Apakah pelaksanaan HAM di setiap negara sama?

Rabu, 18 Mei 2016

Apakah pelaksanaan HAM di setiap negara sama?

Jakarta – Manusia dianugerahi hak-hak yang sangat mendasar dan hak-hak tersebut melekat dalam diri setiap manusia. Itulah yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM) seperti tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa Hak Asasi adalah hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa. HAM merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang.

Untuk itu HAM harus menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demikian sambutan tertulis Sekjen Kemhan yang dibacakan Kepala Bagian Penyuluhan Hukum Biro Hukum Setjen Kemhan Ida Siswanti, S.H., M.H., saat membuka Penyuluhan Hukum UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di kantor Kemhan, Rabu (18/5).

Lebih lanjut Sekjen mengungkapkan bahwa kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain. Untuk itu setiap orang berkewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain tanpa terkecuali. Kewajiban ini juga berlaku bagi organisasi manapun terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian negara dan pemerintah bertanggungjawab untuk melindungi, menghormati, menjamin dan membela HAM setiap warga negara dan penduduknya.

Sementara itu Ketua Komnas HAM RI M. Indadun Rahmat, S.Ag., M.Si yang menjadi pembicara pertama memaparkan tentang HAM dan Perlindungannya oleh Negara. Dalam penjelasannya, Ketua Komnas HAM mengungkapkan bahwa HAM adalah tanggungjawab kita semua tetapi secara normatif pihak yang paling yang bertanggungjawab secara hukum adalah negara, dalam hal ini pemerintah. Kita sebagai aparatur negara atau aparatur pemerintahan secara hukum bertanggungjawab terhadap kemajuan perlindungan dan penegakan HAM.

Senada dengan Ketua Komnas HAM, Direktur Pelayanan Komunikasi Masyarakat Ditjen HAM, Kementerian Hukum dan HAM Sofyan, S.Sos, S.H., M.H., menjelaskan bahwa saat ini belum adanya komitmen yang kuat dari pemerintah terhadap upaya untuk menegakkan HAM dan kemampuan untuk melaksanakan kebijakan HAM secara efektif seperti diamanatkan konstitusi.

Hal ini juga disebabkan karena masih adanya pandangan dan anggapan sebagian masyarakat bahwa HAM merupakan produk budaya barat yang individualistik dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Selain itu masih ada anggapan bahwa HAM semata menjadi tanggungjawab pemerintah. Setiap warga negara dan penduduk bertangungjawanb atas HAM sesuai dengan Perpres No.25 tahun 2015

Penyuluhan Hukum tentang HAM yang dihadiri perwakilan satuan kerja di Kemhan mengangkat tema, “Pemahaman Mengenai HAM Dapat Mencegah Terjadinya Pelanggaran HAM Bagi Pegawai di Lingkungan Kemhan” dan sebagai moderator Kol. Laut (KH) Dwiyono, S.H., M.Hum. (ERA/SGY)

Profil Menteri

Tentang Kami

Struktur Organisasi

AKIP

Kinerja

Lembar Informasi

Perwakilan

Kabar Latuharhary – Komnas HAM menyimpulkan bahwa penegakan hak asasi manusia di Indonesia pada 2019 belum mengalami kemajuan yang berarti. Berbagai komitmen dan agenda perbaikan kondisi HAM yang dimandatkan Nawacita, Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) belum menunjukkan pencapaian yang signifikan.

Pernyataan ini disampaikan oleh Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dalam Webinar “Masa Depan HAM dan Demokrasi di Era Normal Baru (Perspektif Nasional, Regional dan Internasional)”, Kamis (09/07/2020). Dalam diskusi yang digagas oleh Human Rights Working Group (HRWG) tersebut, Beka menyampaikan banyak faktor yang menjadi pendorong persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

“Banyaknya peraturan yang tidak diimbangi dengan penguatan kebijakan perlindungan HAM dan sosial; eksisnya regulasi yang tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia; lemahnya kemampuan institusi negara dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM; rendahnya kepatuhan hukum dan budaya aparat dalam penghormatan dan perlindungan HAM; serta minimnya pemahaman aparat negara pada pendekatan dan prinsip hak asasi manusia,” jelas Beka.Beka juga mengungkapkan catatan penegakan hak asasi manusia pada 2019 yang diterima oleh Komnas HAM. Sepanjang 2019, Komnas HAM menerima 2.757 (dua ribu tujuh ratus lima puluh tujuh) aduan yang datang dari seluruh Indonesia.  Wilayah terbanyak pengadu datang dari DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Jawa Timur dengan isu yang paling banyak diadukan adalah hak atas kesejahteraan  terkait sengketa lahan, sengketa ketenagakerjaan, serta kepegawaian.Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, lembaga yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM adalah kepolisian. Namun, jumlah aduan terkait kepolisian dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Komnas HAM juga memberikan perhatian khusus untuk isu-isu yang dianggap penting bagi masa depan demokrasi dan hak asasi manusia seperti penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, konflik agraria, intoleransi, dan lain-lain.

Ketika membahas persoalan covid-19, Beka menyampaikan bahwa situasi penegakan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia belum banyak berubah. Komnas HAM masih banyak menerima aduan terkait pelanggaran hak asasi manusia, juga kebebasan sipil dalam berpendapat dan berekspresi selama masa pandemi covid-19.

“Selain penanganan covid-19 yang pendekatannya kurang berperspektif hak asasi manusia, rendahnya koordinasi antar kementerian dan lembaga juga menimbulkan kerugian di masyarakat. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda menggembirakan dari penanganan covid-19, bahkan beberapa hari terakhir penambahan kasus masih tinggi,” ujar Beka.

Di akhir pemaparannya, Beka menyampaikan bahwa di samping hak atas kesehatan, pelayanan publik dan penyelesaian keadilan yang berkaitan dengan pengaduan, sengketa dan konflik antara lembaga pemerintah dengan masyarakat juga terdampak. Pemerintah harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa mereka menghormati kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Dengan begitu, ketika ada kritik, masukan dan partisipasi tidak direspon negatif dan bahkan berujung pada proses hukum.

“Terkait kualitas demokrasi, pada akhir 2020 akan dilaksanakan Pilkada serentak di level Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Ketika belum bisa memberikan signal positif untuk penanganan covid-19, masih akan terus ada keraguan soal kualitas demokrasi di Indonesia. Selain itu, dikhawatirkan akan banyak politisasi anggaran negara yang mengatasnamakan Pilkada sehingga hak asasi manusia terlupakan,” pungkas Beka. (Utari/Ibn/RPS)

Apakah pelaksanaan HAM di setiap negara sama?

Sekularisme dimaknai sebagai sebuah ideologi dimana negara maupun agama tidak boleh ikut campur di dalamnya. Nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang diajarkan di negara Amerika Serikat-pun dinilai merupakan bagian dari Sekularisme. Pasalnya, dalam nilai HAM ada pandangan yang disebut totalitarian individualism.

Hal tersebut yang disampaikan oleh Prof. Bambang Cipto, MA., selaku pembicara dalam Islamic Discussion dengan tema “the Challenge of Secularism in the Globalization Era.” Dalam acara yang dilaksanakan di Amphiteater Gedung Pascasarjana lt. 4 pada Jum’at (24/02) tersebut, Prof. Bambang menyampaikan tentang paham Sekularisme di Amerika Serikat, dengan menyoroti pada isu HAM.

“HAM di Amerika Serikat itu menganut individualism dimana setiap individu boleh berbuat apapun. Kemudian berkembang menjadi totalitarian individualism atau individual yang totaliter, yang menganut paham bahwa setiap individu tidak dikenakan larangan dalam berbuat apapun dalam urusan mereka. Bahkan agama dan negara sekalipun,” jelas Bambang.

HAM dalam pandangan Amerika Serikat, disebut Prof. Bambang, sebagai salah satu bentuk dari langkah globalisasi untuk mendominasi ekonomi dunia. Oleh karenanya, beberapa pihak seperti China, Islam, dan bahkan Asia mulai menentang pandangan HAM menurut Amerika tersebut. “China dan Asia merasa HAM menurut AS itu salah, karena Asia memiliki HAM dengan cara mereka sendiri, yang lebih dikenal dengan Asian Way. Hal tersebut juga ternyata memiliki pengaruh pada perekonomian China dan Asia yang menunjukkan semakin bagus, dibandingkan Amerika sendiri,” tambah Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UMY tersebut.

Sekularisme juga dikaitkan oleh mantan rektor UMY tersebut, memiliki keterkaitan dengan perang pemikiran. Muslim, terutama di negara di Timur Tengah, disebutkan memiliki pegangan yang teguh terhadap Al-Qur’an, sehingga Barat tidak mampu memerangi Timur Tengah dengan sekedar melalui perang pemikiran. “Makanya Amerika sejak zaman pemerintahan George W. Bush sudah menyerang Timur Tengah. Yang mereka incar itu dua, minyak dan gas untuk diambil, kemudian nilai-nilai negara timur tengah yang ingin mereka hancurkan. Karena Muslim di Timur Tengah berpegang teguh pada Al-Qur’an, tidak cukup bagi Barat untuk memerangi mereka dengan perang pemikiran saja. Oleh karenanya, Barat memilih dengan jalan menghancurkan,” tegas Prof. Bambang.

Berbeda dengan kasus yang ada di Indonesia, sebut Prof. Bambang, dimana masyarakat mudah terpengaruh dalam menerima gagasan yang tidak biasa. “Di Indonesia bila masyarakatnya diberi gagasan yang sedikit aneh saja sudah ribut sana-sini. Itu karena sedikit dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim memahami Al-Qur’an sehingga dapat bepegang teguh pada Al-Qur’an. Bahkan yang dapat membaca Al-Qur’an dengan baik saja hanya segelintir. Oleh karenanya pemuda Muslim harus dididik sedari muda sehingga mampu berpegang teguh pada ajaran agama,” tutup Bambang.

Dalam agenda tersebut, hadir pula sebagai pembicara, Dr. Martino Sardi, MA., yang juga sependapat dengan pemaparan Prof. Bambang. “Bila Amerika Serikat memiliki pandangan HAM sendiri, umat Islam juga memiliki ajaran-ajaran HAM tersendiri. Maka dari itu, umat Islam harus menjalankan HAM berdasarkan apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an. Karena pandangan sekularisme yang menyebutkan bahwa semua hal di dunia punya nilainya masing-masing, tanpa harus mengacu pada agama, itu salah. Semua hal di dunia memang memiliki nilai pada dirinya masing-masing, namun semua tidak luput dari ketergantungan kita selaku manusia kepada Allah,” jelas dosen Fakultas Hukum UMY tersebut. (deansa)