanan Dakwah Sunan Tembayat

     Beliau menjalankan tugas syiar agama dengan mendirikan masjid yang dialih fungsikan sebagai pesantren. Ajaran yang paling terkenal adalah tembayat yang artinya musyawarah. Hal ini dikarenakan saat itu syiar dilakukan dengan cara berkumpul untuk saling bermusyawarah, membahas tentang bagaimana mendalami agama secara baik dan  benar dengan masih menjunjung tinggi nilai adat di sana, karena itulah beliau lebih dikenal dengan nama Sunan Tembayat. Adat masyarakat di sana adalah jika ada tokoh masyarakat belum dikalahkan kesaktiannya, maka dia belum pantas menjadi pemimpin agama. Namun, diceritakan bahwa Sunan Tembayat selalu dapat mengungguli kesaktian lawannya. Sehingga banyak tokoh masyarakat yang sudah mengakui kehebatannya dan banyak yang masuk Islam, karena setiap tokoh masyarakat yang kalah, ia beserta pengikutnya wajib masuk Islam.

Ada salah satu kisah, ketika Sunan Tembayat diberi tantangan oleh Prawira Sakti yang hendak melihat kesaktian Sunan. Sunan Tembayat menerima tantangan prawira untuk menguji beliau. Tantangan yang pertama adalah menangkap merpati yang dilepaskan prawira di udara, Sunan pun melempar sendal kayunya dan seketika jatuhlah merpati itu. Yang kedua adalah tantangan untuk menangkap topi yang dilemparkan prawira ke udara. Sama halnya dengan yang pertama, beliau langsung melemparkan sendal kayunya dan tepat mengenai topi itu. Yang ketiga adalah tantangan untuk mencari prawira yang sedang bersembunyi dengan cara aneh, dia bersembunyi di bongkahan batu, namun Sunan berhasil menemukannya. Setelah itu, giliran Sunan Tembayat yang memberikan tantangan kepada prawira itu. Tantangannya adalah  mencari Sunan yang sedang bersembunyi, kesaktian yang dia punya tidak berhasil untuk menemukan Sang Sunan. Akhirnya prawira gagal, karena sunan bersembunyi di antara kedua alisnya, sehingga beliau sulit untuk di temukan.

Kisah menarik lainnya adalah tentang kesaktian Sunan Tembayat dalam memindahkan Masjid Golo, masjid yang sering digunakan Sunan Tembayat dan muridnya untuk sholat jama’ah. Diceritakan bahwa Sunan Demak merasa terganggu dengan suara adzan dari Sunan Tembayat yang menurut beliau terlalu keras. Sunan Demak pun mengirim prajuritnya dan meminta Sunan Tembayat menurunkan masjidnya. Hal ini disanggupi oleh Sunan Tembayat. Dengan kesaktiannya beliau berhasil menarik masjid yang sebelumnya berada di puncak Gunung Jabalkat menjadi di kaki Gunung Jabalkat, tanpa ada kerusakan sedikitpun dari bangunan itu.

Kebesaran Sunan Tembayat yang Dibuktikan Sultan Agung

    Meskipun Sunan Tembayat sudah meninggal setelah 25 tahun melakukan syiar agama di tanah Bayat, tetapi nama besar beliau tetap terjaga sebagai seorang pemimpin agama yang memiliki banyak kesaktian. Suatu hari Sultan Agung sedang berjalan-jalan bersama dengan juru tamannya, namun mereka tersesat didalam hutan di sekitar istana dan Sultan Agung terpisah dengan juru tamannya. Di sana Sultan Agung kebingungan dalam mencari jalan keluar, hingga beliau menyerah karenanya. Akhirnya Sultan Agung memutuskan untuk melakukan pertapaan agar segera diberi petunjuk.

      Secara tiba-tiba datanglah sesosok manusia yang muncul di hadapan Sultan Agung, beliau menawarkan bantuan kepada Sultan Agung. Namun sebelum itu beliau menyuruh Sultan Agung untuk mempelajari sebuah ilmu dahulu. Setelah menyelesaikan ilmu itu, barulah orang tadi memperkenalkan diri yang tidak lain adalah Sunan Tembayat. Akhirnya Sunan Tembayat membantu Sultan Agung kembali ke istana dengan menggunakan lengan bajunya. Dengan sekejap mata, sampailah Sultan Agung di istana dan beliau mendapati bahwa ternyata selama dirinya tersesat, Sang Juru kunci pergi mendatangi istri-istri Sultan Agung.

    Sebagai bentuk balas budi, Sultan Agung akan membangun kompleks pemakaman baru untuk Sunan Tembayat. Beliau menyiapkan kelengkapan peralatan dengan teliti dan mengerahkan 300.000 pekerja bangunan yang dipilih berdasarkan perilaku dan kepribadiannya. Mereka duduk berderet dan bersila dari tambang batu hingga makam. Hal ini dilakukan karena Sunan Tembayat adalah sosok suci dan luar biasa. Hingga akhirnya terbangunlah makam indah nan megah dengan komplek makam sekitar satu hektar dengan gapura yang bercorak Hindu serta Masjid Golo yang mirip dengan Masjid Demak.

Demikianlah kisah perjalanan Sunan Tembayat dengan segudang kehebatannya. Menjadi sosok penerang di wilayah yang masih kental kepercayaan terhadap roh leluhur, perjuangan mengalahkan kesaktian tokoh masyarakat lain serta masih banyak rintangan yang beliau lalui selama syiar agama, sangatlah pantas jika kebesaran namanya masih terjaga hingga kini.

Sekian,

Latifah Citra Mahkota, Klaten.

Referensi:

“Sekilas tentang Sunan Bayat, Gila Harta Sebelum Berguru pada Sunan Kalijaga – Suara Jogja” //jogja.suara.com/amp/read/2020/05/10/183000/sekilas-tentang-sunan-bayat-gila-harta-sebelum-berguru-pada-sunan-kalijaga

“KISAH KI AGENG PANDANARAN (SUNAN BAYAT) : .:Pengetahuan adalah Ilmu:.” //www.rohmadi.info/web/read/ki-ageng-pandanaran/

//www.policewatch.news/2020/04/kisah-kesaktian-ki-ageng-pandanaran.html?m=1

//journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/risalah/article/download/9481/9132

“Sunan Bayat; Putra bupati pertama Semarang” //gadingpesantren.id/artikel/baca/sunan-bayat-putra-bupati-pertama-semarang

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA