Apa yang kamu ketahui tentang berinfak dijalan Allah

Berinfak di jalan Allah adalah bagian dari perintahNya untuk para hamba-hambaNya. Semata-mata infaq yang dikeluarkan adalah untuk kemaslahatan, kebaikan, dan wujud ketaatan seorang hamba atas nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah SWT kepadanya. Rezeki tersebut bisa dalam bentuk harta, kekayaan, hasil perdagangan, bisnis, atau apa saja yang menjadi miliknya. Sebab harta itu diberikan dari Allah agar digunakan untuk kemaslahatan hambaNya.

Dari Abu Hurairah ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda dengan menyampaikan firman Allah ‘Azza Wa Jalla, “Berinfaklah, niscaya Aku akan menafkahimu.” (HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan Ibn Majah)

Umar ra. Berkata, “Amal-amal manusia itu akan saling berbangga diri, hingga sedekah pun berkata, ‘Akulah yang paling utama di antara kalian.”

Apa yang kamu ketahui tentang berinfak dijalan Allah

Berinfak di jalan Allah SWT adalah suatu ibadah yang dapat membersihkan jiwa, karena pada dasarnya harta merupakan cobaan bagi jiwa ketika menyerahkan harta, baik untuk zakat maupun sedekah. Harta merupakan ujian, apakah dengannya seorang hamba merasa ridha atau terpaksa? Apakah akan dermawan atau kikir?

Lalu apa makna berinfak di jalan Allah yang sebenarnya?

Mengutip dalam buku “Mutiara Hadis Qudsi, Jalan Menuju Kemuliaan dan Kesucian Hati” ada beberapa pengertian tentang menafkahkan harta di jalan Allah, yaitu:

1. Sedekah merupakan kebaikan bagi jiwa dan sarana untuk menyampaikan diri pada kebahagiaan.

Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan, artinya “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang-siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Tagabun: 16)

Bawasanya seorang manusia dianjurkan menafkahkan harta yang telah diberikan Allah kepada manusia untuk diberikan hak-haknya kpeada saudaranya, orang fakir dan miskin. Karena sesungguhnya kita dianjurkan untuk berbuat baik kepada sesama, sebagaimana Allah telah membantu kita para hambaNya.

Baca juga: Sedekah yang Paling Utama Ke Siapa Saja? 5 Golongan Ini Disebutkan dalam Al-Qur’an

2. Allah SWT menamakan sedekah sebagai qardh (pinjaman), karena Dia Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.

Diuraikan secara jelas dalam Al-Qur’an, yang artinya “Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Maksudnya, siapa saja yang menafkahkan hartanya di jalan Allah dengan infak yang baik demi mengharapkan keridhoanNya, pasti Allah akan membalas dan melipatgandakan pahalaNya yang tak dapat dihitung besar dan baiknya. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Rezeki. Dia mampu meluaskan dan menyempitkan rezeki sesuai yang Ia kehendaki.

3. Sedekah itu akan menyucikan jiwa dan membersihkannya dari setiap dosa yang merusak kejernihan hati.

Allah SWT berfirman, yang artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)

Karenanya, Allah SWT memerintahkan para RasulNya agar mengambil harta dari orang-orang mukmin sebagai sedekah yang akan membersihkan dan menyucikan jiwa mereka. Di samping itu, dengan mengeluarkan sedekah, jiwa kita akan bersih dari dosa-dosa.

4. Allah Ta’ala akan menerima tobat hamba-hambaNya denga mengambil sedekah. Maksudnya bahwa tobah dan sedekah itu merupakan cara untuk menghapuskan dosa-dosa yang pernah diperbuat.

Allah SWT berfirman, artinya: “Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya dan menerima zakat(nya), dan bahwa Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang?” (QS. At-Taubah: 104). Dalam ayat ini mengandung motivasi agar kita melakukan tobat dan mengeluarkan sedekah yang dapat menghapuskan dosa di masa lalu. Bila seorang hamba bertaubat, maka ia akan menerima taubatnya. Dan bila seorang hamba bersedekah, maka Allah pasti akan menerima dan menjaga pelakunya.

Baca juga: 5 Manfaat Sedekah Jumat yang Tidak Boleh Terlewat

Motivasi Berinfak di Jalan Allah

Apa yang kamu ketahui tentang berinfak dijalan Allah

Itulah, beberapa makna dari berinfak di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mudah-mudahan ini menambah semangat bagi kita semua untuk berlomba-lomba berdermakan harta di jalan Allah, jalan yang dapat menuju pada ridhoNya. Karena perumpamaan orang mukmin yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah, bagaikan satu biji yang ditanam di atas tanah yang baik.

Referensi: ‘Iwadh, Ahmad ‘Abduh, 2008, Mutiara Hadis Qudsi  Jalan Menuju Kemuliaan dan Kesucian Hati, Bandung: PT Mizan Pustaka

Allah melipatgandakan ganjaran bagi orang yang mengeluarkan harta di jalan-Nya.

Republika/Wihdan Hidayat

Pahala Orang yang Menginfakkan Harta di Jalan Allah. Salah satu layanan zakat, infak, dan sedekah drive thru dipasang di depan Masjid Al-Itishom, Jakarta Selatan.

Rep: Ali Yusuf Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Surah Al-Baqarah ayat 261, Allah SWT menjelaskan pahala dan bagaimana perumpamaan orang-orang yang menafkahkan harta dijalan Allah SWT. Perumpamaan orang yang mengeluarkan harta di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir yang pada tiap bulirnya berisi 100 biji. 

Baca Juga

"....Dan Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa saja yang dikehendaki. Dan Allah Mahahalus karunia-nya lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah 261).

Syekh Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi menafsirkan tentang Surah Al-Baqarah 261, bahwa berdasarkan sebuah hadis diterangkan amal itu ada enam macam dan manusia ada empat macam. Adapun enam amal tersebut adalah dua amal yang mewajibkan, dua amal yang seimbang, satu amal mengandung 10 kali lipat, dan satu amal yang mengandung pahala 700 kali lipat.

Amal yang mewajibkan adalah barangsiapa yang meninggalkan dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah SWT, ia akan tinggal di surga selama-lamanya. Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik ia akan masuk ke dalam neraka.

Amalan yang seimbang adalah, barang siapa berniat melakukan suatu kebaikan dan ia tidak dapat melakukannya, ia memperoleh satu pahala. Barangsiapa melakukan satu dosa, ia memperoleh satu dosa sebagai balasannya.

Barangsiapa melakukan kebaikan apa saja ia akan memperoleh pahala 10 kali lipat. Dan barangsiapa membelanjakan hartanya dijalan Allah ia akan memperoleh pahala 700 kali lipat dari setiap harta yang dibelanjakannya.

Syekh Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi mengatakan jenis manusia ada empat macam. Pertama, orang yang kaya di dunia dan kaya di akhirat. Kedua, orang yang kaya di dunia dan miskin di akhirat.

Ketiga, orang yang miskin di dunia dan kaya di akhirat. Keempat, orang yang miskin dunia dan miskin di akhirat. 

Syekh Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi menerangkan, rusaknya dan miskinnya amalan di dunia menyebabkan seseorang tidak memperoleh apa pun di akhirat kelak sehingga orang seperti itu rugi dunia dan rugi akhirat. Abu Hurairoh r.a. meriwayatkan Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa bersedekah satu biji kurma dengan syarat dari harta yang halal bukan dari harta yang haram karena Allah subhanahu wa ta'ala, maka Allah SWT akan memelihara sedekah itu sebagaimana kalian melihat anak kuda kalian sehingga sedekah itu akan menjadi besar seperti gunung."

Dalam hadits yang lain disebutkan barangsiapa menginfakkan satu biji kurma di jalan Allah SWT, Allah SWT akan meningkatkan pahalanya sehingga akan lebih besar dari Gunung Uhud. Gunung Uhud adalah gunung yang sangat besar di Madinah Munawwarah. 

  • sedekah
  • pahala sedekah
  • infak
  • harta
  • jalan allah

Apa yang kamu ketahui tentang berinfak dijalan Allah

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

MADANINEWS.ID, JAKARTA — Syariat agama Islam memiliki tiga sub-ajaran pokok, yaitu Imân, Islâm dan Ihsân. Ketiga sub ini sebenarnya berangkat dari sebuah hadits masyhûr yang biasa dikenal dengan istilah hadits Jibril.

Salah satu dari ketiga sub-ajaran itu adalah ihsân. Secara definitif, ihsân ini dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai:

قال فأخبرني عن الإحسان قال أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك رواه مسلم

“Jibril berkata lagi, ‘Beritahu aku apa itu ‘Ihsân!’’ Rasul menjawab, ‘Ihsân itu adalah jika Anda mengabdi kepada Allah seolah-olah Anda melihat-Nya, dan andai Anda tidak dapat melihatnya, maka Dia pasti melihat Anda,’” (HR Muslim).

Ihsân berasal dari fi’il tsulatsy mazîd dengan formula ah-sa-na (أحسن) yang makna literalnya adalah “berbuat baik, melakukan dengan baik, melampaui atau mengetahui dengan baik.” Jika mengikuti wazan fi’il tsulatsy mujarrad (kata kerja dasar) ha-su-na, maka arti literalnya adalah baik atau bagus.

Di dalam Al-Qurân, rumpun kata ini dipergunakan sebanyak kurang lebih 166 kali, yang secara bergantian menggunakan diksi al-husnâ, hasanah, hasanât, ahsana (fi’il), ahsanu (isim tafdhil), husnan, muhsinîn, ahsin (fi’il amar), dan lain sebagainya.

Dalam kesempatan ini, kita hendak mengurai penggunaan diksi hasan pada ayat Surat Al-Baqarah ayat 245. Allah SWT berfirman:

مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”

Di dalam Tafsir Al-Mishbah, KH Quraish Shihab menjelaskan penafsiran ayat ini sebagai berikut:

“Berjuang di jalan Allah memerlukan harta, maka korbankan harta kalian. Siapa yang tidak ingin mengorbankan hartanya, sementara Allah telah berjanji akan membalasnya dengan balasan berlipat ganda? Rezeki ada di tangan Allah. Dia bisa mempersempit dan memperluas rezeki seseorang yang dikehendaki sesuai dengan kemaslahatan. Hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan, lalu dibuat perhitungan atas pengorbanan kalian. Meski rezeki itu karunia Allah dan hanya Dia yang bisa memberi atau menolak, seseorang yang berinfak disebut sebagai ‘pemberi pinjaman’ kepada Allah. Hal itu berarti sebuah dorongan untuk gemar berinfak dan penegasan atas balasan berlipat ganda yang telah dijanjikan di dunia dan akhirat.”

Penafsiran yang disampaikan oleh KH Quraish Shihab di atas menjelaskan bahwa makna lafal hasanan yang dilekatkan pada qardhan (utang) adalah bermakna kerelaan seseorang mengorbankan hartanya dengan jalan infaq.

Orang yang demikian ini ibarat orang yang meminjami Allah dan baginya kelak dijanjikan berupa kelipatan pahala yang banyak baik di dunia maupun di akhirat. Penafsiran ini tampaknya senada dengan penafsiran Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya. Ia menyampaikan:

يحث تعالى عباده على الإنفاق في سبيله ، وقد كرر تعالى هذه الآية في كتابه العزيز في غير موضع

 “(Dengan ayat ini) Allah SWT menganjurkan kepada para hamba-Nya agar gemar berinfaq di jalan-Nya. Dia mengulang-ulang anjuran ini dalam kitab-Nya Yang Maha Mulia ini (Al-Qurân) dalam berbagai ayat yang lain,” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura2-aya245.html).

Masih menurut Ibnu Katsir, berdasarkan hadits yang melatari turun ayat ini, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Abi Hat’im dari sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud, sebuah keterangan menyebutkan bahwa:

لما نزلت : ( من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له ) قال أبو الدحداح الأنصاري : يا رسول الله وإن الله ليريد منا القرض ؟ قال : ” نعم يا أبا الدحداح ” قال : أرني يدك يا رسول الله . قال : فناوله يده قال : فإني قد أقرضت ربي حائطي . قال : وحائط له فيه ستمائة نخلة وأم الدحداح فيه وعيالها . قال : فجاء أبو الدحداح فناداها : يا أم الدحداح . قالت : لبيك قال : اخرجي فقد أقرضته ربي عز وجل

“Ketika ayat (man dzal ladzi yuqridhulllaha qardhan hasanan fayudhâ’ifahu lahu)  ini turun, terdapat seorang sahabat yang bernama Abud Dahdah dari kalangan sahabat Anshar menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh Allah telah menghendaki kita agar mengutangi-Nya?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Benar, wahai Abud Dahdâh.’ Abud Dahdâh berkata, ‘Perlihatkan tangan Anda, Wahai Rasulullah!’ Ibnu Mas’ud berkata, ‘Lalu tangan Rasulullah diraih.’ Abud Dahdâh berkata, “Aku mengutangkan tembokku kepada Tuhanku.’ Ia melanjutkan, ‘Tembok itu terdiri atas 600 pohon kurma yang Ummud Dahdâh beserta keluarganya tinggal di dalamnya.’ Ibnu Mas’ud kemudian berkata, ‘Lalu pulang Abud Dahdâh menghampiri istrinya dan memanggilnya, ‘Wahai Ummud Dahdâh!’ Sang istri menjawab, ‘Saya, suamiku.’ Abud Dahdâh berkata, ‘Keluarlah kamu! Aku telah mengambil janji mengutangkan semua ini kepada Tuhanku Yang Maha Mulia lagi Maha Agung,’” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura2-aya245.html).

Tindakan Abud Dahdâh ini merupakan bentuk pengamalan dari ayat yang berisi qardhan hasanan di atas. Artinya, ayat itu berkisah tentang kerelaan sahabat dalam menginfakkan hartanya di jalan Allah sebagaimana disinggung oleh kedua mufassir di atas. Hadits riwayat tafsir ini juga disampaikan oleh mufassir yang lain, yaitu Al-Baghawy, At-Thabary dan Al-Qurthuby. Syekh Jalâluddin Al-Mahally menyampaikan dalam Tafsir Jalâlain secara umum pengertian yang sama.

Ada penafsiran lain terkait dengan “qardhan hasanan” berdasar hadits riwayat sahabat Umar bin Khathab dalam rupa hadits marfu’ yang sanadnya bersambung sampai Rasulullah SAW. Umar berkata هو النفقة في سبيل الله (yaitu, infaq di jalan Allah SWT). Dalam penafsiran lain disebutkan هو النفقة على العيال  (yaitu, memberikan nafkah kepada keluarga).

Ada juga ulama yang menafsirkan sebagai هو التسبيح والتقديس (yaitu, membaca tasbîh dan taqdîs (penulis memahasucikan Allah dan menyucikan dari segala bentuk hal yang mengarah kepada penyekutuan).

Riwayat hadits lain yang menjelaskan proses turunnya ayat menjelaskan bahwa ayat ini turun setelah Surat Al-Baqarah ayat 261 dan berfungsi menjelaskannya. Allah SWT berfirman:

مثل الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل

Artinya, “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti menanam sebuah biji, yang darinya tumbuh tujuh tandan,” (Surat Al-Baqarah ayat 261).

Saat itu, kemudian Nabi SAW berdoa رب زد أمتي (Wahai Tuhanku! Lebihkan atas umatku!). Dari sini lalu turun ayat من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له أضعافا كثيرة (Siapa saja yang memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatkan baginya berupa pahala dengan kelipatan yang banyak). Ternyata Rasulullah SAW tidak berhenti sampai di sini. Ia berdoa lagi: “رب زد أمتي (Wahai Tuhanku! Berikan tambahan lagi atas umatku!). Lalu turunlah ayat yang lain:

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Artinya, “Katakan [Muhammad]! Wahai hamba-Ku yang terdiri atas orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Bagi mereka yang telah berbuat baik di dalam kehidupan dunia ini, terdapat sebuah kebaikan (yang dijanjikan). Bumi Allah teramat luas. Sungguh, orang-orang yang penyabar akan diberikan pahala yang tidak dapat dihitung,” (Surat Az-Zumar ayat 10).

Yang menarik dari tafsir ayat dengan ayat ini, adalah ada diksi yang disertakan dalam Surat  Az-Zumar ayat 10 di atas. Diksi itu adalah وأرض الله واسعة (Bumi Allah teramat luas). Penggunaan diksi ini sebagaimana disinggung oleh Mujâhid, makna wâsi’ah selalu identik dengan makna rezeki dunia berupa materi.

Walhasil, penafsiran terhadap Surat Al-Baqarah ayat 245 di atas, seolah menjadi bermakna: “bahwasanya orang yang telah berbuat baik di dunia sebagaimana diibaratkan telah mengutangi Allah, maka bagi dirinya akan diberikan balasan selain berupa pahala yang banyak, dirinya juga akan diberi balasan di dunia berupa materi.”

Dengan kata lain, makna “hasan” pada ayat itu, tidak hanya sebuah perbuatan baik yang berkonotasi akhirat, melainkan juga dunia. Jika makna ayat ternyata juga berkonotasi pada dunia, maka yang dimaksud “mengutangi Allah dengan jalan yang baik,” adalah juga bermakna memberikan pinjaman kepada sanak kerabat yang membutuhkan pinjaman, dan pinjaman itu disampaikan dengan cara yang baik karena semata mengharap ridha Allah.

Dalam konteks fiqih, hal ini disebut dengan istilah pinjaman tabarru’ (sukarela). Karena yang diharapkan hanya ridha Allah, maka tidak ada syarat yang turut disertakan. Namun, pemaknaan ini berasal dari sudut pandang orang yang meminjami (muqridh).

Adapun kewajiban yang berlaku atas orang yang meminjam adalah sebagaimana disinggung oleh Allah SWT dalam Surat Az-Zumar ayat 10, yaitu berbuat ihsân atas pinjaman yang diberikan. Antara hasan dan ihsân terdapat “manajemen risiko” yaitu berupa istihsân sebagaimana disinyalir lewat penggalan ayat وأرض الله واسعة (Bumi Allah teramat luas). Inilah pengamalan dari ihsân sebagaimana terdapat dalam hadits Jibril yang telah disinggung dalam awal tulisan ini. Wallâhu a’lam bis shawâb.