Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan

You're Reading a Free Preview
Pages 4 to 5 are not shown in this preview.

MASYARAKAT Suku Dayak mengenal dengan baik alat musik gandang sebagai salah satu alat musik dari kelompok membranophone untuk mengiringi tarian dan lagu yang dinyanyikan. Karena itu, alat musik gandang pun sangat populer sebagai sebuah bagian harmoni di kalangan masyarakat Suku Dayak.Bebunyian gandang merupakan pelengkap perangkat musik yang terdiri atas berbagai jenis alat musik termasuk rangkaian instrumen lain di antaranya; garantung (gong, Red), dan kangkanong (kenong, Red).Gandang dibuat dari bahan kayu dengan rongga, sementara membran atau selaput getar dibuat dari kulit hewan atau binatang dengan ukuran besar, antara lain; sapi, kerbau, kambing atau jenis kulit binatang lain untuk menutupi rongga dan diikat dengan rotan.Sebelum kulit binatang itu dijadikan selaput getar atau membran gandang, kulit binatang itu dikeringkan dan dipasangkan menutupi semua bagian rongga dan untuk mengencangkan membran digunakan beberapa baji pada simpei (simpul, Red).Menurut sejarah dan galian kepurbakalaan, sejumlah kalangan memercayai bahwa gandang merupakan alat musik tradisional dari daratan Cina sejak sekitar 3.000 tahun yang lalu dan kemudian berkembang ke seluruh dunia dibawa oleh para perantau yang membawa tradisi kesenian ke luar Cina.Pada zaman purbakala, gandang itu tidak saja digunakan untuk acara persembayangan atau persembahan kepada dewa-dewa dengan tarian dan nyanyian, tetapi juga untuk menggetarkan semangat perjuangan para tentara untuk maju perang dan digunakan sebagai alat komunikasi.Menurut catatan lainnya, gendang yang berkembang di Nusantara atau ranah Melayu, termasuk Indonesia, dipercaya dibawa oleh unsur-unsur galur dari tanah Parsi (Persia, Red) di wilayah Timur Tengah dan dibawa oleh para pedagang Arab dan India pada kurun waktu sekitar abad ke-14 bersamaan dengan masuknya agama Islam yang lebih banyak mewarnai tradisi Melayu.Berdasarkan rilis tersebut, sejumlah sejarawan percaya bahwa gendang lebih banyak berkembang di wilayah Timur Tengah sebagai pelengkap musik tradisional di kalangan bangsa Arab, sebelum kemudian menyebar ke seluruh dunia.Di kalangan masyarakat Suku Dayak dikenal berbagai jenis gandang, antara lain; gandang tatau, gandang manca dan gandang bontang. Ketiga jenis gandang itu memiliki ukuran yang berbeda dan penggunaan yang berbeda pula.Gandang tatau (gendang tunggal, Red) adalah jenis gandang yang agak besar dan panjang. Panjangnya bisa mencapai satu-dua meter dengan garis tengah atau diameter mencapai lebih kurang 40 centimeter.Pada gandang tatau, salah satu bagian ujungnya dipasang membran yang terbuat dari kulit sapi, rusa atau panganen (ular sawa atau piton, Red) dan pada bagian pangkalnya dibiarkan terbuka untuk menguatkan suara ketika membran ditabuh.Gandang tatau biasanya digunakan pada upacara-upacara adat, antara lain acara tiwah (upacara kematian, Red) dan upacara penyambutan tamu dengan alat musik pengiring lainnya terdiri atas gong sebanyak tiga-lima buah dan seperangkat kangkanong.Gandang manca lebih umum dikenal masyarakat Suku Dayak sebagai gandang kembar yang terdiri atas sepasang gendang, yang terdiri atas gandang panggulung dan gandang paningkah yang memiliki perbedaan ketebalan membran pada bagian penutup rongga.Gandang manca ini juga merupakan gendang yang terdiri atas dua membran di kedua ujung rongga dengan ukuran diamater yang berbeda, dalam artian, rongga gandang ditutup oleh membran atau selaput getar yang melapisinya.Pada gandang panggulung, membran yang melapisi ujung rongga pada diameter yang lebih besar dengan kulit yang lebih tebal dan pada ujung rongga yang lebih kecil dipasang membran dengan kulit yang lebih tipis.Sementara gandang paningkah merupakan kebalikan dari gandang panggulung, yang pada bagian ujung diameter yang lebih besar ditutup oleh membran yang tipis, dan pada ujung lainnya dengan diameter yang lebih kecil menggunakan membran yang lebih tebal.Gandang bontang bentuknya mirip dengan gandang tatau, tetapi ukurannya jauh lebih kecil dan lebih pendek serta berukuran diameter antara 20-30 centimeter dan panjang antara 30-50 centimeter. Membran yang menutupinya pun dari kulit hewan yang tebal.

Cara membunyikan gandang bontang ini pun biasanya tidak dengan cara ditabuh menggunakan telapak tangan seperti gandang-gandang lainnya, melainkan dengan cara dipukul menggunakan rotan dan umumnya juga digunakan untuk mengiringi balian bawo atau balian dadas. (pahit s. narottama)

Tanjidor Masihkah Berbunyi ?

Tret.. tetet dhrong tretetet dung…… trek – dung - trekdung……dung……dung………dung

Begitulah sayup-sayup terdengar alunan musik etnis Betawi yang lagi mengiringi arak-arakan pengantin sunat di Ciganjur, pinggiran kota Jakarta. Musik khas etnis Betawi lama yang kebanyakan didukung oleh para musisi berusia senja ini melintasi gang-gang sempit dengan semangat baja. Layaknya serdadu yang mau maju perang. Pemandangan macam ini sangat menghibur dan menyenangkan hati orang yang kebetulan menyaksikan deretan kaum akhir (orangorang tua) yang lagi ngejreng dengan alat musik yang sudah tua pula.

Kendati pun “Tanjidordisebut musik rakyat Betawi, namun instrumennya menggunakan alat musik modern, terutama alat tiup. Seperti trombhon, piston (comet a piston), tenor, klarinet, as, dilengkapi alat musik tabuh membran, yang biasa disebut tambur atau genderang.

Sejak kapan jenis musik etnis ini mulai menggeliat di tanah Betawi ? Dalam bukuIkhtisar Kesenian Betawi”, terbitan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, disebutkan sudah tumbuh sejak abad ke-19. Kegiatan bermusik ini begitu santer dan terus berkembang di pinggiran kota Jakarta. Dalam sejarah perkembangannya, konon jenis musik ini berasal dari orkes yang semula dibina dalam lingkungan tuan-tuan tanah, seperti tuan tanah Citeureup, tak jauh dari Cibinong, pinggiran Jakarta.

Selaras dengan pergeseran zaman, sebagian besar alat musik yang hingga kini masih digunakan termasuk kategori instrumen yang sudah usang dan cacat. Barang bekas yang sudah pada peyot dan penyok-penyok ini toh masih bisa berbunyi. Kendati suaranya kadang-kadang melenceng ke kanan dan ke kiri alias fals. Saking tuanya, alat musik tersebut sudah ada yang dipatri, dan ada pula yang diikat dengan kawat agar tidak berantakan. Tetapi semua itu tidak mengurangi semangat penabuhnya yang umumnya juga sudah pada lanjut usia.

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan

Sekali pernah, kantor Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, menyelenggarakan Festival Tanjidor beberapa waktu lalu di Anjungan DKI, Taman Mini Indonesia Indah. Namun pesertanya tidak sampai belasan, menandakan jenis musik ini mulai berkurang. Menilik sosok perkumpulan musik tersebut hampir sebagian besar pemusiknya sudah tua renta. Kemungkinan penyelenggara ingin tahu sejauh manakah perkembangan musik ini dan siapa pendukungnya ? Tanjidor, masihkah berbunyi ?

Memang, dibandingkan dengan jenis kesenian Betawi lainnya seperti Musik Rebana, Kasidahan, Lenong, Tari Topeng Betawi dan sejenisnya, boleh dikatakan Tanjidor agak ketingalan. Mat Sani, putra Betawi kelahiran Kramat Pulogundul, dibelakang bioskop Rivoli, Jakarta Pusat, mengatakan, “Anak cucu keturunan Betawi kagak pada mau ngopenin Tanjidor. Maunya pada ngedangdut melulu. Barangkali itu salah satunye yang bikin Tanjidor kagak mau cepat berkembang”, Tapi barangkali juga karena jaman udah banyak berubah, beginilah jadinya. Di kampung saya dulu, ada perkumpulan orkes Tanjidor, Lenong dan Ondel-Ondel Bang Rebo, di Gang Piin Kramat Pulo. Tapi sekarang mah dangdut aje yang digede-gedein”, tambahnya.Tapi nggak tahulah, kemungkinan di wilayah lain masih banyak perkumpulan Tanjidor. Denger-denger sih Tanjidor masih berbunyi. Kebanyakan di pinggiran Jakarta, misalnya di Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, di wilayah Bogor. Lainnya di Tanggerang, dan Bekasi”. Katanya.

Sejak dulu memang, Tanjidor tidak banyak memberi janji sehingga pendukungnya dari tahun ke tahun kian menurun. Selain banyak yang sudah meninggal, pendukungnya sekarang sudah pada uzur. Untuk singgah menjadi seniman orkes Tanjidor memang harus punya bakat di bidang musik modern atau ketrampilan itulah yang membuat orang senang menekuni hobinya. Dari dulu seniman Tanjidor tidak melulu mengandalkan hidup dari musik yang digeluti. Melainkan dari hasil bertani, buruh atau pedagang kecil-kecilan. Bermain musik hanya sebagai sambilan Selain menghibur diri untuk mencari kepuasan batin. Sebab lain kenapa Tanjidor tidak bisa melesat seperti jenis kesenian Betawi lainnya kemungkinan karena fungsi ekonmi Tanjidor lemah. Hidup orkes ini tergantung dari saweran dari penonton. Atau karena ditanggap untuk meramaikan hajatan, sunatan, kawinan dan sebagainya.

Kendati pun keadaan sudah berubah 180 derajat, namun masih ada beberapa perkumpulan Tanjidor di wilayah Jakarta, antara lain tercatat di Cijantung pimpinan Nyaat, Kalisari pimpinan Nawin, Pondokrangon pimpinan Maun dan di Ceger pimpinan Gejen.

Di zaman kuda gigit besi, orkes Tanjidor membawakan lagu-lagu asing, menurut istilah setempat antara lain laguBatalion”, “Kramton”, “Bananas”, “Delsi”, “Was Tak Tak”, “Cakranegra”, “Welnes”. Tetapi dalam perkembangannya kemudian lebih banyak membawakan lagu-lagu Betawi, semisal laguSurilang”, “Jali-Jalidan sebagainya. Bahkan selaras dengan perkembangan zaman, orkes Tanjidor sekarang malah lebih asyik membawakan lagu-lagu dangdut. “Yang penting kata Tanjidor harus tetap berbunyikata Kamil Shahab, mantan anggota DPRD DKI Jakarta, yang keturunan Arab kelahiran kampung Batuceper Jakarta Pusat.

(Dari berbagai sumber)

MUSIK GAMBUSBila kita lihat dewasa ini, musik Gambus berkembang pesat di Negara-negara Timur Tengah, khususnya di Mesir. Musik Gambus di Timur Tengah kini telah dibuat menjadi sebuah orkestra yang besar, seperti layaknya orkestra Symponi di negara-negara Barat.Di Indonesia musik Gambus ternyata berkembang di tempat-tempat berkembangnya Agama Islam.TANJIDORTanjidor adalah sejenis orkes rakyat Betawi yang menggunakan alat-alat musik Barat, terutama alat tiup. Pada umumnya alat-alat tersebut adalah barang bekas yang keadaannya telah usang, kebanyakan sudah cacat sehingga disana sini terpaksa dipatri atau diikat dengan kawat supaya tidak berantakan.OrkesTanjidor sudah tumbuh sejak abad ke 19, berkembang di daerah pinggiran. Menurut beberapa keterangan, orkes itu berasal dari orkes yang semula dibina dalarn lingkungan tuan-tuan tanah, seperti tuan tanah Citeureup, dekat Cibinong.Pada umumnya alat-alat musik pada orkes Tanjidor terdiri dari alat musik tiup seperti piston (cornet a piston), trombon, tenor, klarinet, bas, dilengkapi dengan alat musik pukul membran yang biasa disebut tambur atau genderang. Dengan peralatan tersebut cukup untuk mengiringi pawai atau mengarak pengantin.Untuk pergelaran terutama yang ditempat dan tidak bergerak alat-alatnya sering kali ditambah dengan alat gesek seperti tehyan, dan beberapa membranfon seperti rebana, bedug dan gendang, ditambah pula dengan beberapa alat perkusi seperti kecrek, kempul dan gong.Lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tanjidor, menurut istilah setempat adalah "Batalion", "Kramton" "Bananas", "Delsi", "Was Tak-tak", "Cakranegara", dan "Welmes". Pada perkembangan kemudian lebih banyak membawakan lagu-lagu rakyat Betawi seperti Surilang "Jali-jali dan sebagainya, serta lagu-lagu yang menurut istilah setempat dikenal dengan lagu-lagu Sunda gunung, seperti "Kangaji", "Oncomlele" dan sebagainya.Grup-grup Tanjidor yang berada di wilayah DKI Jakarta antara lain dari Cijantung pimpinan Nyaat, Kalisari pimpinan Nawin, Pondokranggon pimpinan Maun, Ceger pimpinan Gejen.Daerah penyebaran Tanjidor, kecuali di daerah pinggiran kota Jakarta, adalah di sekitar Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung dalam wilayah Kabupaten Bogor, di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang.Sebagai kesenian rakyat, pendukung orkes Tanjidor terutama para petani di daerah pinggiran. Pada umumnya seniman Tanjidor tidak dapat rnengandalkan nafkahnya dari hasil yang diperoleh dari bidang seninya. Kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, atau berdagang kecil-kecilan.Oleh masyarakat pendukungnya Tanjidor biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan seperti pernikahan, khitanan dan sebagainya, atau pesta-pesta umum seperti untuk merayakan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Sampai tahun lima puluhan rombongan-rombongan Tanjidor biasa mengadakan pertunjukan keliling, istilahnya "Ngamen". Pertunjukan keliling demikian itu terutama dilakukan pada waktu pesta Tahun Baru, baik Masehi maupun Imlek.Perlu dikemukakan, bahwa sesuai dengan perkembangan jaman dan selera masyarakat pendukungnya, Tanjidor dengan biasa pula membawakan lagu-lagu dangdut. Ada pula yang secara khusus membawakan lagu-lagu Sunda Pop yang dikenal dengan sebutan "Winingan tanji".L E N O N G B E T A W ISetiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan dan tradisi tertentu sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat, kebudayaan tersebut merupakan hasil dari karya, karsa, dan rasa. Dari sinilah sebuah kaum menghasilkan perangkat-perangkat kehidupan untuk memudahkan mereka mengatasi dan menguasai alam semestaserta mengatur kehidupan dengan menyusun norma, etika, dan hukum yang menjadi acuan ketertiban. Beradab atau tidaknya sebuah bangsa bisa diukur dari sini, ketika kita membicarakan budaya cakupannya sangat luas dimulai dari ilmu pengetahuan sampai kesenian yang merupakan simbol dari bentuk pengungkapan atau pesan, bila seorang melihat kesenian ada yang menganggap sebagai hiburan dan ada pula yang menjadikan sebagai instrumen untuk melakukan pencerahan pada masyarakat seperti penggunaan wayang oleh para wali untuk melakukan syi’ar.GAMELAN TOPENG

Sebagaimana akan terlihat pada bagian lain dari tulisan ini, teater rakyat Betawi biasa diiringi musik dalam pergelarannya. Lenong biasa diiringi orkes Gambang Kromong, Blantek biasa diiringi Rebana Biang.

GAMBANG KROMONGSebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah ( sepuluh \"pencon\" ).Menurut tulisan Phoa Kian Sioe dalam majalah Panca Warna No. 9 tahun 1949 berjudul "Orkes Gambang, Hasil kesenian Tioanghoa Peranakan di Jakarta." Orkes Gambang kromong merupakan perkembangan dari orkes Yang Khim yang terdiri atas Yang-Khim, Sukong, Hosiang, Thehian, Kongahian, Sambian, Suling, Pan ( kecrek ) dan Ningnong. Oleh karena Yang-Khim sulit diperoleh, maka digantilah dengan gambang yang larasnya di sesuaikan dengan notasi yang di ciptakan oleh orang-orang Hokkian. Sukong, tehian dan kongahian ticlak begitu sulit untuk dibuat disini. Sedangkan Sambian dan Hosiang di tiadakan tanpa terlalu banyak mengurangi nilai penyajiannya.Orkes Gambang yang semula digemari oleh kaum peranakan Cina saja, lama kelamaan di gemari pula oleh golongan pribumi, karena berlangsungnya proses perbauran.Sekitar tahun 1880 atas usaha Tan Wangwe dengan dukungan Bek (Wijkmeester) Pasar Senen Teng Tjoe, orkes gambang mulai dilengkapi dengan Kromong, Kempul, Gendang dan Gong. Lagu-lagunya ditambah dengan lagu-lagu Sunda populer, sebagaimana ditulis oleh Phoa Kian Sioe sebagai berikut : "Pertjobaan wijk meester Teng Tjoe telah berhasil, lagoe-lagoe gambang ditaboeh dengan tarnbahan alat terseboet diatas membikin tambah goembira Tjio Kek dan pendenger-pendengernya. Dan moelai itoe waktoe lagoe-lagoe Soenda banyak dipake oleh orkes gambang. Djoega orang, moelai brani pasang slendang boeat "mengibing".SAMRAHDari 27.068 jiwa penduduk kota Batavia pada tahun 1673 tercatat sejumlah 611 orang Melayu, atau sama dengan kurang lebih 2 %. Kurang lebih 40 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1815 terjadi peningkatan, menjadi kurang lebih 6 %. Dari sejumlah 47.217 jiwa penduduk tercatat 3.155 orang Melayu.Saham yang paling besar dari orang Melayu terhadap terbentuknya kebudayaan Betawi adalah bahasa, yakni bahasa Melayu, yang kemudian menjadi dialek Betawi dengan berbagai sub dialeknya. Dalam hal kesenian yang tampak jelas pengaruh Melayunya adalah Samrah tersebut.Alat musik yang membentuk orkes Samrah adalah harmonium, biola, gitar, dan tamborin. Kadang-kadang dilengkapi dengan rebana bahkan gendang. Mengenai alat musik bernama harmonium ini memang sudah langka.Orkes Samrah biasa digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian. Lagu-lagu pokoknya adalah lagu Melayu seperti "Burung Puth", "Pulau Angsa Dua", Tik Minah Sayang", "Sirih Kuning", "Masmura" dan sebagainya. Disamping itu biasa pula dibawakan lagu-lagu yang dianggap khas Betawi, seperti "Kicir-kicir", "Jali-jali", "Lenggang-lenggang kangkung" dan sebagainya."Kostum yang dipakai pernain musik Samrah ada dua macam yakni peci, jas dan kain pelekat atau peci, baju sadariah dan celana batik. Sekarang ditambah lagi dengan model baru yang sebenarnya model lama yang disebut "Jung Serong" (ujungnya serong) yang terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas kerah tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain batik yang dililitkan dibawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyempul kebawah.Daerah penyebaran Samrah terbatas didaerah tengah dari wilayah budaya Betawi, yaitu di Tanah Abang, Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar dan Petojo.Masyarakat pendukungnya umumnya golongan pertengahan, baik sosial maupun ekonomi. Popularitasnya tampak makin menurun, sehingga dewasa ini jarang tampak menyelenggarakan pergelaran. Memang akhir-akhir ini tampak adanya usaha untuk menggiatkan kembali, terutama oleh Lembaga Kebudayaan Betawi antara lain dengan memberikan bantuan kepada rombongan Samrah yang dinilai paling representatif, yaitu yang dipimpin oleh Harun Rasyid (almarhum ).Dewasa ini tidak ada yang secara khusus melulu menjadi seniman Samrah. Boleh dikatakan semua pemain Samrah sekarang biasa ikut bermain pula pada orkes-orkes lain, seperti Orkes Keroncong, bahkan yang dikenal sebagai Orkes Melayu (bukan Dangdut) seperti yang dipimpin oleh Emma Gangga (almarhumah).pada tahun 1673 tercatat sejumlah 611 orang Melayu, atau sama dengan kurang lebih 2 %. Kurang lebih 40 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1815 terjadi peningkatan, menjadi kurang lebih 6 %. Dari sejumlah 47.217 jiwa penduduk tercatat 3.155 orang Melayu.Saham yang paling besar dari orang Melayu terhadap terbentuknya kebudayaan Betawi adalah bahasa, yakni bahasa Melayu, yang kemudian menjadi dialek Betawi dengan berbagai sub dialeknya. Dalam hal kesenian yang tampak jelas pengaruh Melayunya adalah Samrah tersebut.Alat musik yang membentuk orkes Samrah adalah harmonium, biola, gitar, dan tamborin. Kadang-kadang dilengkapi dengan rebana bahkan gendang. Mengenai alat musik bernama harmonium ini memang sudah langka.Orkes Samrah biasa digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian. Lagu-lagu pokoknya adalah lagu Melayu seperti "Burung Puth", "Pulau Angsa Dua", Tik Minah Sayang", "Sirih Kuning", "Masmura" dan sebagainya. Disamping itu biasa pula dibawakan lagu-lagu yang dianggap khas Betawi, seperti "Kicir-kicir", "Jali-jali", "Lenggang-lenggang kangkung" dan sebagainya."Kostum yang dipakai pernain musik Samrah ada dua macam yakni peci, jas dan kain pelekat atau peci, baju sadariah dan celana batik. Sekarang ditambah lagi dengan model baru yang sebenarnya model lama yang disebut "Jung Serong" (ujungnya serong) yang terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas kerah tutup dengan pentolan satu warna dan sepotong kain batik yang dililitkan dibawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyempul kebawah.Daerah penyebaran Samrah terbatas didaerah tengah dari wilayah budaya Betawi, yaitu di Tanah Abang, Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar dan Petojo.Dewasa ini tidak ada yang secara khusus melulu menjadi seniman Samrah. Boleh dikatakan semua pemain Samrah sekarang biasa ikut bermain pula pada orkes-orkes lain, seperti Orkes Keroncong, bahkan yang dikenal sebagai Orkes Melayu (bukan Dangdut) seperti yang dipimpin oleh Emma Gangga (almarhumah).

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan
Air mukanya tampak sedikit berubah. Bapak Ande berhenti berceritra ketika akhirnya mobil kijang hijau itu mulai nampak di gerbang depan. Kijang dengan plat nomer warna merah; DH 5 itu perlahan masuk ke pekarangan, sebentar lagi sampai di tempat hajatan. Orang yang ditunggu-tunggu sudah datang! Itu berarti Bapak Ande harus segera bersiap. Dengan sigap Bapak Ande menyiapkan semua peralatan yang tadi sudah dicobanya. Sedikit berbisik beliau memberitahukan ke rekan-nya yang lain untuk juga bersiap. Segera semua mereka mengenakan Topi Tii Langga di kepala dan semua siap mulai. Pintu kijang terbuka, dan orang yang ditunggu itu keluar. Berjalan menuju ke tempat hajatan. Beberapa langkah lagi sampai. Dan bunyi-bunyian itu pun mulai.Gong pertama dipukul Bapak Ande dengan ritme yang tetap. Lalu sedikit lebih cepat dan akhirnya menjdai cepat, diikuti oleh gong yang ke tiga dan empat yang di pukul anak laki-lakinya. Gong lima, enam dan tujuh ikut dibunyikan selaras mengikuti ritme gong yang lain. Akhirnya sembilan gong itupun mulai berbunyi, diikuti bunyi gendang kulit berdentum.Sesaat kemudian ada bunyi lain terdengar. Seperti petikan senar gitar, namun lebih bervariasi. Bunyi bass dan melodi sekaligus dimainkan. Dipetik. Bergabung dengan harmonisa nada gong yang monoton namun dinamis. Dan tarian pun dimulai.***

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan
Dari semua alat musik yang dimainkan kelompok musik tradisional-nya Bapak Ande, ada satu alat musik yang terlihat unik. Sasando namanya. Alat musik tradisional dari pulau Rote (Salah satu pulau sebelah selatan Pulau Timor). Alat musik inilah yang tadinya bersuara senar bervariasi itu.

Menurut Deny, satu dari lima anak Bapak Ande yang mahir bermain Sasando, memainkan Sasando tidak gampang. Harus terus berlatih. Karena Sasando mengutamakan Ritme dan feeling bunyi nada yang tepat dari 28 senar yang ada.Sasando memang punya banyak senar. Sasando dengan 28 senar ini diistilahkan dengan Sasando engkel. Jenis lain; Sasando dobel namanya, punya 56 senar. Bahkan ada yang 84 senar. Cara memainkan Sasando dengan dipetik. Mirip dengan gitar. Hanya saja, Sasando tanpa chord (kunci) dan senarnya harus dipetik dengan dua tangan, sehingga lebih mirip Harpa.

Bagian utama dari Sasando berbentuk seperti Harpa, dengan media pemantul suara terbuat dari daun Pohon Gebang (sejenis Pohon Lontar yang banyak tumbuh di Pulau Timor dan Pul

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan
au Rote) yang dilekuk menjadi setengah melingkar. Tempat senar-senar diikat terbuat dari bambu yang keras, penahan senar yang sekaligus sebagai pengatur nada senar juga terbuat dari bambu. Batang bambu itu lalu diikat menyatu dengan daun Gebang yang dibuat melingkar tadi.

Menurut Bapak Ande, yang bukan hanya pemain Sasando tapi juga pengrajin Sasando ini; sampai sekarang hampir semua bahan yang dipakai untuk membuat Sasando adalah bahan asli, kecuali senar Sasando. Saat ini Sasando sudah mulai di modifikasi. Pemantul bunyi dari daun gebang sudah diganti dengan spul gitar listrik yang ditempelkan pada batang bambu ditengah Sasando. Tentu Sasando model ini hanya bisa mengeluarkan bunyi keras dengan bantuan sound system.Hampir semua jenis musik bisa dimainkan dengan Sasando. Siang itu saja, Deny mampu memainkan musik tradisional, pop, slow rock bahkan dangdut dengan Sasando, menghibur peserta hajatan yang sementara makan siang.

Jumat, 20 Agustus 1999Bermula dari Penderita KustaROTE menyimpan kisah haru. Jauh di waktu lampau, kusta mengganas hampir merata di pulau seluas 1.214,3 km2 persegi itu. Seperti di belahan dunia lainnya, leluhur Rote ketika itu juga beranggapan, kusta adalah penyakit kutukan Tuhan. Gampang dan cepat menular serta sulit disembuhkan. Anggota keluarga yang terserang kusta seolah sudah di pintu liang lahat. Serangan penyakit kusta diyakini sebagai aib yang pernah diperbuat keluarga sebelumnya. Anggota keluarga penderita kusta dianggap mendatangkan rasa malu mendalam bagi anggota keluarga lainnya. Untuk itu, penderita harus dikucilkan ke tempat jauh, sunyi dan terpencil hingga ajal datang. Kesulitan bahan tertulis menjadi penyebab hingga belum bisa memastikan kapan persisnya wabah perenggut banyak korban jiwa itu melanda Rote-pulau yang kini masuk wilayah Kabupaten Kupang, Nusatenggara Timur (NTT). Jeremias Pah (60) dan sejumlah turunan Rote lainnya menyebutkan musibah ganas itu terjadi sekitar abad ke-17. Ada yang mengatakan abad ke-13, tetapi ada juga yang bilang jauh sebelum itu. Yang pasti, anggapan bahwa kusta adalah penyakit kutukan dan penderitanya harus dikucilkan, tidak hanya terjadi di Rote.Di NTT hingga tahun 1980-an, kusta masih tetap dianggap sebagai penyakit kutukan. Ini bisa dibuktikan dari temuan Suster Virgula SSpS, pendiri sekaligus pengelola rumah rehabilitasi kusta (RRK) Cancar, 15 km barat Ruteng, kota Kabupaten Manggarai di Pulau Flores. (Kompas, 2/1/96)***WABAH kusta Rote selain kisah haru, ternyata menyimpan kisah menarik, bahkan monumental. Meski hanya mengandalkan bahan penuturan para tetua akibat kesulitan bahan tertulis, kisah menarik itu terkait dengan keberadaan sasando-alat musik tradisional yang dikabarkan sebagai karya dua penderita kusta Rote waktu itu.Ny Susana Dorothea M Pah, Jeremias A Pah dan sejumlah tetua turunan Rote lainnya mengisahkan, konon dari sekian banyak penderita kusta yang dikucilkan, ada dua di antaranya yang selalu bersama di tempat pembuangan. Keduanya adalah Lunggi Lain dan Balo Aman.Kabarnya, suatu ketika Lunggi Lain akhirnya menyerah kalah. Ia terkapar di bawah naungan rumpun lontar akibat luka kustanya yang makin ganas menggerogoti dirinya. Untung sahabatnya, Balo Aman, masih mampu bergerak menyadap nira hingga kebutuhan makan masih tersedia.Balo Aman sejak pagi pergi mencari makan. Ia meninggalkan Lunggi Lain yang semakin tidak berdaya di bawah naungan rumpun lontar. Siang itu, suasana sangat sunyi. Terik matahari timur sangat menyengat. Ia akhirnya tertidur di bawah naungan lontar.Sahabatnya, Balo Aman belum juga pulang. Sesaat kemudian, Lunggi Lain terbangun dari tidurnya. Kepulasan tidurnya terusik oleh suara dentingan. Suara itu terdengar halus dan merdu.Dentingan itu seolah membawa energi aneh. Sang penderita merasa langsung bebas dari gerogotan kusta. Seolah ada semangat segar baru yang disuntikkan ke dalam dirinya.Merasa dirinya telah segar kembali, Lunggi Lain langsung mencari asal sumber dentingan pendatang energi aneh itu. Ia menjadi penasaran karena dentingan sejuk tetap terdengar, namun sumbernya belum juga diketahui hingga beberapa saat kemudian. Ia kemudian menengadah ke atas. Di puncak pohon lontar terlihat seekor laba-laba sedang sibuk merajut jaring sarangnya.Lunggi terus menyaksikannya. Tampak gerakan jari-jari binatang menggetarkan jaring sarangnya, diikuti dentingan bunyi halus dan merdu. Setelah lama menyaksikan, Lunggi Lain memastikan dentingan yang ia dengar bersumber dari getaran jaring binatang tersebut.Menjelang senja beberapa hari kemudian, Balo Aman baru tiba kembali. Ia terkejut karena temannya sudah terbebas dari kusta.Lunggi Lain menyambut kedatangan sahabatnya dengan akrab dan mulai menceriterakan kesaksian menakjubkan itu. Balo mengarahkan pandangan ke puncak pohon lontar dan ia pun yakin ada dentingan merdu yang bersumber dari jaring laba-laba. Dan, konon seketika itu juga Balo terbebas dari gerogotan kusta. Lunggi dan Balo pun sepakat untuk menciptakan sebuah alat musik petikan berinspirasi dari jaring laba-laba itu.Keduanya mengambil daun lontar muda. Lembaran daun dilengkungkan hingga berbentuk setengah lingkaran. Serat halus daun direntangkan dan ketika digetarkan memang menghasilkan bunyi. Namun, seratnya gampang putus.Serat halus kemudian diganti dengan potongan bambu yang bagian kulitnya telah dicungkil hingga berbentuk tali. Tali-tali bambu diganjal dengan potongan kayu untuk mencari nada. Dan, Lunggi Lain bersama Balo Aman menjadi sangat terkejut dan bersorak gembira ketika getaran rentangan tali bambu menghasilkan bunyi merdu.***KEBENARAN legendanya mungkin akan menjadi perdebatan. Namun yang pasti, NTT kini memiliki kekhasan berupa sasando. Alat musik tradisional itu ternyata tidak hanya dikenal di NTT atau Indonesia. Sasando sudah mendunia.Mengapa alat musik ciptaan dua penderita kusta itu diberi nama sasando? Lalu mengapa pula harus menggunakan daun lontar sebagai pengatur resonansinya? Ny Susana menjawab, diduga pilihan itu terkait dengan budaya lontar yang menjadi bagian hidup orang Rote.Lontar di mata orang Rote bernilai multiguna. Sejak turun-temurun, niranya merupakan bahan makanan pokok. Salah satu produknya yang dikenal hingga sekarang adalah lempengan ''gula rote''. Cairan gula yang agak kental bahkan dikenal sebagai pengawet bahan makanan terutama ikan. Secara kultural, lontar tidak terpisahkan dari orang Rote. (frans sarong)

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan

Jumat, 20 Agustus 1999Sasando, antara Pelestarian Budaya dengan Peluang UsahaKompas/frans sarongADA pemandangan agak kontras. Dentingan musik bernada padu, sejuk dan merdu justru bersumber dari sebuah rumah sederhana- berdinding pelepah gewang yang lazim disebut bebak, sementara sebagiannya sudah tampak reot. Pemandangan kontras menjadi kian tajam karena ru-mah sederhana sumber dentingan musik justru berlokasi di Puluti, Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah. Kampung kecil yang masih lengang itu sekitar 22 km arah timur Kupang, lumayan jauh dari pusat keramaian kota Propinsi NTT di Pulau Timor itu.Paduan nada musik pengiring lagu daerah Bolelebo yang didentingkan secara instrumentalia, terdengar lengkap. Ada nada bas, nada pengiring dan juga nada melodi. Kelengkapan serta keharmonisan paduan nadanya sungguh memancing penafsiran bunyi musik itu bersumber dari tape recorder atau dari aksi sekelompok pemusik sebuah grup band dalam rumahDugaan itu ternyata melenceng sangat jauh. Di sana-di dalam rumah yang sekaligus merupakan tempat usaha itu-cuma ada seorang pemuda lajang bernama Jack Pah (18). Ditontoni dua rekan sebayanya, Jack asyik bermain musik. Dan jangan terkejut, alat musik yang ia gunakan bukan peralatan musik modern. Alat musiknya hanya sebuah sasando-alat musik tradisional peninggalan leluhur Pulau Rote.Pulau seluas 1.214,3 km2 atau 2,6 persen dari wilayah NTT, kini didukung enam kecamatan dan masuk wilayah Kabupaten Kupang. Tidak ada yang menyangkal jika sasando kini dikategorikan sebagai kekhasan NTT selain cendana serta obyek wisata terkenal Danau Triwarna Kelimutu di Kabupaten Ende dan Taman Nasional Komodo di Labuanbajo, Kabupaten Manggarai.Menurut Jeremias A Pah (60), ayah Jack Pah, alat musik sasando itu semuanya buatan kami sendiri. Pembuatannya melibatkan seluruh anggota keluarga. ''Anak-anak saya juga hampir semuanya bisa bermain sasando. Karenanya, yang kami lakukan sekarang sebenarnya tidak sekadar melestarikan keberadaan jenis musik sasando, tetapi sekaligus menjadi peluang usaha,'' ujar Jeremias.Ayah delapan anak ini adalah salah seorang turunan leluhur Rote. Di Kota Kupang dan sekitarnya, keluarga Pah dikenal berdarah seni musik. Mereka juga punya kepedulian khusus terhadap pelestarian sasando. Salah seorang anggota keluarganya, Welly Pah (40) pernah memainkan sasando hingga di Amerika Serikat dan Berlin, Jerman, tahun 1996 dan 1997.Kembali ke rumah Jeremias Pah, kalau Jack sedang asyik memetik sasando, adiknya bernama Jitron Corion Pah (15) terlihat sedang sibuk di bagian lain ruangan yang menjadi bengkel kerja. ''Ia sedang merampungkan sasando ukuran kecil pesanan keluarga yang akan menyelenggarakan pernikahan di Surabaya. Pesanannya lumayan banyak, 1.000 buah untuk cinderamata,'' tambah Jeremias Pah.***SANGAT beralasan sebagaimana diceritakan berbagai pihak di Kupang dan sekitarnya, kalau keluarga Pah dilukiskan sebagai penyelamat sasando. Turunan berdarah seni musik ini juga dikenal sangat piawai memainkan sasando. Sebut saja misalnya Leonard Eduardus Pah (alm). Didukung vokal istrinya, Ny Susana Dorothea M Pah, pasangan ini hingga awal tahun 1990-an dikenal sangat getol memperkenalkan alat musik tradisional peninggalan leluhurnya itu.Keluarga Pah lainnya, Jeremias Pah di Oebelo, Kabupaten Kupang, tidak hanya mampu bermain sasando. Ia juga tekun mengajari dan mendorong anak-anaknya agar mengakrabi alat musik tradisional itu. Putra kelahiran Pulau Rote, 22 Oktober 1939 itu mendukung obsesinya dengan membuka usaha kerajinan sasando di Oebelo.''Sulit dibayangkan jika Jeremias Pah tidak membuka usaha kerajinan itu. Pengunjung atau peminat sasando pasti sangat kesulitan mendapatkan alat musik tradisional itu,'' tutur seorang pengunjung dari sebuah perusahaan Asuransi di Kupang. Pernyataan sang pengunjung ini tidak berlebihan. Alasannya, kerajinan serupa sangat sulit ditemukan di Kota Kupang.''Pemusik di barat sangat terkagum-kagum ketika saya memainkan sasando di sana beberapa tahun lalu. Mereka terkesan sulit mempercayaai kesaksiannya ketika dari sebuah sasando yang dimainkan satu orang bisa menghasilkan paduan nada secara lengkap,'' tambah Welly Pah mengenang gagasan mantan Gubernur NTT Herman Musakabe.Katanya, Gubernur Musakabe ketika itu sangat terobsesi agar sasando dikenal secara internasional. Karenanya ia tidak segan-segan membiayai Welly Pah dan dua rekannya melanglang ke AS dan Eropa. Alhasil, sasando makin mendunia. Pesanan terus mengalir, tidak hanya dari Amerika dan Eropa, tetapi juga dari Jepang dan negara Asia lainnya.***BAGAIMANA sosok fisik alat musik tradisional itu? Para ahli warisnya mengakui, tampilan sasando dewasa ini memang sudah mengalami perubahan, namun sebagian besar bahan bakunya masih asli.Sebut saja daun lontar yang dilengkung hingga berbentuk setengah bundaran, masih dipertahankan hingga sekarang. Begitu juga potongan bambu yang dipasang seolah menjadi garis tengah permukaan bundaran daun lontar, masih seperti aslinya.Dalam bentuk aslinya dulu, tali pendentingnya langsung dari cungkilan kulit bambu di antara kedua bukunya. Potongan bambu itu kemudian diikatkan pada permukaan bundaran daun lontar, memotong garis tengahnya. Selanjutnya, tali-tali cungkilan tadi diganjal dengan potongan kayu yang disebut senda hingga mendapatkan nada yang diinginkan. Setelah semuanya terbentuk, sasando sudah bisa langsung dimainkan. Bundaran daun lontar dengan fungsi khusus memadukan resonansi hingga dentingan sasando yang terdengar lebih bergema, harmonis dan merdu.Dalam perkembangan selanjutnya, tali cungkilan kulit bambu diganti dengan senar dari kawat halus. Sementara di kedua ujung bambu dipasangi potongan kayu keras yang akan ditancapi sejumlah potongan skrup pengikat senar. Alat musik ini bisa langsung digunakan setelah tali-talinya diganjali senda.Belakangan atau sejak tahun 1980-an, tampilan sasando semakin bervariasi dengan ditemukannya sasando listrik. Sasando ini berpenampilan ''telanjang''-hanya berupa potongan bambu dengan rentangan senar sekelilingnya. Atau, tidak lagi menggunakan bundaran daun lontar sebagai pengatur resonansi dentingannya.Meski begitu, pengunjung sebagaimana diakui Jeremias Pah, lebih menyukai sasando lontar. Pilihan mereka terutama pada sasando lipat. Alasannya, bisa dibawa ke mana-mana hingga negeri jauh sekalipun.Di bengkel kerajinan Jeremias Pah belakangan memang hanya menghasilkan sasando lipat. Melibatkan enam anggota keluarganya, dalam sebulan bisa menghasilkan sekitar 20 sasando berukuran besar. Sasando jenis ini lazim mereka sebut sebagai sasando gong (bertali 9-10) dan sasando biola (bertali 24-32). Sementara sasando kecil (untuk cinderamata) bisa dihasilkan mencapai 60 buah per bulan.Sasando cinderamata dipasarkan dengan Rp 2.500 - Rp 20.000 per buah. Sedangkan sasando besar (gong atau biola) antara Rp 200.000 - Rp 300.000 per buah. Jeremias menjelaskan, penghasilannya dari usaha kerajinan sasando, tiap bulannya tidak tentu-bergantung musim. Kalau musim hujan biasanya sepi. (frans sarong)

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan







Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan

Seni Musik Dayak

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan






Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan

Alat Musik Sampe
Photo: AsiaFoto.com

Suku Dayak memiliki bermacam-macam alat musik, baik berupa alat musik petik, pukul dan tiup. Dalam kehidupan sehari-hari suku di pedalaman ini, musik juga merupakan sarana yang tidak kalah pentingnya untuk penyampaian maksud-maksud serta puja dan puji kepada yang berkuasa, baik terhadap roh-roh maupun manusia biasa. Selain itu musik alat-alat musik ini digunakan untuk mengiringi bermacam-macam tarian.

Seperti halnya dalam seni tari, pada seni musik pun mereka memiliki beberapa bentuk ritme, serta lagu-lagu tertentu untuk mengiringi suatu tarian dan upacara-upacara tertentu. Masing-masing suku memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.

Alat Musik Suku Dayak:

Alat Musik

Keterangan

Ada beberapa jenis Gendang yang dikenal oleh suku Dayak Tunjung:
  • Prahi
  • Gimar
  • Tuukng Tuat
  • Pampong

Sebuah gong besar yang juga digantungkan pada sebuah standar (tempat gantungan) seperti halnya gong di Jawa.

Sama seperti gong di Jawa, dengan diameter 50-60 cm

Sejenis alat musik pukul yang bilah-bilahnya terbuat dari kayu ulin. Mirip alat musik saron di Jawa.

Gendang besar dengan ukuran panjang 3 m dan diameter 50 cm

Sejenis alat musik pukul dari kayu yang berbentuk gambang. Memiliki 12 kunci, tergantung dari atas sampai bawah dan dimainkan dengan kedua belah tangan.

Alat musik tiup yang terbuat dari pelepah batang pisang dan memiliki 5 buah pipa bambu yang dibunyikan dengan mempermainkan udara pada rongga mulut untuk menghasilkan suara dengung.

Alat musik pukul yang terdiri dari enam buah gong kecil tersusun menurut nada-nada tertentu pada sebuah tempat dudukan berbentuk semacam kotak persegi panjang (rancak). Bentuk alat musik ini mirip dengan bonang di Jawa. Gong-gong kecil terbuat dari logam sedangkan tempat dudukannya terbuat dari kayu.

Sejenis gitar atau alat musik petik dengan dawai berjumlah 3 atau 4. Biasanya diberi hiasan atau ukiran khas suku Dayak.

Alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Ada beberapa jenis suliikng:
  • Bangsi / Serunai
  • Suliikng Dewa
  • Kelaii
  • Tompong

Sebuah gong kecil yang digantungkan pada sebuah standar (tempat gantungan). Alat pemukul terbuat dari kayu yang agak lunak.

Sebuah kecapi yang terbuat dari bambu atau batang kelapa. Alat musik ini dikenal juga sebagai Genggong (Bali) atau Karinding (Jawa Barat).






Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan

Seni Musik Kutai

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan






Seni Suara/Musik Kutai banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam. Diantaranya adalah:

1. Musik Tingkilan

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan

Para pemain musik tingkilan Kutai
Photo: Agri, 2002

Seni musik khas suku Kutai adalah musik Tingkilan, kesenian ini memiliki kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan adalah Gambus (sejenis gitar berdawai 6), ketipung (semacam kendang kecil), kendang (sejenis rebana yang berkulit sebidang dan besar) dan biola.
Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan. Dahulu sering dibawakan oleh dua orang penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-sahutan dengan isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan, saling memuji, atau bahkan saling menyindir atau saling mengejek dengan kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.

2. Hadrah
Kesenian ini mempergunakan alat musik terbang atau rebana. Kesenian ini dibawakan sambil menabuh terbang tersebut disertai nyanyian dalam bahasa Arab yang diambil dari kitab Barjanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan untuk mengarak pengantin pria menuju ke rumah mempelai wanita, selain itu juga sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam.

Gordang Sambilan

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan
Gordang Sambilan adalah warisan budaya bangsa Mandailing dan tidak ada duanya dalam budaya etnis lainnya di Indonesia. dan Malaysia. Gordang Sambilan diakui oleh ahli/pakar etnomusikologi sebagai satu ensembel muzik yang teristimewa di dunia.
Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gordang Sambilan merupakan musik adat sakral (kudus) yang terpenting. Gordang Sambilan dipandang sakral karena dipercayai mempunyai kekuatan gaib memanggil roh nenek moyang untuk memberi pertolongan melalui medium atau shaman yang di namakan Sibaso.

Oleh karena itu, pada masa lalu, di setiap kerajaan otonom yang banyak terdapat di Mandailing harus ada satu ensambel Gordang Sambilan. Alat musik sakral itu di tempatkan di Sopo Godang (Balai Sidang Adat dan Pemerintahan Kerajaan) atau di satu bangunan khusus untuknya yang dinamakan Sopo Gordang yang terletak dekat Bagas Godang (kediaman raja). Gordang Sambilan hanya digunakan untuk upacara adat dan perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Instrumen Gordang Sambilan

Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif sangat besar dan panjang. Ukuran besar dan panjangnya kesembilan gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada yang paling kecil.

Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilumbangi dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya.
Untuk membunyikan Gordang Sambilan digunakan kayu pemukul.

Masing-masing gendang dalam ensambel Gordang Sambilan mempunyai nama sendiri. Namanya tidak sama di semua tempat di seluruh Madailing. Karena masyarakat Madailing yang hidup dengan tradisi adat yang demokratis punya kebebasan untuk berbeda.

Instrumen musik tradisional Gordang Sambilan dilengkapi dengan dua buah ogung (gong) besar Yang paling besar dinamakan ogung boru-boru (gong betina) dan yang lebih kecil dinamakan ogung jantan (gong jantan), satu gong yang lebih kecil yang dinamakan doal dan tiga gong lebih kecil lagi yang dinamakan salempong atau mong-mongan. Gordang Sambilan juga dilengkapi dengan alat tiup terbuat dari bambu yang dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat.

Penggunaan Gordang Sambilan

Alat musik talempong gendrang bansi dram gitar dimainkan secara bersama sama disebut dengan

Sarama / Penari Credit: M. Dolok Lubi

Pada zaman sebelum Islam, Gordang Sambilan digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diperlukan pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan paturuan Sibaso (memanggil roh untuk merasuk/menyurupi medium Sibaso). Tujuannya untuk minta pertolongan roh nenek moyang, mengatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat, seperti misalnya penyakit berjangkit. Gordang Sambilan digunakan juga untuk upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan. Selain itu dipergunakan pula untuk upacara perkawinan yang dinamakan Orja Godang Markaroan Boru dan untuk upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi.

Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara tersebut, karena untuk kepentigan pribadi harus lebih dahulu mendapat izin dari pemimpin tradisional yang dinamakan Namora Natoras dan dari Raja sebagai kepala pemerintahan. Permohonan izin itu dilakukan melalui suatu musyawarah adat yang disebut markobar adat yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja beserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara.

Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara tersebut harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa. Jika persaratan tersebut tidak dipenuhi maka Gordang Sambilan tidak boleh digunakan.

Untuk upacara kematian (Orja Manbulungi) yang digunakan hanya dua buah yang terbesar dari instrumen Gordang Sambilan yang digunakan, yaitu yang dinamakan Jangat. Tapi dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian ia dinamakan Bombat.

Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat disertai dengan peragaan benda-benda kebesaran adat, seperti bendera-bendera adat yang dinamakan Tonggol, payung kebesaran yang dinamakan Payung Raranagan.

Gordang Sambilan juga digunakan untuk mengiringi tari yang dinamakan Sarama. Penyarama (orang yang melakukan tari Sarama) kadang-kadang mengalami kesurupan (trance) pada waktu menari karena dimasuki oleh roh nenek moyang. Demikian juga halnya dengan pemain Gordang Sabilan. Pada masa belakangan ini Gordang Sambilan selain masih digunakan oleh orang Mandailing sebagai alat musik adat yang sakral, juga sudah ditempatkan sebagai alat musik kesenian tradisional Mandailing yang sudah mulai populer di Indonesia dan bahkan di Eropa dan Amerika Serikat. Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke dua Kontinen tersebut sudah diperkenalkan Gordang Sambilan. Orang Mandailing yang banyak terdapat di Malaysia sudah mulai pula menggunakan Gordang Sambilan untuk berbagai upacara.

Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka Gordang Sambilan sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar konteks upacara adat Mandailing. Misalnya untuk menyambut kedatangan tamu-tamu agung, perayaan-perayaan nasional dan acara pembukaan berbagai upacara besar serta untuk merayakan Hari Raya Adul Fitri.



Page 2