5 aktor teratas saat ini 2022

5 Aktor dengan Bayaran Termahal, Reza Rahadian Capai Rp1 Miliar?

VIVA – Aktor dengan bayaran termahal saat ini memang menjadi yang paling banyak disukai oleh masyarakat. Pendapatan mereka yang sangat fantastis ini sebanding dengan perjuangan di balik layar supaya menghasilkan karya terbaik dan bisa dinikmati oleh khalayak ramai. Bahkan, bisa dikatakan penampilan mereka di layar lebar maupun layar kaca selalu dinantikan. Apalagi, pekerjaan menjadi seorang aktor memang menjadi impian banyak orang. 

Hal tersebut karena seorang aktor bisa meraup popularitas dan penghasilan yang sangat besar. Tapi, perlu diketahui juga bahwa perjuangan untuk menjadi seorang artis pun tidak mudah, karena persaingan yang sangat berat untuk bisa mempertahankan popularitasnya. Beberapa dari para artis ini bisa bertahan sampai belasan dan bahkan puluhan tahun untuk tetap eksis sampai mempunyai banyak penggemar. 

Tentu saja, bukan hanya sekadar eksis, bayaran mereka untuk sekali tampil di layar kaca atau film konon katanya menyentuh angka ratusan juta. Hal tersebut karena dilihat dari tingkat popularitas dan rating film yang pernah dibintangi sebelumnya. Nah, untuk kamu yang penasaran, berikut ulasan tentang aktor dengan bayaran termahal seperti dirangkum VIVA dari berbagai sumber. 

1. Reza Rahadian

 

Aktor dengan bayaran termahal pertama adalah Reza Rahadian. Tampaknya semua orang sudah kenal dengan salah seorang aktor papan Indonesia satu ini. Kemahirannya dalam memainkan peran tidak usah diragukan lagi. Aktor kelahiran Bogor, 5 Maret 1987 ini berhasil membawa berbagai penghargaan bergengsi. 

Hal tersebut semakin membuktikan bahwa ia memang piawai di dunia akting sampai memperoleh apresiasi dari berbagai pihak. Diperkirakan sudah 41 judul film yang dibintangi. Karena berbagai pencapaian yang diraih, Reza disebut-sebut sebagai aktor paling mahal. Konon, sekali tampil dalam film ia dibayar Rp1 miliar. 

2. Deddy Mizwar

 

Aktor dengan bayaran termahal kedua adalah seorang artis senior dalam dunia perfilman Indonesia. Setiap Deddy berakting, dia selalu konsisten melakukannya sehingga ia semakin dikenal oleh masyarakat. Deddy mulai berkarier di dunia hiburan Tanah Air sejak tahun 1980 dan memerankan berbagai judul serta sinetron. 

Salah satu film yang paling terkenal yang dimainkan oleh Deddy Mizwar adalah Naga Bonar. Belum diketahui berapa bayaran sekali tampil dalam film atau sinetron yang dimainkan Deddy. Namun, dari hasil jerih payah di dunia hiburan, ia berhasil mengantongi kekayaan yang mencapai Rp24,4 miliar. 

3. Vino G Bastian

 

Vino G Bastian merupakan salah seorang aktor yang mempunyai darah Minangkabau dan lahir di Jakarta pada 24 Maret 1982. Selain sukses membintangi berbagai film layar lebar, ia juga sukses memainkan peran di berbagai judul sinetron. Sehingga ia termasuk ke dalam salah satu aktor dengan bayaran termahal. 

Ia pernah memenangkan berbagai penghargaan, salah satunya adalah Pemeran Utama Pria Terbaik dari Festival Film Indonesia 2008 untuk aktingnya dalam Radit dan Jani. Juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai Pemeran Pria Utama Terfavorit dalam ajang Indonesian Movie Actors Awards 2018 untuk film Chrisye. 

4. Iko Uwais

 

Aktor Indonesia yang sudah go internasional ini kerap menjadi pusat perhatian publik karena kemampuan aktingnya. Bahkan, ia juga kerap muncul dalam beberapa film laga Hollywood. Aktor sekaligus atlet bela diri ini pernah membocorkan pendapatannya selama bermain film, kekayaan yang dimiliki oleh aktor dengan bayaran termahal ini mencapai Rp14,7 miliar. 

Namun, sebelum menjadi aktor terkenal seperti saat ini, Iko Uwais mengaku bahwa dulunya ia pernah dibayar hanya Rp21 juta untuk satu film. 

5. Prilly Latuconsina

 

Prilly Latuconsina merupakan salah seorang selebriti Tanah Air yang sudah berkarier sejak masih remaja. Ia mengawali kariernya di dunia hiburan melalui sebuah sanggar teater. Pada tahun 2015 Panasonic Gobel Awards memberikan penghargaan kepada dirinya sebagai Artis Terfavorit dan masuk nominasi Indonesian Festival Film Bandung 2017 serta Box Movie Award 2017 dan 2018.

Selama berkarier, ia sudah membintangi 14 judul FTV, sehingga kemampuan aktingnya tidak usah diuji. Bahkan, ia sempat menjadi perbincangan setelah sukses bermain dalam film horor yaitu Danur. Bahkan, kesuksesannya sekarang ia sudah bisa membangun rumah mewah dengan harga mencapai ratusan miliar rupiah. 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan viva.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab viva.co.id.

Liputan6.com, Jakarta - Berkat waralaba Madea dan Tyler Perry Studios-nya, dengan kekayaan bersih sekitar USD 1 miliar, Tyler Perry adalah aktor terkaya di dunia, diikuti oleh Jerry Seinfield di urutan kedua dengan kekayaan sebesar USD 950 juta, Shahrukh Khan USD 600 juta, dan Tom Cruise USD 580 juta.

Berikut daftar 5 aktor terkaya di dunia tahun 2021 dilansir dari CEOWorld Magazine, Jumat (11/6/2021):

  • VIDEO: Rayakan Ulang Tahun, Rumah Shah Rukh Khan Diserbu Ribuan Orang
  • Sinopsis Dil To Pagal Hai Tayang Siang Ini di TV, Rumitnya Kisah Cinta Terpendam dan Kasih Tak Sampai
  • Sinopsis Mohabbatein Drama Bollywood Tayang di TV Hari Ini, Perlawanan Dosen dan Mahasiswa Terkait Larangan Pacaran di Kampus

1. Tyler Perry

Tyler Perry lahir dan besar di New Orleans, Louisiana. Dia merupakan seorang sutradara, penulis naskah, pemeran dan komedian asal Amerika Serikat. Salah satu proyek Perry yang paling terkenal adalah franchise film Madea, di mana Perry sendiri berpakaian sebagai wanita kulit hitam tua dan memainkan peran tituler.

Dia membuat 11 film Madea selama 15 tahun. Kini ia memiliki total kekayaan sebanyak USD 1 miliar atau setara Rp 14,1 triliun (1 USD = 14,197).

2. Jerry Seinfield              

Jerome Allen Seinfeld adalah seorang pelawak dan aktor asal Amerika Serikat.  Tahun 1989, Seinfeld bersama Larry David membuat sebuah acara televisi bergenre komedi berjudul Seinfeld. Acara ini kemudian menjadi salah satu acara televisi paling populer pada zaman tersebut.

Jerry memang dikenal banyak orang karena acara televisi Seinfeld, yang diciptakan, ditulis, dan diperankannya. Acara tersebut telah memenangkan sejumlah penghargaan, seperti Emmy dab Golden Globe Awards. Kini aktor berusia 67 tahun ini memiliki kekayaan sebanyak USD 950 juta atau Rp 13,4 triliun.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ini dia rekaman suara Tom Cruise ketika memarahi kru yang menggarap film Mission Impossible 7. Karena melanggar protokol kesehatan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

3. Shahrukh Khan

Aktor Bollywood, Shahrukh Khan memberi salam kepada para fans yang berkumpul dari balkon rumahnya di Mumbai, Kamis (2/11). Bagi warga India, datang ke kediaman SRK pada ulang tahunnya sudah menjadi tradisi penggemar. (Sujit Jaiswal/AFP Photo)

Shahrukh Khan atau biasa dikenal sebagai SRK, merupakan seorang aktor Bollywood yang lahir di New Delhi, 2 November 1965. Sudah banyak membintangi film-film India terlaris salah satunya KUCH KUCH HOTA HAI adalah salah satu film fenomenal yang melejitkan namanya di seluruh dunia.

Shahrukh Khan mulai membintangi film layar lebar sekitar tahun 1992 dalam film berjudul DEEWANA. Film pertama Shahrukh Khan ini sempat menjadi box office dan melambungkan nama Shahrukh Khan ke jajaran aktor-aktor Bollywood yang diperhitungkan.

Sampai saat ini tak kurang dari 67 film sudah dibintangi aktor ini termasuk KUCH KUCH HOTA HAI, MOHABBATEIN dan RAB NE BANA DI JODI yang sedang dalam produksi. Selain menjadi aktor, Shahrukh Khan juga sering kali menjadi sutradara, penyanyi, dan Stunt Director.

Shahrukh Khan bukan sekedar aktor atau sutradara. Ia sudah menjadi legenda film Bollywood. Sampai saat ini saja tak kurang dari 59 penghargaan sudah diraihnya termasuk dari Filmfare Award, Star Screen Award, International Indian Film Academy Award, Zee Cine Award, Bollywood Movie Award, Global Indian Film Award, dan Apsara Film & Television Producers Guild Award.

Kini aktor berusia 55 tahun ini menjadi salah satu aktor asal India yang terdaftar sebagai aktor terkaya di dunia dengan jumlah kekayaan sebesar USD 600 juta atau Rp 8,5 triliun. Kemudian disusul oleh aktor senior  Amitabh Bachchan yang memiliki kekayaan USD 455 million.

4. Tom Cruise   

Aktor AS, Tom Cruise terlihat sedang syuting film "Mission Impossible 7" di Roma, Italia, Selasa (6/10/2020). Proses pengambilan gambar "Mission Impossible 7" kembali dilanjutkan setelah sempat terhenti akibat pandemi COVID-19. (Photo by Alberto PIZZOLI / AFP)

Tom Cruise adalah seorang aktor dan produser film asal Amerika Serikat yang dinominasikan dalam Academy Award, dan memenangkan tiga kali penghargaan Golden Globe Award.

Dia juga salah satu aktor tersukses di Hollywood dan memulai karier aktingnya sejak era 1980-an. Aktor berusia 58 tahun yang sukses dengan film mission impossible ini, memiliki kekayaan USD 580 juta atau Rp 8,2 triliun.

5. George Clooney

George Clooney memiliki nama lengkap George Timothy Clooney, lahir di Lexington, Kentucky, 6 Mei 1961. Kariernya sebagai aktor melejit lewat perannya sebagai Dr. Doug Ross dalam serial TV NBC, ER (1994-1999).

Clooney telah membintangi lebih dari 40 judul film dan serial, antara lain THREE KINGS, THE PERFECT STORM, O BROTHER, WHERE ART THOU?, OCEAN'S ELEVEN, OCEAN'S TWELVE, dan OCEAN'S THIRTEEN. Clooney juga menjadi Executive Producer di OCEAN'S THIRTEEN.

Peran sebagai agen CIA dalam SYRIANA (2005), telah membawa Clooney menjadi aktor pembantu terbaik Oscar. Melalui film GOOD NIGHT, AND GOOD LUCK (2005) Clooney dinominasikan sebagai Best Director and Best Original Screenplay.

Selain akting, Clooney juga menjadi sutradara. Film yang pernah digarapnya antara lain, CONFESSIONS OF A DANGEROUS MIND (2002), GOOD NIGHT, AND GOOD LUCK (2005), UNSCRIPTED (2005), LEATHERHEADS (2008), BURNING AFTER READING (2008), dan FANTASTIC MR FOX (2009). Lelaki berusia 60 tahun ini kini memiliki kekayaan USD 500 juta atau Rp 7 triliun.   

Siapa aktor termahal?

Rekor! Dwayne "The Rock" Johnson Jadi Aktor Termahal dalam Dua Tahun Beruntun. Dwayne “The Rock” Johnson sukses mempertahankan diri sebagai aktor dengan bayaran termahal selama du...

Siapa aktor terkaya di dunia?

8 Aktor Terkaya di Dunia 2021 Berdasarkan data Wealthy Gorilla, Jami Gertz merupakan artis terkaya di dunia. Aktris dan investor Amerika Serikat (AS) tercatat memiliki kekayaan bersih US$3 miliar atau Rp4,28 triliun (kurs Rp 14.264/US$).

Siapa di Hollywood yang dikenal sebagai Voice of God?

Sosok Don LaFontaine Di industri hiburan Hollywood, nama LaFointaine pun dikenal sebagai Thunder Throat, The Voice of God, dan The King of Movie Trailers.

Siapa saja aktor Inggris?

Kalau kamu sering merasakan hal itu, mungkin beberapa daftar aktor muda berbakat asal Inggris ini tidak lagi asing bagimu..
1. Fionn Whitehead. instagram.com/bonsrapazes/ ... .
2. Ben Hardy. nstagram.com/benhardyarchive. ... .
Matthew Beard. ... .
4. Will Poulter. ... .
Freddie Highmore. ... .
6. Alex Lawther. ... .
7. Thomas Turgoose. ... .
8. Finlay MacMillan..

Kami berada di zaman keemasan akting - membuat platinum itu - seperti yang kami sadari ketika kami memutuskan untuk memilih pemain film favorit kami selama 20 tahun terakhir. Tidak ada formula untuk memilih yang terbaik (hanya bertengkar), dan daftar ini tentu saja subyektif dan mungkin memalukan dalam kelalaiannya. Beberapa pemain ini baru di tempat kejadian; Yang lain telah ada selama beberapa dekade. Dalam membuat pilihan kami, kami telah fokus pada abad ini dan melihat melampaui Hollywood. Dan sementara ada bintang-bintang dalam campuran dan bahkan segelintir pemenang Oscar, ada juga aktor dan bunglon, pahlawan aksi dan kesayangan seni. Mereka 25 alasan kami masih menyukai film, mungkin lebih dari sebelumnya.

25

Gael García Bernal

Manohla Dargis Ketika alejandro González Iñárritu's "Amores Perros" dan film jalan Alfonso Cuarón "Y Tu Mamá También" dirilis di rumah -rumah seni Amerika setahun terpisah, kejutannya seismik. Direktur mereka segera berpacu menuju terkenal internasional dan begitu pula Gael García Bernal, bintang bersama mereka. Dia berbakat, memegang layar dan memiliki wajah yang terus Anda perhatikan, sebagian karena - dengan mata rusa jantan dan rahang lentera - itu menyatu dengan mulus cita -cita kecantikan feminin dan maskulin. When Alejandro González Iñárritu’s thriller “Amores Perros” and Alfonso Cuarón’s road movie “Y Tu Mamá También” were released in American art houses a year apart, the shocks were seismic. Their directors were soon racing toward international renown and so was Gael García Bernal, their shared star. He was gifted, held the screen and had a face you kept looking at, partly because — with his doe eyes and lantern jaw — it seamlessly fused ideals of feminine and masculine beauty.

Kontras ini tidak terlalu jelas di "Amores Perros" (2001), tetapi membantu memperkaya lebih hangat "y tu mamá rambién" (2002), sebuah kisah masa-masa yang penuh semangat yang dibuka dengan teriakan dan berakhir saat mendesah desah . García Bernal memerankan Julio, seorang remaja kelas pekerja dalam perjalanan penemuan (dari diri sendiri, orang lain). Bersama dengan sahabatnya (diperankan oleh Diego Luna), Julio jatuh melalui kehidupan tanpa henti sampai dia tidak melakukannya. Saat saucousness cerita itu tenang, kejantanan remaja Julio memudar, digantikan oleh kemudahan yang dibuat oleh aktor itu secara fisik, Anda melihat karakternya mundur di dalam dirinya.

Pada tahun 2004, García Bernal telah muncul di "The Motorcycle Diaries" karya Walter Salles sebagai Che Guevara muda dan memainkan bunglon duplikat di "Pendidikan Buruk" Pedro Almodóvar. Almodóvar menempatkan aktor itu untuk memainkan femme fatale yang noirish, peran yang tampaknya García Bernal tidak terlalu suka melakukannya, tetapi yang memperdalam kepribadiannya dengan noda lipstik dan dingin psikologis yang menciptakan kejutan baru.

A. O. Scott di Pablo Larraín "No" (2013), García Bernal memerankan Rene Saavedra, sebuah periklanan muda yang kreatif di Chili tahun 1980 -an, dengan pesona yang biasa. Dia keren tapi tidak mengintimidasi demikian; tampan dalam ukuran yang sama; lucu tapi tidak sampai menjengkelkan; Orang yang percaya diri tetapi tidak brengsek. Pada awalnya, mudah untuk meremehkan Rene dan García Bernal, untuk mengira kealamian kasual mereka dan sederhana karena kurangnya gravitasi atau kerajinan. Rene terdaftar oleh sekelompok partai politik oposisi untuk memproduksi tempat -tempat televisi yang mendukung suara "tidak" pada referendum yang memperluas kediktatoran Augusto Pinochet. Tugas Rene adalah menjual penolakan sebagai pilihan yang optimis, untuk mengakui kebrutalan rezim Pinochet sambil fokus pada masa depan yang bahagia tanpa dia. Meskipun Rene percaya pada penyebabnya, ia juga memandangnya sebagai tantangan pemasaran, dan ada sedikit getaran "Mad Men" untuk pertengkarannya dengan klien, kolega, dan saingan. In Pablo Larraín’s “No” (2013), García Bernal plays Rene Saavedra, a hotshot young advertising creative in 1980s Chile, with his usual charm. He’s cool but not intimidatingly so; good-looking in the same measure; funny but not to the point of obnoxiousness; self-confident but not a jerk. At first, it’s easy to underestimate both Rene and García Bernal, to mistake their casual, unassuming naturalness for a lack of gravitas or craft. Rene is enlisted by a group of opposition political parties to produce television spots supporting a “no” vote on a referendum extending the dictatorship of Augusto Pinochet. Rene’s job is to sell rejection as an upbeat choice, to acknowledge the brutality of Pinochet’s regime while focusing on the happy future without him. Though Rene believes in the cause, he also views it as a marketing challenge, and there is a bit of a “Mad Men” vibe to his wrangling with clients, colleagues and rivals.

Terserah García Bernal untuk memberikan hubungan dramatis antara dangkal bisnis media dan teror penindasan politik, dan dia melakukannya hampir sepenuhnya dengan matanya. Suatu malam, apartemen yang ia bagikan dengan putranya yang masih kecil dirusak saat mereka tidur, dan pada saat itu chipper Rene menyelesaikan cair menjadi ketakutan murni. Keesokan harinya dia kembali bekerja, dan dia dan penonton memiliki pemahaman baru dan mendalam tentang apa arti pekerjaan itu.

Sewa atau beli "tidak" di platform streaming utama.

24

Sônia Braga

Manohla Dargis Saya baru saja ulang "Aquarius" (2016) untuk Ode kami ke Sônia Braga. Bagi mereka yang belum melihatnya: Braga dibintangi sebagai Clara, seorang penulis yang apartemennya menghadapi Atlantik. Sebagian besar cerita mengikuti Clara hanya menjalani hidupnya sambil menampar tuan tanahnya. Braga sangat cocok dengan sutradara sutradara Kleber Mendonça Filho yang luar biasa dan realisme. Namun, kali ini saat menonton film - sebagian didorong oleh, ahem, judul bab yang disebut "Clara's Hair" - saya perhatikan bagaimana Braga terus mengatur ulang tirai rambutnya yang mewah. Dan, ketika dia menyapu dan mengecewakannya, saya menyadari bahwa Mendonça tidak hanya menghadirkan karakter tetapi juga legenda memainkannya. I just recently rewatched “Aquarius” (2016) for our ode to Sônia Braga. For those who haven’t seen it: Braga stars as Clara, a writer whose apartment faces the Atlantic. Most of the story follows Clara just living her life while swatting away her landlord. Braga fits seamlessly into the director Kleber Mendonça Filho’s wonderful, unfussy realism. This time while viewing the movie, though — partly prompted by, ahem, a chapter title called “Clara’s Hair” — I noticed how Braga kept rearranging her opulent curtain of hair. And, as she swept it up and let it down, I realized that Mendonça wasn’t just presenting a character but also the legend playing her.

A. O. Scott Ini adalah pengingat - subliminal dan kurang ajar pada saat yang sama - bahwa Braga adalah masalah besar di Brasil dan sekitarnya pada tahun 1970 -an dan 80 -an, jawaban bangsanya untuk Sophia Loren. Film-filmnya dengan Mendonça ("Bacurau" tahun ini juga "Aquarius") menggunakan sejarah itu dan mengeksploitasi karisma sekolah lama. Tapi mereka bukan hanya putaran bintang akhir karir. Clara bukan Sonia Braga: dia adalah wanita yang sangat spesifik dengan sejarah pencapaian, hubungan cinta, dan penyesalannya sendiri. Tetapi hanya seorang pemain dengan kepastian diri Braga, ketidakpeduliannya yang heroik terhadap apa yang dipikirkan orang lain tentangnya, yang bisa menghidupkan Clara. It’s a reminder — subliminal and brazen at the same time — that Braga was a big deal in Brazil and beyond in the 1970s and ’80s, her nation’s answer to Sophia Loren. Her films with Mendonça (“Bacurau” this year as well “Aquarius”) draw on that history and exploit her old-school charisma. But they aren’t just late-career star turns. Clara isn’t Sonia Braga: She’s a highly specific woman with her own history of achievements, love affairs and regrets. But only a performer with Braga’s utter self-assurance, her heroic indifference to what anyone else thinks of her, could bring Clara to life.

DARGIS Yet what I found fascinating about “Aquarius” this time is that Clara is also Braga, in the sense that the character’s meaning is partly shaped by everything that Braga brings whenever she’s onscreen, including her history in Brazilian cinema as a woman of mixed ancestry as well as her adventures in Hollywood. There’s something fantastically liberating watching Braga play this majestic woman, who has visible wrinkles and never had breast reconstruction after her mastectomy. That’s especially true given how Braga was once slavered over as a sex star. “There is nothing else to call her,” a male critic once wrote — well, you could call her an actress.

SCOTT Her skill manifests itself in a totally different way in “Bacurau” this year, a crazily fantastical (and violent) science-fictionish allegory of Brazil in crisis that departs from the realism of Mendonça’s other films without abandoning their political passion or their humanism. Braga, part of a sprawling ensemble that includes nonprofessional actors, is essential to this. She plays Domingas, a small-town doctor with a drinking problem and a sometimes abrasive personality — a deglamorized, comical role that no one else could have managed with such depth and grace. Or as Mendonça put it, “In a symphony, she’d be the piano.”

Stream “Bacurau” on the Criterion Channel and “Aquarius” on Netflix.

23

Mahershala Ali

A. O. SCOTT Mahershala Ali has one of the great faces in modern movies — those sculpted cheekbones, that high, contemplative brow, those eyes tinged with melancholy. His presence on camera is magnetic, but also watchful and sly. His characters tend toward reticence, guardedness, but their reserve is its own form of eloquence, their whispers more resonant than any shout.

Ali has won two Oscars for best supporting actor. The first was for “Moonlight” (2016), in which he quietly demolished a durable Hollywood stereotype. Juan is a drug dealer, a figure of community destruction and implicit violence. What defines him, though, is his gentleness, the unconditional kindness he bestows on Chiron, the young protagonist. Juan listens to the boy; he answers his questions; in one of the film’s most moving scenes, he teaches him to swim.

And then, between the first and second acts, he vanishes. But Ali haunts the film even after his departure. He’s both its tragic, nurturing image of manhood and the first man worthy of Chiron’s love.

MANOHLA DARGIS Ali first got my attention in the Netflix series “House of Cards.” He played Remy Danton, a Washington lawyer whose knowing little smile could flicker like a warning, signaling the danger in his world. Remy entered in the second episode in a scene at a restaurant, where the lead character, Frank Underwood (Kevin Spacey), is eating with two other power brokers. Remy doesn’t stand over the seated men, he looms. You know Underwood is bad news, but when the director David Fincher cuts to Remy’s face, Ali abruptly changes the temperature by dropping his affable facade for skin-prickling wariness, making it clear that he isn’t talking to a man but to a predator.

I was so accustomed to seeing Ali in a bespoke suit (and sometimes out) that I didn’t recognize him at first in “Moonlight.” It wasn’t simply the different wardrobes, but the precise bearing that Ali gave each man, variations in bodies, yes, but also in how those bodies move and signify. In “House of Cards,” Remy flows and there were moments when I thought I was looking at the next James Bond. In “Moonlight,” Ali creates a titanic character whose force, even after he disappears from the movie, continues to resonate. The actor creates a very dissimilar character in “Green Book” (2018, his second Oscar winner), this time with a performance — as the musician Don Shirley, whom Ali plays as a man and a defended fortress — that surpasses the movie.

SCOTT I would almost say that the performance is the opposite of the movie. Ali is graceful, witty and self-aware while “Green Book” is clumsy, jokey and blind to its own insensitivities. I’m not sure any other actor could have handled the notorious fried chicken scene with such sly dignity. That “Green Book” and “Moonlight” were both best picture winners speaks to the contradictions of our cultural moment, but it’s proof of Ali’s talent that his subtle craft and unshakable charisma can anchor two such divergent films.

Stream “Moonlight” on Netflix.

22

Melissa McCarthy

MANOHLA DARGIS When critics anatomize comic performers like Melissa McCarthy, we often touch on familiar qualities like timing, grace and elastic physiognomy. But we’re also talking about acting. Since making the transition from TV to movies, McCarthy has repeatedly demonstrated her range and exhilaratingly helped demolish regressive ideas about who gets to be a film star. No movie has served her better than “Spy” (2015) in which she plays Susan, a timid C.I.A. analyst who’s sent on an outlandish mission that allows McCarthy to mince and then delightfully swagger.

Penting untuk kesenangan subversif dari "mata -mata" adalah bagaimana ia menggunakan konvensi genre untuk memamerkan bakat McCarthy sambil juga meledakkan stereotip. Susan mengandung banyak orang, pertama sebagai perlindungan diri (dia meredam api) dan kemudian sebagai ekspresi kemanusiaannya. Di lapangan, dia dengan sedih mengasumsikan beberapa penyamaran yang lusuh dan tragis-variasi tentang bagaimana orang lain melihatnya-sebelum berubah menjadi fantasi seksi yang berbicara dengan sampah dari desainnya sendiri. Saat Susan mengecewakan rambut dan hambatannya, McCarthy terpotong longgar. Suaranya bergejolak, tangannya yang berkibar-kibar menjadi tinju, wajahnya di Kewpie-nya menjadi Medusa penuh. McCarthy tidak bermain satu wanita - dia semua dari kita, dengan pembalasan.

A. O. Scott Lee Israel lucu. Dia berbagi kecerdasan verbal yang cepat dan agresif dengan beberapa kreasi lain McCarthy, seperti Tammy di "Tammy" (2014) dan Mullins di "The Heat" (2013). Tapi Lee adalah orang sungguhan, dan "bisakah kamu memaafkanku?" (2018) bukan komedi. Ini juga bukan biopik, melainkan sepotong yang sangat spesifik dari queer New York akhir abad ke-20 dan kehidupan sastra yang diulur melalui gambar teman yang tidak sesuai dan memutar menjadi film caper. Lee Israel is funny. She shares a fast and furiously aggressive verbal wit with some of McCarthy’s other creations, like Tammy in “Tammy” (2014) and Mullins in “The Heat” (2013). But Lee was a real person, and “Can You Ever Forgive Me?” (2018) isn’t exactly a comedy. It’s not quite a biopic either, but rather a highly specific slice of late-20th-century New York queer and literary life threaded through a misfit buddy picture and twisted into a caper film.

Lee tidak mudah disukai atau di -root. Dia abrasif, mementingkan diri sendiri, dan menaati diri. Dia mengasingkan teman dan mempertahankan cengkeraman etika yang lemah seperti pada ketenangan. McCarthy menolak mengubah ceritanya - yang melibatkan perdagangan karier yang goyah sebagai penulis untuk tugas yang menguntungkan sebagai pemalsu surat -surat penulis terkenal - menjadi perumpamaan pemulihan atau penebusan.

Ini tentang bagaimana Lee dan sahabat karibnya (Richard E. Grant) bertaruh tentang bertahan hidup, memberontak terhadap nasib yang telah disiapkan oleh dunia yang acuh tak acuh untuk mereka. Judul film menimbulkan pertanyaan jujur. Mungkin Anda tidak bisa memaafkan Lee atas kesalahan dan kebohongannya, kurangnya pertimbangannya terhadap kata -kata dan perasaan orang lain. Tapi tidak mungkin Anda bisa melupakannya.

Sewa atau beli "mata -mata" dan "bisakah kamu memaafkanku?" di sebagian besar platform utama.

21

Catherine Deneuve

Dalam karier yang panjang bekerja dengan siapa auteurs, Deneuve telah membela jenis wanita Prancis yang elegan apakah dia berperan sebagai istri biasa, pemilik bistro yang sedang berkuda atau bahkan seorang ibu Iran. Untuk peran terakhir itu, dalam animasi "Persepolis" (2007). Deneuve menyuarakan karakter berdasarkan ibu Marjane Satrapi. Kami bertanya kepada Satrapi, yang menyutradarai film itu dengan Vincent Paronnaud, untuk menjelaskan mengapa dia mencari Deneuve.

Jika Anda tinggal di Prancis, Catherine Deneuve adalah simbolnya. Ketika saya tumbuh dewasa, dia adalah impiannya. Dia selalu membuat pilihan yang terlalu maju untuk waktunya, lebih anarkis daripada borjuis. Dia selalu terlihat seperti wanita Paris yang sangat borjuis, yang sama sekali tidak benar. Dia adalah seorang pemberontak yang terlihat seperti Grande Dame.

Pertama kali saya bertemu Catherine Deneuve adalah seperti bertemu Tuhan secara langsung. Saya sangat terkesan. Namun, saya harus mengarahkannya, dan saya tidak berani memberitahunya apa -apa. Dua jam pertama, saya benar -benar lumpuh, dan dia menenangkan saya. Dia memberi tahu saya, karena dia wanita yang sangat murah hati: "Anda adalah sutradara dan saya aktris Anda. Katakan apa yang harus saya lakukan dan saya akan melakukannya. ” Dia tidak melakukannya di depan orang lain. Dia berkata, "Ayo punya rokok," dan dia mengatakannya kepada saya secara pribadi.

Untuk karakter ibu, saya perlu memiliki seseorang yang bukan ibu kekal ini yang sangat cantik, karena ini bukan ibuku. Ibuku adalah orang yang sangat cantik tapi dia seperti: “Kamu melakukan ini. Kamu melakukan itu. " Saya membutuhkan seseorang yang memiliki kekuatan seorang wanita yang ingin putrinya [membuat hidupnya] lebih baik dan lebih dibebaskan. Catherine Deneuve memiliki cara berbicara ini tidak menyenangkan, karena dia tidak mencoba untuk disukai. Dia sangat jujur. Ketika dia berbicara dengan Anda, dia menatap langsung ke mata Anda.

Dia tidak mencoba untuk disukai. Dia sangat jujur.

Ada adegan ini ketika saya pulang dan ibu saya mulai berteriak kepada saya: “Anda tahu apa yang mereka lakukan dengan gadis -gadis muda di Iran? Anda harus keluar dari negara ini. ” Saya ingat ketika dia memainkannya, dia sedikit pergi. Dia mencoba menahan diri seperti biasanya. Saya seperti, "Tidak, Catherine, Anda benar -benar keluar dari pikiran Anda." Dia melakukannya dan dia benar -benar menangis. Itu sangat mengharukan.

Dan tetap saja, setelah bertahun -tahun, setiap kali saya melihatnya, saya memiliki detak jantung. Dia seperti singa. Dia tidak keras, dia tidak membuat gerakan. Tetapi bahkan jika dia ada di belakang Anda dan Anda tidak melihatnya, Anda merasa bahwa kucing ada di dalam ruangan. Rasanya pada saat yang sama sangat menarik dan sangat berbahaya. Dia ganas dan dia tak kenal takut, dan aku suka itu tentang dia. - Wawancara oleh Kathryn Shattuck— Interview by Kathryn Shattuck

Sewa atau beli "Persepolis" di sebagian besar platform utama.

20

Rob Morgan

A. O. Scott Aktor -aktor karakter hebat adalah penguasa paradoks, sekaligus tak terhapuskan dan tidak terlihat. Anda tidak perlu mengenali mereka dari satu peran ke peran berikutnya, tetapi mereka meninggalkan cap mereka di setiap film, meningkatkan keseluruhan bahkan di bagian kecil. The great character actors are masters of paradox, at once indelible and invisible. You don’t necessarily recognize them from one role to the next, but they leave their stamp on every film, enhancing the whole even in small parts.

Jika Anda melihat "Mudbound," "Monsters and Men," "The Last Black Man di San Francisco" dan "Just Mercy" - empat film yang dirilis antara 2017 dan 2019 - Anda mengetahui Rob Morgan, apakah Anda tahu namanya atau tidak .

Sebagai tahanan Death Row dalam "Just Rahasia," ia adalah kehadiran yang sangat tidak kramatis, seorang pria pendiam dihantui oleh penyesalan, ketidakberdayaan dan ketakutan yang keadaannya merangkum argumen humanis film tersebut.

Di masing -masing film lain, ia memerankan seorang ayah, di Jim Crow South dan Urban North modern - seorang pria yang tahu lebih dari yang ia pilih untuk dikatakan. Anak -anak di film -film itu melakukan sebagian besar pembicaraan, tetapi Morgan memberikan ekspresi yang fasih terhadap pengalaman yang berada di luar cerita utama bahkan ketika mereka membumikannya dalam sejarah yang lebih besar. Dalam "Last Black Man" ia muncul dalam beberapa adegan dan mengucapkan hanya beberapa baris, tetapi semua film itu tentang - kesenangan dan kekecewaan kehidupan di pinggiran kota yang istimewa dan berubah dengan cepat - ditulis di wajahnya. Dia mendengarkan, dia mengunyah biji bunga matahari, dia memainkan beberapa akord pada organ pipa tua, dan setelah beberapa menit di hadapannya, Anda mengerti persis apa yang perlu Anda ketahui.

Manohla Dargis sering, sebuah film kecil memberi aktor kesempatan untuk menjadi lebih besar dan memegang pusatnya, yang dilakukan Morgan di Annie Silverstein's "Bull" (2020). Dia memerankan Abe, mantan penunggang Rodeo Bull dengan sendi yang kaku, darah di urinnya dan kehidupan yang disatukan dengan rapuh. Hari -hari mengendarai bantengnya, dia sekarang bekerja di tanah sebagai bullfighter, membantu melindungi pengendara yang jatuh. Peran Abe, dengan penuh belas kasihan, tidak ditimpa, yang memungkinkan Morgan untuk mendefinisikan karakter dengan kinerja yang diwujudkan secara persuasif, yang kepalanya miring, melihat ke samping dan kehadiran yang ditarik mengekspresikan masa lalu yang memar dan naluri pelindung diri dari seorang pria yang emosional emosional mundur. Every so often, a small movie gives an actor a chance to go bigger and hold the center, which is what Morgan does in Annie Silverstein’s “Bull” (2020). He plays Abe, a former rodeo bull rider with stiff joints, blood in his urine and a fragilely held together life. His bull riding days over, he now works on the ground as a bullfighter, helping protect fallen riders. The role of Abe, mercifully, isn’t overwritten, which allows Morgan to define the character with a persuasively embodied performance, one whose head tilts, sideways looks and withdrawn presence expresses a bruising past and the self-protecting instincts of a man in emotional retreat.

"Bull" seharusnya hanya tentang Abe, tetapi malah berfokus pada hubungannya dengan tetangga kulit putih, berusia 14 tahun yang tidak berakar, Kris (Amber Havard). Nasib mereka bersilang setelah dia ketahuan menghancurkan rumahnya, dan dibentuk oleh optimisme yang tidak diterima yang mendasar bagi bioskop Amerika. Dengan kata lain, Abe dan Kris saling menyelamatkan. Apa yang menyelamatkan filmnya adalah jendela Morgan terbuka ke Black Cowboy dan bagaimana kinerjanya memperumit mitos favorit Amerika, termasuk sosok penyendiri yang keras dan tabah. Abe tidak naik dari wilayah John Wayne; Abe mengendarai dari tanah yang sama sekali berbeda yang membuat Morgan membuat visceral, berhantu dan sepenuhnya hidup.

Streaming "Bull" di Hulu.

19

Wes Studi

Oleh Manohla DargisManohla Dargis

Wes Studi memiliki salah satu wajah layar yang paling menarik - menjorok dan berkerut dan berlabuh dengan jenis mata penembus yang bersikeras Anda sesuai dengan tatapan mereka. Sutradara yang lebih rendah suka menggunakan wajahnya sebagai simbol tumpul dari pengalaman penduduk asli Amerika, sebagai topeng bangsawan, penderitaan, rasa sakit yang tidak dapat diketahui hanya karena tidak ada yang meminta pria yang memakainya. Namun, di film yang tepat, Studi tidak hanya bermain dengan fasad karakter; Dia mengupas lapisannya. Seorang master opacity ekspresif, ia menunjukkan kepada Anda topeng dan apa yang ada di bawahnya, baik pemikiran maupun perasaan.

Dia menunjukkan topeng dan apa yang ada di bawahnya.

Studi melingkar ke dalam kesadaran sinematik sebagai prajurit Huron yang pendendam dalam epik Michael Mann "The Last of the Mohicans" (1992), karakter yang disampaikan aktor dengan fisik yang kuat dan intensitas penghinaan, ketidaksabaran, kebencian, kemarahan. Melakukan banyak hal dengan sedikit telah menjadi konstan dalam karier film Studi, yang mencakup peran yang menandakan dalam "The New World" (2005) dan "Avatar" (2009). Seperti banyak aktor, ia telah melakukan bagiannya dari pekerjaan yang dapat dilupakan, membuat film eksploitasi dan pakan ternak TV. Seringkali secara khusus berperan sebagai penduduk asli Amerika, ia telah memainkan Geronimo dan Cochise; Dia mungkin benar lebih banyak film yang salah jika orang Barat masih populer. Dan jika industri itu suka berpetualang, ia mungkin juga memainkan lebih banyak jenis seperti pengawas tempat penampungan tunawisma di "Being Flynn" (2012), seorang pria yang tidak mengenakan apa yang disebut Studi "kulit dan bulu."

Secara instruktif, ia tidak mengenakan "musuh" Scott Cooper (2017), tentang hidup dan mati di Amerika akhir abad ke-19. Studi memerankan Chief Yellow Hawk, seorang tahanan Cheyenne yang sekarat yang telah disetujui pemerintah federal untuk kembali ke tanah leluhurnya. Film ini sebagian besar tertarik pada pengawalnya, pembenci India yang dimainkan oleh Christian Bale, The Star. Sekali lagi, Studi memberikan giliran pendukung yang melengkapi kinerja terkemuka - ketidakpedulian karakternya terhadap kemarahan pengawalan adalah dinding yang tidak dapat dilanggar - dan membantu menyamakan keseimbangan cerita. Yellow Hawk telah bertahan cukup lama untuk mati dengan persyaratannya, kelangsungan hidup bahwa Studi membuat tindakan kepemilikan diri terakhir.

Streaming "Hostiles" di Netflix.

18

Willem Dafoe

Oleh Julian SchnabelJulian Schnabel

Aktor ini telah menjadi kehadiran vital dalam film yang berbeda seperti "Shadow of the Vampire" (2000) dan "The Florida Project" (2017), di mana ia menerima nominasi Oscar. Dia juga dinominasikan karena bermain van Gogh dalam film biografi Julian Schnabel, "at Eternity's Gate" (2018). Kami bertanya kepada Schnabel mengapa dia menoleh ke Dafoe.

Willem dan saya bertemu lebih dari 30 tahun yang lalu. Dia selalu tinggal di lingkungan itu, dan kami memiliki banyak teman yang sama. Oliver Stone menembak "pintu" di New York, dan kami berdiri di sekitar set suatu malam dan itu adalah pertama kalinya kami benar -benar mulai berbicara.

Satu hal yang sangat penting adalah dia adalah aktor yang sangat murah hati. Dia peduli dengan pertunjukan orang lain dan tentang membantu mereka dengan tersedia dalam apa pun yang dia lakukan. Dia sangat, sangat loyal dan sangat, sangat pintar. Jika Anda memiliki seseorang yang pintar, mereka dapat membuatnya lebih baik.

Dia aktor yang sangat murah hati. Dia peduli dengan pertunjukan orang lain.

[Untuk “di Eternity's Gate”] Saya membutuhkan seseorang yang akan memiliki kedalaman karakter untuk bermain van Gogh. Dan itu bukan tentang terlihat seperti dia. Seseorang yang bisa memiliki pengalaman hidup yang cukup untuk menjadi pria itu. Orang -orang berpikir, yah, Willem berusia 60 tahun, van Gogh berusia 37 ketika dia meninggal. Itu tidak relevan bagi saya. Anda hanya harus memiliki firasat tentang mempercayai seseorang dan berpikir bahwa mereka dapat melakukan sesuatu. Saya percaya Willem secara implisit. Dan tingkat kepercayaan itu berjalan dua arah.

Ada hal -hal yang kami tembak di Arles setelah ia tiba yang tidak dapat kami gunakan. Dia mengenakan pakaian yang sama, memiliki tatanan rambut yang sama, tetapi dia belum menjadi pria itu. Lalu ada saat -saat tertentu ketika tiba -tiba dia. Dia diubah, ditransfigurasikan. Dia orang lain.

Salah satu adegan favorit saya adalah di mana dia berbicara dengan Dr. Rey muda, yang melihatnya setelah dia memotong telinganya dan dia menjaminnya bahwa dia akan melukis ketika dia berada di institusi. Interaksi itu luar biasa, apa yang Willem lakukan di sana. Dia pada dasarnya duduk di meja dan tidak ada banyak ruang untuk gerakan. Tetapi apa yang terjadi di wajahnya dalam tanggapannya terhadap apa yang dikatakan dokter muda kepadanya - dan juga sebagai tanggapan atas apa pun yang tampaknya dipikirkan oleh pikiran lain melalui pikirannya pada waktu itu - adalah lanskap peristiwa dan kehidupan interior seperti busa Datang ke atas krim telur vanilla. - Wawancara oleh Kathryn Shattuck— Interview by Kathryn Shattuck

Sewa atau beli "di Eternity's Gate" di sebagian besar platform utama.

17

Alfre Woodard

Oleh A. O. ScottA. O. Scott

Di dunia yang adil, akan ada daftar pertunjukan hebat untuk mengisi entri ini, koleksi matriark, pahlawan romantis, diva, dan penjahat untuk mencerminkan berbagai hadiah Alfre Woodard. Peran seperti itu selalu kekurangan persediaan untuk wanita kulit hitam, tetapi bahkan di bagian kecil dalam film kecil atau serial televisi, Woodard adalah kehadiran yang tak terlupakan, sekaligus agung dan benar -benar nyata.

Dua film yang telah memberinya ruang terbanyak - "12 Years a Slave" karya Steve McQueen (2013) dan "Clemency" karya Chinonye Chukwu (2019) - keduanya menempatkan pertanyaan tentang keadilan depan dan tengah. Di masing -masing, Woodard harus menegaskan martabat dan integritas etika karakternya dalam menghadapi keadaan yang sangat kejam. Bernadine Williams, sipir penjara dalam “grasi” yang pekerjaannya termasuk mengawasi eksekusi, menemukan profesionalismenya semakin bertentangan dengan kemanusiaannya. Dalam “12 Years,” Nyonya Shaw, seorang wanita yang diperbudak yang hubungannya dengan pemilik perkebunan telah membawakannya dengan hak istimewa, telah ditawar dengan sistem yang dibangun pada dehumanisasi.

Seni Woodard, komitmennya terhadap kebenaran, adalah apa yang Anda lihat.

Kontradiksi yang bersaing dengan Bernadine dan Nyonya Shaw lebih besar daripada individu mana pun. Apa yang dilakukan Woodard adalah menjadikannya pribadi. Kontrol diri adalah masalah kelangsungan hidup, dan Woodard mengatur wajahnya ke dalam gambar kesopanan yang tepat, menyamar sebagai wanita selatan yang sopan atau birokrat efisien yang dibutuhkan situasi. Dia tidak begitu banyak membiarkan topeng tergelincir - kecuali mungkin dalam adegan akhir yang menghancurkan "grasi" - seperti yang menunjukkan biaya dan perawatan yang digunakan untuk memakainya. Karakter juga tampil, memainkan peran mereka untuk taruhan fana, dan seni Woodard, komitmennya terhadap kebenaran, adalah apa yang Anda lihat di ruang antara bagaimana mereka dan siapa mereka.

Streaming "Clemency" dan "12 Years a Slave" di Hulu.

16

Kim Min-hee

Oleh Manohla DargisManohla Dargis

Di Hong Sang-soo "saat ini, salah," (2016), seorang wanita dan pria bertemu. Mereka minum dan minum lebih banyak dan dengan testicly berpisah hanya untuk bertemu di babak kedua film seolah -olah untuk pertama kalinya, sebuah pengaturan yang membangkitkan "Groundhog Day." Sekali lagi, mereka pergi ke sebuah kafe, studio, restoran. Namun sementara tindakan mereka umumnya tetap sama, seperti halnya busur keseluruhan malam itu, cukup telah berubah - bagaimana mereka memandang satu sama lain, infleksi dalam suara mereka - untuk mengubah pertemuan kedua ini menjadi sesuatu yang berbeda.

Penampilan bernuansa yang sangat indah Kim Min-Hee adalah pusat film, dan aktris itu sendiri telah menjadi jantung karya Hong sejak saat itu, muncul di sebagian besar film berikutnya. Auteur rumah seni yang mapan, Hong menceritakan kisah-kisah berskala sederhana yang secara formal menyenangkan, sensitif terhadap ketidaksempurnaan manusia dan basah kuyup di Soju. Hal -hal yang akrab terjadi, terkadang tidak dikenal. Pengulangan seringkali merupakan fokus naratif, yang didasarkan pada kehidupan dan dilayani dengan indah oleh ekspresivitas jernih Kim.

Dalam kanon minimalis Hong, hidup terkondensasi pada saat -saat sehari -hari, dalam percakapan dan cara tubuh condong ke arah satu sama lain. Perbedaan dalam dua bagian "saat ini, salah kemudian" mengungkapkan aspek baru dari karakter dan menciptakan ketegangan baru di antara mereka. Mereka juga memberikan kendali bebas ke jajaran Kim, memungkinkannya bermain dengan intonasi, gerakan, penampilan yang berkedip -kedip. Namun sementara dua bagian film terasa seperti variasi dari cerita yang sama, penampilannya terasa lebih seperti menyatu sebagai - Smile by Smile, dengan tatapan yang dibelokkan dan tetap - Kim mengumpulkan karakter menjadi keseluruhan.

Dia menjadi besar dan kecil, membelok dari mengerikan ke Mousy.

Dia pergi ke Baroque di "The Handmaiden" Park Chan-Wook (2016), filmnya yang paling terkenal. Dalam drama yang aneh dan seringkali lucu ini di Korea pada tahun 1930 -an, ia memerankan seorang bangsawan Jepang yang diselamatkan dari pamannya yang menyimpang oleh tipu daya dan oleh wanita lain. Kelebihan cerita dan tikungan naratif yang flamboyan memungkinkan Kim menggunakan setiap alat di kotak kerjanya. Dia menjadi besar dan kecil, membelok dari mengerikan ke Mousy, dan secara bergantian menyembunyikan perasaan karakternya dan membiarkan mereka mengamuk. Tubuhnya batu dan wajahnya terdistorsi karena ketakutan dan rasa sakit memberi jalan bagi ekstasi dan pelepasan. Karakternya adalah misteri yang menggoda film tetapi Kim buka kunci.

Streaming "The HandMaiden" di Amazon Prime Video.

15

Michael B. Jordan

Oleh Ryan CooglerRyan Coogler

Michael B. Jordan telah bermain pengacara, atlet, dan pahlawan super, tetapi bahkan sebelum jangkauannya menjadi jelas, sutradara Ryan Coogler ingin bekerja dengannya. Coogler telah membuat tiga fitur ("Stasiun Fruitvale," "Creed" dan "Black Panther") dan bintang-bintang Jordan atau lawan mainnya. Kami meminta direktur untuk menjelaskan apa itu tentang aktor yang menarik kami.

Saya bertemu Mike pada 2012 ketika saya sedang melakukan penelitian dan mengerjakan naskah untuk "Fruitvale." Dia adalah yang saya putuskan akan menjadi yang terbaik untuk peran sebelum saya bertemu dengannya, berdasarkan pada pekerjaan lain yang saya lihat dia lakukan - beberapa film tahun itu, "ekor merah" dan "kronik," dan banyak hal di ruang TV. Tapi saya pikir dia bisa bermain Oscar. Dia terlihat seperti dia, tetapi juga apa yang saya lihat adalah kemampuan ini untuk membuat Anda berempati dengannya. Tidak semua aktor memiliki benda ini, ketika Anda langsung peduli tentang seseorang yang benar dan itu memicu reaksi empati. Dia punya itu. Dia juga memiliki alat alat yang sangat canggih sebagai aktor.

Apa yang saya lihat adalah kemampuan ini untuk membuat Anda berempati dengannya.

Dia sudah berada di semua film fitur yang pernah saya lakukan. Dan saya terus melemparkannya karena dia adalah orang terbaik untuk pekerjaan itu. “Creed” [2015] memiliki karakter lain yang saya pikir dia bisa bermain dengan baik. Sebelum Mike adalah seorang aktor, ia adalah seorang atlet, kembali ke sekolah dasar dan sekolah menengah. Dia telah bermain atlet di TV, yang paling terkenal di "Friday Night Lights," jadi beberapa hal yang kita tahu karakternya harus lakukan di "Creed," Mike merasa tepat untuk itu. Itu adalah bagian dari dirinya yang bukan jangkauan besar.

Dan [dalam] "Black Panther" [2018], dengan dia dan Chadwick berhadapan dan pergi berseok -kaki, rasanya seperti sebuah peristiwa. Bintang -bintang mereka meningkat. Mereka berdua memimpin pria pada saat kami merekam film itu.

Sekarang, apa yang menarik tentang kita bertambah tua di industri ini adalah bekerja sama dalam kapasitas yang berbeda. Dia melakukan banyak hal di belakang kamera sekarang. Dan kami memiliki beberapa kesempatan untuk bekerja sama di luar aktor dan sutradara.

Dia sangat ambisius dengan cara yang menawan. Dia selalu ingin mendorong dan menantang dirinya lebih jauh. Dan itu muncul dalam penampilannya, tetapi juga dalam pengertian bisnis. Ambisi itu membuatnya berpikiran terbuka. Dia menonton segalanya dan tidak ingin memotong dirinya dari genre atau peluang tertentu. Jadi saya pikir langit adalah batas untuknya dan kariernya. - Wawancara oleh Mekado Murphy— Interview by Mekado Murphy

Streaming "Black Panther" di Disney+.

14

Oscar Isaac

A. O. Scott Sementara saya dapat mengambil atau meninggalkan film "Star Wars" baru -baru ini, saya memiliki kesukaan pada beberapa karakter, khususnya Poe Dameron, Flyboy Perlawanan yang merupakan pemikat trilogi ketiga yang ditunjuk. Sebagai Poe, Oscar Isaac adalah kehadiran yang menarik dan santai di film -film itu, seorang pria yang tampaknya tahu apa yang dia lakukan. While I can take or leave the recent “Star Wars” movies, I do have a fondness for some of the characters, in particular Poe Dameron, the resistance flyboy who is the third trilogy’s designated charmer. As Poe, Oscar Isaac is an appealing, easygoing presence in those movies, a guy who seems to know what he’s doing.

His characters aren’t always as lucky, or as sure of themselves, but the man himself operates with the precision of someone who is confident enough in his skills to push himself into risky new territory. The summer before “Inside Llewyn Davis” (2013) was released, Joel and Ethan Coen told us that they had originally wanted to cast a well-known musician in the title role. Instead, they found Isaac, who told them (according to Joel) that “most actors, if you ask them if they play guitar, they’ll say they played guitar for 20 years, but what they really mean is they’ve owned a guitar for 20 years.” Isaac could actually play. When I think about what makes him so credible as an actor, that’s the first thing that comes to mind. Not because it’s such a big deal to play guitar, but because whatever Isaac is pretending to do onscreen — selling heating oil (in the underrated “A Most Violent Year,” (2014); inventing sexy robots (in “Ex Machina”); flying X-wing fighters — I always believe that he really knows how to do it, and that I’m watching some kind of authentic mastery in action.

MANOHLA DARGIS When actors make a profound first impression, they sometimes get bound up with your ideas about what they can do. After “Llewyn Davis,” I associated Isaac with soulful defeat, with an undercurrent of grudging resentment. A few other roles shored up this idea of his innate mournfulness, including his performance as a besieged mayor in the HBO series “Show Me a Hero” (2015). This partly has to do with his broody, romantic looks and how his brows frame his luxuriously lashed eyes. And then there’s his voice, its pretty sound but also how its resonance creates intimacy. Even when he puts nasal in it, his voice retains a quality of closeness, one reason it often feels, sounds, like Llewyn is singing more for himself than the audience. Isaac’s voice also softens his beauty, drawing you in. Sometimes, though, as in “Ex Machina,” he uses that intimacy for something insinuating, sinister.

Isaac has a supporting role in “Ex Machina” (2015), but he’s vital to its vibe and power. He plays Nathan, a Dr. Frankenstein-like tech billionaire involved in artificial intelligence who’s building (and destroying) beautiful female androids. A savagely critical stand-in for today’s masters of the digital universe, Nathan could easily have dominated the movie. Isaac instead keeps his own charm in check, letting the character’s creepiness poison the air. Nathan’s mercurial moods and surprising looks — his shaved head and full beard, eyeglasses and cut muscles — make it difficult to get a bead on him. But when he suddenly boogies down, executing an amazing dance, Isaac lays bare all you need to know about Nathan in the geometric precision of his choreographed moves and the madness in his eyes. It’s 30 seconds of pure genius.

Rent or buy “Ex Machina” on major streaming platforms.

13

Tilda Swinton

MANOHLA DARGIS The woman of a thousand otherworldly faces, Tilda Swinton has created enough personas — with untold wigs, costumes and accents — to have become a roster of one. She’s a star, a character actor, a performance artist, an extraterrestrial, a trickster. Her pale, sharply planed face is an ideal canvas for paint and prosthetics, and capable of unnerving stillness. You want to read her but can’t. That helps make her a terrific villain, whether she’s playing a demon, a queen or a corporate lawyer. In “Julia” (2009), she drops that wall to play an out-of-control alcoholic and child-snatcher, giving a full-throttled performance that is so visceral and transparent that you can see the character’s thoughts furiously at work, like little parasites moving under the skin.

A. O. SCOTT We like to praise actors for “range,” but that’s an almost laughably inadequate word for the radical shape-shifting that Swinton accomplishes. Just look at one strand of her career: her work with Luca Guadagnino, a filmmaker who shares her delight in self-reinvention. In “I Am Love” (2010) she played the Russian wife of an Italian aristocratic, giving a performance in two languages and in the key of pure melodramatic heartbreak. In “A Bigger Splash” (2016) she had barely any language at all: She decided that it would be interesting if her glam-rock diva character had been struck mute by throat surgery. In “Suspiria” (2018) she executed one of her many self-doublings, appearing as a member of a balletomaniac coven of witches and also as an elderly male Holocaust survivor.

DARGIS That doubling shapes her most androgynous performances, where she effortlessly blurs gender, confirming (yet again) the inadequacy of categories like “man” and “woman.” She’s both; she’s neither. A different doubling happens when she plays twins, in the 2016 “Hail, Caesar!” (as rival gossip columnists) and in “Okja” the next year (as visually distinct very cruel captains of industry). In each, Swinton shows us two sides of the same person, much as she does in “Michael Clayton” (2007) when her lawyer rehearses a duplicitous spiel in front of a mirror. As the lawyer talks, pauses and drops her smile, you see her desperately trying to control a reflection that is already cracking.

SCOTT Those roles can be theatrical, but they almost never feel gimmicky. Swinton has roots in an avant-garde tradition — earlier in her career, she worked with Derek Jarman and Sally Potter — that emphasizes the mutability of identity and the blurred boundaries between artifice and authenticity. Over the past 20 years she has brought some of the intellectual rigor and conceptual daring of that work to Hollywood and beyond. She’s not only a uniquely exciting performer, but also one of the great living theorists of performance.

All of these Tilda Swinton films are available on major streaming platforms.

12

Joaquin Phoenix

By James Gray

Joaquin Phoenix has appeared in four of the director James Gray’s movies, starting with “The Yards” in 2000 and including “We Own the Night” (2007), “Two Lovers” (2009) and “The Immigrant” (2014). We asked Gray to explain how the actor has expanded — and improved — on his own vision.

When I saw “To Die For,” I said, “That actor” — I didn’t even know his name yet — “is unbelievably good at conveying his internal life without dialogue.” That’s a really important thing in cinema, because the camera reveals everything. Here was an actor who had so much going on and you could tell. I thought, “That’s a very interesting actor. I’d love to meet him.” And I did.

We were on the same wavelength, instantly. We liked the same things. We thought about things the same way. And I just immediately liked him. He had that dimensionality to him. The first film we did together [“The Yards”], I’m sure that I pissed him off a lot. I have a very direct way. Sometimes that’s good and sometimes it’s not so good. I’m better at it now. Let’s just say that I wasn’t always willing to say, “Yeah, that’s interesting, but let’s try this.” I was more into, “Joaq, what are you doing? That sucks, try another one.” And I know I would frustrate him because his talent was so vast.

He has a limitless ability to surprise you in the best ways and inspire you to move in a direction that you haven’t thought of originally, better than what you have in mind, and expands the idea. He’s extremely inventive. He’s always thinking and actually has gotten more so over the years. I’ve never said, “I want my vision on the screen.” I want something better than that. You want to lay down the parameters of what it is you have in mind, and then surround yourself with people who will make it all more beautiful. Not different, necessarily, but more intense, more vivid.

He has a limitless ability to surprise you in the best ways.

You want the actor to surprise you, and to do so in a way that seems consistent with the character but also very interesting. Joaquin was absolutely fantastic at that. That’s inspiring. You don’t know what to expect in the best sense. Joaquin Phoenix is one of the best things that’s ever happened to me. If I have any regret at all, it would be that he’s not in every single movie I made. — Interview by Candice Frederick

Stream “The Yards” on CBS All Access.

11

Julianne Moore

A. O. SCOTT The unhappy American housewife — smiling to keep up appearances in the face of domestic tragedy and inner turmoil — is a durable movie archetype. It’s one that Julianne Moore has both explored and exploded, in “The Hours” (2002) and especially in her collaborations with Todd Haynes like “Far From Heaven” (2002).

That film is set in Connecticut in the 1950s, but it’s a pointedly stylized landscape, evocative of the Hollywood melodramas of that period. Cathy and Frank Whitaker (Moore and Dennis Quaid) are each pulled away from their stifling marriage by forbidden desires: Frank for other men, Cathy for Raymond Deagan, a Black landscaper (Dennis Haysbert). These transgressions aren’t symmetrical or intersectional. In their heartbreak, humiliation and longing, Frank and Cathy have no consolation to offer each other.

Moore could have placed Cathy’s anguish in quotation marks, evoking the suffering divas of ’50s cinema while winking at a modern audience contemplating the bad old days from a safe aesthetic distance. Instead, she goes all the way in, staring out from the soul of a woman who is rooted in her time and absolutely modern, trapped by rules and appearances and also — terrifyingly and thrillingly — free.

MANOHLA DARGIS Unhappy or not, wives can be dead ends for actresses and for too many there comes that time when they’ve been forever banished to the kitchen. Moore has played plenty of wives and mothers, but hers are sometimes more complex and surprising than her movies, an index of her sensitivities and talent. One reason she lifts her characters out of stereotype is that she plays with codes of realism, whether she’s delivering a naturalistic performance (“Still Alice,” the 2014 melodrama about a professor with Alzheimer’s) or a hyperbolic one (David Cronenberg’s 2015 satire “Maps to the Stars,” where she’s a Hollywood hyena). Moore can externalize a character’s interior state beautifully, so you see feelings surface on her skin. But she’s an artist of extremes, and she and Cronenberg have fun playing with her gargoyle faces.

Sebagian besar, karyanya di "Gloria Bell" (2019) berada dalam kunci realis. Dia memainkan karakter judul, seorang pekerja asuransi bercerai yang hati-hati dengan dua anak dewasa, mantan yang tidak dia benci dan apartemen yang sangat kesepian. Film itu sendiri sederhana, intim, bijaksana dan kaya akan detail manusia. Gloria memulai perselingkuhan dengan seorang pria. Ini berjalan buruk, mereka putus. Tidak banyak yang terjadi dalam istilah film biasa, namun semuanya terjadi karena Gloria mencintai dan dicintai pada gilirannya. Ini adalah kisah yang bisa menyebabkan ember ingus dan showboating kosong. Tetapi Moore dan sutradara Sebastián Lelio melampaui kejelasan. Mereka tidak hanya menciptakan cerita tentang perasaan wanita - dan keberadaan - saat dia jatuh cinta; Mereka membuat lanskap emosi, tekstur dan bentuk kepekaan. Gloria Moore tidak menangis dan tertawa; Dia menunjukkan seperti apa cinta dari dalam. Ini adalah keajaiban kinerja.

Streaming "Gloria Bell" di Amazon Prime Video.

10

Saoirse Ronan

Oleh A. O. ScottA. O. Scott

Berapa banyak cara berbeda yang bisa didapat oleh satu orang? Tumbuh adalah banyak dari apa yang dilakukan anak muda dalam film, tetapi sedikit aktor yang telah melakukannya begitu lama, atau dengan nuansa, kecerdasan, dan variasi seperti Saoirse Ronan. Dia telah matang di depan mata kita selama lebih dari setengah hidupnya (dia berusia 26 tahun) menjadi lebih bijaksana, lebih sedih, lebih bebas dan lebih banyak dirinya sendiri dalam setiap peran baru.

Tentu saja, sebagian besar karakter yang mengalami perubahan itu. Eilis Lacey (“Brooklyn,” 2015) menemukan cinta dan kemerdekaan di rumah barunya; Christine McPherson (“Lady Bird,” 2017) belajar untuk menghargai ibunya; Jo March (“Little Women,” 2019) menemukan suaranya sebagai penulis. Ronan sendiri, menghuni para wanita dan gadis -gadis ini dalam semua kekhasan mereka, hampir secara konsisten, dalam perintah penuh, disiplin dari hadiahnya sejak awal.

Dalam perintah penuh dan disiplin dari hadiahnya sejak awal.

Dalam "Atonement," penampilannya dari tahun 2007, dia memerankan Briony Tallis, seorang berusia 13 tahun perseptif yang mengira dia lebih memahami tentang dunia dewasa daripada dia. Ronan tidak hanya menandingi kedewasaan Briony; Dia juga mengkomunikasikan campuran volatile dari rasa tidak aman kekanak-kanakan dan kecemburuan romantis yang membuat gadis yang tidak mampu, membutuhkan, dan setengah bersedih ini merasa benar-benar berbahaya.

Dan rasa bahaya itu tetap ada, apakah karakternya rentan (seperti dalam "The Lovely Bones," 2009) atau kekerasan (seperti dalam "Hanna," 2011). Bahkan ketika dia berada dalam drama periode yang berkecimpung atau komedi lembut kehidupan rumah tangga, Ronan membawa ketepatan quicksilver yang mendebarkan dan sedikit meresahkan untuk ditonton. Ini karena sebanyak dia menangkap cuaca emosional dan bahasa tubuh spesifik, katakanlah, seorang ratu Skotlandia abad ke-16 atau remaja California abad ke-21, apa yang dia sampaikan lebih jelas adalah cara berpikir orang-orang itu, cara rasanya rasanya rasanya rasanya rasanya rasanya, cara rasanya rasanya rasanya, cara rasanya rasanya rasanya, cara rasanya rasanya itu, cara rasanya, cara rasanya rasanya itu, cara rasanya, cara rasanya rasanya itu, cara rasanya itu, cara rasanya itu, cara rasanya itu, cara rasanya itu, cara rasanya itu, cara rasanya orang-orang itu, cara rasanya itu rasanya itu, cara rasanya itu rasanya itu, cara rasanya itu, cara rasanya itu, cara rasanya itu, cara rasanya orang-orang itu terasa, cara rasanya itu rasanya berada di dalam kepala mereka.

Itu mungkin terdengar seperti pendekatan otak, intelektual untuk bertindak, tetapi itu benar -benar sebaliknya. Ambisi yang paling radikal dan wahyu yang dapat dipahami oleh seorang aktor adalah mendiami kesadaran lain, dan membawa penonton dalam perjalanan parapsikologis itu. Ini lebih dari sekadar menghilang ke dalam peran, atau secara metodis mengaktifkan kenangan paralel. Ini semacam kelahiran kembali secara wajar, seolah-olah Athena tidak bisa muncul dari dahi ayahnya, tetapi miliknya. Mungkin menakutkan untuk disaksikan, tetapi jenius sering kali.

Streaming "Penebusan" di Peacock.

9

Viola Davis

Oleh Denzel WashingtonDenzel Washington

Viola Davis telah bekerja dengan Denzel Washington beberapa kali dalam 20 tahun terakhir - apakah dia adalah sutradara ("Antwone Fisher," 2002), bintang (bermain Troy Maxson untuk Rose Maxson dalam drama keluarga August Wilson "Fences" di Broadway dan Kemudian pada film pada tahun 2016) atau produser (ia berperan dalam peran judul dalam drama Jazz Wilson yang akan datang "Ma Rainey's Black Bottom"). Kami memintanya untuk menjelaskan apa yang membuatnya begitu luar biasa:

Saya tahu bahwa dia adalah seorang aktris hebat yang kembali ke ketika dia mengikuti audisi untuk "Antwone Fisher" 20 tahun yang lalu. Saya mengalami kekuatannya, kekuatannya dan bakatnya [selama syuting]. Dia datang siap, dalam karakter, dan pada dasarnya saya hanya meninggalkannya sendirian. Itu benar -benar tidak ada yang bisa dikatakan kepadanya selain "terima kasih" dan "mari kita lakukan satu lagi."

Dia adalah bakat sekali dalam generasi. Anda tidak selalu mengetahuinya segera, tetapi kami semua mengalaminya sekarang dari waktu ke waktu. Ketika saya bersamanya dalam drama ["pagar"] bahkan dalam latihan itu seperti, "Oh, oke, dia adalah pembangkit tenaga listrik." Dia memiliki adegan besar ketika dia akhirnya membongkar Troy; Tentang minggu ketiga latihan dia menunjukkan ke mana dia pergi. Dan saya seperti, “Saya lebih baik mengejar dia. Saya harus berkonsentrasi. "

Kami memiliki kesuksesan luar biasa, jadi tidak pernah ada pertanyaan tentang siapa yang akan memainkan peran dalam film. Dan seorang wanita yang kuat, kuat, dan rendah hati. Direktur [George C. Wolfe] harus meyakinkannya [pada Ma di “Ma Rainey's Black Bottom”]. Aku juga melakukannya. Dia seperti, “Saya tidak bisa bernyanyi. Saya tidak memiliki ritme apa pun, "semua hal semacam itu.

Dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan. Dia punya banyak kemampuan.

Saya percaya sepenuhnya. Mengapa seseorang ingin bermain di band dengan Miles Davis? Karena dia adalah kolaborator, inovator, artis yang hebat. Dia hal yang sama. Dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan. Dia punya banyak kemampuan. Dia adalah salah satu penerjemah materi terbaik yang saya punya kesempatan untuk berkolaborasi. - Wawancara oleh Candice Frederick— Interview by Candice Frederick

Sewa atau beli "pagar" di platform streaming utama.

8

Zhao Tao

Manohla Dargis sejak tahun 2000, aktris Cina Zhao Tao dan sutradara Jia Zhangke telah membuat lebih dari selusin fitur dan celana pendek, drama dan dokumenter serta pekerjaan yang menolak kategorisasi yang begitu rapi. Aliansi pembuatan film mereka sangat holistik dan akrab sehingga sulit membayangkan seperti apa film -film ini tanpa wajah Zhao dan kehadiran yang membumi. Dia sering disebut Muse (mereka sudah menikah), tetapi itu tidak mendekati menangkap kekayaan kontribusinya - puisi, simbolisme, dan granularitas emosionalnya. Since 2000, the Chinese actress Zhao Tao and the director Jia Zhangke have made more than a dozen features and shorts, dramas and documentaries as well as work that resists such neat categorization. Their filmmaking alliance is so holistic and familiar that it is hard to imagine what these movies would look like without Zhao’s face and grounding presence. She’s often called his muse (they’re married), but that doesn’t come close to capturing the richness of her contribution — its poetry, symbolism and emotional granularity.

Dalam film -film Jia, orang -orang melakukan banyak berjalan dan tidak ada yang mencatat lebih banyak mil dari Zhao, sering kali secara real time. Seorang mantan guru tari, Zhao bergerak dengan ketenangan dan fluiditas, apakah karakternya berjalan -jalan di aula ("dunia" pada tahun 2005) atau berkeliaran di sekolah terlantar ("24 kota" pada tahun 2009). Dalam "Still Life" (2008), Zhao memerankan Shen Hong, yang mencari suaminya di kota kuno yang akan dibanjiri untuk bendungan yang kontroversial. Shen Hong sering terlihat dalam tembakan menengah dan panjang, tetapi ketika seseorang bertanya apakah dia sedang terburu-buru, Jia memotongnya di dekat. "Tidak juga," katanya, wajahnya dipenuhi dengan penyesalan atau mungkin kenangan tepat sebelum dia berjalan keluar pintu.

Banyak pelancong Jia memetakan cerita China berdasarkan cerita, apa pun tujuan literal atau metaforis mereka. Mungkin itu sebabnya postur Zhao tampak sangat mencolok. Bahkan ketika karakternya melayang, mereka melakukannya dengan punggung lurus.

A. O. Scott Transformasi Cina yang sedang berlangsung-fashionnya, musiknya, ekonominya, arsitektur dan topografinya-adalah subjek yang sangat memakan Jia, dan Zhao adalah avatar dan kasus uji. Dia adalah semacam wanita, yang mengatakan bahwa dia mewujudkan banyak wanita yang berbeda, kadang -kadang dalam ruang satu film. The ongoing transformation of China — its fashion, its music, its economy, its architecture and topography — is Jia’s all-consuming subject, and Zhao is its avatar and test case. She is a kind of Everywoman, which is to say that she embodies many different women, sometimes within the space of a single movie.

Dalam "Ash Is Purest White" (2019), ia memainkan Qiao, yang dimulai sebagai bagian dari pasangan gangster di kota industri utara Datong. Dia dan kekasihnya, Bin, tidak takut dan glamor, bahkan ketika Qiao terhubung melalui ayahnya dengan dunia dewan pekerja yang lebih tua dan ketangguhan proletar. Ini awal tahun 2000 -an, dan segala sesuatu tentang Qiao - rambutnya, pakaiannya, cara dia berjalan melalui klub malam yang berkilau dan pabrik yang babak belur - mengungkapkan kepercayaan pada modernitas dan tempatnya di dalamnya.

Lalu semuanya berantakan. Kesetiaannya pada bin mendaratkannya di penjara, dan ketika dia dibebaskan dia pergi. Perjalanannya, dengan perahu, kaki, sepeda motor dan kereta api, membawanya dengan pengembaraan yang panjang melelahkan kembali ke tempat dia mulai. Penderitaannya tanpa henti, tetapi ketabahannya membuatnya hampir lucu di kali, seolah -olah dia secara bersamaan adalah pahlawan wanita Hollywood tua dan protagonis drama Samuel Beckett. Kinerja adalah keajaiban daya tahan, yang berakar di bumi tetapi entah bagaimana juga lebih besar dari kehidupan.

Stream "Ash was phip white" di Amazon Prime Video.

7

Toni Servillo

Oleh A. O. ScottA. O. Scott

Toni Servillo mungkin paling dikenal oleh audiens Amerika untuk "The Great Beauty" (2013), tur Paolo Sorrentino yang memenangkan Oscar tentang cara dekaden elit budaya Romawi modern. Film itu adalah apa yang oleh Pauline Kael disebut sebagai "Come-Dressed-As-the-Sick-Soul-Of-Europe", yang dibintangi Servillo, memerankan seorang penulis pencapaian langsing dan reputasi besar, sebagai penguasa Revels. Dengan wajahnya yang tampan, berkerut dan huberdashery yang sempurna, Servillo mengenang versi yang lebih mapan dari kupu-kupu sosial yang dimainkan Marcello Mastroianni di “La Dolce Vita”-seorang pengamat peserta yang terpisah dan samar-samar dalam tontonan hedonisme yang berputar-putar.

Jika Anda menarik di utas kolaborasi Servillo dengan Sorrentino, Anda menemukan sesuatu yang lebih menarik dan substansial daripada kecantikan. Keduanya telah bekerja bersama pada lima fitur, termasuk debut sutradara Sorrentino, "One Man Up," dan telah mengembangkan simbiosis yang mengingatkan beberapa kemitraan aktor-sutradara besar di masa lalu: Martin Scorsese dan Robert de Niro; Vittorio de Sica dan Sophia Loren; John Ford dan John Wayne.

Analogi seperti itu tidak mencukupi. Servillo telah menjadi avatar sentral dalam penggalian korupsi dan kemunafikan Sorrentino - tetapi juga kemuliaan yang mustahil dan ketahanan yang tidak masuk akal - dari Italia modern. Secara khusus, ia telah menjelma dua pemimpin politik kehidupan nyata yang paling kuat dan terpolarisasi dalam sejarah negara baru-baru ini: Giulio Andreotti (dalam scabrous dan satir "IL Divo, 2009) dan Silvio Berlusconi (dalam epik dan tender aneh" Loro, ”2019).

Menghargai skala pencapaian ini membutuhkan putaran analogi lain. Bayangkan jika aktor yang sama berperan sebagai Richard Nixon dan Barack Obama, atau Winston Churchill dan Margaret Thatcher. Andreotti, perdana menteri tujuh kali dan penggerak utama di Partai Demokrat Kristen yang sudah lama berkuasa, adalah operator ruang belakang yang terkenal, cerdas dan hampir tidak bertentangan. Berlusconi, yang juga seorang perdana menteri serial, semuanya menggertak dan menawan, dengan mudah merepotkan bagi beberapa orang Italia dan magnetis tanpa henti bagi yang lain.

Baik "IL Divo" maupun "Loro" adalah biopik konvensional, dan Sorrentino bukan realis. Film -film ini bersuka ria di Teater Kekuasaan, dan Servillo, dalam riasan artifisial yang aneh, terkadang menyerupai boneka atau kartun politik. Dia menekankan tipu daya reptil dan kesombongan Reptilian Andreotti, dan kegelapan dan mengasihani diri sendiri. Bahkan jika Anda tidak berpengalaman dalam pengetahuan politik Italia, Anda dapat merasakan energi komik liar dari pertunjukan ini, dan api moral di belakang mereka. Ini adalah orang yang sebenarnya! Hal-hal ini-pembunuhan, suap, silang ganda, pesta pora-benar-benar terjadi!

Dia membuat Vivid Humanity yang luar biasa - dan misteri yang mendalam - orang -orang yang hidup untuk membengkokkan dunia sesuai keinginan mereka.

Tapi apa yang dilakukan Servillo lebih dari sekadar sindiran komedi sketsa superior. Seperti aktor Shakespeare yang mempelajari keagungan dan keburukan raja -raja kuno atau imajiner, ia membuat hidup manusia yang luar biasa - dan misteri yang mendalam - orang -orang yang hidup untuk membengkokkan dunia sesuai keinginan mereka. Dia juga menangkap kesepian mereka.

Streaming "Loro" di Hulu; Sewa atau beli "IL Divo" di platform streaming utama.

6

Songkang HoKang Ho

Oleh Bong Joon HoBong Joon Ho

Aktor Korea Song Kang Ho mungkin pertama kali menarik perhatian sebagian besar penonton Amerika dalam pemenang Oscar terbaik 2020, "Parasite," memainkan patriark yang miskin dan penuh dengan penginapan. Itu adalah kolaborasi keempatnya dengan sutradara Bong Joon Ho, dan kami meminta pembuat film untuk menjelaskan mengapa ia telah melemparkan bintang itu lagi dan lagi.

Saya pertama kali melihat Song Kang Ho di "Green Fish," debut fitur sutradara Lee Chang-Dong. Dia memainkan pedesaan, gangster kecil, dan penampilannya sangat realistis sehingga rumor beredar di antara sutradara sehingga dia adalah preman yang sebenarnya. Saya kemudian mengetahui bahwa dia adalah seorang aktor yang telah aktif di kancah teater Daehak-ro untuk waktu yang lama.

Meskipun saya adalah asisten direktur pertama saat itu dan belum menjadi direktur, saya ingin bertemu dengannya. Jadi, saya mengundangnya ke kantor untuk minum kopi pada tahun 1997. Itu lebih merupakan percakapan santai daripada audisi, tetapi saya bisa mengatakan bahwa dia memiliki bakat untuk merugikan.

Ketika saya sedang menulis film kedua saya, "Memories of Murder" (2005) Saya memiliki lagu dengan kuat dalam pikiran untuk memainkan detektif negara yang terjebak dalam cara lamanya dan memiliki keyakinan buta pada instingnya. Karena dia dilahirkan untuk peran itu dan itu dibuat untuknya.

[Apakah dalam "Memories of a Murder," "The Host" (2007), "Snowpiercer" (2014) atau "Parasite"] Rasanya selalu seperti akan ada lapisan baru untuk diungkap. Dia seperti kanvas yang tumbuh dan tumbuh. Tidak peduli berapa banyak sapuan kuas yang saya terapkan, selalu ada lebih banyak ruang untuk dilukis. Saya masih ingin melihat apa yang akan dia bawa ke peran. Bagi saya, dia seperti tambang berlian yang tidak ada habisnya. Apakah saya sudah melakukan empat film dengan dia atau 40, saya tahu saya akan menggali karakter baru.

Dia memiliki kemampuan untuk membawa kehidupan dan mentah ke setiap saat. Bahkan jika sebuah adegan melibatkan dialog yang sulit atau pemotretan yang sangat teknis, ia akan menemukan cara untuk membuatnya mulus dan spontan. Setiap pengambilan akan berbeda, dan dialog paling sulit akan tampak seperti improvisasi. Sungguh menakjubkan dan senang menyaksikan.

Dia memiliki kemampuan untuk membawa kehidupan dan mentah ke setiap saat.

Keunikannya sebagai seorang protagonis berasal dari aturan dan kebiasaannya. Khusus untuk audiens Korea, lagu memproyeksikan kualitas pekerja Korea yang khas, tetangga atau teman yang mungkin Anda temui di lingkungan Anda. Jadi, mereka bahkan lebih asyik ketika mereka melihat karakter yang tampaknya sehari -hari ini dihadapkan oleh monster atau situasi mengerikan dalam film -film seperti "The Host" atau "Parasite."

Dia mulai dari yang biasa dan mengangkatnya menjadi suara tunggal dan tak ada bandingannya. Saya percaya itulah yang membuat Song Kang Ho dan karakter yang ia huni benar -benar istimewa. - Wawancara oleh Candice Frederick— Interview by Candice Frederick

Sewa atau beli "kenangan pembunuhan" di platform streaming utama.

5

Nicole Kidman

Oleh Manohla DargisManohla Dargis

Artis, Putri, Penulis, Muse - Nicole Kidman telah memainkan semuanya, dengan rambut pendek dan panjang, schnoz buatan yang luar biasa dan dagu yang sangat menjorok. Dia bisa tersenyum seperti matahari dan menangis dengan air mata yang cukup sehingga Anda ingin menyerahkan sekotak tisu. Di sinema arus utama, realisme adalah koin aktor dalam perdagangan, pilihan estetika yang membantu mengubah kecerdasan menjadi sesuatu seperti kehidupan. Bagi Kidman, seorang miniatur dengan sentuhan lapidary, menciptakan realisme itu kadang -kadang melibatkan mengaburkan keindahan (untuk peran, bukan penghargaan) yang telah lama mendefinisikannya. Ini juga berarti bermain secara konsisten dengan feminitas.

Kidman memasuki abad ke -21 di puncak ketenarannya dengan "Moulin Rouge!" (2001). Ini diikuti oleh beberapa kendaraan profil tinggi lainnya, terutama "The Hours" (2002), di mana ia bermain Virginia Woolf (isyarat Schnoz) dan menjeratnya sebuah Oscar. Itu adalah menguap sopan dari sebuah film yang diikuti oleh Kidman dengan membintangi Lars von Trier "Dogville" (2004), latihan Brechtian yang sangat abrasif di mana karakternya, setelah dilecehkan, mengambil pistol dan membantu menghancurkan sebuah kota. Kidman sepertinya sangat menikmati bit itu.

Sejak itu dia membuat lebih dari 40 film, beberapa berkesan dan nomor yang paling dilupakan. Seperti aktris lain, selebriti Kidman kadang-kadang melampaui bankabilitasnya, menciptakan ketenaran yang kurang berkaitan dengan box office dan lebih berkaitan dengan kepribadian berbintang yang diderita oleh jarak tempuh karpet merah dan kekenyangan penutup magazine mode. Beberapa tahun, film datang dan pergi hampir tanpa pemberitahuan. Tetap saja, Kidman terus bekerja dan terus mengangkat materi yang dapat diabaikan, mendorong dirinya sendiri bahkan ketika film tidak. Dia juga telah memainkan banyak ibu, strategi bertahan hidup yang diperlukan di dunia yang sama secara kreatif tidak imajinatif seperti industri film.

Satu kesenangan dari pemain virtuosik adalah menyaksikan mereka naik di atas materi mereka. Kidman telah melakukannya berulang kali, termasuk dalam "Kelahiran" (2004), di mana ia berperan sebagai seorang janda yang menjadi percaya bahwa seorang anak laki-laki berusia 10 tahun adalah reinkarnasi suaminya yang sudah meninggal. Adalah twaddle yang megah yang dihiasi oleh Kidman dengan kelezatan dan pinda emosi. Dia benar-benar mulia dalam "The Paperboy" (2012), sebuah whatsit vulgar yang lezat di mana dia mengalahkan kohort pria yang dipamerkan, secara bergantian buang air kecil di Zac Efron dan merobek pantyhose-nya dalam hiruk-pikuk orgiastik atas John Cusack.

Anda tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Anda tidak pernah bisa.

Baru -baru ini, Kidman membintangi "Destroyer" (2018), sebuah film thriller keras dari Karyn Kusama tentang spiral panjang detektif. Kidman menjadi besar dan brutal-meninju dan berlari dan menembak dan minum-minum berlebihan-untuk memainkan reruntuhan paruh baya yang pilihan mengerikannya terukir di setiap lipatan dan bercak di wajahnya yang keras. Film ini gagal, mungkin karena terlalu jelek untuk penonton hari ini atau mungkin semuanya tampak terlalu pasar untuk salah satu gadis sampul favorit majalah Vogue. Tapi Kidman brilian, dingin, mentah dan benar. Bahkan dengan wajahnya yang dikaburkan hampir tidak dapat dikenali, dia tetap tidak dapat dipungkiri. Anda tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Anda tidak pernah bisa.

Streaming "Destroyer" di Hulu.

4

Keanu Reeves

Oleh A. O. ScottA. O. Scott

Mungkin Anda terkejut menemukan Keanu Reeves begitu tinggi dalam daftar ini. Tapi tanyakan pada diri sendiri: Apakah Anda pernah kecewa ketika dia muncul di film? Bisakah Anda menyebutkan satu film yang belum ditingkatkan dengan kehadirannya? Kami berbicara tentang Ted Logan di sini. Tentang neo. John Wick. Minat cinta Diane Keaton yang juga berjalan pada "Something's Gotta Give" (2003). Minat cinta Ali Wong juga-seorang pria bernama Keanu Reeves! - Dalam “Always Be Mays Maybe” (2019). Tentunya tidak ada bintang film lain yang menunjukkan begitu banyak jangkauan sambil tetap begitu tidak direduksi dan tidak dapat dipahami sendiri.

Bisakah Anda menyebutkan satu film yang belum ditingkatkan dengan kehadirannya?

Tapi dia sangat mudah diremehkan. Seperti banyak hal lain di tahun 90 -an, apresiasi Keanu Reeves dalam fase pertama karirnya dilindung nilai dengan ironi. Terlalu mudah untuk mengolok -olok kebingungan yang kosong dan sungguh -sungguh yang mendefinisikan karakternya dalam "Point Break," "The Devil's Advocate" dan film -film "matriks", untuk memproyeksikan kekosongan mereka kepadanya, untuk mengira bahwa airnya yang masih dangkal dangkal .

Dia selalu berada dalam lelucon itu. Dan tidak pernah sepenuhnya bercanda. Di usia paruh baya, ia telah naik ke tingkat pencapaian yang baru, zona di mana kesadaran dan kesadaran diri bertemu. Dia adalah salah satu pahlawan aksi kita yang paling kredibel, dan juga salah satu aktor karakter kita yang paling banyak akal dan inventif. Dia telah berjalan dengan indah, menjadi lebih menyedihkan dan lebih menyenangkan tanpa kehilangan kepolosan dunia lain yang ada di sana sejak awal.

Apakah pembunuh yang melankolis, uxorious, dan mencintai anjing dalam film “John Wick” yang dimasukkan genre, pertunjukan gaji, latihan aksi paruh baya? Mungkin. Tentu saja. Dengan (katakanlah) Gerard Butler dalam peran judul mereka akan licin, nasty throwaways. Apa yang dilakukan Reeves adalah memberi waralaba lebih banyak gravitasi daripada yang layak, lebih humor daripada yang dibutuhkan, dan jiwa yang tidak dimiliki secara komprehensif.

Salah satu kesenangan menonton film dalam dekade terakhir telah bertemu dengannya dengan samaran yang tidak terduga. Sebagai semacam pemimpin kultus pasca-apokaliptik yang dikenal sebagai mimpi dalam "The Bad Batch," Ana Lily Amirpour's 2017 Dystopian Dystopian Fantasia. Sebagai kapur ke Winona Ryder's Cheese di Victor Levin, anti-Rom-com's “tujuan pernikahan” (2018). Sebagai suara kucing bernama Keanu di "Keanu" (2016).

Ada lebih banyak orang daripada jumlah bagian-bagian ini, yang merupakan teka-teki dan koans, bab-bab dalam manual yang terus diperbarui dalam bintang meta-modern sebagai cara menjadi cara menjadi. Dia bukan perfeksionis. Dia kesempurnaan itu sendiri. Kami sudah diberitahu sejak lama, dan sekarang mungkin kami akhirnya bisa mempercayainya: dialah yang satu.

Streaming atau sewa film "John Wick" dan judul reeves lainnya di platform utama.

3

DanielDay-LewisDay-Lewis

Oleh Manohla DargisManohla Dargis

Pada awal "ada darah" (2007), seorang pria dalam lubang yang dalam dan gelap secara ritmis menabrak dinding dengan pickaks, mengirimkan percikan api dan debu. Sangat redup sehingga Anda tidak dapat melihat wajahnya, tetapi kemeja pucatnya menarik mata Anda dan melemparkan kontur lengannya yang kuat dan gerakan seperti mesin mereka menjadi lega. Anda hanya sepenuhnya melihatnya ketika dia mengangkat kepalanya untuk menatap langit, menyebabkan cahaya membanjiri wajahnya. Lihatlah, pria-lihatlah, Daniel Day-Lewis!

Ini adalah pengantar sebagai ikon, sebagai penentu karakter dan pembentukan bintang seperti Rita Hayworth di "Gilda." Ini juga berfungsi sebagai metafora yang bagus untuk tindakan yang melelahkan dari proses kreatif Day-Lewis, pembangunan karakternya. Sebagai Daniel Plainview, Day-Lewis tidak hanya memainkan protagonis; Dia memberikan bentuk manusia pada ide dan seni pembuat film Paul Thomas Anderson. Plainview banyak hal: manusia, mesin, ayah yang mengerikan, seorang minyak yang rakus. Dia juga manifestasi dari zat yang hancur - "lautan minyak" - bahwa dia dengan keras merebut dari bumi.

Day-Lewis adalah salah satu aktor paling dihormati dalam setengah abad terakhir, reputasi berdasarkan filmografinya yang mempesona dan dibakar oleh aura kebesaran yang telah berkembang hingga proporsi yang hampir mistis. Persiapannya yang dipublikasikan dengan baik untuk perannya dan desakannya untuk tetap dalam karakter selama produksi telah menjadi legendaris, hal-hal yang menjadi berita utama yang bersemangat dan fetisisme kipas. Pengumuman pensiunnya yang berulang -ulang hanya memperluas aura -nya dan begitu pula selektivitasnya: ia hanya membuat enam film abad ini, beberapa karya besar. Seperti tanaman abad eksotis, agave yang mekar secara spektakuler hanya sekali, hari-lewis tahu cara menggoda kita dan menampilkan pertunjukan.

Day-Lewis tahu cara menggoda kami dan mengadakan pertunjukan.

Pengetahuan yang telah dibangun di sekelilingnya adalah, sampai batas tertentu, hanya versi era metode mitos yang selalu menjadi bagian dari penciptaan ketenaran. Yang terkadang hilang adalah bahwa membaca lebih dari 100 buku untuk mempersiapkan peran judul "Lincoln" (2012) adalah karya, bagian dari bagaimana seorang aktor bersiap. Semua Buruh dan buku -buku itu adalah pengingat bahwa akting juga merupakan pekerjaan, bukan sihir, bahkan ketika kinerja aktor tampak atau, lebih tepatnya, terasa alkimia. Bagian dari bakat Day-Lewis adalah kemampuannya yang luar biasa untuk mengubah kerja keras menjadi karakter yang dengan lancar melayani visi sutradara.

Banyak tergantung pada visi itu. Dan pada titik inilah saya harus dengan menyesal menyebutkan "Nine" (2009), kebodohan bencana pada hari itu-lewis melayani dengan rajin tetapi tidak dapat menyelamatkan. Dalam "Gangs of New York" (2002), sebaliknya, kinerjanya sebagai Bill the Butcher adalah apotheosis dari ambisi film itu, jadi ketika dia tidak di layar, gambar sputters. Seni Day-Lewis adalah salah satu osmosis antara dia dan direkturnya. Dan hingga saat ini, penampilannya yang paling sepenuhnya ditampilkan adalah di dua film yang telah dibuatnya dengan Anderson, yang terbaru "Phantom Thread" (2017), yang keindahannya, kedalaman, dan kekhasan hari-lewis menyerap, mengubah, dan membiayai dengan cemerlang.

Beli atau sewa "utas hantu" di sebagian besar platform utama.

2

Isabelle Huppert

Manohla Dargis tanpa rasa takut dan memukau, kadang -kadang menakutkan, kadang -kadang aneh, Isabelle Huppert telah mengejutkan peran atas karirnya, bergerak dengan mudah dari air mata ke jeritan, dari cerita yang paling lurus ke yang paling halus tanpa henti. Dia berakting di lebih dari 50 film abad ini saja, rajin yang berbicara dengan ambisi dan popularitasnya, tetapi juga menunjukkan kelaparan yang rakus yang dapat Anda lihat dalam aktingnya. Saya suka banyak penampilannya, tetapi saya terutama terpikat oleh monster -monsternya, oleh para wanita yang mengerikan dan tak terkatakan. Fearless and mesmerizing, sometimes scary, sometimes freakish, Isabelle Huppert has taken on an astonishment of roles over her career, moving effortlessly from tears to shrieks, from the straightest stories to the most gloriously unhinged. She’s acted in more than 50 movies this century alone, industriousness that speaks to her ambition and popularity, but also suggests a ravenous hunger that you can see in her acting. I love many of her performances, but I am especially captivated by her monsters, by her horrifying, unspeakable women.

A. O. Scott Apakah ada yang mengatakan "guru piano"? Film tahun 2002 itu adalah kekuatan tur-de yang menakutkan dari nafsu, kekejaman, masokisme dan musisi. Karakter judul, Erika Kohut, menjadi terobsesi dengan seorang siswa, dan Huppert melakukan keturunannya dengan kegilaan dengan ketepatan es dan intensitas opera. Apakah kita takut padanya, atau takut padanya? Did somebody say “The Piano Teacher”? That 2002 movie is a terrifying tour-de force of lust, cruelty, masochism and musicianship. The title character, Erika Kohut, becomes obsessed with a student, and Huppert performs her descent into madness with icy precision and operatic intensity. Are we scared for her, or scared of her?

Huppert adalah virtuoso pada ambiguitas semacam itu, dengan mengoceh kode-kode yang biasa tentang kerentanan feminin dan penegasan diri feminis, dengan menentang asumsi tentang sumber ketangguhan dan kerapuhan seorang wanita. Salah satu contoh favorit saya adalah dalam "Comedy of Power" Claude Chabrol (2007), di mana ia memainkan hakim yang membasmi korupsi dalam elit politik dan bisnis Prancis dan mengambil jaringan bocah lelaki tua yang tertanam dengan kuat. Nama karakternya adalah Jeanne Charmant Killman, yang mungkin tampak sedikit di hidung tetapi juga menangkap beberapa daya tarik Huppert yang anggun dan mematikan.

Dargis Peran Huppert telah ditawarkan dan yang dia cari telah berperan dalam ciptaannya. Dan di awal karirnya, dia bekerja dengan pembuat film-Jean-Luc Godard, Maurice Pialat dan, tentu saja, Chabrol-yang memberinya ruang kreatif untuk dikembangkan. Dia tidak akan pernah bisa memiliki karir yang sebanding di film -film Amerika (saya bergidik pada gagasan debutnya di Sundance), di mana karakter jarang ambigu dan sering dibentuk oleh keharusan hambar seperti keterkaitan dan penebusan. The roles Huppert has been offered and those she’s sought out have been instrumental in her creation. And early in her career, she worked with filmmakers — Jean-Luc Godard, Maurice Pialat and, of course, Chabrol — who gave her creative space in which to develop. She could never have had a comparable career in American movies (I shudder at the idea of her debuting at Sundance), where characters are rarely ambiguous and often shaped by bland imperatives like relatability and redemption.

Huppert dikenal karena merangkul ekstrem, meskipun saya melihat ini sebagai minat pada kepenuhan keberadaan, termasuk yang menjijikkan dan tabu. Karakternya mendidih dengan kehidupan, beberapa di antaranya jelek, seperti dalam "Elle" (2016), provokasi Paul Verhoeven tentang trauma dan psikosis. Aktris itu selalu mengejutkan (saya curiga dia akan bosan sebaliknya), tetapi di sini, sebagai seorang wanita yang menghadapi kekerasan pria, Huppert melakukan sesuatu yang jarang terjadi dalam film: dia terkejut. Dengan kecerdasan yang terasa - senyum anehnya mengejek kesalehan penonton - dia mengubah misteri orang lain menjadi thriller. Saya suka dia memaksa saya untuk melihat bahkan ketika saya tidak mau.

Scott Apakah ada yang mengatakan "greta"? Itu adalah film thriller kecil 2019 di mana Huppert memainkan penguntit psiko-mommy yang memangsa seorang mahasiswa bermata berembun yang diperankan oleh Chloë Grace Moretz. Saya membawanya hanya karena jenis misteri yang Anda rujuk - senyawa kecerdasan, pesona dan kemauan - mendominasi film itu, yang membuat Huppert membuat lebih menarik daripada yang berhak. Lebih lucu dan lebih menakutkan. Did somebody say “Greta”? That was a wan little 2019 thriller in which Huppert played a psycho-mommy stalker preying on a dewy-eyed college student played by Chloë Grace Moretz. I bring it up only because the kind of mystery you refer to — the volatile compound of wit, charm and will — dominates that movie, which Huppert makes more intriguing than it has any right to be. Funnier and scarier.

Tidak ada orang lain dengan kombinasi intensitas dan pengekangannya. Ini datang terutama dalam film-film di mana karakternya terlibat dalam perjuangan habis-habisan untuk bertahan hidup, seperti "materi putih" Claire Denis (2010). Huppert berperan sebagai pemilik perkebunan Prancis yang berpegang teguh pada hak istimewa kolonial terakhir di negara Afrika yang dikejar oleh kekerasan. Dia tahu bahwa hidupnya dalam bahaya, bahwa cara hidupnya tergelincir, dan juga bahwa dalam skema sejarah yang lebih besar, dia mungkin layak mendapatkan nasibnya. Tidak ada mengasihani diri sendiri di sini dan hampir tidak ada drama dalam arti konvensional. Saraf murni.

Streaming atau sewa "Elle," "The Piano Teacher" dan lebih banyak lagi di sebagian besar platform utama.

1

Denzel Washington

A. O. Scott Kami bertengkar dan berdebat tentang setiap slot lain dalam daftar, tetapi tidak ada keraguan atau perdebatan tentang yang satu ini. We wrangled and argued about every other slot on the list, but there was no hesitation or debate about this one.

Denzel Washington berada di luar kategori: layar titan yang juga seorang pengrajin yang halus dan sensitif, dengan pelatihan panggung sekolah tua yang serius dan kehadiran bintang film yang menyala-nyala. Dia dapat melakukan Shakespeare dan August Wilson, kejahatan atau kepahlawanan aksi. Dia juga salah satu aktor pria reguler tertinggi. Siapa yang bisa melupakan kaku kerjanya yang diperangi di "Unstoppable" (2010) dan "The Taking of Pelham 123" (2009), sepasang film bertema kereta yang besar dan berisik yang disutradarai oleh Tony Scott? Tidak satu pun yang merupakan mahakarya, tetapi saya tidak pernah bosan menonton Washington di tempat kerja.

Manohla Dargis Dia membuat pekerjaan - yang saya maksudkan akting - terlihat seperti bernafas. Ada alasan mengapa ia sempurna sebagai Rawlins yang mudah di “Devil in a Blue Dress,” peran yang menentukan lebih awal. Sejak itu, ia telah memainkan banyak karakter yang mewujudkan hukum atau kriminalitas, dan beberapa yang ada di ruang yang membagi keduanya. Sepanjang jalan, ia telah menjadi totem dominan dari jenis otoritas pria tertentu, seperti John Wayne dan Clint Eastwood di depannya. Washington dapat mengungkapkan kerentanan yang menyedihkan, tetapi ia dapat menjulang seperti raksasa, menjulang di dunia seperti patriark Perjanjian Lama - itu luar biasa mengingat representasi maskulinitas hitam di layar belum lama ini. He makes the job — by which I mean acting — look like breathing. There’s a reason he was perfect as Easy Rawlins in “Devil in a Blue Dress,” an early defining role. Since then, he has played a lot of characters who embody law or criminality, and some who exist in the space dividing the two. Along the way, he has become the dominant totem of a certain kind of male authority, like John Wayne and Clint Eastwood before him. Washington can express anguished vulnerability, but he can tower like a colossus, looming over worlds like an Old Testament patriarch — it’s extraordinary given the representations of Black masculinity onscreen not long ago.

Scott otoritas itu kredibel bahkan ketika filmnya ... kurang begitu. "The Book of Eli" (2010)? "The Equalizer" (2014)? "Man on Fire" (2004)? Salah satu hal yang paling saya sukai dari dia adalah betapa dia memerankan pria yang tampaknya tidak membutuhkan atau bahkan pantas mendapatkan cinta. Pikirkan Whip Whitaker di "Flight" (2012), seorang pilot maskapai penerbangan yang sangat terampil yang juga merupakan kecelakaan kereta api epik. Bukan pria yang baik, tetapi penuh dan kompleks dan dengan jelas menyadari seorang manusia seperti yang pernah Anda lihat di layar film. That authority is credible even when the movies are … less so. “The Book of Eli” (2010)? “The Equalizer” (2014)? “Man on Fire” (2004)? One of the things I love most about him is how magnificently he plays men who don’t seem to require or even deserve love. Think of Whip Whitaker in “Flight” (2012), a prodigiously skilled airline pilot who is also an epic train wreck. Not a nice guy, but as full and complex and vividly realized a human being as you will ever see on a movie screen.

Dargis seperti All Stars, akting Washington terasa tidak dapat dipisahkan dengan karismanya, kombinasi yang menggoda tetapi dapat membanjiri film, seperti Potboiler "Hari Pelatihan" Antoine Fuqua (2001). Washington sensasional sebagai detektif yang buruk: dia longgar, seksi, menakutkan tetapi jauh lebih besar dari kehidupan sehingga dia mengecilkan film. Dalam "Flight," magnetnya memperdalam tragedi karakternya; Ini memberi jalan -jalan dengan Swagger namun itu juga bagian dari fasadnya yang hancur. Beberapa peran memberi Washington sebanyak mungkin untuk dikerjakan, tentu saja bukan film dengan dua sutradara favoritnya, Fuqua dan Scott, yang menciptakan banyak keributan yang diselesaikan Washington - dan pusat -pusat - sangat nyaman. Like all stars, Washington’s acting feels inextricable with his charisma, a combination that’s seductive but can overwhelm movies, like Antoine Fuqua’s violent potboiler “Training Day” (2001). Washington is sensational as a bad detective: He’s loose, sexy, frightening but so much bigger than life that he shrinks the movie. In “Flight,” his magnetism deepens his character’s tragedy; it gives his walk swagger yet it’s also part of his crumbling facade. Few roles give Washington as much to work with, certainly not the movies with two of his favorite directors, Fuqua and Scott, who create a lot of commotion that Washington settles into — and centers — very comfortably.

Scott mungkin salah satu ukuran kepatuhannya adalah seberapa konsisten dia lebih baik daripada film yang dia masuki. Di tengah pekerjaan yang sangat baik - para pelatih dan polisi, gangster dan pengacara - ada beberapa monumen yang menunjukkan bakat menjulang ini secara penuh. Malcolm X adalah satu, dan Troy Maxson di "Pagar" (2016) adalah yang lain. Ada begitu banyak rasa sakit dan kebanggaan pada kinerja itu, yang entah bagaimana mengukur bobot rasisme Amerika pada tubuh dan jiwa satu orang, tanpa mengubah orang itu menjadi simbol apa pun. Cara Washington masuk ke film itu, pundaknya berayun dengan kekuatan atlet, bingkainya disok oleh kerja keras seumur hidup, adalah momen kefasihan duniawi murni, yang cocok dengan aliran puisi bahasa daerah yang keluar dari mulutnya. Maybe one measure of his mightiness is how consistently he’s better than the movies he’s in. Amid the extensive run of excellent work — the coaches and cops, the gangsters and lawyers — there are a few monuments that show this towering talent in full. Malcolm X is one, and Troy Maxson in “Fences” (2016) is another. There is so much pain and pride in that performance, which somehow measures the weight of American racism on a single person’s body and soul, without turning that person into a symbol of anything. The way Washington walks into that movie, his shoulders swinging with an athlete’s power, his frame dented by a lifetime of toil, is a moment of pure carnal eloquence, matched by the stream of vernacular poetry that comes out of his mouth.

Dargis dengan baik, melampaui film Anda telah lama menjadi ciri khas ketenaran nyata! Aktor memilih peran untuk segala macam alasan - usia, jadwal, rasa, kenyamanan, pembayaran - dan masalah ras, selalu. Washington suka bermain karakter yang berorientasi pada tujuan dan pria yang membuat kesan serius, dengan pistol, ekstrem fisik atau kata-kata. Dia suka menjadi besar. Dia bisa membuat film seni dan Hindia kecil yang provokatif tetapi tidak. Mungkin dia tidak tertarik; Tentu saja dia tidak perlu. Lagipula, dia adalah Denzel Washington, seorang bintang yang kariernya - dalam umur panjang dan dominasinya - adalah korektif dan teguran untuk industri rasis tempat dia bekerja. Saya membayangkan dia melakukan persis apa yang dia inginkan. Well, transcending your movie has long been a hallmark of real stardom! Actors choose roles for all sorts of reasons — age, schedule, taste, comfort, pay — and race matters, always. Washington likes playing goal-oriented characters and men who make a serious impression, with a gun, physical extremes or words. He likes to go big. He could make art films and provocative little indies but doesn’t. Maybe he isn’t interested; certainly he doesn’t need to. He is Denzel Washington, after all, a star whose career — in its longevity and dominance — is a corrective and rebuke to the racist industry in which he works. I imagine that he’s doing exactly what he wants.

Streaming atau sewa "penerbangan," "hari pelatihan" dan lebih banyak lagi di sebagian besar platform utama.

Siapa aktor paling populer saat ini?

Popularitas adalah % dari orang yang memiliki pendapat positif tentang aktor kontemporer ...
1 Morgan Freeman84%.
2 Denzel Washington80%.
3 Harrison Ford77%.
4 Sean Connery77%.
5 Keanu Reeves76%.
6 Tom Hanks75%.
Samuel L. Jackson74%.
Michael J. Fox74%.

Siapa aktor #1 di dunia?

Penghasilan tahunan tertinggi.

Siapa aktor terbesar 2022?

Bintang terlaris tertinggi tahun 2022 di box office di seluruh dunia.

Siapa aktor terbaik di dunia 2022?

Bintang Hollywood Michael Keaton membawa pulang Emmy untuk aktor terbaik dalam seri antologi terbatas di Academy Academy Awards ke -74 alias Emmy 2022, untuk perannya dalam seri 'Dopesick' Hulu yang diakui secara kritis.Michael Keaton took home the Emmy for Best Actor in a Limited Anthology Series at the 74th Television Academy Awards aka Emmys 2022, for his role in Hulu's critically acclaimed 'Dopesick' series.