Apa yang menyebabkan perjanjian tersebut batal demi hukum

Batal demi hukum (bahasa Inggris: null and void) adalah istilah hukum yang berarti bahwa dari awal tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.[1] Istilah lain yang dapat digunakan adalah "void ab initio", yang berarti "dianggap tidak sah dari awal". Kebatalan yang terjadi berdasarkan undang-undang, berakibat perbuatan hukum yang bersangkutan dianggap tidak pernah terjadi.[2]

Dalam hukum Indonesia, suatu perjanjian akan dianggap batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat objektif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu "suatu hal tertentu" dan "sebab yang halal".[3] Untuk syarat "suatu hal tertentu", contohnya adalah Pasal 1332 KUH Perdata yang menyatakan bahwa "hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian", sementara Pasal 1333 KUH Perdata mengatur bahwa "suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya".[4] Sementara itu, untuk "sebab yang halal", kontrak yang dibuat harus sesuai dengan hukum berlaku dan tidak boleh melanggar kesusilaan atau ketertiban umum seperti yang ditetapkan oleh Pasal 1337 KUH Perdata. Ditambah lagi Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau telarang akan dianggap "tidak mempunyai kekuatan".[4]

Sebagai catatan, istilah "batal demi hukum" tidak sama dengan konsep "dapat dibatalkan", karena perjanjian yang "batal demi hukum" dianggap tidak pernah ada dari awal, sementara perjanjian yang "dapat dibatalkan" adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dan salah satu pihak dapat meminta pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan.[1]

  1. ^ a b Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, dari situs Hukum Online, 8 Agustus 2011, diakses 22 Januari 2018.
  2. ^ Suharsono, Fienso (2010), Kamus Hukum (PDF), Vandetta Publishing, hlm. 7 
  3. ^ Batalnya suatu perjanjian, dari situs Hukum Online, 25 Agustus 2004, diakses 22 Januari 2018.
  4. ^ a b KUHP: Kitab UU Hukum Perdata, diambil dari situs Google Books (hlm. 311-312), diakses 22 Januari 2018.

 

Artikel bertopik hukum ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Batal_demi_hukum&oldid=20763892"

Perjanjian adalah hal yang telah lama kita kenal, terutama apabila kita berjanji untuk melakukan sesuatu kepada pihak lainnya. Definisi perjanjian sendiri diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tepatnya pada Pasal 1313, yang bunyinya:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Dalam perjanjian terdapat syarat sah yang harus disepakati oleh para pihak terlebih dahulu sebelum mengikatkan dirinya, singkatnya, masing-masing pihak harus memiliki kemauan dan kehendak sendiri dalam melakukan perjanjian. Syarat sah perjanjian dimaksud diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, yakni:

  1. Adanya kesepakatan para pihak;
  2. Adanya kecakapan para pihak;
  3. Adanya suatu objek tertentu;
  4. Adanya sebab yang halal.

Angka 1 dan 2 merupakan syarat yang bersifat subjektif, sedangkan angka 3 dan 4 merupakan syarat yang bersifat Objektif. Keempat hal tersebut merupakam syarat sahnya suatu perjanjian yang memiliki akibat hukum jika salah satu atau lebih di antaranya tidak terpenuhi, akibat hukumnya adalah dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Misalnya dalam perjanjian perdamaian terdapat kesepakatan yang mengandung pemaksaan, penipuan, kekeliruan, atau penyalahgunaan keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1859 KUHPer, maka perjanjian perdamaian tersebut dapat dimohonkan ke pengadilan untuk dibatalkan. Atau semisal salah satu pihak dalam perjanjian belum cukup umur berdasarkan Pasal 330 KUHPer adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum kawin. Maka salah satu pihak bisa mengajukan pembatalan perjanjian dengan dasar pihak lain dalam perjanjian belum cakap hukum.

Sedangkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, semisal dikarenakan tidak ada unsur sebab yang halal dalam perjanjian dan bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Maka perjanjian tersebut batal demi hukum sejak awal artinya dari semula, pembuatan perjanjian itu sendiri sudah dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dilahirkan.

Untuk memahani lebih jauh tentang pembuatan perjanjian terutama perjanjian yang fokusnya pada pengembangan bisnis, ada baiknya anda mengikuti pelatihan ataupun pendidikan tentang penyusunan perjanjian. Dalam pelatihan tersebut, anda akan mempelajari tata cara lengkap pembuatan perjanjian mulai dari syarat yang harus dipenuhi hingga teknik penyusunan bahkan analisa suatu perjanjian.

Untuk mengikuti pelatihan tersebut juga sangat mudah. Anda dapat mengikuti Kelas Pengetahuan Mandiri tentang Teknik Penyusunan Kontrak. Waktunya fleksibel dengan biaya pendidikan yang sangat terjangkau

Pertanyaan:

Min, saya mahasiswa fakultas hukum semester 3, sampai saat ini saya belum bisa membedakan dapat dibatalkan dan batal demi hukum dalam suatu perjanjian, mohon penjelasannya min, terimakasih.

Jawaban:

Terimakasih atas pertanyaan yang sudah diajukan, mari disimak penjelasan berikut.

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut:

  1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
  2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
  3. Suatu hal tertentu
  4. Sebab yang halal

Poin 1 dan 2 merupakan Syarat Subjektif, sedangkan poin 3 dan 4 merupakan Syarat Objektif. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.

Berdasarkan Pasal 330 KUHPerdata yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika belum berumur 21 namun telah menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat mengadakan perjanjian. Hal ini termasuk dalam Syarat Subjektif dalam suatu perjanjian.

Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan oleh hakim.

Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Jadi, jika perjanjian dibuat dengan anak di bawah umur, tidak serta merta membuat perjanjian tersebut batal demi hukum, tapi harus dimintakan pembatalannya ke Pengadilan (penetapan hakim).

Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat, terimakasih.

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Prev Post

Orang Tua Meninggal Mendadak Dan Belum Membuat Wasiat Warisan

Next Post

Mengadopsi Anak Yang Berbeda Agama

PERJANJIAN “BATAL DEMI HUKUM” DAN “DAPAT DIBATALKAN”

Tujuan dari Perjanjian adalah untuk melahirkan suatu perikatan hukum , untuk melahirkan suatu perikatan hukum diperlukan syarat sahnya suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat sahnya perjanjian adalah :

1.          Kesepakatan para pihak

2.          Kecakapan

3.          Suatu hal tertentu

4.          Sebab yang halal

Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut “DAPAT DIBATALKAN”. Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah “BATAL DEMI HUKUM”. Batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Bahwa dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan yaitu dilihat adanya unsur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu dua unsur yang menyangkut  unsur subjektif dan dua unsur yang menyangkut unsur objektif dan pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan.