Apa yang menyebabkan terjadinya peristiwa Malari?

JAKARTA, KOMPAS.com-Tepat 47 tahun lalu, pada 15 Januari 1974, ribuan mahasiswa yang dipimpin Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Hariman Siregar, melakukan aksi unjuk rasa di sejumlah tempat di Jakarta.

Unjuk rasa yang berlangsung di rezim Orde Baru itu menunjukkan sikap penolakan masuknya investasi asing yang berpotensi membuka celah korupsi di Pemerintah Indonesia, dan berdampak buruk bagi lingkungan serta hak asasi manusia.

Sayang aksi yang awalnya berlangsung damai berakhir menjadi sebuah malapetaka. Belasan orang meninggal, ratusan orang terluka, dan hampir seribu mobil dan motor dibakar.

Sejarah pun mencatat peristiwa ini sebagai Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari.

Baca juga: Sejarah Hari Ini: Tepat 71 Tahun yang Lalu Nama Jakarta Diresmikan

Kerusuhan Malari terjadi bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk kepentingan investasi Jepang di Indonesia.

Penolakan terhadap kunjungan perdana menteri Jepang saat itu dipicu oleh investasi asing mudah masuk dan melimpahnya produk-produk Jepang di Indonesia.

Sejak pemberlakuan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, kemudahan investasi diikuti pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun berkonsekuensi kerusakan alam dan pelanggaran hak asasi manusia.

Pada peristiwa Malari, rakyat membuat tiga tuntutan yang dikenal sebagai Tritura Baru 1974, yaitu agar pemerintah mau membubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri), menurunkan harga bahan pokok, dan mengganyang korupsi.

Baca juga: Sejarah Hari Ini: Penangkapan Pemimpin Sekte Kerajaan Tuhan Lia Eden pada 2005

Awal bentrokan

Awalnya, aksi mahasiwa terpusat di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. 

Sebelumnya ratusan mahasiswa dan pelajar melakukan long march dari kompleks Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat, menuju Universtas Trisakti.

Dalam aksi di Universitas Trisakti dilakukan pula pembakaran boneka Perdana Menteri Tanaka yang disimbolkan sebagai penjajah ekonomi.

Dari Kampus Trisakti, massa berniat melanjutkan aksi di dua titik yakni Istana Kepresidenan, kantor Presiden Soeharto; serta Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, lokasi Perdana Menteri Tanaka mendarat dari Jepang

Kerusuhan mulai pecah ketika rombongan mahasiswa yang menuju Istana Kepresidenan dihadang oleh aparat.

Baca juga: 5 Tahun Berlalu, Korban Bom Thamrin Iptu Denny Mahieu Sudah Maafkan Pelaku

Di saat yang sama, rombongan mahasiswa yang menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dijaga ketat oleh aparat sehingga gagal menerobos masuk pangkalan udara.

Dalam waktu singkat keadaan Ibu Kota menjadi mencekam karena aksi bentrokan rupanya telah menjalar ke berbagai lokasi di Ibu Kota.

Di Jalan Nusantara, Sunter, Jakarta Utara, massa aksi mendorong mobil buatan Jepang hingga menjatuhkannya ke sungai.

Selain itu, di jalan protokol kota, yaitu di Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman, mobil-mobil dan barang buatan Jepang menjadi tujuan utama perusakan. Barang-barang dirusak dan dibakar.

Kondisi diperparah dengan penjarahan terhadap toko-toko, bahkan sejumlah sauna milik pengusaha Jepang dibakar habis.

Baca juga: Bom Mematikan yang Pernah Guncang Jakarta Selain Bom Thamrin

Aksi ditunggangi

Dilansir dari harian Kompas, 16 Januari 1974, Meski dibayangi aksi demonstrasi besar-besaran, pertemuan Presiden Soeharto dengan PM Tanaka berjalan lancar di Istana Kepresidenan.

Dalam kerusuhan yang berlangsung selama dua hari ini tercatat 11 orang meninggal, 300 luka-luka, dan 775 orang lain ditahan aparat.

Pada saat yang sama, 807 mobil dan 187 sepeda motor terbakar, 144 bangunan rusak, serta 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.

Pertokoan dan perkantoran di Pasar Senen dan Harmoni juga dibakar dan dijarah oleh massa.

Tentunya hal ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah, apalagi ketika itu terjadi tepat ketika PM Jepang mengunjungi Indonesia.

Baca juga: Hari Ini 5 Tahun Lalu, Kopi Sianida Pesanan Jessica yang Tewaskan Mirna...

Soeharto malu dan marah besar terhadap aksi para mahasiswa. Lantas menyuruh segenap jenderal untuk melakukan tindakan terhadap para mahasiswa.

Di sisi lain, mahasiswa yang melakukan aksi politik tanpa kekerasan merasa aksinya ditunggangi oleh okum yang berupaya mengubah aksi unjuk rasa menjadi kerusuhan dan penjarahan.

Harian Kompas edisi 23 Desember 1974 mencatat Hariman Siregar harus menjalani persidangan selama empat bulan sebelum akhirnya divonis enam tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dinilai melakukan tindak pidana subversi.

Setelah Peristiwa Malari, sejumlah langkah diambil Soeharto, salah satunya adalah pembubaran lembaga asisten pribadi presiden yang menjadi salah satu tuntutan mahasiswa saat itu.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

KOMPAS.com - Malapetaka Lima Belas Januari atau yang biasa disingkat Malari merupakan insiden kerusuhan berdarah yang terjadi di era Orde Baru ketika Presiden Soeharto berkuasa.

Peristiwa ini terjadi 48 tahun lalu, tepatnya pada 15 Januari 1974 bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka untuk bertemu Soeharto.

Mahasiswa yang pada saat itu merasa kebijakan ekonomi Soeharto terlalu berpihak kepada investasi asing, memanfaatkan momen tersebut untuk turun ke jalan dan menggelar aksi unjuk rasa.

Akan tetapi, aksi unjuk rasa yang semula berjalan damai itu berujung kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Mahasiswa dituding sebagai biang keladi insiden tersebut.

Kerusuhan Malari pecah

Demonstrasi dalam rangka menyambut PM Kakuei Tanaka diawali dengan long march ribuan mahasiswa dan pelajar dari kampus Universitas Indonesia di Jalan Salemba menuju kampus Universitas Trisakti di bilangan Grogol.

Sesampainya di kampus Trisakti, para mahasiswa menggelar Apel Tritura 1974 yang berisi tiga tuntutan untuk pemerintah, yakni menurunkan harga bahan pokok, membubarkan asisten presiden, dan mengganyang koruptor-koruptor.

Setelah apel bubar, para pengunjuk rasa membakar patung PM Kakuei Tanaka sebagai simbol penolakan terhadap modal asing. Massa kemudian bergerak menuju Istana Kepresidenan.

Pada saat itu, Istana Kepresidenan menjadi tempat pertemuan antara Soeharto dengan Tanaka, yang sudah tiba di Indonesia sejak 14 Januari 1974.

Kerusuhan Malari pecah pada momen ini. Aparat menembakkan peluru ke arah demonstran yang dinilai melakukakn kekerasan dan perusakan terhadap bangunan serta kendaraan.

Baca juga: Mengenang Malari, Saat Mahasiswa Melawan Rencana Investasi Soeharto

Namun, mahasiswa membantah melakukan hal tersebut. Sebab saat itu mereka berdemonstrasi di sekitar Jalan MH Thamrin, sedangkan kerusuhan terjadi di sekitar Pasar Senen.

Berdasarkan data Google Maps, terlihat bahwa jarak antara Jalan MH Thamrin dengan Pasar Senen adalah sekitar 3 km.

Adapun waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Pasar Senen dari Jalan MH Thamrin dengan berjalan kaki adalah sekitar 38-45 menit.

Bantahan mahasiswa dan posisi Jalan MH Thmarin yang berjauhan dengan Pasar Senen lantas menimbulkan pertanyaan.

Baca juga: Jokowi Bertemu PM Jepang Saat Peringatan Malari, Ini Tanggapan Istana

Apa yang menyebabkan terjadinya peristiwa Malari?

Apa yang menyebabkan terjadinya peristiwa Malari?
Lihat Foto

Kompas

AKSI MALARI (Limabelas Januari) 1974 di sepanjang Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.


Benarkah kerusuhan Malari 1974 dipicu oleh demo mahasiswa?

Mengutip Harian Kompas, 16 Januari 2003, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menyebutkan, peristiwa Malari dapat ditelaah dari beberapa perspektif.

Menurut Asvi, ada yang memandang peristiwa Malari sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang.

Sementara itu, beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.

Selain itu, analisis lain menduga peristiwa itu dipicu oleh friksi elite militer Orde Baru.

"Ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo," kata Asvi.

Baca juga: Peristiwa Malari 1974, Protes Modal Asing atau Dampak Perpecahan Militer?

Dugaan friksi militer

Dalam buku-buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi.

Misalnya, Soemitro mengungkapkan bahwa Ali Moertopo dan Soedjono Humardani "membina" orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam).

Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten.

Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen.

Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).

Sebaliknya, "dokumen Ramadi" mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus.

"Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh".

Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani dan Ali Moertopo, orang-orang terdekat Soeharto. Tudingan dalam "dokumen" itu tentu mengacu Jenderal Soemitro.

Keterangan Soemitro dan Ali Moertopo mengenai peristiwa Malari berbeda, bahkan bertentangan. Hingga saat ini, tidak terungkap aktor intelektual di balik peristiwa itu.

Namun, serangkaian peristiwa penting terjadi pasca-peristiwa Malari.

Kerusuhan itu tercatat menyebabkan korban tewas sebanyak 11 orang, 685 mobil hangus, 120 toko hancur dan rusak, serta 128 korban mengalami luka berat dan ringan.

Tak hanya itu, Proyek Pasar Senen yang ketika itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 2,6 miliar terbakar habis.

Di sisi lain, Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono "didubeskan", diganti Yoga Sugama.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang.

"Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah," kata Asvi.

Menurut Asvi, setelah insiden itu Soeharto menjadi amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria "pernah jadi ajudan Presiden".

Ia menilai, sejak saat itu Soeharto mulai menjalankan berbagai upaya untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.

"Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis," kata Asvi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.