Apa yang terjadi jika masyarakat tidak mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah


 

Jakarta, Badan PPSDM Kesehatan - Menteri Kesehatan dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH optimis, pemerintah akan memberikan perlindungan sosial bagi fakir miskin dan masyarakat tidak mampu melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan kesehatan yang dimaksud berupa perlindungan kesehatan yang bermanfaat untuk pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada penerima bantuan iuran jaminan kesehatan. Hal tersebut disampaikan Menteri Kesehatan pada Pertemuan Sosialisasi Implementasi SJSN Sektor Kesehatan berupa Jaminan Kesehatan  Nasional (JKN) yang diselenggarakan di Ruang Rapat Dr. J. Leimena, Kementerian Kesehatan pada  tanggal  9 Juli 2013.

Selama ini hanya sebagian kecil masyarakat yang mendapat perlindungan sosial baik berupa jaminan sosial maupun jaminan kesehatan seperti; Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes. Sedangkan sebagian besar masyarakat belum memperoleh perlindungan yang memadai. Disamping itu dalam pelaksanaannya Jaminan sosial tersebut belum mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai kepada para peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak peserta. Oleh karena itu  peserta Jamsostek, Jamkesmas,  Askes PNS, TNI Polri akan dialihkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Bidang Kesehatan, yang mulai operasional pada tanggal 1 Januari 2014.  Dan diharapkan tanggal 1 Januari 2019 seluruh masyarakat sudah masuk sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Selanjutnya Menteri Kesehatan menyampaikan pada pertemuan sosialisasi yang diikuti oleh para Pengurus Pusat Organisasi Profesi Kesehatan bahwa “Pembelajaran dari pelaksanaan Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat antara lain; terjadinya peningkatan utilisasi yang signifikan pada pemegang KJS, besaran tarif yang diberlakukan selama ini belum dapat menutup biaya pelayanan kesehatan di Rumah Sakit serta adanya kecenderungan peningkatan pembiayaan yang disebabkan penyakit tidak menular”.

 Turut hadir pada pertemuan sosialisasi Implementasi SJSN tersebut Wakil Menteri Kesehatan, Staf Khusus Presiden Post-MDGs Draft Development, Staf Ahli Menteri Kesehatan, pejabat Eselon I dan II serta Perwakilan Organisasi Profesi. Pertemuan Sosialisasi Implementasi SJSN sektor kesehatan ini diselenggarakan oleh Pusat Standardisasi, Sertifikasi dan Pendidikan Berkelanjutan SDM Kesehatan (Pustanserdik SDM Kesehatan), Badan PPSDM Kesehatan. (Zn)

Jakarta - Kesehatan dan kesejahteraan adalah kebutuhan dan hak dasar setiap rakyat Indonesia. Namun sangat disayangkan, perekonomian Indonesia tidak berkembang dengan cukup baik sehingga biaya hidup termasuk biaya kesehatan semakin mahal. Tidak semua anggota masyarakat dapat memperoleh kesejahteraan dan jaminan kesehatan memadai. Terutama anggota masyarakat berpenghasilan rendah.“Sebenarnya sesuai dengan UUD 1945 negara bertanggung jawab terhadap rakyat terutama untuk kesehatan, kesejahteraan dan kebutuhan dasar. Karena itu langkah penyediaan sistem jaminan sosial melalui BPJS ini sudah cukup tepat dan patut diapresiasi, ” ujar Agus Pambagio, Pakar Kebijakan Publik ketika diwawancarai oleh detikcom.Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diatur dalam Undang Undang No. 40 Tahun 2004 dan Undang Undang No. 24 Tahun 2011 tersebut baru diselenggarakan pada 1 Januari 2014. Sebagai program yang terbilang baru, Agus menyampaikan bahwa jaminan kesehatan melalui BPJS ini masih perlu banyak penyesuaian agar pelaksanaan di lapangan lebih mulus.Saat ini masih banyak ditemui sejumlah keluhan terutama terkait dengan kualitas layanan dan ketersediaan obat. Selain itu, terbatasnya jumlah rumah sakit yang dapat memberikan layanan kesehatan dengan BPJS. Saat ini program BPJS Kesehatan baru didukung oleh rumah sakit - rumah sakit daerah dan rumah sakit swasta golongan menengah kebawah saja, ujar Agus Pambagio dalam kegiatan Media Gathering BPJS Kesehatan 2014 di Imah Seniman Lembang.“Ini wajar, karena program ini masih baru dan memerlukan koordinasi antara beberapa pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah. Jangankan masyarakat, pemberi layanan kesehatan juga masih gagap dengan program ini. Karena itu pemerintah pusat, daerah dan Kemenkes yang tugasnya enforce agar lebih banyak lagi pihak terutama rumah sakit yang mendukung layanan jaminan kesehatan BPJS. Agar layanan kesehatan nantinya tidak perlu birokrasi panjang, antri dan sebagainya,” lanjutnya. Oleh karena itu, saat ini BPJS sebagai penyelenggara SJSN telah melakukan sejumlah perbaikan.Beberapa di antaranya adalah mempermudah proses registrasi peserta BPJS Kesehatan agar semakin banyak anggota masyarakat terlindungi, pembayaran iuran yang sederhana hingga proses pembayaran tagihan yang dipersingkat hingga kurang dari 14 hari kerja. Lebih lanjut menurut Agus, pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui BPJS, sudah merupakan program mulia yang positif untuk dikembangkan lebih lanjut. Melalui BPJS Kesehatan siapa saja, tidak memandang status sosial dan tingkat penghasilan dapat memperoleh layanan kesehatan yang layak.“Memang tidak mudah tapi satu atau dua tahun kedepan sudah harus sempurna pelaksanaannya. Lakukan investigasi mengapa masalah - masalah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat terjadi, lalu evaluasi apa yang perlu ditambah dan dikurangi. Terutama terkait perundang - undangan.Tujuannya supaya BPJS Kesehatan sebagai kebijakan publik berjalan dan berkembang. Tidak statis,” tutupnya. Sumber : detik.com

Setidaknya 20 juta jiwa warga miskin di Indoensia yang belum memiliki jaminan asuransi kesehatan akan bernafas lega pada 2014 mendatang. Pasalnya pemerintah akan menjamin seluruh Indonesia untuk mendapatkan jaminan kesehatan menyusul disahkannya Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

Ketua Asosiasi Jaminan Sosial Daerah DIY, Sugeng Irianto mengatakan BPJS Kesehatan meliputi PNS, TNi dan Polri, serta warga miskin. Bagi warga miskin, pada tahun 2014 mendatang pemerintah akan menaikkan quota sebesar 20 juta dari 76,4 juta jiwa menjadi 96,4 juta jiwa. “Dengan begitu akan memberikan kesempatan bagi pekerja baik formal maupun informal dengan pendapatan di bawah UMR memperoleh jaminan asuransi kesehatan apabila sakit. Demikian halnya bagi masyarakat yang belum tercover asuransi kesehatan,” katanya, Selasa (4/12) dalam Diskusi Tentang Jaminan Kesehatan Daerah yang diselenggarakan Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan ( KPMAK) Fakultas Kedokteran UGM.

Dalam kesempatan tersebut Sugeng juga menyorot tentang kriteria penerima Jamkesos yang memang seharusnya berubah tidak hanya karena seseorang berasal dari keluarga miskin dan tidak mampu. Hal ini dikarenakan banyaknya kasus gangguan kesehatan degeneratif yang akhirnya membuat miskin sebuah keluarga. Misalnya penyakit seperti kanker, gagal ginjal atau jantung yang dialami oleh keluarga level menengah mampu membuat keluarga tersebut menjadi miskin karena proses pengobatan yang lama dengan biaya mahal. “Oleh sebab itu ada baiknya jika kemiskinan dalam hal kesehatan dimaknai berbeda,” tandasnya.

Sugeng menyebutkan hingga saat ini terdapat sekitar 942.000 penduduk DIY atau 29 persen warga yang dijamin oleh Jamkesos. Sedangkan penjaminan dengan Jamkesda DIY sebanyak 320.000. Meskipun begitu masih saja terdapat data masyarakat yang tercecer meskipun telah dibantu melalui jaminan kesehatan dari pemerintah kabupaten/kota. “Jadi, sejauh belum ada amandemen UU Nomor 32 tahun 2004 yang juga berisi keharusan daerah mengembangkan jaminan sosial, kami merasa pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten atau kota masih memiliki wewenang melakukan penjaminan kesehatan bagi warganya diluar Jamkesos, meski nantinya akan diberlakukan BPJS,” ujarnya.

Sementara Sekretaris Eksekutif Kebijakan Pembiayaan dan Asuransi Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM Dyah Ayu Puspandari mengatakan pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos) yang berlaku saat ini dinilai belum bisa sepenuhnya menjamin kesehatan masyarakat miskin dan tidak mampu di Indonesia. Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan pengintegrasian sistem yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

“Yang terjadi adalah pelaksanaan sistem Jamkesos yang diinginkan pusat dan yang telah dilaksanakan daerah sering tidak cocok. Buktinya masih banyak ketidakcocokan data penerima Jamkesos. Karena itu pemerintah pusat dan pemerintah daerah rasanya perlu duduk bersama membicarakan implementasi sistem Jamkesos” terangnya.

Menurutnya instrumen sistem Jamkesos di Indonesia sebenarnya sudah baik, hanya perlu membuat pelaksanaannya menjadi benar dan adil. Selain integrasi pemerintah pusat dan daerah, menurutnya peran aktif masyarakat dibutuhkan. Masyarakat dapat berperan sebagai pengawas pelaksanaan untuk melakukan kroscek terhadap data penerima Jamkesos.

Diah menegaskan untuk penerima Jamkesos seharusnya memang berasal dari keluarga miskin dan tidak mampu. Namun hal ini perlu juga diamini oleh masyarakat setempat agar data yang diserahkan ke pusat dari daerah benar-benar valid. “Jadi data tidak hanya by name by address, tapi juga by fact,” jelasnya.

Sementara terkait penambahan kuota Jamkesos yang akan ditetapkan pemerintah pusat pada 2014 mendatang Diah menilai bahwa persoalan kuota bagi tiap daerah seperti sudah menjadi angka baku bagi pemerintah pusat. “Kuota harusnya hanya dianggap sebagai estimasi jumlah penerima Jamkesos saja, buka angka fix. Dengan begitu dapat dilakukan realokasi kuota dari daerah yang memiliki kuota lebih ke daerah yang kekurangan kuota. Ini jelas lebih adil dari pada menganulir warga miskin dari data Jamkesos akibat melebihi kuota atau mengakui warga mampu sebagai warga miskin karena kuota berlebih,” urai Diah.(Humas UGM/Ika)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA