Apa persepsi masyarakat tentang bencana lingkungan

DI INDONESIA

Ahmad Sabir 1) , dan M. Phil 2)

Fakultas Psikologi, Universitas Mercubuana, Jakarta Email :

Abstract

This study intends to analyze public perception of the disaster. There were many disasters in Indonesia, ranging from natural disasters such as volcanic eruptions, earthquakes, weather anomalies, floods etc. to non-natural disasters such as wars, riots, accidents etc. The purpose of this study is specifically intended to answer research questions about how people’s perceptions of the disaster in Indonesia, both from the perspective of those affected by the disaster, as well as from people who are not or have not been affected by the disaster. This study used a qualitative method with phenomenological approach and psychological anthropology. The process of data collection is done through a method of documentation library, free interviews and interpretation of diverse views within the community perspective on the reality of the disaster in Indonesia. A preliminary interpretation fatalist tendency in society perspective of looking at natural disasters of Mount Merapi. Followed by escapism for the disaster that the shape can be jumped into a religious faith or inclination to memitologisasi disaster. In addition, there is a different interpretation in the perspective of those who are not or have not been affected by the disaster, especially those who do not are planted in the disaster, which saw the disaster as a profitable commodity, whether it is regarded as a political commodity as well as the capitalization of the disaster. Diverse community perspectives on disaster in Indonesia would be required to provide input in order to make a proper strategy in disaster management in Indonesia.

Keywords: Disaster, Public Perception on disaster.

Abstrak

Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis persepsi masyarakat mengenai bencana. Ada banyak bencana di Indonesia, mulai dari bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, anomaly cuaca, banjir dll sampai bencana non alam seperti perang, kerusuhan, kecelakaan dll. Dari maksud tersebut penelitian ini secara spesifik ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang bagaimana persepsi masyarakat mengenai bencana di Indonesia, baik dari mereka yang terkena dampak bencana, maupun dari orang yang tidak atau belum terkena dampak bencana. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan antropologi psikologi. Proses pengumpulan data dilakukan melalui metode dokumentasi pustaka, wawancara bebas dan interpretasi atas beragam pandangan dalam perspektif masyarakat mengenai realitas bencana di Indonesia. Interpretasi awal menunjukkan kecenderungan perspektif fatalis pada masyarakat dalam memandang bencana alam Gunung Merapi. Kemudian diikuti oleh eskapisme atas bencana yang bentuknya bisa jadi melompat ke dalam iman agama atau kecenderungan untuk memitologisasi bencana. Disamping itu, terdapat interpretasi yang berbeda dalam perspektif pada mereka yang tidak atau belum terkena dampak bencana khususnya mereka yang tidak terkena dampak bencana, yang memandang bencana sebagai komoditi yang menguntungkan, baik itu dianggap sebagai komoditi politik maupun kapitalisasi. Beragam perspektif masyarakat mengenai bencana di Indonesia kiranya diperlukan untuk memberikan masukan dalam rangka pembuatan strategi yang tepat dalam penanggulangan bencana di Indonesia.

Kata Kunci: Bencana, Persepsi Masyarakat terhadap Bencana

PENDAHULUAN

Gunung Merapi dan relief lapisan bumi yang gampang berubah, yang semua itu menyimpan

Indonesia adalah Negara yang subur, potensi ancaman dari alam bagi masyarakat dengan segala kecukupan sumber daya alam Indonesia. Ancaman itu, bisa jadi berupa gempa yang melimpah dan beragam membuat Indonesia bumi, gunung meletus, tanah longsor, banjir dan menjadi surga bagi semua biota yang ada di lain sebagainya.

dalamnya. Akan tetapi, dibalik ketersediaan Bencana sangat dekat dengan masyarakat alam yang melimpah tersimpan ancaman, letak Indonesia, bahkan hidup bersama masyarakat geographis Indonesia menyebabkan banyaknya dalam keaadaan alam yang ditinggalinya

maupun pada pemenuhan hasratnya dalam

Gambaran Umum Persepsi Masyarakat Terhadap Bencana Di Indonesia

pengelolaan alam sekitar. Akan tetapi, seringnya masyarakat Indonesia kurang perhatian terhadap bencana justeru sebelum bencana itu menimpanya. Saat melanda, benca selalu saja membawa kepiluan atas tragedi kemanusiaan. Bencana menyebabkan kerugian baik moril maupun materil di tengah-tengah masyarakat, menyebabkan degradasi mental masyarakat, gangguan psikis dan jatuhnya korban jiwa. Bencana selalu menyandera kita atas perjumpaan kita dengan mereka yang terkena dampak. Dalam bencana yang datang tiba-tiba dan tanpa prediksi, masyarakat larut dalam suasana yang mencekam, panik dengan membawa segudang persoalan masing-masing yang berubah menjadi gangguan psikis ditala oleh bencana yang menimpa.

Dalam setiap peristiwa bencana, karena dampak buruk yang ditimbulkannya dari insiden kritis. Psikologi selalu dibutuhkan dan diarahkan pada upaya meminimalisir dampak yang muncul dari bencana. Pada kasus-kasus insiden kritis yang ringan, seseorang mungkin dapat pulih dengan cepat pada peristiwa bencana yang dialaminya. Namun pada kasus- kasus tertentu, terutama yang melibatkan kehilangan, seseorang terkadang membutuhkan bantuan untuk memulai kembali hidupnya.

Bantuan psikologis sebagaimana intervensi psikologi terhadap bencana hanya difokuskan pada bantuan setelah peristiwa bencana terjadi pada orang-orang yang terkena dampak bencana sedemikian ini, dan belum terlihat atau jarang bantuan psikologi melakukan intervensi pada masyarakat yang dianggap rentan terhadap bencana khususnya bencana alam.

Bencana alam yang terjadi di Yogyakarta tahun 2006 baik gempa bumi maupun meletusnya gunung Merapi menunjukkan kepada kita sederetan kisah pilu mengenai peristiwa bencana yang melanda. Tiada yang mengira bencana alam gempa bumi bakal terjadi dari selatan Yogya yang berdekatan dengan pantai saat prediksi masyarakat baik intelektual maupun masyarakat awam tertuju ke utara dengan tanda-tanda meletusnya gunung Merapi. Berbagai persiapan menjelang meletusnya Gunung merapi sudah dipersiapkan, baik dengan membangun bunker,

membuat jalur evakuasi yang efisien dlsb, sebaliknya masyarakat di selatan merasa aman

dekat dengan pantai dan jauh dari gunung. Dengan kondisi dan situasi demikian, justeru bencana alam gempa bumi muncul diselatan ditandai dengan turunnya ancaman pada status siaga pada Gunung Merapi. Hal ini jelas membuat masyarakat Yogya menjadi goyah perspektifnya dalam memandang realitas bencana yang terjadi, terlebih setelah itu disusul oleh bencana awan panas dari letusan Gunung Merapi yang menewaskan ‘kuncen’ merapi mbah Maridjan dan sejumlah warga yang merasa sudah aman dan sebelumnya sempat dievakuasi diluar lokasi bencana saat menunggu bencana Gunung Merapi.

Peneliti kebetulan berdomisili disana pada saat bencana gempa Yogya terjadi, jelas melihat kepanikan masyarakat yang begitu kalut. Masyarakat terguncang dan mewanti- wanti, getaran gempa masih berulang walupun kecil dan terus saja membayangi, sementara debu dari letusan dan awan panas merapi terus saja menghujani rumah-rumah warga. Dalam kondisi demikian, dapat dilihat perspektif masyarakat Yogya terhadap bencana baik yang diproyeksi dari sikap, pandangan dan prilaku masyarakatnya atas situasi yang ada.

Banyak masyarakat Yogya pada waktu itu melihat bencana dalam perspektif mistis karena sulitnya realitas itu diterima. Banyak warga yang menaruh bambu kuning, janur di atas pintu depan rumahnya sebagai tradisi tolak bala atas bencana yang terjadi. Terjadi mitologisasi bencana sedemikian bahkan lebih marak lagi. Kebanyakan masyarakat menafsirkan bencana lewat mitos. Kepulan awan panas berbentuk Mbah Petruk—salah satu tokoh pewayangan Jawa—yang menjulang ke langit dari letusan Merapi, misalnya, dianggap sebagai pertanda kemarahan penghuni gunung; bencana yang semakin parah merenggut banyak korban jiwa akan terjadi dari meletusnya Merapi dll. Kurang rukunnya ‘kuncen’ utara gunung merapi dan ‘kuncen’ pantai selatan pun mengemuka. Tradisi seperti mendapatkan kekuatan kembali disaat science positivistic merajai setiap sudut kos-kosan Yogya sebagai kota pelajar.

Latar belakang diatas, menunjukkan kepada kita bahwa fenomena bencana selalu

Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Volume 5, Nomor 3, November 2016, halaman 304 - 326

dipahami sebagai sesuatu yang lain dalam dan mendalam karena pengumpulan datanya masyarakat kita. Untuk itu penulis merasa tidak dibatasi pada kategori-kategori tertentu perlu untuk melihat secara jelas gambaran melainkan bersifat multi-metodologi dengan persepsi masyarakat mengenai bencana, yang

melibatkan proses inquiries (penyelidikan) di di dalamnya akan termuat pengertian bencana

dalamnya (Koentjoro, 2007). dan beragam persepsi tentangnya baik bagi

Metode yang digunakan dalam mereka yang terkena dampaknya maupun bagi

penelitian ini adalah metode fenomenologi. masyarakat diluar dari yang terkena dampak.

Dasar dari segala tingkah laku kejiwaan Pengertian bencana menjadi kunci dalam usaha

adalah persepsi batin (inner perception) yaitu penelitian ini untuk menemukan beragam persepsi yang tidak terbatas pada persepsi persepsi masyarakat mengenai bencana.

indera. Debedakan antara aksi psikis dan isi Penelitian ini diharapkan dapat non-psikis dalam fenomena kejiwaan. Sebuah memberikan manfaat dari hasil yang dicapai

kursi misalnya adalah suatu isi non-psikis. terutama bagi kajian Psikologi Bencana. Begitu kursi itu bersentuhan dengan indera Penelitian ini diharapkan dapat memberi dan masuk ke dalam persepsi, dan terjadilah sumbangan bagi pengembangan kajian aksi psikis, begitupun dengan bencana sebagai Psikologi dalam memberikan kontribusi sebuah realitas peristiwa. pemahaman atas realitas bencana dari persepsi

Selain dengan fenomenologi, metode masyarakat mengenai bencana. Sehingga, dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian ini dapat menjadi wacana baru yang dipakai oleh Antropologi Psikologi yang pijakan konseptual (ilmiah) bagi kebijakan menekankan pada interpretasi mendalam atau peraturan perundang-undangan dalam secara subjektif mengenai objek yang diteliti. merespons realitas bencana untuk pembuat Ember dan ember (1985: 388) mendefinisikan kebijakan. Dan umumnya bagi masyarakat Antropologi Psikologi sebagai sebuah studi luas, penelitian ini diharapkan dapat yang dilakukan oleh para ahli antropologi yang

memberikan kontribusi dalam mengubah tertarik pada perbedaan antropologis di antara sekaligus menawarkan sudut pandang baru dan di dalam suatu masyarakat dan persamaan yang lebih arif dalam mempersepsikan realitas

psikologis pada rentang yang luas di dalam bencana khususnya hubungannya pada alam masyarakat. Oleh sebab itu jelas bahwa dan lingkungan, sehingga secara praktis dapat

penelitian ini adalah penelitian kualitatif. memberikan insight tentang aturan dan tata

Sebagai sebuah metode untuk cara berelasi, baik dalam berinteraksi maupun

memahami sebuah peristiwa, fenomenologi mengelola, hubungan dengan alam dan membutuhkan tiga hal agar sebuah penafsiran lingkungan, termasuk bencana itu sendiri.

bisa dikatakan sempurna. Yang pertama adalah peristiwa itu sendiri, yang kedua

METODE

interpreter yang terlibat di dalam peristiwa, dan yang terakhir adalah author yang dalam

Salah satu pendekatan yang relevan hal ini dipahami sebagai sesuatu yang

guna menganalisis fenomena bencana di memungkinkan sebuah peristiwa terjadi. Dua

Indonesia untuk kebutuhan menentukan hal pertama adalah hal yang pasti karena

strategi yang tepat, lebih maksimal dan sebuah interpretasi tidak akan terjadi kalau

mendalam dalam upaya penanggulangannya tidak ada interpreter dan peristiwa yang akan

lewat jalan psikologis adalah pendekatan diinterpretasi. Tetapi hanya menginterpretasi

kualitatif. Pendekatan kualitatif mampu saja ternyata tidak cukup. Seorang interpreter

memahami manusia sebagai makhluk subjektif harus bisa memahami sesuatu dibalik peristiwa

dengan segala kompleksitasnya namun atau yang disebut sebagai sang author. Dalam

tetap berfokus pada makna individual untuk hal ini adalah bagaimana latar belakang sang

mampu menerjemahkan kompleksitas sebuah author, situasi sosial, dimensi historis dan lain

persoalan. Penelitian kualitatif memungkinkan sebagainya. Hal ini dibutuhkan karena author

untuk mempelajari isu-isu tertentu secara detail pasti sesuatu yang mampu melahirkan sebuah

Gambaran Umum Persepsi Masyarakat Terhadap Bencana Di Indonesia

peristiwa. Karena itulah author merupakan sisi dilakukan dengan cara peneliti bertugas turun yang sangat penting dalam rangka memahami

ke lapangan untuk mengamati perilaku dan sebuah peristiwa dan karena itu tidak boleh aktifitas individu-individu di lokasi penelitian. ditinggalkan.

Selama melakukan proses penelitian ini, Dalam interpretasi diri atas peristiwa

peneliti merekam dan mencatat baik dengan bencana yang diarahkan pada upaya penemuan

cara terstruktur maupun tidak terstruktur gambaran psikologis dalam peristiwa bencana,

(Creswell, 2009).

setidaknya penelitian ini diarahkan pada Penelitian ini menggunakan metode subjek penelitian yang relevan dimana peneliti

observasi partisipan artinya peneliti mengamati mencoba berlaku sebagai interpreter dalam secara langsung subjek yang tinggal dalam

hal ini yang tentu saja berupaya merefleksikan suatu kelompok kebudayaan, belajar dan setiap peristiwa bencana dengan mencari berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari data sesanggupnya mengenai author sebagai mereka yang bertujuan untuk memperoleh sesuatu dibalik realitas bencana.

data yang akurat sesuai dengan konteks makna Adapun subjek penelitian ini adalah budaya dan sosial dalam struktur kelompok realitas bencana sebagai sebuah peristiwa, kebudayaan tersebut (Davies, 1999). Peneliti kesadaran umum masyarakat mengenai sendiri merupakan bagian dari mereka yang bencana dan beragam kesadaran masyarakat beberapa kali terkena dampak dan terlibat secara individu maupun publik mengenai langsung dalam berbagai bencana. keterlibatannya terhadap bencana khususnya

Penelitian ini menggunakan pendekatan di Indonesia. Dan dari beragam kesadaran ini

kualitatif dalam interpretasi atas keterlibatan dipilih yang menurut peneliti representative peneliti terhadap realitas bencana. Adapun untuk menemukan strategi psikologis lama waktu keterlibatan peneliti terhadap untuk secara psikologis menangani dan bencana tidak tentu selama keterlibatan peneliti menanggulangi bencana di masyarakat.

terhadap bencana yang ada. Hal ini karena Data awal diperoleh melalui beragamnya persepsi masyarakat yang sekilas keterlibatan langsung peneliti atas peristiwa ditangkap peneliti dalam setiap bencana yang bencana secara empiris, dimana telah terdapat

menimpa masyarakat. Sementara, penyusunan interpretasi awal peneliti atas peristiwa penelitian ini dalam rumusan yang disesuaikan

bencana yang telah dihadapi melalui refleksi dengan langkah-langkah diatas dilaksanakan permenungan awal tentang realitas bencana. selama 6 bulan. Dan analisis data dijalankan Kemudian, mengingat metode yang digunakan

lewat tahapan deskripsi, komparasi dan dalam hal ini adalah interpretasi, maka kemudian interpretasi peneliti. setidaknya data diperoleh melalui 3 hal yang

Deskripsi; Peneliti menguraikan secara diarahkan pada wilayah subjek penelitian. umum pandangan-pandangan mengenai Pertama, melalui studi kepustakaan berupa bencana, defenisi dan konstruksi bencana data-data tertulis mengenai realitas bencana. sebagai sebuah peristiwa dan juga sikap yang Kedua, informasi yang didapat melalui orang

muncul dalam menangkap dan memahami lain sebagai informan atas realitas bencana realitas bencana. yang ia hadapi melalui wawancara. Ketiga,

Komparasi; Peneliti membandingkan refleksi interpreter yang dalam hal ini peneliti

perbedaan yang mencolok dalam setiap dalam membandingkan data yang diperoleh pandangan dan sikap dalam memahami realitas melalui interpretasi awal, studi pustaka dan bencana, agar peneliti dapat menunjukkan informan dalam realitas bencana.

bahwa ada persepsi yang berbeda dibalik Kemudian langkah-langkah dalam setiap sikap dalam menangkap dan memahami penelitian ini disusun dengan cara; Observasi

bencana. Kemudian, beragam persepsi itu dan Dokumentasi.

dibandingkan dengan interpretasi mendalam Dalam penelitian kualitatif, observasi interpreter dalam hal ini peneliti. merupakan sebuah unsur yang penting dalam

Interpretasi; Untuk dapat menangkap proses pengambilan data. Proses observasi topik yang diteliti, penulis menggunakan

Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Volume 5, Nomor 3, November 2016, halaman 304 - 326

metode interpretasi sehingga topik yang Sementara Asian Disaster Preparedness diteliti dapat dipahami secara mendalam. Center (ADPC) mendefinisikan bencana dalam Dengan metode ini, diharapkan akan mampu

formulasi

memahami lebih jauh persepsi yang berada “The serious disruption of the dibalik setiap sikap dan pandangan yang

functioning of society, causing muncul dalam menangkap dan memahami

widespread human, material or realitas bencana.

environmental losses, which exceed the ability of the affected communities

HASIL DAN PEMBAHASAN

to cope using their own resources”. (Abarquez & Murshed, 2004:1)

Bencana dalam berbagai kajian tentang Semua defenisi tentang bencana yang

bencana selalu diartikan sebagai sisi buruk pernah dipahami dan dipersepsi, tak ada satu

dari kenyataan yang dihadapi manusia, bahwa pun pengertian bencana yang ditujukan pada

bencana merupakan suatu peristiwa yang kerugian dan kerusakan yang terjadi hanya

mengakibatkan kerugian pada manusia, baik pada satu individu, bencana selalu dipahami

materil maupun immateril bahkan sampai dalam kerangka kerusakan yang sifatnya

pada kematian manusia. Bencana selalu massal dalam skala tertentu pada manusia.

dipahami sebagai gangguan yang merusak Naomi Zack mencatat bahwa bencana

pada kehidupan masyarakat, sebagaimana selalu datangnya tiba-tiba, mendadak dan

pengertian tentang bencana oleh UNHCR, Red

mengagetkan.

Cross dan badan-badan penanganan bencana “Disasters always occasion surprise

lain dalam setiap negara di dunia. and shock; they are unwanted by those

Bencana atau yang dalam bahasa affected by them, although not always

Inggris dipahami sebagai disaster menurut unpredictable. Disasters also generate

WHO (World Health Organization) adalah narratives and media representations

setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, of the heroism, failures, and losses of

gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia those who are affected and respond”.

atau memburuknya derajat kesehatan atau

(Zack, 2009:7).

pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau

Sebagai sebuah peristiwa fisik, definisi bencana mengandung tiga aspek dasar.

wilayah yang terkena. Bencana adalah situasi Pertama, terjadinya peristiwa atau gangguan

dan kondisi mengancam yang terjadi dalam yang mengancam dan merusak (hazard).

kehidupan masyarakat. Tergantung pada Kedua, peristiwa atau gangguan tersebut

cakupannya, bencana ini bisa merubah pola mengancam kehidupan, penghidupan, dan

kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat fungsi dari masyarakat. Ketiga, ancaman

yang normal menjadi rusak, menghilangkan tersebut mengakibatkan kerugian juga korban

harta benda dan jiwa manusia, merusak dan melampaui kemampuan masyarakat

struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.

lonjakan kebutuhan dasar. (Abarquez & Murshed, 2004:2). Ketiga aspek

Di Indonesia sesuai dengan UU No. 24 tahun 2007 bencana didefinisikan sebagai: dasar ini menunjukkan bahwa bencana intinya

adalah sebuah ancaman ataupun bahaya “peristiwa atau rangkaian peristiwa

yang menimpa kehidupan manusia. Bencana yang mengancam dan mengganggu

dengan demikian terkadang juga bisa disebut kehidupan dan penghidupan masyarakat

sebagai ancaman, bahaya ataupun krisis yang yang disebabkan, baik oleh faktor alam

menghantui kehidupan manusia dalam sebuah dan/atau faktor non alam maupun faktor

masyarakat tertentu.

manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

Kontruksi Bencana; Sebuah Peristiwa

kerusakan lingkungan, kerugian harta Ada beberapa pendekatan dalam

benda, dan dampak psikologis”. memahami bencana. Bencana sebagai sebuah

Gambaran Umum Persepsi Masyarakat Terhadap Bencana Di Indonesia

peristiwa, apapun bentuknya dapat dilihat dari huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik, berbagai pendekatan dalam memahaminya. ganguan komunikasi, gangguan transportasi Pertama, bencana dapat dilihat dari penyebab

dan lainnya.

kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Gempa bumi yang mengakibatkan Kedua, bencana juga dapat dilihat dari akibat

kerugian yang mendalam dan korban jiwa yang ditimbulkannya. Kemudian, bencana yang banyak menimpa diberbagai negara juga dapat dipahami dari respon masyarakat

seperti di Haiti 2010, Padang-Indonesia 2010 dalam menghadapinya.

dan tsunami di Aceh-Indonesia 2004 dan Bencana pada dasarnya dapat berupa

Jepang 2010 adalah salah satu contoh dari perang, kekeringan, kelaparan, badai, bencana alam. Gunung meletus di Yogyakarta banjir, tsunami, tanah longsor, erosi, gempa,

tahun 2006 juga merupakan bencana alam. ledakan nuklir, wabah penyakit, kerusakan Akan tetapi, beberapa bencana yang tadinya

fisik, kehilangan harta, cacat, kecelakaan dikategorikan bencana alam, yang mana transportasi, kerusakan mental maupun sebagai sebuah bencana yang ditimbulkan kerusakan pada struktur dan sistem sosial oleh gejala dan fenomena alam mengalami (Abdullah, 2006:5).

perubahan sebagaimana bencana yang muncul Dari semua bentuk bencana yang ada

akibat kekacauan iklim.

kemudian dibagi menjadi tiga bentuk menurut Kekacauan iklim yang tadinya penyebab munculnya bencana. Hewitt merupakan bencana alam yang disebabkan oleh

mengklasifikasikan bencana dalam tiga jenis bahaya dari atmosfir, seiring berkembangnya bencana. Bencana alam merupakan bencana ilmu pengetahuan dikategorikan sebagai yang muncul dari bahaya yang disebabkan bencana lingkungan hidup seperti yang

oleh alam seperti atmosfir, hidrologi, geologi dikemukan Albert Gore dalam An Inconvenisnt dan biologi. Kemudian, bencana teknologis Truth. yang disebabkan oleh bahaya dari penggunaan

Bencana alam pada dasarnya adalah barang yang berbahaya, proses destruktif, bencana yang diakibatkan oleh peristiwa mekanis dan produktif. Terakhir, bencana atau serangkaian peristiwa yang disebabkan sosial yang sebagiannya bisa jadi disebabkan

oleh alam antara lain berupa gempa bumi, oleh bencana teknologis dan sebagian yang lain

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, disebabkan oleh konflik masyarakat seperti

angin topan, dan tanah longsor. Akan tetapi perang, terorisme, konflik sipil dan lain-lain

banyak dari fenomena bencana alam berakar (Oliver-Smith, 2002:25). Selain itu, ada juga

bukan pada alam itu sendiri sebagai akibat klasifikasi lain yang menambahkannya dengan

dari bencana yang timbul menimpa manusia, bencana lingkungan hidup, yang menunjukkan

melainkan karena ulah manusia yang jauh hari terjadinya bencana didasarkan pada kesalahan

mengeksploitasi alam hingga memaksa alam pola interaksi manusia dengan lingkungan berubah ke arah yang dapat merusak alam itu hidupnya (Keraf, 2010: 26).

sendiri hingga menimbulkan bencana pada Sementara dalam wacana umum manusia. mengenai bencana hanya ada dua klasifikasi

Gempa bumi, tsunami dan gunung bencana berdasarkan sebab dari munculnya meletus adalah murni bencana alam, sedang bencana dalam kehidupan manusia. Yang selebihnya dari beberapa bencana yang muncul pertama, bencana alam atau natural disaster dari alam seperti banjir, kekacauan iklim, tanah yaitu kejadian-kejadian alami seperti kejadian

longsor adalah bencana lingkungan hidup yang yang disebabkan oleh alam seperti banjir, bukan pertama-tama dan terutama disebabkan genangan, gempa bumi, gunung meletus, oleh peristiwa murni alam, tetapi juga adanya badai, kekeringan, wabah, serangga dan campur tangan manusia di dalamnya. Disebut lainnya. Kedua, bencana ulah manusia atau bencana lingkungan hidup karena sebagian man made disaster yaitu kejadian-kejadian atau seluruh peristiwa tersebut disebabkan oleh karena perbuatan manusia seperti tabrakan krisis lingkungan hidup, yaitu kehancuran, pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup

310 Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Volume 5, Nomor 3, November 2016, halaman 304 - 326

yang disebabkan oleh ulah dan perilaku manusia.

Bencana-bencana itu disebabkan oleh pola hidup dan gaya hidup manusia, khususnya manusia modern dengan segala kemajuan industri dan ekonominya yang merusak dan mencemari lingkungan hidup dan bukan karena sebab alam (Keraf, 2010: 26).

Bencana lingkungan hidup mengindikasikan adanya kesalingterkaitan antara bencana alam dan ulah manusia. Dalam wacana umum dikatakan bahwa suatu peristiwa alam (yang merusak) dapat dikategorikan sebagai bencana ketika dilihat dalam konteks korban. Gempa bumi yang terjadi di gurun pasir yang tidak ada manusia, sehingga tidak menimbulkan korban tidak dikatakan sebagai bencana (Arqom, 2011:2).

Ketidakadilan sosial juga memicu krisis dan bencana sosial terkait dengan bencana lingkungan hidup. Sonny Keraf mencatat setidaknya ada 4 ketidakadilan sosial yang muncul terkait bencana lingkungan hidup. Pertama, ketidakadilan terjadi pertama-tama karena ketimpangan sosial dan ekonomi antara satu kelompok masyarakat – para pemilik modal disatu sisi – yang mempunyai akses dan dukungan politik yang kuat untuk menguasai, mengeksploitasi dan menikmati sumber daya alam dengan kelompok besar masyarakat miskin yang hanya bisa menjadi buruh dan pekerja bawahan serta penerima dampak langsung dari kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang ditinggalkan pemilik modal (Keraf, 2010:68).

Kedua, ketidakadilan juga terjadi lintas daerah antara daerah hulu dan hilir. Daerah hulu mengeksploitasi sumber daya alam seperti hutan, sementara daerah hilir hanya kebagian banjir atau pencemaran yang terbawa aliran sungai. Hal ini mirip seperti kebanyakan banjir di Jakarta sebagai daerah hilir yang diakibatkan oleh perambahan hutan untuk pemukiman pada daerah hulu di Bogor- puncak. Ketiga, ketidakadilan juga terjadi antara jenis kelamin. Hal ini dapat dilihat pada kaum perempuan sebagai manusia yang paling rentan atas dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Keempat, ketidakadilan juga terjadi antara generasi sekarang yang

mengeksploitasi, merusak dan mencemari lingkungan hidup dengan generasi yang akan datang yang kehilangan berbagai sumber daya alam dan hanya diwarisi oleh berbagai krisis dan bencana lingkungan hidup (Keraf, 2010: 66-69).

Konflik sosial sebagai bencana sosial tidak saja muncul akibat dari ketidakadilan yang terkait dengan bencana lingkungan hidup. Bencana lingkungan hidup juga membawa dampak di bidang budaya yang rentan memicu munculnya bencana sosial baru akibat tergusurnya keunikan dan kearifan masyarakat lokal akibat kehadiran berbagai perusahaan di bidang eksploitasi sumber daya alam

khususnya. Ada banyak contoh konflik sosial terkait budaya hingga hilangnya kebudayaan

yang sangat berarti akibat dari kerusakan lingkungan hidup. Pengalaman masyarakat sekitar hutan yang tergusur akibat terambahnya hutan oleh aktivitas perusahaan-perusahaan di sektor kehutanan maupun akibat pencurian kayu ilegal telah mengancam kehidupan masyarakat lokal baik secara ekonomi maupun kultural, seperti yang terjadi di Venezuela, juga di Indonesia, misalnya saja tergusurnya suku anak dalam di Jambi.

Sedikit paparan mengenai penyebab dari bencana, menunjukkan bahwa dari sejumlah besar peristiwa bencana yang mengancam kehidupan manusia dalam berbagai jenisnya kebanyakan disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Ulah manusia dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungan termasuk mengeksplorasi, mengeruk dan memaksa alam agar dapat memenuhi keinginan segelintir manusia yang seringnya bahkan selalu saja menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang yang menjadi penyebab munculnya bencana di tengah- tengah kehidupan manusia di kemudian hari. Ulah manusia yang menjadi penyebab bencana demikian ini, seringnya diawali oleh nafsu ekonomi yang ditekankan pada kepentingan pasar.

“ecological crises and disaster are produced by the dialectical interaction of social and natural features. Socially constructed production system that impoverish the essential and absolute

Gambaran Umum Persepsi Masyarakat Terhadap Bencana Di Indonesia

level of resources sustaining and environtment will create environmental crises and perhaps disasters, impacting

a human population.(Oliver-Smith, 2002:34) Interaksi manusia dan lingkungan,

yang menunjukkan adanya eksploitasi manusia terhadap lingkungan dan penyalahgunaan sumber daya alam merupakan sesuatu yang di mediasi oleh pasar dengan orientasi produksi dan kompetisi yang kemudian juga turut andil menjadi penyebab bencana.

Selain daripada penyebab sebagai awal kehadirannya, persepsi mengenai bencana juga dapat ditemukan pada dampak yang ditimbulkannya. Dampak ataupun akibat bencana bisa saja berupa kematian, rusak mental, cacat, kehilangan harta benda, ataupun dalam bentuk kerusakan struktur sosial dan proses sosial, seperti sistem produksi, pembagian kerja, norma dan peran-peran sosial, politik nasional dan internasional, juga dalam bentuk harapan, motivasi dan pandangan. (Blaikie, 2002:298)

Kajian bencana selama ini lebih banyak ditekankan pada dampak bencana. Akibat bencana dalam berbagai aspek tersebut telah menjadi dasar dari studi dalam berbagai disiplin ilmu (Abdullah, 2006:6), terlebih karena sebuah bencana tidak hanya menimbulkan dampaknya yang merugikan. Akan tetapi sebuah bencana juga menuntut adanya respon dan penanganan yang masif karena jika tidak, satu bencana dapat saja kemudian menimbulkan bencana baru dengan bentuknya yang berbeda. Hal ini sering diistilahkan dalam kajian mengenai bencana sebagai Complex Emergency, sebagai ancaman kompleks dari sebuah peristiwa bencana (Hadi&Ronny, 2010: 61).

Penanganan bencana dalam hal mengurangi akibatnya nampaknya lebih mendapat sorotan dalam kajian berbagai disiplin ilmu tentang bencana dibanding menilik akar penyebabnya. Hal ini tentu saja karena banyak dari kajian bencana dari berbagai disiplin ilmu memandang bahwa upaya mengatasi bencana adalah menimimalisir bahkan menghapuskan akibat bencana yang muncul dalam sebuah peristiwa bencana, disamping pemahaman tentang bencana yang masih dianggap

sebagai sesuatu yang tiba-tiba kehadirannya, sehingga menuntut tanggap darurat dalam penanganannya. Bencana bahkan hadir diluar kemampuan manusia untuk menanganinya.

Bencana atau sesuatu yang dianggap sebagai ancaman dalam kajian berbagai disiplin ilmu erat kaitannya dengan kerentanan masyarakat dalam menghadapi setiap bahaya dari bencana yang hadir. Kerentanan dalam menghadapi ancaman bencana dianggap sebagai sesuatu yang memberi dampak besar atau kecilnya sebuah bencana menimpa suatu masyarakat tertentu. Secara psikis, bencana dirumuskan dengan adanya dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi bahaya (hazard), tetapi masyarakat tidak rentan, berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana (Abarquez&Murshed, 2004:13).

Berbagai asumsi mengenai bencana dalam berbagai disiplin ilmu tentang bencana sepakat bahwa tidak semua peristiwa dan fenomena alam seperti bencana dapat dan harus menjadi bencana, karena lahirnya suatu bencana tergantung pada status kerentanan atau vulnerability bagi individu maupun masyarakat yang dibayang-bayangi bahaya ataupun krisis. Suatu gejala alam yang sama disuatu tempat dapat mengakibatkan kematian dan kehancuran, sementara di tempat lain tidak membawa akibat yang sama (Abdullah, 2006:17). Hal ini disebabkan oleh kerentanan yang berbeda sebagai daya tahan masing- masing masyarakat yang berbeda di setiap tempat. Kerentanan menjadi inti dari terjadinya bencana. Keadaan manusia, lingkungan, dan institusi yang rentanlah yang mengubah suatu peristiwa maupun gejala alam menjadi bencana bagi kehidupan manusia.

“A disaster becomes unavoidable in the context of a historically produced pattern of 'vulnerability', evidenced in the location, infrastructure, sociopolitical organization, production and distribution system, and ideology

312 Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Volume 5, Nomor 3, November 2016, halaman 304 - 326

of a society. a society's pattern of vulnerability is a core element of a disaster. it conditions the behavior of individuals and organizations throughout the full unfolding a disaster far more profoundly than will the physical force of destructive

a g e n t ” ( O l i v e r- S m i t h & H o ff m a n , 2002:3) Kerentanan itu bukan hanya status,

sebagai kemampuan daya tahan dalam mana setiap ekosistem dan masyarakat berbeda dalam menghadapi sebuah gejala alam, tetapi merupakan sebuah sistem yang terbentuk dalam suatu proses yang berlangsung secara historis. Modernisasi yang berdampak pada migrasi yang melanda kota-kota menjadi padat penduduk dengan pemukiman yang padat demi mengejar ekonomi telah menyebabkan banyak penduduk miskin kota hidup dalam resiko dan rentan terhadap bencana. Banjir yang saban waktu melanda berbagai kota Di Indonesia memperlihatkan awal dari sebuah kerentanan yang bersifat historis. Kaum miskin kota dengan pemukiman yang paling padat dari pemukiman yang seadanya dan kadang tergusur ke tepi-tepi aliran sungai selalu menjadi yang paling rentan dan beresiko terhadap banjir yang berujung bencana.

Jika dilihat dalam perspektif historis, kerentanan memiliki banyak faktor dalam penentuannya. Perbedaan kelas, etnis, ras, agama, gender dan usia yang merupakan kelanjutan dari adanya ketimpangan sistem dan struktur yang terbentuk secara sistematis adalah beberapa faktor yang merupakan kerentanan masyarakat dalam menghadapi bencana. Untuk itu, memaksimalkan level kerentanan ke tingkat yang paling rendah dengan daya tahan yang semakin kuat adalah upaya untuk mengatasi akibat bencana yang menjadi sorotan banyak kajian ilmu untuk mengatasi bencana, sebagaimana yang banyak dikembangkan umum dalam setiap mitigasi bencana.

Kerentanan sejatinya memperlihatkan bahwa bencana sarat dengan nilai, terutama keterkaitan antara nilai objektif dan nilai subjektif. Bencana sangat tergantung pada persepsi subjek atas realitas objektif dalam

ancaman yang hadir. Bencana dalam status kerentanan masyarakat menunjukkan bahwa bencana merupakan peristiwa yang subjektif sifatnya tergantung kerentanan suatu masyarakat tertentu dalam menghadapi ancaman. Secara subjektif pada beberapa individu dalam kualitas kerentanan tertentu, bencana bisa berarti bukan bencana terkait perbedaan kerentanan. Kemampuan adaptasi yang berbeda terhadap alam juga merupakan faktor yang menentukan kualitas kerentanan individu disamping daya tahan sebagai survivor. Perbedaan bencana pada kerentanan yang menjadikan bencana bernilai subjektif

secara signifikan dapat dirasakan pada contoh yang di berikan oleh Arqom Kuswanjono;

“Kekurangan air yang terjadi di wilayah Gunung Kidul tidak dikatakan sebagai bencana, karena masyarakat memahami bahwa secara alamiah Gunung Kidul merupakan alam yang tandus yang tidak memiliki sumber- sumber air yang memadai. Akan menjadi hal yang berbeda apabila kekurangan air itu terjadi di Sleman, misalnya, yang dikenal sebagai wilayah ‘basah’”.(Arqom, 2011:3) Pemahaman bencana yang ditinjau

dalam perspektif sebab dan akibatnya, kemudian melahirkan rumusan dalam memahami bencana. Ancaman bagi manusia dalam bentuk dan perspektif apapun, baik dari alam maupun dari ulah manusia sendiri merupakan sebab datangnya bencana. Sedangkan bencana dalam arti akibat yang ditimbulkannya meletakkan kerentanan individu maupun kelompok masyarakat tertentu sebagai kata kunci untuk memahaminya. Kerentanan manusia adalah kunci bahwa bencana dapat dikatakan sebagai bencana pada manusia, yang mana peristiwa bencana tidak lagi berarti bencana pada masyarakat tertentu jika masyarakat tidak rentan atas peristiwa bencana yang terjadi, sehingga akibat bencana tidak memberi bencana atas manusia.

Jika boleh disebutkan dalam rumusan matematis, pendekatan sebab-akibat melihat bencana dapat dirumuskan seperti rumusan di bawah ini:

Gambaran Umum Persepsi Masyarakat Terhadap Bencana Di Indonesia

Rumusan pendekatan sebab-akibat pada kajian bencana dalam bentuk rumusan kaidah matematis, menunjukkan bahwa bencana berarti hasil kali antara ancaman dan kerentanan, pada faktor ekternal sebagai ancaman disatu sisi dan kerentanan sebagai faktor internal disisi lain. Bencana merupakan sebuah ancaman bagi masyarakat tertentu, yang bisa jadi berupa krisis maupun peristiwa alam. Akan tetapi bencana sebagai sebuah ancaman tidak berarti bencana jika masyarakat tertentu tidak rentan atas setiap bentuk ancaman yang ada. Kualitas kerentanan tidak hanya menunjukkan daya tahan yang sudah terbentuk secara historis dalam masyarakat, sebagai faktor rentan atau tidaknya suatu kelompok masyarakat tertentu atas setiap ancaman, tapi kualitas kerentanan juga mengindikasikan tingkat adaptasi suatu kelompok masyarakat tertentu atas setiap ancaman.

Kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap ancaman menunjukkan tidak rentannya suatu masyarakat tertentu atas bencana yang ada. Masyarakat Uttar Pradesh Timur di kaki pegunungan Himalaya bagian Nepal merupakan daerah rawan banjir sejak berabad-abad lalu. Masyarakatnya menunjukkan contoh adaptasi yang tinggi atas banjir yang saban tahun menimpa mereka, bahkan sejak 20 tahun terakhir frekuensi banjir disana meningkat drastis. Alih-alih sebagai bencana, banjir justeru menjadi berkah bagi mereka dalam pertahanan dan kemajuan hidup mereka. Masyarakat Uttar Pradesh mampu meningkatkan daya tahan dengan merendahkan tingkat kerentanan mereka dengan mengembangkan berbagai bentuk adaptasi hingga banjir menjadi salah satu sistim acuan hidup mereka dalam pola kehidupan masyarakatnya (Wajih, 2010: 24- 16).

BENCANA = ANCAMAN X KERENTANAN

- Nilai ancaman bisa berupa bahaya ataupun krisis baik yang datangnya dari

luar diri manusia maupun karena ulah manusia sendiri.

- Sedang nilai Kerentanan bisa berupa kekuatan daya tahan atas ancaman

ditambah dengan tinggi rendahnya tingkat adaptasi terhadap bahaya yang mengancam

Kerentanan bukan saja dapat dilihat pada seberapa besar daya tahan masyarakat atas setiap fenomena alam maupun sosial, akan tetapi kerentanan juga menunjukkan seberapa besar tingkat adaptasi masyarakat secara integral berhubungan dengan lingkungan dan alam. Kerentanan dengan demikian tidak hanya bersifat historis pada masyarakat, melainkan juga terkonstruk secara sistemik.

Dari paparan diatas tentang defenisi dan penyebab bencana serta konstruksi yang terbangun tentangnya, setidaknya bencana sebagai sebuah peristiwa merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari perasaan masyarakat tentang bencana. Baik bagi masyarakat umum melalui objektifikasi yang

mereka ketahui diluar dirinya terlebih bagi mereka yang terkena dampak bencana, bencana hanyalah soal seberapa besar ancaman dan setangguh apa kerentanan masyarakat atasnya.

Perasaan masyarakat mengenai bencana sangat tergantung dengan bagaimana mereka merasakan hubungannya dengan alam sekelilingnya, yang notabene menyimpan setiap momen untuk berubah menjadi bencana dihadapannya. Oleh sebab itu, usaha untuk melihat persepsi masyarakat mengenai bencana juga tak bisa dilepaskan dengan pandangan mereka tentang alam sekelilingnya, tentang bagaimana masyarakat memperlakukan lingkungan hidupnya. Setidaknya, secara garis besar ada 3 pola hubungan manusia dengan alam sekelilingnya. Pertama, manusia menempatkan dirinya lebih tinggi dari alam sekeliling diluar dirinya. Bahwa alam semesta adalah alat yang telah diberikan untuk segala macam usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kedua, posisi manusia sejajar dengan alam sekeliling, yang selalu mengedepankan harmoni diantara manusia dan sekitarnya, adaptasi adalah kuncinya. Ketiga, alam lebih tinggi dari manusia, dimana manusia takluk dibawah alam, pasrah dengan semangat penerimaan atas apa saja yang tersedia dan diberikan oleh alam sekeliling kepadanya.

Persepsi Masyarakat Mengenai Bencana

Suatu bencana selalu mendapatkan respon berlainan dalam masyarakat, baik antar individu dalam masyarakat yang tertimpa

314 Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Volume 5, Nomor 3, November 2016, halaman 304 - 326

bencana maupun masyarakat luar dan negara dalam upaya mitigasi serta upaya mengatasinya. Respon yang berlainan terutama terletak pada konstruksi makna yang berbeda oleh masing- masing pihak dalam memahami bencana.

Konstruksi makna tentang bencana yang berbeda di sini sarat dengan kepentingan karena suara dari berbagai pihak ikut terlibat dalam menentukan bentuk wacana sehingga makna bencana itu sendiri menjadi arena pertandingan yang penting (Abdullah, 2006:9). Sebagai contoh, Heddy Shri Ahimsa menunjukkan bahwa pemaknaan bencana dalam kasus letusan gunung merapi di Yogyakarta telah menjadi ajang wacana yang melibatkan multiaktor dalam berbagai kepentingan (Ahimsa, 1994:12-24). Hal ini kemudian menjelaskan mengapa Quarantelli menyebut bahwa konsepsi bencana selalu dipersepsi sebagai “…on the model of blind men touching an elephant” (model orang buta menyentuh gajah), berlainan dari masing- masing perspektif (Qurantelli, 1998:11).

Realitas bencana tidak cukup hanya ditangkap dalam kerangka kehadirannya. Sebagai peristiwa yang mengganggu ataupun mengancam, bencana memberi dampak buruk dan menyeret masyarakat manusia untuk menyikapinya dalam rangka untuk mengatasinya (Zack, 2009:7). Sedang, mengatasi bencana caranya bermacam-macam, selain karena bencana sebagai sebuah peristiwa yang realitasnya secara empiris beragam, juga karena paradigma yang beragam dalam pendekatan untuk menangkap realitas bencana. Oleh sebab itu, perspektif yang berbeda termasuk arti yang berbeda dalam menangkap realitas bencana terletak pada pemahaman komunitas masyarakat tentang cara menyikapi dan menangani realitas bencana yang menimpa manusia (Qurantelli, 1998:3).

Persepsi mengenai bencana juga dapat dilihat dalam tiga paradigma; "The numerous theoretical approaches to disasters can be classified into three main paradigms...The first is disaster

as a duplication of war (catastrophe can be imputed to an external agent; human communities are entities that react globally against an aggression).

The second is disaster as an expression of social vulnerabilities (disaster is the result of underlying community logic, of an inward and social process). the third is disaster as an entrance into a state of uncertainty (disaster is tightly tied into the impossibility of defining real or supposed dangers, especially after the upsetting of the mental framework we use to know and understand reality)" (Quarantelli, 1998:11). Paradigma pertama melihat bahwa

bencana kehadirannya sebangun dengan perang. Sebagai sesuatu yang mengancam, bencana selalu dianggap sebagai musuh yang datang dari luar kelompok masyarakat, terlebih karena bencana selalu menimbulkan akibat yang merugikan manusia ataupun sekelompok masyarakat tertentu. Bencana merupakan sebuah agresi dari luar yang dalam batas tertentu harus dilawan agar tidak menimbulkan akibat yang lebih parah. Menempatkan bencana sebagai musuh dalam perang merupakan salah satu cara dalam mengatasinya, melawannya disamping meredam setiap akibat yang ditimbulkannya.

Bencana yang muncul dari kejadian alam yang tidak normal dalam paradigma ini juga dianggap sebagai musuh. Hal ini menunjukkan bahwa alam dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dengan manusia yang memiliki kekuatan-kekuatan yang tak terbantahkan, sehingga kemudian alam mendefinisikan identitas manusia termasuk

memasukkan manusia dalam kategori “the other”, akibat perbedaan lingkungan dan alam yang bersifat deterministik bagi adaptasi manusia (Abdullah, 2006:6). Dalam paradigma ini, semua hal yang memberikan ancaman termasuk diluar kejadian alam merupakan sesuatu yang mendeterminasi manusia menjadi sesuatu yang lain di dalamnya, termasuk konflik sosial, bahkan perang secara fisik sebagai

sebuah kenyataan yang membahayakan.

Paradigma kedua memandang bahwa bencana merupakan ekspresi dari kerentanan sosial. Kerentanan masyarakat berpengaruh besar terhadap adanya bencana. Sebagaimana telah dipaparkan, bencana bisa berbeda- beda maknanya bagi kelompok masyarakat

Gambaran Umum Persepsi Masyarakat Terhadap Bencana Di Indonesia

tertentu dengan yang lainnya, demikian karena kerentanan yang berbeda dalam setiap masyarakat. Bencana selalu menimpa pada kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap resiko yang muncul. Seperti contoh banjir di Jakarta sebagaimana yang dirasakan oleh peneliti sendiri yang kebetulan tinggal di daerah rawan banjir. Bencana banjir selalu menimpa orang-orang kelas bawah di pemukiman-pemukiman padat dan kebanyakan kaum miskin kota, sedang bagi mereka yang lain seperti kelas atas, walaupun banjir terkadang tetap menimpa mereka, namun mereka lebih dapat menghindari bencana dengan fasilitas pribadi dan mudah pulih dengan tinggal di rumah kedua seperti ke bogor-puncak. Sementara kaum miskin kota berjubel memadati tempat pengungsian dengan fasilitas seadanya ditambah dengan teror penyakit sebagai bencana ikutan yang mengancam mereka kemudian akibat ketidaknormalan lingkungan.

Sedang paradigma ketiga, adalah bencana merupakan pintu masuk ke dalam keadaan ketidakpastian. Paradigma ini terutama berkembang pada konteks korban. Pada konteks korban, bencana dalam kenyataannya selalu datang tanpa disangka-sangka. Bencana erat terkait dalam ketidakmungkinan

mendefinisikan bahaya nyata atau yang seharusnya dilakukan, terutama setelah mengganggu kerangka mental yang digunakan

untuk mengetahui dan memahami realitas. Bencana dalam konteks korban mirip dengan tragedi. Bencana maupun tragedi adalah bagian dari kontingensi realitas. Orang bisa meramal kejadiannya, namun ramalan itu pun kontingen, yakni tidak pernah sungguh akurat. Masyarakat korban bisa menanggulanginya semampunya, namun kerusakan dan kesedihan tetap saja tidak dapat dihindarkan.

Ketiga paradigma sebagaimana yang dimaksud diatas merupakan titik tolak dari upaya berbagai respon dalam mengatasi bencana yang melanda. Berbagai respon terhadap bencana kemudian mendapatkan bentuknya yang menitikberatkan perhatian pada respon individual dan institusional, respon kebudayaan, respon politik dan kekuasaan dan respon yang bersifat ekonomi.

Respon individual dan kelembagaan tampak pada analisis tingkah laku individu dan kelompok pada setiap tahap dari dan setelah bencana. Individu dan kelompok masyarakat terutama yang tertimpa bencana biasanya hanya bisa pasrah atas bencana yang menimpa mereka. Pasrah karena secara mental kerangka berpikir mereka terganggu terhadap realitas yang menyedihkan. Sedang secara kelembagaan, respon yang biasa dilakukan adalah dengan berupaya semaksimal mungkin memperkecil akibat dari bencana pada masyarakat korban. Berbagai respon individu dan kelompok juga mencakup penyesuaian institusi agama, teknologi, ekonomi, politik

dan dalam pola-pola kerjasama dan konflik yang muncul akibat bencana. Kemampuan

respon semacam itu juga berbeda berdasarkan kelas, gender, etnis dan usia.

1. Persepsi Fatalisme dalam Bencana

Fatalisme merupakan sebuah pandangan yang banyak dijumpai manakala bencana terjadi, terlebih pada masyarakat korban yang terkena bencana. Kebanyakan masyarakat korban bencana hanya bisa pasrah dalam menghadapi bencana yang melanda. Bencana yang melanda selalu dianggap sebagai sebuah nasib dalam kehidupan yang harus dilalui. Fatalisme dalam konteks bencana adalah sebuah pandangan yang menganggap setiap bencana yang terjadi dalam kehidupan semuanya diserahkan kepada nasib kehidupan, dalam bahasa jawa hal ini sering juga disebut sebagai ke”suwung’an hidup.

Fatalisme yang dalam bahasa inggris berarti fatalism berasal dari akar kata bahasa latin ‘fatalis’ yang berarti berpautan atau bertalian dengan nasib atau takdir. Fatalis dalam bahasa latin memiliki kata dasar fatum yang berarti nasib atau takdir, fatalis dengan demikian berarti sebuah pandangan yang menunjuk kepada nasib ataupun takdir (Bagus, 2000:228).

Fatalisme dalam konteks bencana adalah cara pandang yang melihat bahwa bencana merupakan urusan dari otoritas yang lebih besar, yang dalam hal ini adalah nasib yang sudah melekat dan tidak bisa dipertanyakan lagi. Fatalisme dalam konteks bencana sangat mudah dijumpai pada masyarakat korban

Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Volume 5, Nomor 3, November 2016, halaman 304 - 326

bencana terutama bencana yang disebabkan dalam berbagai respon dalam banyak bencana. oleh alam.

Secara sederhana, eskapisme dalam bencana Di Indonesia, sikap fatalistik dalam menunjuk kepada sebuah pandangan yang bencana bahkan bukan hanya ditujukan pada

memaknai bencana bukan dalam konteks bencana yang disebabkan oleh alam yang peristiwa bencana melainkan melarikan disebut-sebut sebagai narimo ing pandum masalah bencana kepada soal lain, sebagai dalam istilah Jawa yang berarti ikhlas terhadap

upaya pencarian jalan keluar. pemberian atau takdir “diluar” kemampuan

Pandangan eskapisme dalam bencana manusia sebagaimana pandangan masyarakat

demikian muncul terlebih karena bencana korban terhadap gempa bumi 2006 di merusakkan kerangka mental masyarakat Yogyakarta (Imron&Hidayat, 2011:8). Sikap untuk memahami realitas. fatalis dalam bencana pada sebagian masyarakat

Sikap fatalistik dalam memahami di Indonesia bahkan juga banyak terdapat pada