Apakah dampak terbesar dari adanya pendidikan di daerah tertinggal

Ketertinggalan pembangunan di berbagai sektor telah menempatkan penduduk desa Tanime sulit mengakses pelayanan pendidikan sehingga menimbulkan ketertinggalan di bidang pendidikan. Akibatnya, akses penduduk desa Tanime, Kecamatan Bime, Kabupaten Pegunungan Bintang untuk membangun daerahnya sangat sulit. Kondisi alam yang berada di perbukitan di daerah pedalaman Kabupaten Pegunungan Bintang ikut menyumbangkan kondisi ketertinggalan penduduk desa Tanime. Rumusan permasalahan dalam penilitian ini adalah: 1) mengapa akses penduduk miskin terhadap pelayanan pendidikan formal di Desa Tanime, Kecamatan Bime, Kabupaten Pegunungan Bintang, Propinsi Papua tetap rendah?, 2) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi rendahnya akses penduduk miskin terhadap pelayanan pendidikan formal dalam era otonomi daerah di Desa Tanime, Kecamatan Bime, Kabupaten Pegunungan Bintang, Propinsi Papua? Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif.Hasil penelitian memperlihatkan bahwa akses penduduk miskin terhadap pelayanan pendidikan dasar di Desa Tanime disebabkan oleh kondisi kemiskinan penduduk Tanime sendiri. Kemiskinan ini dilihat dari aspek struktural tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi dari kondisi alam Desa Tanime yang berada di perbukitan dan jauh dari jangkauan pelayanan pemerintah. Secara kultural, penduduk Desa Tanime sangat terikat dengan budayanya sehingga tidak mudah menerima perubahan. Selain itu, akses terhadap pendidikan juga dipengaruhi oleh tidak adanya akses ke pusat-pusat kegiatan perekonomian dan pendidikan yang ada di kota. Faktor-faktor yang mempengaruhi minimnya akses penduduk Desa Tanime terhadap pelayanan pendidikan formal adalah keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, terbatasnya tenaga pengajar, minimnya sarana pendukung berupa transportasi, serta keterbatasan partisipasi masyarakat. Kesimpulannya, kondisi Desa Tanime yang tergolong desa tertinggal telah menyebabkan ketertinggalan penduduk dalam mengakses pelayanan pendidikan dasar. Hal ini terjadi karena kondisi alam Desa Tanime yang sulit dijangkau serta keterbatasan berbagai sarana pendidikan dan tenaga pengajar. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengirimkan para pelajar untuk melanjutkan studi ke luar daerah seperti di Jayapura atau di kota di Pulau Jawa sehingga menghabiskan biaya yang sangat besar, baik untuk transportasi, akomodasi, biaya hidup selama mengikuti pendidikan, dan sebagainya. Se mentara, program pendidikan untuk memudahkan akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan di desadesa pedalaman di Pegunungan Bintang hanya dapat diatasi dengan pemekaran wilayah. Desa Tanime saat ini sedang dalam proses pemekaran menjadi wilayah kecamatan. Dengan berubahnya status Desa Tanime menjadi Kecamatan Tanime, maka anggaran dana pemberdayaan kecamatan dapat dialokasikan untuk biaya pendidikan sehingga akan semakin banyak putra-putra daerah yang akan dikirim ke luar Pegunungan Bintang guna mendapatkan pendidikan yang layak. Nilai lebih dari pengiriman pelajar ini adalah segera terpenuhinya kebutuhan pendidikan bagi pelajar untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Kekurangan atau kelemahannya di antaranya adalah: 1) pengiriman lebih banyak pela jar ke kota-kota lain berarti mengalirkan dana yang telah masuk ke Pegunungan Bintang kembali ke luar Pegunungan Bintang, 2) tidak adanya pemerataan pelayanan pendidikan untuk anak-anak di Pegunungan Bintang dalam jangka panjang karena tidak mungkin seluruh anak-anak dikirim untuk mendapatkan pendidikan di luar daerah, 3) dampak dari aliran dana dari Pegunungan Bintang ke daerah-daerah lain melalui pengiriman pelajar ini telah memperkecil peluang dalam meningkatkan kegiatan perekonomian di Pegunungan Binta ng sendiri.

The fact of having fallen behind of development in various sectors has put the people in the village Tanime have a difficulty to access the educational service so they are left in the educational field. Consequently, the access of people in the village of Tanime, subdistrict of Bime, the regency of Pegunungan Bintang to develop their region is very difficult. The natural condition on the hills of rural area gives the contribution in the left behind condition of the people. The problem formulation in the research are: 1) why the access of poor people toward the formal educational service in the village of Tanime, subdistrict of Bime, the regency of Pegunungan Bintang, province of Papua remain low?, 2) what is the factor which is influences the low of poor people access toward the formal educational service in the era of local autonomy in this village? The method of research used was qualitatively descriptive. Data was collected through the observation, interview and documentation and it was analyzed by using the technique of descriptive analysis. The result of research showed that the access of poor people toward the elementary educational service in the villate of Tanime was caused by the condition of people’s poverty they selves. This poverty seen from the structural aspect could not be avoided as the consequence of the natural condition in the village which was on the hills and far from the reach of government service. Culturally, people of Tanime are very tightened in their culture so it is not easy to accept the change. Beside that, the access toward the education is also influenced by there is no access to the centersof economical and educational activities exist in the town. The factors which influenced the minimal access of people in the village of Tanime toward the formal educational service were the limitation of the means and infrastructure of education, the limitation of teacher, the minimum of supported means like transportation, and the limitation of people participation. The conclusion, the left behind situation of people in the village of Tanime has resulted in the left behind people in accessing the elementary educational service. The left behind education was occurred due to the condition of nature in the village which was difficult to be reached and the limitation of various means of education and the teacher exists in there. Beside that, people’s participation was still limited for time and personnel of teacher and the thinking. People can not be participated further more in the case of educational fund.

Kata Kunci : Kemiskinan,Kebijakan Pendidikan,Akses Pendidikan Dasar,the fact of having fallen behind, the left behind education

Ketika masyarakat yang tinggal di daerah maju dan pemerintah menganggap bahwa pendidikan itu sangatlah penting, apakah pemikiran ini sudah sejalan dengan masyarakat Indonesia yang berada di daerah yang tertinggal? Jika tidak, apakah yang menjadi penyebab utamanya? Apa usaha pemerintah masih ada yang kurang? Ataukah tidak adanya ketertarikan dan kemauan dari masyarakat untuk mengenyam pendidikan? Atau mungkin kurangnya fasilitas yang mendukung dan memadai untuk belajar? Jikalau seperti itu, dari sekian banyak faktor, apa sebenarnya yang menjadi faktor utama Indonesia belum juga bisa meratakan pendidikannya dan apa solusi terbaik untuk mengatasinya?

UU No. 20 tahun 2003, tentang pendidikan nasional, pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Melihat dari tujuan pendidikan yang tertera jelas dalam Undang-Undang di atas, pendidikan sangatlah penting bagi bangsa Indonesia. Harapan untuk memeratakan pendidikan di Indonesia guna membentuk cendekiawan yang nantinya akan membangun Bangsa Indonesia menjadi lebih baik sudah bermunculan. Namun, harapan ini tidak bisa tercapai jika di antara tiga pemeran utama, yaitu pemerintah, pendidik, dan target pelajar tidak ada suatu kesepakatan yang sejalan.

Beberapa stereotip yang masih beredar di masyarakat pedesaan dan pedalaman adalah menganggap bahwa pendidikan, bagi wanita khususnya, hanya akan membuang-buang waktu saja. Wanita yang notabenenya menjadi pengurus rumah tangga dan penjaga mengepulnya asap dapur rumah tidaklah perlu untuk mengenyam ilmu yang terlalu tinggi. Lagi pula, ilmu tersebut tidak akan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pada masa setelahnya.

Lebih mirisnya lagi, hanya sedikit sekali populasi masyarakat pedalaman yang mengenal apa itu pentingnya pendidikan. Akses yang cukup sulit, kurangnya fasilitas yang memadai, kurangnya tenaga pengajar, dan kurangnya perhatian dari pemerintah bisa menjadi beberapa faktor mengapa hal ini bisa terjadi. Beberapa faktor lain seperti faktor ekonomi, lingkungan, budaya, bahkan adat istiadat mungkin saja menjadi faktor internal utama dalam hal ini.

Penempatan sekolah-sekolah yang masih belum merata mengakibatkan tidak tersedianya sekolah di setiap daerah. Pelajar harus menempuh jarak yang jauh dan sulit untuk sampai ke tempat sekolahnya. Namun terkadang, sesampainya mereka di sekolah, tidak ada guru yang mengajar. Hal tersebut bisa saja merusak semangat mereka untuk belajar.

Apakah dampak terbesar dari adanya pendidikan di daerah tertinggal
Selain itu, teknis pengajaran dan fasilitas yang kurang mumpuni menyumbang presentase yang cukup besar dalam hal ini. Pergantian kurikulum yang dipercayai mampu meningkatkan kualitas pendidikan yang cukup sering dilakukan tanpa diimbangi dengan fasilitas yang memadai membuat kualitas pendidikan di Indonesia menjadi semakin jomplang antara daerah maju dan daerah tertinggal. Daerah yang awalnya tertinggal menjadi semakin terbelakang dengan adanya pergantian kurikulum ini. Ditambah lagi kurangnya tenaga pengajar dan kualitas tenaga pengajar yang masih rendah semakin memperburuk keadaan pendidikan di Indonesia. Banyak tenaga pengajar yang ditempatkan di daerah tertinggal hanya dalam masa pengabdian untuk menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan akan kembali ke kota setelah menjadi PNS. Hal ini membuat pendidikan di daerah tertinggal menjadi semakin tidak terurus.

Mengubah pola pikir setiap masyarakat bukanlah hal yang mudah. Diperlukan kontribusi dari beberapa pihak dan suatu komitmen yang kuat demi memajukan serta meratakan pendidikan di Indonesia. Setelah ditelusuri lebih lanjut, faktor dari dunia pendidikan itu sendiri juga harus turut berkontribusi dalam hal ini. Maksudnya adalah tenaga pendidik haruslah mempunyai komitmen yang cukup kuat untuk mendidik, bukan hanya berjuang sampai mendapatkan gaji tetap sebagai PNS.

Perlu disadari bahwa seorang guru harus bisa menjadi motivator utama dan pertama bagi setiap siswanya untuk terus menuntut ilmu. Guru seharusnya bisa menjadi tolok ukur bagi siswanya untuk berpikir seberapa penting pendidikan sebenarnya. Dibutuhkan tenaga pendidik yang benar-benar berkompeten dan profesional guna meraih tujuan utama UU No. 20 Tahun 2003.

Diperlukan pula perhatian yang lebih dari pemerintah untuk masyarakat pinggiran dan pedalaman guna memperbaiki kualitas pendidikan mereka. Penyeleksian PNS seperti guru, haruslah memandang kompetensi, kepribadian, serta seberapa besar pengaruh orang tersebut kepada negara. Jika penyeleksian PNS tetap saja dengan cara menyogok, lalu kapan Indonesia akan menjadi negara yang maju dengan sistem pendidikan yang merata? Bukankah semua sendi kehidupan akan diuntungkan jika Indonesia menjadi negara yang maju?

Achnes Choirun Nisa
Mahasiswa Sampoerna University